Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

MANAGEMENT PERIOPERATIF

Pembimbing:
dr. Yopi Budiman, Sp. B

Disusun oleh :
Stevani 112018159

KEPANITERAN KLINIK ILMU BEDAH


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RSUD CENGKARENG
PERIODE PERIODE : 23 November 2020 - 2 Januari 2020
BAB I
PENDAHULUAN

Manegement perioperatif terdiri dari evaluasi pasien prabedah serta pemantauan dan
perawatan pasien intra bedah dan pasca bedah. Ada tiga faktor penting yang terkait dalam
pembedahan, yaitu penyakit yang diderita pasien, jenis pembedahan yang dilakukan, dan
pasien itu sendiri. Dari ketiga faktor tersebut, faktor pasien merupakan hal yang paling
penting, karena bagi penyakit tersebut tindakan pembedahan adalah hal yang baik atau benar,
namun bagi pasien sendiri, pembedahan mungkin merupakan hal yang paling mengerikan
yang pernah mereka alami. Mengingat hal tersebut diatas, maka sangatlah penting untuk
melibatkan pasien dalam setiap langkah-langkah perioperatif. Tindakan management
perioperatif yang berkesinambungan dan tepat akan sangat berpengaruh terhadap suksesnya
pembedahan dan kesembuhan pasien.1
Setiap pasien yang akan menjalani pembedahan idealnya perlu dipersiapkan dahulu
agar risiko pembedahannya berkurang dan penyulit pasca bedah dapat dicegah. Evaluasi
prabedah dilakukan untuk mengetahui segala masalah medis pada pasien, menentukan
perlunya informasi tambahan untuk menentukan status medis, kontraindikasi operasi dan
toleransi pasien terhadap tindakan bedah, memastikan kelayakan prosedur yang
direncanakan, serta menetapkan waktu pembedahan. Persiapan pembedahan bertujuan untuk
memperoleh informasi yang relevan dengan kepentingan pengolahan pembedahan,
merencanakan tindakan pembedahan dan pengolahan pasca bedah, serta menyiapkan rencana,
masalah pembedahan dan informed consent kepada pasien. Selain itu, dengan adanya
management perioperatif yang baik dapat meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan
terjadi pada pasien selama dan sesudah tindakan bedah dilaksanakan.2

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Management Prabedah


2.1.1 Hal - Hal yang Dibutuhkan pada Tindakan Bedah
Pasien sering datang ke dokter bedah dengan diagnosis suspek bedah dan dengan
hasil pemeriksaan tambahan. Dalam konteks ini, pertemuan awal dokter bedah dengan pasien
mungkin sebagian besar diarahkan ke konfirmasi temuan fisik yang relevan dan meninjau
catatan kesehatan dan laboratorium serta hasil test yang mendukung diagnosis. Rekomendasi
mengenai perlunya tindakan intervensi bedah dapat dibuat oleh dokter bedah dan
didiskusikan dengan pasien dan keluarga pasien. Penentuan perlunya melakukan pemeriksaan
tambahan atau pertimbangan pilihan terapi alternatif dapat menunda keputusan untuk
intervensi bedah dari pertemuan awal ini ke lain waktu. Hal ini penting bagi dokter bedah
untuk menjelaskan mengenai penyakit dan perbedaan kelebihan tiap jenis intervensi bedah,
pemeriksaan lebih lanjut, kemungkinan tindakan non bedah jika memungkinkan, dan apa
yang akan terjadi jika tindakan intervensi tidak dilakukan.3
Pendekatan yang dilakukan dokter bedah kepada pasien dan keluarga selama
pertemuan awal berlangsung harus dapat menumbuhkan kepercayaan dan keterbukaan dalam
komunikasi diantara semua pihak. Sebuah pendekatan yang professional dan tidak terburu-
buru harus dilakukan, dengan menyediakan waktu untuk mendengarkan dan menjawab setiap
kekhawatiran yang diutarakan oleh pasien dan keluarganya. Pertemuan awal dokter bedah
dengan pasien harus membuat pasien mengerti mengenai informasi dasar tentang proses
penyakit yang dideritanya, dan kebutuhan tentang pemeriksaan lanjutan dan kemungkinan
tindakan bedah.3

2.1.2 Pembuatan Keputusan Prabedah


Saat proses pembuatan keputusan, banyak pertimbangan yang harus dipikirkan
mengenai waktu tindakan yang dibutuhkan dan letak pembedahan dilakukan, jenis tindakan
anestesi, pentingnya persiapan prabedah untuk memahami resiko yang dimiliki pasien dan
untuk mendapatkan hasil yang optimal. Komponen penilaian resiko ini masuk ke dalam
tindakan perioperatif meliputi persiapan prabedah, sampai dengan 48 jam pasca bedah dan
mengidentifikasi faktor yang dapat berkontribusi terhadap morbiditas pasien saat periode ini.3

3
2.1.3 Evaluasi Prabedah
Tujuan evaluasi prabedah bukan untuk tindakan penapisan secara luas terhadap
penyakit yang tidak terdiagnosis tetapi untuk mengidentifikasi dan memperkirakan setiap
faktor komorbid yang dapat mempengaruhi hasil tindakan bedah. Evaluasi ini didorong
dengan penemuan catatan kesehatan dan pemeriksaan fisik sugestif terjadinya disfungsi
sistem organ atau dari data epidemiologi yang menunjukkan manfaat evaluasi berdasarkan
usia, jenis kelamin, atau perkembangan pola penyakit. Tujuannya adalah untuk mengungkap
masalah yang mungkin memerlukan tindakan pemeriksaan lebih lanjut atau dapat
mengoptimalkan tindakan prabedah (Tabel 2-1).3

Tabel 2-1. Suggestions for Adult Preoperative Testing3

Evaluasi prabedah menentukan risiko prosedur yang direncanakan (rendah, sedang,


atau tinggi), rencana teknik anestesi, dan rencana terapi pasien pasca bedah (rawat jalan atau
rawat inap, bangsal, atau perawatan intensif). Sebagai tambahan, evaluasi prabedah
digunakan untuk mengidentifikasi faktor resiko morbiditas dan mortalitas pasien pasca
bedah. Dengan telah dapat diterimanya program ini secara umum untuk menilai penyesuaian
faktor resiko dan meningkatkan hasil bedah, the American College of Surgeons National
Surgical Quality Improvement Program (ACS NSQIP) telah digunakan untuk

