Anda di halaman 1dari 72

ALERGI

IMUNOLOGI
MODUL III.1
IMUNOLOGI DASAR
  KOLEGIUM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG
TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER
materi
presentasi
Sistem Imun Bawaan (Innate) dan Didapat (Adaptive)
Komponen Seluler dan Humoral
interaksi sistem imun bawaan (innate ) dan didapat (adaptive) untuk
membangkitkan respon imun
Jenis-jenis dan Fungsi Imunoglobulin.
Fungsi dan Peran Sitokin, Interferon dan Kemokin dalam Sistem
Imun

 Cytokines are soluble mediators that have growth,


differentiation, and activation functions for immune
responses.
 Cytokines predominantly APCs or T lymphocyte
derived, mediate cytotoxic (antiviral and anticancer),
humoral, cell-mediated (Th1 and Th17), or allergic
immunity (Th2), or that are immuno suppressive (Treg
cells) by lymphocytes
 Chemokines are a group of small (8 to 12 kD) proteins
with the ability to affect cell migration or chemotaxis
 These cells include the neutrophils, monocytes,
lymphocytes, eosinophils, fibroblasts, and keratinocytes
Materi Baku
Imunologi
Imunitas adalah pertahanan terhadap penyakit, terutama penyakit infeksi
Sistem imun adalah Kumpulan sel-sel, jaringan dan molekul-molekul yang
berperan dalam pertahanan infeksi
Respons imun adalah reaksi terkoordinasi sel-sel dan molekul tersebut
dalam peram pertahanan terhadap infeksi
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun, termasuk respons
terhadap mikroba patogen, dan kerusakan jaringan serta perananannya pada
penyakit.
Imunologi

Autoimunitas adalah gagalnya mekanisme reaksi terhadap mikroba selain


antigen diri sendiri (self), maka sistem imun dapat menyerang sel dan
jaringan sendiri.
Anergi merupakan bagian dari toleransi imunologik perifer yang dipicu
ketika sel T matur mengenali antigen diri di jaringan perifer, menimbulkan
inaktivasi fungsional atau kematian sel tersebut.
Alergi adalah kegagalan kekebalan tubuh dimana tubuh seseorang menjadi
hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang
umumnya imunogenik.
Sistem Imun

Sistem imun bawaan (innate)


• Bekerja dengan mengikat komponen mikroorganisme pada Toll like receptors
• Memicu timbulnya inflamasi dan berujung pada destruksi dari
mikroorganisme.

Sistem imun didapat (adaptive)


• Sel dendritik berperan untuk mengaktivasi limfosit T, yang menginisiasi
kaskade dari reaksi imun, salah satunya dengan membentuk antibodi
Unified Airway

Proses inflamasi saluran nafas atas dan bawah adalah satu atau dengan kata lain mempunyai
proses yang sama.

Proses inflamasi lokal maupun sistemik dapat terlihat secara umum pada saluran nafas. Hal ini
memperjelas bahwa fungsi saluran nafas merupakan satu kesatuan yang utuh.

Seorang spesialis T.H.T.K.L. harus dapat menyadari bahwa penyakit pada saluran nafas atas dan
bawah selalu terjadi bersamaan, akibatnya bila kita mendiagnosis rinitis alergi atau rinitis non
alergi, kemungkinan dapat terjadi peningkatan asma.
Hygiene Hypothesis

Hygiene hypothesis menekankan bahwa paparan masa anak-anak terhadap


mikroorganisme tertentu dapat menimbulkan efek proteksi terhadap penyakit
alergi dengan berkontribusi terhadap perkembangan sistem imun.
Sistem imun bawaan (Innate Immunity)

• Kulit, mukosa membran, silia saluran nafas yang


Pertahanan utuh
Fisik • Kerusakan pada bagian tersebut akan meningkatkan
risiko infeksi oleh mikroba