4
mengembangkan model prediktif untuk menilai morbiditas dan mortalitas, dan beberapa
faktor secara konsisten ditemukan menjadi prediktor independen pasca bedah.3
The ACS NSQIP telah divalidasi sebagai alat bantu dengan kualitas sangat baik
untuk mengukur pengaruh faktor risiko yang dimiliki pasien terhadap hasil tindakan bedah
yang dilakukan dan memungkinkan rumah sakit untuk membandingkan hasil mereka dengan
hasil koleganya. Memahami risiko tindakan bedah sangat penting bagi pasien dan dokter
bedah dalam proses pengambilan keputusan. Informed consent memberikan pasien
pemahaman yang mendalam tentang risiko yang mungkin terjadi akibat tindakan bedah yang
akan dijalaninya. Selama ini prediksi resiko pasca bedah dan identifikasi pasien dengan risiko
tinggi atas tindakan yang merugikan masih dilakukan secara tradisional berdasarkan
pengalaman masing-masing dokter bedah dan ditambah dengan literatur yang dipublikasikan
oleh institusi pendidikan tunggal atau berdasarkan uji klinis.3
The ACS NSQIP mengumpulkan data klinis dengan standar kualitas tinggi
mengenai faktor risiko pre bedah dan komplikasi pasca bedah yang berasal lebih dari 500
rumah sakit di United States. Data ini digunakan untuk menyediakan hasil perbandingan yang
disesuaikan dengan faktor resiko dalam 30 hari bagi rumah sakit. Penggunaannya akan
dimaksudkan untuk mengedukasi pasien dan memfasilitasi pembuatan keputusan untuk
rencana tindakan bedah pada pasien rawat inap atau mendiskusikan risiko tindakan bedah
kasus yang lebih gawat atau darurat pada pasien rawat jalan.3

2.1.4 Universal Surgical Risk Calculator


The ACS NSQIP surgical risk calculator adalah perangkat pendukung bersumber
dari data klinis multi institusi yang dapat dipercaya, yang dapat digunakan untuk
memperkirakan risiko sebagian besar tindakan bedah.4 Tujuan dari the ACS NSQIP surgical
risk calculator adalah untuk menyediakan secara akurat informasi risiko pasien secara
spesifik untuk memandu pengambilan keputusan dan meminta persetujuan tindakan bedah.
The risk calculator menggunakan 21 prediktor pasien (contohnya usia, ASA class, indeks
massa tubuh, hipertensi) dan prosedur yang direncanakan (kode prosedur terminologi saat ini)
untuk memprediksi kemungkinan yang akan pasien dapatkan dari sembilan hasil yang
berbeda dalam 30 hari pasca bedah (Tabel 2-2).3 Hasilnya sebagai berikut:
 Meninggal
 Segala bentuk komplikasi akibat infeksi ditempat sayatan superficial (superficial
incisional surgical site infection/SSI), SSI insisi dalam, SSI ruang antar organ,

5
gangguan pada luka, pneumonia, intubasi tak terencana, emboli paru, penggunaan
ventilator lebih dari 48 jam, insufisiensi ginjal yang progresif, gagal ginjal akut,
infeksi saluran kemih, stroke, henti jantung, infark miokard, trombosis vena dalam
proksimal, sepsis sistemik.
 Komplikasi serius yang berujung kematian, henti jantung, infark miokard,
pneumonia, insufisiensi ginjal yang progresif, gagal ginjal akut, emboli paru,
trombosis vena dalam, tindakan bedah ulang, SSI insisi dalam, SSI ruang antar
organ, sepsis sistemik, intubasi tak terencana, infeksi saluran kemih, gangguan
pada luka.
 Pneumonia
 Henti jantung atau infark miokard
 SSI
 Infeksi saluran kemih
 Venous thromboembolism (VTE) / trombosis vena dalam
 Gagal ginjal (insufisiensi ginjal yang progresif atau gagal ginjal akut).

The risk calculator dibuat menggunakan data yang dikumpulkan berasal lebih
dari 1.4 juta tindakan bedah dari 393 rumah sakit yang berpartisipasi dalam the ACS NSQIP
selama periode 2009-2012. Memasukkan informasi pasien yang paling lengkap dan akurat
untuk menyediakan informasi resiko yang paling presisi. Namun, perkiraan ini masih dapat
diperhitungkan jika sebagian informasi pasien tidak diketahui.3
Jika evaluasi prabedah mengungkapkan tingkat komorbiditas yang signifikan
atau bukti kontrol yang buruk dari proses penyakit yang mendasari, konsultasi dengan dokter
penyakit dalam atau dokter subspesialis mungkin diperlukan untuk memfasilitasi
pemeriksaan dan tindakan tatalaksana langsung. Dalam proses ini, komunikasi diantara
dokter bedah dan dokter konsultan sangat penting untuk menentukan tujuan yang realistis
dalam mengoptimalkan proses ini dan mempercepat tatalaksana bedah.3

6
Tabel 2-2. ACS NSQIP Variable Used in the Prior Colon-Specific and the New Universal Surgical
Risk Calculators3

Untuk semua pasien, risiko umum mereka harus dikategorikan menggunakan


klasifikasi ASA, yang merupakan sistem utama pengkategorian risiko. Yang memiliki enam
kategori:
I. Pasien sehat
II. Pasien dengan penyakit sistemik ringan
III. Pasien dengan penyakit sistemik berat yang menganggu aktivitas
namun tidak menyebabkan kelumpuhan.
IV. Pasien yang memiliki penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan
dan secara terus menerus mengancam jiwa.
V. Pasien yang diperkirakan tidak akan bertahan dalam 24 jam dengan atau
tanpa tindakan bedah.
VI. Pasien yang telah dinyatakan mengalami mati otak yang sedang dalam
proses ekstraksi organ untuk tujuan donor.

7
Huruf “E” ditambahkan ke semua daftar pengelompokan diatas untuk tindakan
bedah emergensi. Meskipun sistem ini terlihat subjektif, namun terus menjadi prediktor
independen yang signifikan untuk tingkat mortalitas. Meskipun penggunaan the ASA class
harus digunakan untuk tiap pasien, penilaian risiko yang lebih mendalam sebaiknya
dilakukan untuk prosedur yang lebih sulit.3

2.1.5 Prediktor Mortalitas Prabedah


Perkiraan resiko kematian yang akurat dapat membantu pasien dan dokter untuk
membuat keputusan dan menentukan harapan.5 Variasi sistem skoring untuk memperkirakan
angka mortalitas perioperatif telah dilaporkan dalam literatur, beberapa diantaranya the
Physiologic and Operative Severity Score for the enumeration Mortality and Morbidity,
Surgical Risk Score, Biochemistry and Haematology Outcome Models.6 Acute Physiology
and Chronic Health Evaluation (APACHE II score tidak memprediksi kegagalan multiorgan
atau angka mortalitas pasca bedah pada pasien yang menjalani tindakan bedah), Cleveland
Clinic Foundation Colorectal Cancer Model,7 dan the French Association of Surgery
colorectal scale.8,9 Namun demikian, skor-skor ini tidak mudah untuk dihitung pada orang
sakit. Tidak ada dari sistem skoring ini yang memiliki kemampuan untuk memprediksi
kematian atau ketahanan hidup dengan akurat semata-mata berdasarkan dari variabel
perioperatif, dan sistem-sistem skoring tersebut tidak menjelaskan variabilitas dalam hasil
perioperatif.3
The ACS NSQIP database telah ditetapkan oleh lembaga medis United States
sebagai yang terbaik untuk mengukur dan melaporkan kualitas dan hasil tindakan bedah. The
ACS NSQIP menilai kualitas bedah lebih dari 500 rumah sakit di United States dengan
mengumpulkan data terperinci pada faktor risiko prabedah dan angka morbiditas dan
mortalitas pasca bedah. Prosedur terkomputerisasi yang komprehensif dan memastikan
integritas data audit di tempat. The ACS NSQIP juga memiliki prediktor mortalitas terapi
pasca bedah (postdischarge mortality predictor /PMP). The PMP adalah alat yang akurat,
simpel, efektif, dan bermakna klinis untuk mengukur risiko kematian perioperatif hanya
menggunakan variabel prabedah. Risiko dapat dengan mudah diukur di tempat tidur pasien
tanpa menggunakan hasil pemeriksaan laboratorium. Penggunaan PMP akan memberikan
dokter kemampuan untuk melaporkan risiko kematian dengan akurat untuk jangkauan luas
pada pasien yang menjalani tindakan bedah umum yang direncanakan dan tindakan bedah
emergensi umum. Hal tersebut dapat membantu dalam menyediakan informasi akurat tentang
risiko kematian dan dalam memperoleh persetujuan atau informed consent. Selain menjadi

8
alat konseling yang bermanfaat, the PMP dapat menyediakan data tentang kinerja dokter
bedah dan rumah sakit.3

Tabel 2-3. Characteristics Associated With 30-Day Mortality in 202.741 Patients3

Status pasien rawat inap memiliki kontibusi terbesar untuk PMP score (Tabel 2-3
dan Tabel 2-4). Praktik bedah rawat jalan meningkat di United States, tetapi tindakan bedah
rawat inap masih tetap dibutuhkan untuk pasien yang sakit dan untuk tindakan bedah yang
lebih rumit. Status pasien rawat jalan memungkinkan pasien untuk terkena hospital-acquired
infection, yang berkontribusi secara langsung terhadap terjadinya kematian. Usia lanjut secara
independen memprediksi kematian atau ketahanan hidup. Status fungsi yang buruk dan “do-
not-resuscitate” secara langsung menjadi prediktor kematian independen. Kondisi medis
komorbid, seperti masalah jantung, disfungsi paru, dan kelainan perdarahan, juga prediktor
kematian independen. Optimalisasi tindakan prabedah pada kondisi ini dapat menjadi jalan
untuk mengurangi risiko. Sepsis merupakan prediktor kematian independen. Angka
mortalitas yang berhubungan dengan tindakan laparoskopi emergensi lebih tinggi daripada

9
angka mortalitas pada tindakan bedah yang direncanakan. Penggunaan steroid pada fase
prabedah merupakan prediktor kematian independen. Adanya kanker yang sudah mengalami
metastasis juga merupakan prediktor kematian independen. Kompleksitas bedah hanya
prediktif minimal dan hanya dalam prosedur yang sangat kompleks, seperti pancreatectomi
(Tabel 2-3 dan 2-4).3

Tabel 2-4. 30-Point Bedside Preoperative Mortality Predictor Scoring System 3

2.1.6 Pendekatan Organ dan Sistem Organ


Sebelum pembedahan dengan anestesi umum dimulai, lambung harus dalam
keadaan kosong karena apabila tidak, maka akan mudah terjadi refluks esofagus, terutama
ditahap awal anestesi. Refluks esofagus menyebabkan terjadinya aspirasi isi lambung yang

10
merupakan penyulit berbahaya karena dapat menimbulkan pneumonia yang tidak mudah
diatasi. Oleh sebab itu, pasien dipuasakan makanan padat minimal lima jam sebelum
pembedahan elektif.2
Kulit, khususnya didaerah lapangan operasi, harus dalam keadaan bersih. Penderita
harus mandi atau dimandikan dengan sabun atau larutan antiseptik, seperti klorheksidin atau
larutan yang mengandung yodium, selain itu kulit harus bebas dari adanya infeksi.2
Suhu badan sebaiknya dipertahankan normal. Karena kondisi demam meningkatkan
metabolisme pasien dan menghabiskan lebih banyak zat asam sehingga iritabilitas miokard
meningkat dan keadaan syok tidak dapat dikompensasi seperti biasa. Suhu harus diturunkan
dahulu, misalnya dengan sediaan salisilat. Hipotermia di bawah 34,50C juga berisiko karena
metabolisme berlangsung terlalu lambat sehingga, misalnya terjadi pembekuan darah
melambat. Takikardi dapat terjadi pada syok sehingga penderita terancam mengalami fibrilasi
ventrikel. Pada hipotermia harus dihangatkan dahulu secara perlahan dengan selimut hangat
atau dimandikan dengan air hangat 400C. Suhu air harus dipantau karena suhu air 42,20C
dapat mengakibatkan luka bakar.2
Syok harus diatasi sebelum pembedahan. Pada keadaan tertentu, seperti perdarahan
masif, tekanan darah tidak dapat dinaikkan sehingga terpaksa dilakukan pembedahan darurat
dalam keadaan syok untuk menghentikan perdarahan. Sebaliknya, hipertensi pun harus
dikoreksi sebelum pembedahan; tekanan diastolik diusahakan dibawah 100mmHg; jika
mungkin, dibawah 90 mmHg.2
Diuresis menjadi petunjuk penting keseimbangan cairan pasien. Jika diuresis
mencapai 30mL/jam, lidah lembab, mukosa lain tampak basah, dan turgor kulit baik, hidrasi
penderita dapat dianggap memadai. Gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa juga
harus dikoreksi. Pada penderita diabetes melitus, kalau perlu dikoreksi kadar gula dan
ketoasidosisnya.2
Perokok harus berhenti merokok setidaknya seminggu sebelum operasi. Karena
rokok dapat melumpuhkan silia mukosa dan meningkatkan sekresi jalan napas sehingga
proses pembersihan jalan napas sangat terganggu. Selain itu sering juga dijumpai gangguan
faal hati seperti hypoalbuminemia, anemia, dan gangguan pembekuan darah sehingga
gangguan ini sedapat mungkin dikoreksi.2