• Mukosa membran dapat menghasilkan IgA, enzim atau asam


yang dapat menambah efek sebagai anti mikroba
Pertahanan • Asam hidroklorik dalam cairan lambung, lisosim dalam
keringat, ludah, air mata dan air susu dapat melindungi
Biokimia tubuh terhadap kuman Gram Positif
• Lisozim yang dilepas makrofag dapat menghancurkan
kuman Gram Negatif
• 2 jalur kaskade komplemen:
• Pada jalur klasik, aktivasi dilakukan oleh formasi kompleks imun/antibodi
Pertahanan • Pada jalur alternatif diaktifkan langsung oleh mikroba atau produknya.
• Interferon termasuk dlm pertahanan humoral, merupakan sitokin
Humoral glikoprotein yang diproduksi oleh makrofag Natural Killer Cell (sel NK).
Sel tersebut akan mensekresi IFN-, TNF- dan GM-CSF) dan berbagai
kemokin

• sel utama yang berperan dalam pertahanan nonspesifik adalah sel


mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear.
• mikroorganisme menembus barier -> fagositosis -> mencegah terjadinya
infeksi.
Pertahanan • netrofil, monosit, sel mast, eosinofil, basofil dan sel dendritik akan
Selular diaktivasi saat mikroba masuk ke tubuh melalui penggunaan pattern
recognition receptors (PRRs)
• beberapa class PRRs: Toll-like receptors (TLRs), RIG-I-Like receptors,
Nod-like receptors dan C-type lectin receptors
Fagosit/makrofag, sel NK dan sel mast berperan dalam sistem imun nonspesifik selular.

• Fagosit. Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut: kemotaksis, menangkap,
membunuh dan mencerna.
• Natural Killer cell (selNK). Sel NK adalah sel limfosit tanpa ciri-ciri sel limfoid sistem imun spesifik
yang ditemukan dalam sirkulasi. Oleh karena itu disebut juga sel non B non T atau sel populasi ke tiga
atau null cell. Morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan granul besar, oleh karena itu disebut juga
Large Granular Lymphocyte/LGL.
• Sel mast. Sel mast berperan dalam reaksi alergi, pertahanan pejamu yang jumlahnya menurun pada
sindrom imunodefisiensi, berperan pada imunitas terhadap parasit dalam usus dan terhadap invasi
bakteri.
Sistem imun didapat (Adaptive Immunity)

• Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi
dirinya
• Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi
badan, tetapi pada umumnya terjalin kerja sama yang baik antara antibodi, komplemen, fagosit dan
antara sel T-makrofag
• Limfosit berasal dari stem cell di sumsum tulang yang akan menjadi matang dalam bentuk sel B,
sel T dan sel NK. Sel B akan bertanggung jawab terhadap produksi antibodi, sedangkan sel T
mempunyai fungsi sebagai anti viral, anti fungal dan imunoregulator.
ANTIGEN DAN ANTIBODI
Antigen
• Antigen poten alamiah terbanyak adalah protein besar dengan berat molekul
lebih dan 40.000 dalton dan kompleks polisakarida mikrobial.
• Glikolipid dan lipoprotein dapat juga bersifat imunogenik.
• Asam nukleat dapat bertindak sebagai imunogen dalam penyakit autoimun
tertentu, tetapi tidak dalam keadaan normal.
Pembagian antigen menurut spesifisitas

1. Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies


2. Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu
3. Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam satu spesies
4. Antigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu
5. Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri
Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T

1. T dependen: memerlukan pengenalan oleh sel T terlebih dahulu untuk dapat menimbulkan
respons antibodi. Kebanyakan antigen protein termasuk dalam golongan ini.
2. T independent: dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk membentuk antibodi.
Kebanyakan antigen golongan ini berupa molekul besar polimerik yang dipecah di dalam
tubuh secara perlahan-lahan, misalnya lipopolisakarida, ficol, dekstran, levan, flagelin
polimerik bakteri
Pembagian antigen menurut sifat kimiawi