2.1.7 Prosedur Tambahan yang Diperlukan Pada Prabedah


2.1.7.1 Status Nutrisi

11
Evaluasi status nutrisi pasien adalah bagian dari evaluasi prabedah. IMT kurang dari
18,5 kg/m2, kadar albumin serum kurang dari 3 g/dL, dan penurunan berat badan lebih dari
10% sampai 15% selama periode 6 bulan merupakan temuan yang signifikan. Pemeriksaan
status protein pada pasien bedah sangat penting dan hal tersebut dipengaruhi oleh asupan
oral, penyerapan pada gastrointestinal, massa otot, dan lamanya sakit yang diderita saat ini,
atau infeksi. Derajat malnutrisi diperkirakan berdasarkan penurunan berat badan, temuan
fisik, dan penilaian kadar protein plasma. Adekuatnya pemberian nutrisi dapat dikonfirmasi
dengan banyak petanda serum. Komponen serum ini tidak secara langsung mengindikasikan
status nutrisi, tapi komponen serum tersebut mencerminkan keparahan penyakit dan dapat
digunakan bersama dengan penemuan-penemuan klinis lain. Kadar abumin (waktu paruh
terlama, 18 sampai 20 hari), transferrin (waktu paruh sedang, 8 sampai 9 hari), dan
prealbumin (transthyretin; waktu paruh tersingkat, 2 sampai 3 hari) dapat diperiksa secara
teratur pada pasien rawat inap. Kadar serum albumin yang rendah (<2.2 g/dL) adalah petanda
keadaan katabolik negatif dan merupakan petanda hasil yang buruk.10
Kadar serum transferrin mencerminkan keadaan protein dan simpanan besi di tubuh.
Kadar transferrin yang rendah harus dipertimbangkan sebagai indikator terjadinya defisiensi
protein hanya pada studi dengan kadar serum besi yang normal. Serum peralbumin berespon
dengan cepat pada awal terjadinya malnutrisi, dan kadarnya bertambah dengan cepat dengan
asupan protein yang adekuat. Meskipun demikian, kadar prealbumin dipengaruhi dan tidak
membantu dalam penilaian keadaan nutrisi secara menyeluruh oleh keadaan inflamasi akut
maupun kronik atau penyakit ginjal atau penyakit hati.3
Protein-protein ini responsif terhadap kondisi stress, dan pembentukkannya dapat
dihambat pada periode perioperatif segera. Ketika seorang pasien dalam keadaan rejimen
yang stabil dan dalam pemulihan fase anabolik, penanda-penanda ini mencerminkan
adekuatnya upaya pemberian nutrisi. Efek dari dukungan nutrisi pada perioperatif terhadap
hasil telah diteliti dalam banyak percobaan. Pasien dengan malnutrisi berat seperti yang
diperjelas oleh kombinasi penurunan berat badan, indikator protein viseral, dan indeks
prognostik tampak bersepon baik dengan tindakan pemberian nutrisi prabedah (enteral, jika
memungkinkan). Pasien dengan keadaan nutrisi yang baik yang menjalani tindakan bedah
tidak mendapat manfaat dari tindakan dukungan nutrisi secara agresif pada periode
perioperatif. Umumnya, dukungan nutrisi dimulai dalam 7 sampai 10 hari setelah tindakan
bedah pada pasien yang tidak dapat memulai kembali diet normal mereka. Pengecualian pada
korban trauma (termasuk korban luka bakar), yang karena keadaan katabolik menetap, lebih

12
baik lakukan pemberian dukungan nutrisi yang lebih awal untuk mengantisipasi terjadinya
kekurangan nutrisi karena mereka tidak dapat melakukan intake oral dalam beberapa hari.3

2.1.7.2 Intervensi Nutrisi


Intervensi nutrisi dapat termasuk suplementasi oral, enteral feeding (selang), atau
parenteral feeding (intravena). Untuk semua pasien, rute enteral feeding lebih disarankan
karena aman, relatif simpel, mengurangi komplikasi, biaya rendah, dan kemampuan untuk
menjaga fungsi barrier mukosa. Meskipun demikian, dalam keadaan dimana seorang pasien
tidak dapat mentoleransi tindakan enteral feeding atau mereka dikontraindikasikan, dapat
diganti dengan penggunaan rute parenteral.3
Tindakan enteral feeding pasca bedah yang lebih dini dilakukan dapat mengurangi
insiden komplikasi berupa infeksi dan merupakan bagian dari most enhanced recovery after
surgery (ERAS) protocols.11 ERAS juga dikenal sebagai “fast-track” programs, merupakan
protokol perawatan berbasis bukti yang dikembangkan oleh the ERAS society. ERAS
dirancang untuk menstandarisasi pelayanan medis untuk mengurangi biaya pelayanan
kesehatan dan memperbaiki hasil secara menyeluruh. The ERAS protocol menjelaskan alur
pelayanan perioperatif dengan rekomendasi untuk perawatan pasien pada berbagai langkah
dalam proses perioperatif. Sekitar 20 elemen pelayanan telah menunjukkan pengaruhnya
terhadap lamanya perawatan dan terjadinya komplikasi pasca bedah.3
Jalur strategi prabedah termasuk konseling sebelum perawatan; pemasukan cairan
dan karbohidrat; profilaksis antibiotik; tromboprofilaksis; dan mengurangi pemanjangan
waktu puasa, persiapan mekanisme usus, atau sebelum pengobatan. Kebijakan puasa adalah
untuk mengurangi risiko terjadinya aspirasi dari isi lambung selama tindakan anestesi umum.
Petunjuk pelayanan telah ditetapkan oleh ASA untuk puasa prabedah. Direkomendasikan
puasa selama 8 jam atau lebih setelah memakan makanan yang digoreng atau makanan
berlemak atau daging dan puasa selama 6 jam atau lebih setelah makan makanan ringan,
nonhuman milk, atau susu formula untuk bayi. ASA merekomendasikan puasa setidaknya 2
jam setelah minum air putih, termasuk obat.12 Pendekatan puasa ini membantu menghindari
gejala dehidrasi, hipoglikemia, atau kecanduan kafein. Banyak “fasct-track” protocols
menyarankan meminum minuman tinggi karbohidrat 2 jam sebelum tindakan bedah untuk
mengubah keadaan pasien dari “puasa” ke “makan” menurunkan sebab terjadinya resistensi
insulin pasca bedah. Terdapat ketebatasan bukti untuk mendukung prosedur minum minuman
tinggi karbohidrat pada pasien yang menjalani tindakan bedah kolon yang direncanakan.3

13
Strategi intra bedah termasuk menjaga keadaan normotermia (menghangatkan
badan/pemberian cairan intravena yang hangat) dan menggunakan agen anestesi yang bersifat
short-acting, anestesi midthoracic epidural, manejemen cairan, dan teknik bedah invasif
minimal. Strategi pasca bedah termasuk mencegah dan menghilangkan nyeri khususnya
dengan penggunaan anestesi opioid oral; menghindari pemasangan selang nasogastrik, mual
dan muntah, atau kelebihan cairan; dan pemindahan dini, melepaskan kateter urin, dan nutrisi
enteral. Program “fasct-track” menyarankan mulai dengan asupan air putih dalam beberapa
jam pasca bedah, diikuti dengan minuman tinggi kalori untuk meminimalkan terjadinya
gangguan keseimbangan protein pasca bedah.3