1. Polisakarida. Polisakarida pada umumnya imunogenik. Glikoprotein yang merupakan bagian


permukaan sel banyak mikroorganisme dapat menimbulkan respons imun terutama pembentukan
antibodi.
2. Lipid. Lipid bisa menjadi imunogenik bila diikat protein pembawa. Lipid dianggap sebagai hapten,
contohnya adalah sfingolipid
3. Asam nukleat dapat menjadi imunogenik bila diikat protein molekul pembawa. DNA dalam bentuk
heliksnya biasanya tidak imunogenik. Respons imun terhadap DNA terjadi pada pasien dengan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
4. Protein. Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya multideterminan dan univalen.
Imunogen dan Hapten.

• Antigen yang juga disebut imunogen adalah bahan yang dapat merangsang respons imun
atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada tanpa memperhatikan
kemampuannya untuk merangsang produksi antibodi.
• Kompleks yang terdiri atas molekul kecil (disebut hapten) dan molekul besar (disebut
carrier atau molekul pembawa) dapat berperan sebagai imunogen.
ANTIBODI

• Antibodi atau imunoglobulin (Ig)


adalah golongan protein yang
dibentuk sel plasma (proliferasi sel B)
setelah terjadi kontak dengan antigen

• A = rantai berat (berat molekul:


50.000-77.000)
• B = rantai ringan (berat molekul:
25.000)
• C = ikatan disulfida
SITOKIN
Imunologi dan Penyakit

• Sitokin tipe 2 yang berlebih pada saluran napas bawah akan memicu

Asma IgE-mediated hypersensitivity


• Pelepasan sitokin epithelial terutama IL-25, IL- 33 dan thymic stromal
lymphopoietin (TSLP) merupakan kunci proses yang mengawali
respon imun tipe 2 dan allergic inflammatory environment pada asma

• aktivasi sel mast yang bermediasi dengan immunoglobulin E (IgE).


• Urtikaria Akut. Reaksi hipersensitivitas tipe I akibat histamin yang
dikeluarkan oleh sel mast. Selain histamin, bradikinin juga berperan

Urtikaria dalam terjadinya urtikaria.


• Urtikaria Kronik sering kali dihubungkan dengan beberapa etiologi
pencetus urtikaria, seperti medikasi, autoimun, faktor stress, dan
vaskulitis.
Imunologi dan Penyakit

• Interaksi antara kuman M. Tuberkulosis (Mtb) dan sistem imun


host melibatkan sel T memory effector, dan sel T memory
central.
Tuberkulosis • Bakteri akan tetap tinggal pada periode yang cukup lama
(infeksi laten). Bakteri juga dapat mengindari respon imun dan
secara klinis tetap aktif.

• Perubahan genetik dan seluler pada kanker melibatkan sistem


imunitas dengan cara menghasilkan respons sel T yang mengenali
dan membunuh sel kanker.
• Reaksi imunitas terhadap kanker adalah proses siklik yang dapat
Keganasan bereproduksi dengan sendirinya, yang mengarah pada akumulasi
faktor- faktor stimulator imunitas yang akan memperkuat dan
memperluas respons sel T.
Siklus Imunitas-Kanker
Imunologi dan Penyakit

• Infeksi dari sel, memproduksi copy DNA atau virus


RNA dan rangkaian proses pada genome host,
HIV ekspresi dari genetik virus, serta produksi partikel
virus.
• HIV menginfeksi sel melalui glikoprotein di envelope
virus

• Patogenesis autoimun terdiri atas gangguan aktivitas selular dan


protein regulator.
• Gangguan aktivitas selular dapat terjadi apabila tubuh gagal

Autoimun mempertahankan toleransi akan self-antigen dan terjadi aktivasi


autoreaktif sel imun terhadap self-antigen tersebut
• Mekanisme kegagalan toleransi tersebut diperankan oleh sel T
perifer dalam berbagai proses
ALERGI
IMUNOLOGI
MODUL III.2
RHINITIS ALERGI
  KOLEGIUM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG
TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER
DEFINISI
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi dari muosa hidung yang
diperantai oleh IgE yang ditandai kongesti/obstruksi hidung,
rinorea, gatal hidung dan atau gatal mata dan atau bersin.
KLASIFIKASI
Berdasarkan konsensus ARIA-WHO 2008 (Allergic Rhinitis and Its impact on
Asthma- World Health Organization)

1. Rinitis alergi intermiten ringan


2. Rinitis alergi intermiten sedang
berat
3. Rinitis alergi persisten ringan
4. Rinitis alergi persisten sedang
berat
Diagnosis dan identifikasi alergi

ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK PEMERIKSAAN


• Gejala rinitis alergi:bersin, • Rinoskopi anterior PENUNJANG
rinore, hidung tersumbat menggunakan cahaya yang • Prick test
• Frekuensi serangan, beratnya cukup dan spekulum hidung • Pemeriksaan sitologis hidung
penyakit, lama sakit, intermiten • Nasoendoskopi • nasal challenge test
atau persisten. • Terdapat tanda khas penderita • Foto polos sinus paranasal
• Komorbid di organ lain rinitis alergi: Allergic shinner,
Nasal crease, Allergic shalutte • CT Scan / MRI sinus paranasal
• Riwayat atopi di keluarga
• Faktor pemicu
• Riwayat pengobatan
TES
ALERGI
DIFERENSIAL DIAGNOSIS

1. Rinitis vasomotor
2. Rinitis gustatorik
3. Rinitis Hormonal
4. Rinitis medikamentosa
5. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
6. Rinitis akibat kelainan anatomi
7. NARES
8. Rinitis atropi
PATOGENESIS RINITIS ALERGI

• Pengenalan antigen/alergen oleh sel makrofag, monosit atau sel dendritik,


• Alergen pertama kali akan ditangkap oleh sel dendritic, mukosa hidung akan
mengeluarkan sitokin IL-25, IL-33, TSLP, ILC 2 dan basofil.
• Fase cepat: 1 jam setelah kontak
• Alergen berikatan dengan IgE spesifik, berikatan dengan reseptor
mengakibatkan degranulasi mast sel dan basofil mengeluarkan mediator
histamin, tyrptase, cyctein leukotriene ( LTC4, LTD 4, LTE 4 ) dan
prostaglandin.
• Fase lambat : 4-6 jam setelah terpapar dengan alergen sampai 18-24 jam .
• Ditandai dengan aktivasi dan masuknya berbagai sel inflamasi di mukosa
hidung yaitu limfosit T, eosinofil, basofil , netrofil dan monosit .
ELIMINASI ALERGEN
House dust mite (tungau debu rumah),
pet dander dan alergen kecoa.

Cara menghindari :
Esensial :
- Membungkus kasur dan bantal
- Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali dengan
air panas atau menjemur cucian dibawah sinar matahari langsung.

Optimal :
a. Menggunakan lantai rumah dengan bahan yang dapat dibersihkan seperti
b. Sedikit mungkin menggunakan furniture dari kain/kain berbulu
c. Menggunakan penghisap debu integral dengan filter HEPA dan kantong yang bahannya tebal
d. Gunakan korden yang dapat dicuci
e. Mainan dari kain/berbulu yang dapat dicuci.
ELIMINASI ALERGEN

Binatang piaraan ( kucing dan anjing)

Cara yang paling sederhana tetapi kadang sangat sulit yaitu dengan tidak
memelihara binatang tersebut dan bila pernah, membersihkan karpet,
kasur dan kursi dengan penghisap debu berulang.
Tatalaksana Rinitis Alergi

Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :


1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan
2. inflamasi.
3. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas
sehari- hari.
4. Mengurangi efek samping pengobatan
5. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan
terhadap penyakitnya
6. Merubah jalannya penyakit/ pengobatan kausal
Cuci hidung Antihistamin Dekongestan

Sodium Kortikosteroid Glukokortikoid


kromolin intranasal topikal

Anti
Imunoterapi
Leukotrien
ALERGI
IMUNOLOGI
MODUL III.3
RHINITIS NON-ALERGI
NON-INFEKSI
  KOLEGIUM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG
TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER
Rinitis non alergi merupakan kondisi inflamasi
kronis hidung dengan gejala berupa kongesti
hidung, obstruksi dan rinorea tanpa ada
pemicu alergi (hasil tes alergi kulit atau serum
negatif).