2.1.7.3 Obesitas
Angka mortalitas perioperatif bertambah secara signifikan pada pasien dengan
obesitas berat secara klinis (IMT >40 kg/m2 atau >35 kg/m2 dengan kondisi komorbid yang
signifikan). Tujuan evaluasi prabedah pada pasien yang mengalami obesitas adalah untuk
mengidentifikasi faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada pasien saat perawatan
perioperatif. Obesitas berat secara klinis berhubungan dengan frekuensi yang lebih tinggi dari
hipertensi esensial, hipertensi pulmonal, hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung kongestif, dan
penyakit jantung iskemik. Pasien obesitas memiliki peningkatan risiko untuk terjadinya
kejadian yang merugikan pada sistem kardiovaskular pada saat tindakan bedah non kardiak.
AHA telah merekomendasikan untuk setidaknya melakukan rongten dada dan pemeriksaan
EKG 12 lead pada semua pasien obesitas dengan setidaknya memiliki satu faktor risiko untuk
penyakit jantung koroner (diabetes, merokok, hipertensi, atau hiperlipidemia) atau toleransi
yang buruk terhadap exercise. Obesitas juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya infeksi
luka pasca bedah. Tingkat kejadian infeksi luka lebih rendah dengan tindakan bedah
laparoskopi pada kelompok ini. Obesitas merupakan faktor risiko independen untuk
terjadinya trombosis vena dalam dan emboli paru, dan profilaksis yang sesuai dibutuhkan
oleh pasien obesitas.3

2.1.8 Ceklist Prabedah


Evaluasi prabedah diakhiri dengan meninjau semua hal yang bersangkutan dan
mengumpulkan informasi dari hasil pemeriksaan. Tinjauan didokumentasikan dalam bentuk
bagan, yang mewakili kesempatan untuk meyakinkan bahwa semua hal penting dan data
yang dibutuhkan telah terkumpul dan disajikan dengan baik. Informed consent yang diberikan
pada pasien dan anggota keluarga pasien mengenai indikasi untuk tindakan bedah dan

14
risikonya dan memberitahukan manfaatnya didokumentasikan dalam bagan. Ceklist prabedah
juga memberi dokter bedah kesempatan untuk meninjau perlunya penggunaan beta bloker,
profilaksis untuk kejadian trombosis vena dalam, dan antibiotik profilaksis.3
Tindakan prabedah ditulis dan ditinjau. Pasien menerima instruksi tertulis
mengenai waktu tindakan bedah dan tindakan perioperatif pada keadaan khusus seperti puasa,
persiapan pada usus, dan penggunaan obat-obatan.3

2.1.8.1 Antibiotik Profilaksis


Penggunaan antibiotik profilaksis yang sesuai dalam tindakan bedah berdasarkan
jenis patogen yang sering ditemui saat tindakan bedah. Klasifikasi luka yang diperkirakan
dari tindakan bedah elektif (Tabel 2-6) membantu untuk memutuskan penggunaan spektrum
antibiotik yang sesuai dan melakukan pertimbangan sebelum memesan dan meresepkan jenis
obat-obatan prabedah. Antibiotik profilaksis tidak secara umum dibutuhkan untuk kasus
bersih (class I) kecuali pada keadaan pemasangan prostesis (bagian tubuh buatan) di dalam
tubuh atau ketika melakukan tindakan sayatan tulang. Pasien yang menjalani tindakan untuk
kasus kelas II mendapat manfaat dari penggunaan antibiotik dosis tunggal yang sesuai
diberikan sebelum melakukan sayatan kulit. Untuk kasus-kasus abdomen (hepatobilier,
pankreas, gastroduodenal), umumnya menggunakan cefazolin. Kasus kontaminasi (kelas III)
membutuhkan persiapan mekanis atau antibiotik parenteral dengan spektrum aerob dan
anaerob. Kasus kotor atau terinfeksi sering membutuhkan spektrum antibiotik yang sama,
yang dapat dilanjutkan ke periode pasca bedah dalam keadaan infeksi yang masih
berlangsung atau terapi yang tertunda (Tabel 2-7).3

Tabel 2-6. Surgical Wound Classifications as Defined by ACS NSQIP3

Tabel 2-7. Analysis of Postoperative Surgical Site Infections Stratified by Wound Classification
(Traditional versus ACS NSQIP)3

15
2.1.8.2 Riwayat Penggunaan Obat-obatan
Meninjau dengan cermat tentang obat-obatan yang dikonsumsi pasien di rumah
adalah bagian dari evaluasi prabedah sebelum setiap tindakan bedah; tujuannya untuk
penggunaan obat-obatan yang dapat mengontrol keluhan medis pasien dengan baik, sambil
meminimalkan faktor yang berhubungan dengan interaksi obat anestesi atau hematologi atau
efek metabolik dari penggunaan beberapa obat dan terapi bulanan. Tanyakan kepada pasien
semua nama obat, termasuk obat-obatan dari dokter pskiatri, hormonal, dan obat alternatif
ataupun herbal, dan dosis yang gunakan dan frekuensi penggunaannya.3
Umumnya, pasien menggunakan obat-obat jantung termasuk beta bloker dan
antiaritmia, obat-obat paru seperti obat-obatan berbentuk sediaan inhalasi atau nebulasi,
antikonvulsan, antihipertensi, atau obat-obat psikiatri yang dianjurkan untuk mereka
konsumsi menggunakan sedikit air pada pagi hari sebelum tindakan bedah. Bentuk parenteral
atau penggantinya tersedia untuk banyak obat dan dapat digunakan jika pasien tetap NPO
(Nil Per Os or nothing by mouth) pada setiap periode pasca bedah yang signifikan. Penting
untuk mengembalikan pasien ke sediaan obat-obatan yang biasa mereka gunakan secepat
mungkin. Dua contoh penting adalah penambahan angka morbiditas kardiovaskular yang
berhubungan dengan penghentian penggunaan beta bloker dan terjadinya rebound
hypertension dengan penghentian secara tiba-tiba obat antihipertensi klonidin. Obat-obatan
misalnya agen penurun lipid atau vitamin dapat dihentikan pada hari pelaksanaan tindakan
bedah.3
Beberapa obat berhubungan dengan kenaikan risiko terjadinya perdarahan
perioperatif dan dihentikan penggunaannya sebelum tindakan bedah. Obat-obatan yang
mempengaruhi fungsi platelet dihentikan untuk waktu yang tidak ditentukan; clopidogrel
(Plavix) dihentikan penggunaannya selama 7 sampai 10 hari, sedangkan OAINS dihentikan
penggunaannya selama 1 hari (ibuprofen dan indometasin) dan 3 hari (naproxen dan
sulindak), bergantung pada waktu paruh obat. Karena penggunaan estrogen dan tamoxifen
telah berhubungan dengan peningkatan risiko untuk terjadinya tromboemboli, mereka
mungkin butuh dihentikan penggunaannya selama 4 minggu sebelum tindakan bedah.14

16
2.1.8.3 Puasa Prabedah
Standar permintaan tindakan “NPO past midnight” pada pasien prabedah adalah
berdasarkan teori pengurangan volume dan cairan asam lambung selama tindakan bedah.
Aspirasi dapat terjadi selama tindakan semua jenis anestesi pada pasien yang tidak menjalani
puasa karena efek dari anestesi dan obat-obatan sedatif yang menurunkan reflef protektif
jalan napas. Pedoman telah merekomendasikan sebuah perubahan untuk mengizinkan periode
pembatasan asupan cairan hingga beberapa jam sebelum tindakan bedah. The ASA
merekomendasikan bahwa pasien dewasa berhenti makan makanan padat setidaknya selama
6 jam dan air putih selama 2 jam. Ketika kepustakaan ditinjau oleh the Cochrane group,
mereka menemukan 22 percobaan pada pasien dewasa sehat yang berasal dari 38
perbandingan terkontrol.14 Tidak ada dasar bahwa volume atau pH isi lambung yang berbeda
terhadap lamanya dan jenis tindakan puasa. Meskipun tidak dilaporkan pada semua
percobaan, tampaknya tidak ada peningkatan risiko terjadinya aspirasi atau regurgitasi
dengan mempersingkat waktu puasa. Sangat sedikit percobaan yang meneliti puasa rutin pada
pasien dengan risiko tinggi terjadinya regurgitasi atau aspirasi (pasien hamil, pasien usia tua,
pasien obesitas, atau pasien dengan penyakit perut). Telah terdapat juga peningkatan bukti
bahwa suplementasi karbohidarat prabedah aman dilakukan dan dapat memperbaiki respon
pasien terhadap stress perioperatif.14

2.1.9 Hal-hal Potensial yang Dapat Mengganggu Kestabilan Kondisi Pasien Saat
Tindakan Bedah Berlangsung
Seorang pasien yang menjalani tindakan anestesi dapat memiliki gangguan
fisiologis yang membutuhkan tatalaksana. Beberapa gangguan ini dapat bersifat dramatis dan
membutuhkan tindakan segera; lainnya masih dapat dilakukan pemeriksaan sebelum
pemberian terapi awalan. Gangguan ini biasanya karena sifat dasar dari jantung atau paru itu
sendiri atau berhubungan dengan tindakan anestesia.3

2.1.9.1 Infark Miokard


Telah diperkirakan bahwa 1.5% pasien yang menjalani tindakan bedah non kardiak
mengalami infark miokard perioperatif.14 Beberapa kejadian ini terjadi di dalam ruang bedah.
Gejala khasnya adalah perubahan EKG onset baru, disritmia, atau hipotensi. Jika pasien
memiliki status hemodinamik yang baik dan tidak ada bukti penurunan perfusi, biasanya

17
tindakan bedah dapat diselesaikan. Namun, harus dilakukan penghentian tindakan apabila
terdapat bukti ketidakstabilan dan lakukan evaluasi jantung. Teknik penutupan abdomen
sementara dapat digunakan, jika diperlukan. Keputusan intervensi pada infark miokard harus
dibuat bersama dengan dokter spesialis jantung.3

2.1.9.2 Emboli Paru


Berdasarkan prosedurnya, emboli paru dapat menjadi penyebab yang signifikan
terhadap ketidakstabilan intra bedah. Telah diperkirakan bahwa 2% pasien yang menjalani
tindakan bedah panggul mengalami serangan emboli paru saat tindakan. Tanda-tanda
terjadinya emboli paru intra bedah termasuk takikardi yang baru terjadi, bukti dari payah
jantung kanan, hipotensi, dan kolaps kardiovaskular komplit. Terjadinya serangan mendadak,
diagnosis cepat dan pengobatan sangat penting.3
Ekokardiografi transesofagus umum digunakan di dalam ruang bedah.
Ekokardiografi transesofagus intra bedah dapat digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya
emboli paru secara langsung atau memperlihatkan efek fisiologis pada fungsi jantung dan
membantu menyimpulkan diagnosis.14 Disfungsi ventrikel kanan, trikuspid regurgitasi, dan
penurunan ruang kiri dari septum intraatrium adalah temuan-temuan khas. Jika diduga terjadi
emboli, tatalaksananya berdasarkan atas stabilitas pasien. Jika pasien tidak stabil, tindakan
harus dihentikan dan lakukan usaha penanganan terhadap emboli paru. Beberapa usaha yang
dapat dilakukan termasuk dukungan kardiovaskular, penggunaan agen trombolitik, dan
embolektomi paru pada kasus berat.3

2.1.9.3 Pneumotoraks
Tindakan laparoskopi dapat menyebabkan komplikasi berupa pneumotoraks. Lebih
banyak tindakan pendekatan dengan teknik minimal invasif, khususnya tindakan pada
esofagus, risiko terjadinya pneumotoraks meningkat. Risiko utama pneumotoraks dengan
laparoskopi adalah pengembangan menjadi tension pneumotoraks dan berhubungan dengan
kolaps kardiovaskular. Secara klinis, pembesaran diafragma dapat terlihat. Perubahan
fisiologis termasuk deoksigenisasi, hiperkarbia, dan hipotensi. Perubahan EKG dapat juga
terekam.3
Diagnosis dan tatalaksana secara langsung. Jika pasien dekompensasi dan terdapat
penurunan suara napas dalam satu hemitorak, abdominal insufflation harus dilepaskan.
Dekompresi jarum atau tube thiracostomy harus dilakukan. Konfirmasi menggunakan

18
gambaran radiologi dada tidak diperlukan dan dapat menunda pengobatan, yang
menyebabkan ketidakstabilan lebih lanjut. Setelah chest tube dipasang, pneumoperitoneum
dapat membaik, dan diikuti dengan fisiologis pasien. Jika tidak ada kelainan yang ditemukan,
tindakan bedah dapat diselesaikan.3