Sering muncul pada usia lebih tua


dibandingkan rinitis alergi, 70% baru terjadi
setelah usia 20 tahun dan lebih sering pada
wanita.
FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

● Fungsi : menyaring, mengatur suhu, dan melembabkan udara inspirasi. Juga


mengatur resistensi jalan napas dan sensasi penghidu.
● Respon cepat berupa vasodilatasi akibat pajanan udara dingin akan menimbulkan
kongesti hidung dan rinorea
● Fungsi protektif hidung yaitu mengecap dan menjebak partikel yang masuk ke
nares dengan menggunakan silia dan mukus.
● Silia menyaring partikel benda asing antara 3-35 mm/menit ke ostium alami sinus.
● Pada mukosa hidung terdapat IgA sekretori protein dan enzim yang membantu
memproteksi dari infeksi.
PATOGENESIS

● Rinitis non alergi merupakan mekanisme pertahanan normal yang terjadi secara
berlebihan
● Produksi mukus berlebihan di anterior menyebabkan rinorrhea dan di belakang
menyebabkan post nasal drip.
● Hiperresponsif ini dapat disebabkan karena perubahan struktur dan fungsi dari
mukosa hidung baik akibat faktor genetik ataupun patologis.
● Mekanisme pasti dari rinitis non alergi masih belum jelas
KLASIFIKASI

Rinitis Idiopatik

• Tidak mempunyai etiologi khusus


• Pencetus biasanya berhubungan dengan kondisi lingkungan seperti bau yang
menyengat/ perubahan temperatur, kelembaban atau tekanan barometrik.
• Gejala: sumbatan hidung refrakter dan rinorea yang dominan
• Tes alergi dengan skin prick test atau tes alergen spesifik serum penting dilakukan
untuk menyingkirkan diagnosis rinitis alergi
• Terapi rinitis idiopatik dapat berupa terapi farmakologi dan bedah (antihistamin
intranasal)
KLASIFIKASI
Non-Allergic Rhinitis Eosinophilia Syndrome
(NARES)

• Sindrom klinis dengan gejala berupa bersin, hidung gatal, rinorea, namun tanpa
adanya atopi sistemik, dan ditemukannya eosinofilia pada kerokan hidung
• Patofisiologinya saat ini belum dapat dimengerti, diduga eosinofil dan aktivasi sel
mast memainkan peranan yang penting.
• Terapi dengan kortikosteroid. Steroid oral lebih efektif dari pada steroid topikal.
Antihistamin dikatakan lebih bermanfaat jika dikombinasikan bersama steroid
topikal.
KLASIFIKASI

Rinitis Akibat Kerja (Rinitis Okupasi)

• Penyakit inflamasi pada hidung dengan gejala intermiten maupun


persisten berupa kongesti hidung, bersin, rinorea, dan gatal, dan/atau
hambatan aliran udara hidung dan/atau hipersekresi akibat penyebab dan
kondisi tertentu di lingkungan kerja, serta bukan diakibatkan oleh stimulus
di luar tempat kerja.
KLASIFIKASI
Penyakit
Pernafasan Akibat
Eksaserbasi
Rinitis Akibat Obat Aspirin (AERD)
(Drug Induced
Rhinitis)
Rinitis
Medikamentosa

• Patofisiologi rinitis akibat obat dibagi menjadi tiga kategori yaitu


neurogenik, inflamatori dan idiopatik.
• Obat-obatan pemicu rinitis yang digunakan secara luas antara lain
antihipertensi, pengobatan disfungsi ereksi, dan beberapa farmakoterapi
psikiatri.
KLASIFIKASI

Rinitis Hormonal

• Kongesti hidung dan rinorea terjadi secara sekunder dari peningkatan kadar
estrogen dan progresteron
• Penurunan kadar estrogen dan progesteron setelah melahirkan diketahui memiliki
korelasi yang baik dengan resolusi cepat dari gejala rinitis setelah melahirkan.
• Irigasi salin merupakan metode yang sangat efektif dan digunakan sebagai terapi
lini pertama.
• Nasal cromolyn efektif meredakan gejala rinore, bersin, dan gatal
KLASIFIKASI

Rinitis Autonomik (Rinitis Vasomotor)

• Sistem saraf simpatis hipoaktif lebih berperan daripada sistem parasimpatis


hiperaktif.
• Gejala: respon terhadap stimulus fisik, emosi, dan gustatori.
• Pengobatan menggunakan ipratropium bromida topikal memberikan respon yang
baik.
• Kortikosteroid topikal intranasal dan antihistamin intranasal terbukti juga efektif
dalam mengobati rinitis vasomotor.
KLASIFIKASI

Rinitis Atrofi

• Penyakit hidung akibat gangguan klirens mukosilier


• Gejala : obstruksi hidung berat walaupun pada pemeriksaan rongga hidung sering
ditemukan terbuka lebar
• Penyebab: pembedahan sinus, penyakit granulamatosa kronik trauma nasal berat,
riwayat radiasi pada kepala dan infeksi seperti lepra,TB, sifilis atau rinoskeroma.
• Terapi andalan pada rinitis atrofi adalah dengan NaCl dan debridemen.
KLASIFIKASI

Penyakit sistemik
penyebab Rinitis
nonalergi
KLASIFIKASI

Rinitis pada usia tua (elderly rhinitis)

• Setelah memasuki kehidupan dekade ke enam atau tujuh, terjadi perubahan mukosa
hidung, melemahnya struktur kartilago hidung, dan polifarmasi
• Pasien mengalami pengentalan sekret hidung, krusta, posnasal drip, dahak, berdehem yang
berlebihan, kongesti hidung dan penurunan indra penciuman serta pengecapan dan
merasakan adanya rinore cair yang dipicu oleh makanan, perubahan temperatur, dan
kegiatan olahraga yang lebih mengarah ke rinitis vasomotor.
• Terapi andalannya adalah semprot hidung dan irigasi. Penambahan mukolitik seperti
guaifenesin dapat melancarkan sekresi cairan hidung.
• Obat yang perlu dihindari pada populasi ini adalah antihistamin dan dekongestan.
KLASIFIKASI

Rinitis Gustatori

• Sindroma hipersekresi hidung akibat induksi makanan, yang ditandai dengan onset akut,
berupa rinorea serous, kadang mukoid, yang terjadi segera setelah menelan makanan
tertentu (biasanya makanan panas dan pedas).
• Klasifikasi menjadi 4 subkategori: idiopatik, postraumatik, postsurgikal, dan yang
berhubungan dengan neuropati saraf kranial.
• Penatalaksanaan awal dengan menghidari (avoidance) zat yang dapat menyebabkan
terjadinya rinitis gustatori. Namun jika avoidance tidak mungkin dilakukan, dapat
diberikan antikolinergik intranasal (ipratropium bromide).
DIAGNOSIS

• Tidak ada tes spesifik untuk rinitis non alergi


• Didasarkan pada riwayat dan pemeriksaan fisik.
• pada rinitis non alergi didapatkan mukosa yang kadang eritem dengan sekret
serous.
• Temuan lain dapat berupa konka hipertrofi, dicari kemungkinan adanya polip
nasi, sinusitis, deviasi septum, dan krusta.
• Selanjutnya, pemeriksaan kulit diperlukan untuk melihat adanya penyakit
komorbid seperti dermatitis atopi atau urtikaria.
DIFERENSIAL DIAGNOSIS