2.1.9.4 Reaksi Anafilaktik dan Alergi Terhadap Lateks


Reaksi anafilaktik intra bedah dapat terjadi pada 1 dari 4500 tindakan bedah dan
membawa 3% sampai 6% risiko kematian.14 Agen penyebab yang paling sering adalah
pelemas otot, lateks, agen induksi anestesi seperti etomidate dan propofol, dan obat-obatan
narkotik. Penambahan agen yang diberikan ketika pasien dalam pengaruh anestesia yang
dapat berhubungan dengan anafilaktik termasuk pewarna (misalnya isosulfan blue dye untuk
prosedur sentinel node), cairan koloid, antibiotik, produk darah, protamine, dan manitol.3
Manifestasi reaksi anafilaktik terjadi dalam pengaruh anestesia dapat mulai dari
erupsi kutan ringan sampai hipotensi, kolaps kardiovaskular, bronkospasme, dan kematian.
Jika diduga terjadi reaksi anafilaktik, penggunaan agen penyebab dihentikan, dan pasien
diberikan epinefrin dengan dosis 0,3 sampai 0,5 ml dalam 1:1000 cairan secara subkutan.
Pada anafilaksis berat, epinefrin diberikan secara intravena dan diulang dalam interval 5
sampai 10 menit sesuai kebutuhan. Antihistamine 1 (AH1) dengan dipenhidramin, 50 mg
secra intravena atau intramuskular, ditambah antihistamin 2 (AH 2) dengan ranitidine, 50 mg
secara intravena, dan juga hidrokortison, 100 sampai 250 mg secara intravena setiap 6 jam,
biasanya dibutuhkan. Tindakan dukungan tambahan pada keadaan kolaps hemodinamik atau
respiratori dapat termasuk bolus cairan, pressors, intubasi orotrakeal, dan nebulasi agonis
adrenergik β2 atau racemic epinephrine. Pemantauan pasca bedah di dalam ICU umumnya
dibutuhkan pada pasien yang telah mengalami reaksi anafilaksis berat intra bedah.3
Sensitif terhadap lateks adalah kedua tersering penyebab reaksi anafilaksis (setelah
pelemas otot) dan harus di screening dalam rekam medis. Meskipun insiden sensitifitas
seperti ini mungkin kurang dari 5% dalam populasi umum, kelompok risiko tinggi, termasuk
individu dengan kecenderungan genetik (kondisi atopik) atau paparan dalam waktu lama
terhadap lateks dan individu dengan spina bifida, mungkin memiliki kemungkinan 72%
terjadinya reaksi anafilaksis. Pasien yang memberikan riwayat secara konsisten dengan
kemungkinan sensitifitas terhadap lateks menjalani skin test sebagai antisipasi sebelum
tindakan bedah. Tindakan intra bedah yang sesuai untuk menjamin peralatan bebas lateks
menghilangkan risiko perioperatif paling besar pada pasien dengan alergi lateks.3

19
2.1.9.5 Hipertermia Malignan
Insiden hipertermia malignan (MH) lebih tinggi pada anak-anak dan dewasa muda
daripada orang dewasa; sekitar 1 dari 15000 telah diperkirakan pada kelompok risiko tinggi
anak laki-laki usia kurang dari 15 tahun.14 MH menunjukkan gejala episode akut
hipermetabolisme dan cedera otot yang berhubungan dengan pemberian agen anestesi
halogen atau suksinilkolin. Kerentanan terjadinya MH diturunkan berdasarkan pola
autosomal dominan, dengan penetrasi tidak lengkap semu. Pasien dapat gagal untuk
mengungkapkan pengetahuan keluarga tentang sifat itu, dan riwayat pribadi kelainan otot
mungkin tidak jelas.3
Episode akut dari MH mungkin dikenali oleh peningkatan aktifitas sistem saraf
simpatis, kekakuan otot, dan demam tinggi. Kelainan yang berhubungan termasuk
hiperkapnia, aritmia, asidosis, hipoksemia, dan rabdomiolisis. Ketika dicurigai, MH di terapi
dengan menghentikan agen anestesi inhalasi dan suksinilkolin, perubahan komplit jalur
anestesi, dan pemberian dantrolene sodium dengan dosis 2 sampai 3 mg/kg secara intravena.
Obat ini dapat dititrasi jika gejala berkurang. Tindakan dukungan tambahan termasuk
pendinginan secara aktif maupun pasif dan terapi obat antiaritmia, hiperkalemia, dan
asidosis.3
2.1.9.6 Wrong-site Surgery and Universal Protocol
Pada tahun 2004, The Joint Commission diadopsi sebagai a national patient safety
goal, untuk mengurangi worng site, worng-procedure, worng-patien procedures. 14 Protokol
universal telah dikembangkan, konsep “time-out” telah diadakan. Protocol termasuk
penandaan letak tindakan bedah pada periode prabedah; mengkonfirmasi letak dengan
membandingkan catatan dokter, inform consent, tanda, dan indentifikasi pasien; dan
memastikan implan atau alat yang tepat telah tersedia untuk tindakan. Banyak institusi
menambahkan potongan informasi lain ke “time-out” mereka, seperti antibiotik dan
profilaksis trombosis vena dalam.3

2.2 Manegement Intra Bedah


2.2.1 Ruang Bedah
Persiapan tindakan bedah tidak berakhir dengan evaluasi pasien dan pemilihan
prosedur bedah. Dokter bedah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa semua yang
diperlukan untuk prosedur tersedia pada hari pelaksanaan bedah, termasuk peralatan khusus
yang diperlukan untuk melakukan tindakan bedah dan implant, darah, produk-produk darah,
atau obat-obatan khusus.3

20
Ahli bedah, ahli anestesi, dan staf ruang bedah yang terlatih, serta ruang bedah yang
dilengkapi dengan meja bedah yang dapat dengan mudah diubah-ubah posisinya,
pencahayaan, yang baik, dan ruang yang cukup untuk tim bedah dan peralatan yang
diperlukan untuk menjalankan tindakan bedah secara efisien. Ruang bedah dibersihkan dan
meja bedah diperiksa untuk melihat apakah ada kerusakan sebelum dan sesudah pada setiap
tindakan bedah. Penggantian meja bedah dan peralatan lain ketika pasien sudah berada di
ruang bedah dapat menimbulkan kerugian yang besar dan menimbulkan masalah
kedepannya. Komunikasi yang dilakukan pada saat prabedah antara dokter bedah, dokter
anestesi, dan staf ruangan bedah sangatlah penting. Tindakan tersebut membantu menghemat
waktu, mencegah kebingungan dan timbulnya frustasi yang tidak semestinya ada dalam
pengelolaan penggunaan peralatan, memperhitungkan kebutuhan pasien dan kebutuhan tim,
dan membuat prosedur yang telah direncanakan berjalan dengan aman dan efisien. Ruang
bedah modern untuk tindakan pasien trauma memiliki panel kontrol suhu yang
memungkinkan suhu ruangan dimodifikasi dengan cepat untuk menghindari hipotermia.
Pasien diposisikan dengan aman di atas meja bedah. Cedera neuromuskuler dan ortopedi
yang berhubungan dengan posisi dapat dicegah dengan memposisikan dan memberikan
bantalan pada pasien dengan hati-hati. Barrier (pakaian bedah) yang terdiri dari tirai dan
gaun steril dibuat untuk dokter bedah, pasien, dan staf ruang bedah lainnya. Barrier harus
kedap air dan cairan tubuh lainnya. Dan yang terakhir, sistem komunikasi (misalnya
intercom, telepon, dan speaker) harus berfungsi dengan baik untuk memfasilitasi komunikasi
diantara dokter bedah dengan dokter spesialis patologi, dokter spesialis radiologi, staf bank
darah, apoteker, dan anggota keluarga pasien. Yang paling penting, jika situasi yang tidak
diduga muncul, bantuan dapat segera dipanggil.3

2.2.2 Menjaga Suhu Tubuh Pasien Tetap pada Kondisi Normotermia


Hipotermia rata-rata hanya 1,5°C dibawah suhu normal dan kondisi ini yang
dikaitkan dengan hasil buruk yang menambah biaya rawat inap dari $2500 hingga $7000
untuk setiap pasien bedah. Banyak faktor yang meningkatkan risiko terjadinya hipotermia
perioperatif, misalnya seperti usia ekstrem, jenis kelamin wanita, suhu ruangan sekitar,
lamanya dan jenis prosedur bedah, cachexia, penyakit yang sudah ada sebelumnya,
pergeseran cairan yang signifikan, penggunaan irigasi dingin, dan penggunaan anestesi umum
atau regional. Istilah normotermia didefinisikan sebagai suhu inti antara 36° dan 38°C.
Langkah-langkah pemanasan preventif digunakan untuk mengindari hipotermia. Tindakan
insulasi pasif meliputi selimut yang dihangatkan, kaus kaki, penutup kepala, pembatasan

21
paparan kulit, matras air yang bersirkulasi, dan peningkatan suhu kamar sekitar (68°F hingga
75°F). Beberapa pasien mungkin memerlukan tindakan pemanasan aktif, yang meliputi
penggunaan sistem pemanasan konveksi udara paksa, gas anestesi yang dilembabkan dan
dihangatkan, serta cairan intravena yang dihangatkan. Penurunan suhu terbesar terjadi selama
jam pertama tindakan bedah. Oleh karena itu, pemantauan suhu diindikasikan bahkan untuk
prosedur bedah yang berdurasi singkat.14

2.2.3 Persiapan Kulit Prabedah


Persiapan kulit pasien dan persiapan dokter bedah pada saat prabedah penting dalam
mencegah terjadinya infeksi pasca bedah (surgical site infections/SSI). Efektifitas persiapan
tergantung pada jenis antiseptik yang digunakan dan metode penggunaannya. CDC
merekomendasikan agar ukuran area yang disiapkan memadai, penggunaan cairan antiseptik
dengan cara melingkar dari dalam keluar, penggunaan aplikator sekali pakai yang digunakan
untuk mengoleskan cairan antiseptik, dan waktu yang memungkinkan untuk cairan antiseptik
mengering terutama penggunaan alkohol sebagai cairan antiseptik karena mudah terbakar.
Asosiasi Perawat Ruang Bedah telah menambahkan bahwa aplikator harus steril, dan larutan
antiseptik perlu diaplikasikan secara luas mulai dari sisi sayatan ke perifer. Ulasan dari subjek
ini telah mengungkapkan enam studi yang terlah dievaluasi; namun, semua menggambarkan
perbandingan yang unik dan tidak dapat digabungkan untuk meta-analisis.10 Disimpulkan
bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan jenis antiseptik
tertentu untuk persiapan kulit prabedah. Sebuah penelitian randomized-controlled yang lebih
baru meneliti penggunaan chlorhexidine-alchohol versus povidone-iodine untuk pencegahan
infeksi pasca bedah.14 Dalam penelitian ini, 849 pasien diteliti secara acak, hasilnya secara
signifikan ditemukan bahwa lebih sedikit infeksi luka pasca bedah dalam 30 hari pada
kelompok orang yang menggunakan chlorhexidine-alcohol. Hasil signifikan untuk mencegah
infeksi superfisial maupun infeksi lapisan dalam pasca bedah. Tidak ada perbedaan dalam
efek samping yang terkait dengan larutan antiseptik yang digunakan. Jika perlu pencabutan
rambut dapat dilakukan. Lebih baik dilakukan penjepitan dengan electric clippers daripada
mencukur dengan pisau cukur.3

2.2.4 Hemostasis
Meminimalkan kehilangan darah adalah aspek teknis penting dalam tindakan bedah.
Semakin banyak darah yang hilang akan menyulitkan tindakan bedah dan resusitasi. Lebih
sedikit kehilangan darah secara teknis membuat tindakan bedah berjalan dengan baik.

22
Hemostasis yang adekuat, membuat dokter bedah dapat melakukan diseksi yang lebih baik
serta mempersingkat durasi bedah dan pemulihan pasien. Risiko komplikasi dan penularan
penyakit yang ditularkan melalui tindakan transfusi dapat ditiadakan dengan sebisa mungkin
untuk tidak melakukan tindakan transfusi.14
Menentukan teknik yang akan digunakan dalam mencegah terjadinya perdarahan
yang diakibatkan pembuluh yang lebih besar (diameter <1 mm) dengan cara diikat, dijepit,
atau disegel dengan elektrokauter monopolar atau bipolar atau perangkat ultrasonik frekuensi
tinggi sangat penting dalam tindakan bedah. Pembuluh darah besar khususnya tidak hanya
diikat tetapi juga perlu dilakukan tindakan ligasi jahitan. Penggunaan hemoclip dapat
dilakukan, khususnya dalam melakukan tindakan bedah pada bagian tubuh yang memiliki
ruang terbatas atau ketika berhadapan dengan letak pembuluh darah yang sulit, seperti cabang
vena porta. Penggunaan klip tampaknya menjadi pilihan yang lebih baik daripada mengikat
simpul pada prosedur bedah yang memiliki keterbatas akses tindakan. Terkadang diperlukan
penggunaan hemoclip, seperti ketika melakukan tindakan bedah onkologis dimana garis tepi
menghasilkan gambaran radioopak sebagai petanda untuk tindakan iradiasi pasca bedah.3
Jika terjadi perdarahan hebat, seperti ketika dihadapkan dengan cedera pembuluh
besar yang tak terduga sewaktu tindakan bedah dilakukan, seperti ruptur aneurisma aorta
intraperitoneal, atau perdarahan dari trauma mayor intraabdomen, oklusi sementara aorta
pada hiatus esofagus dapat dilakukan dengan alat kompresi seperti sponge on a stick atau
klem vascular atau tindakan