1. Rinitis Alergi Lokal (LAR)


2. Kondisi-kondisi yang menyerupai NAR
3. Kebocoran LCS
TATA LAKSANA

1. Intranasal Corticosteroid (INS)


2. Antihistamine intranasal (INA).
3. Antikolinergik Intranasal
4. Dekongestan
5. Irigasi hidung
6. Capsaicin Intranasal
7. Antihistamin generasi ke-2
8. Kortikosteroid sistemik.
9. Terapi Kombinasi
10. Pembedahan
ALERGI IMUNOLOGI
MODUL III.4.1
IMUNOLOGI KOMORBID
RINITIS ALERGI  
KOLEGIUM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG
TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER
Otitis media efusi (OME) merupakan penyakit
inflamasi pada mukosa telinga tengah yang disertai
menumpuknya cairan di ruang telinga tengah
Etiologi dan patogenesis dari OME masih
kontroversial, salah satu di antaranya adalah
hubungan antara alergi dan OME.
OME ditemukan pada 21% pasien dengan rinitis alergi
Peran Imunologi pada Cairan Telinga Tengah

● Ditemukan seluruh kelas immunoglobulin (Ig), yaitu IgA, IgG, IgM, IgD, dan IgE.
● Konsentrasi IgA dan IgG pada cairan mukoid efusi telinga tengah sangat tinggi
dibandingkan dengan yang terdapat pada serum

Peran Alergi pada Patogenesis OME

● Respon inflamasi alergi berupa kompleks antigen-IgE menyebabkan edema,


peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan proses inflamasi dan pada akhirnya
terjadi edema dan obstruksi tuba Eustachius.
● Patomekanisme yang mendasari terjadinya OME terkait dengan alergi adalah
tingginya sitokin Th2
Profil Inflamasi Alergi pada OME

● Dari pemeriksaan efusi telinga tengah


pada pasien OME dengan atopi tersebut
didapatkan kadar eosinofil, limfosit T,
mRNA IL-4, dan IL-5 sangat tinggi,
sedangkan kadar neutrofil dan mRNA
IFN-gamma sangat rendah
Otitis Media tipe Eosinofilik (EOM)

● Otitis Media Efusi rekuren yang tidak lagi respon dengan pengobatan disebut
dengan Otitis Media tipe Eosinofilik (Eosinophilic Otitis Media /EOM)
● karakteristik adanya cairan efusi di telinga tengah berwarna kuning kental
yang mengandung banyak sel eosinofil
● Inflamasi aktif yang terjadi pada eosinofil tersebut ditandai dengan tingginya
ECP
● Terapi antiIgE antibodi (Omalizumab) dapat menghentikan proses perjalanan
EOM.
ALERGI IMUNOLOGI
MODUL III.4.2
PROFIL INFLAMASI TIPE 2
PADA RINOSINUSITIS
KRONIS

KOLEGIUM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER
Rinosinusitis kronis (RSK) merupakan kondisi
inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang
berlangsung selama 12 minggu disertai dengan dua
atau lebih gejala, salah satunya harus ada gejala
obstruksi hidung atau hidung beringus disertai ±
nyeri atau rasa tertekan pada wajah, ± penurunan
atau hilangnya daya penciuman
Rinosinusitis Kronis (RSK)

● Suatu sindroma dengan etiologi multifaktor, yang terjadi akibat kegagalan


interaksi antara berbagai faktor lingkungan dan sistem imun host.
● Respon imun dibagi berdasarkan jenis sitokin yang diproduksi dari sel Th
CD4+. Respons imun terkait Th1 (tipe 1) akan mensekresi IFN􏰘, IL-2 dan
memediasi respon imun selular, sedangkan respon imun terkait Th2 (tipe 2)
akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan akan menginduksi respon imun
humoral.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai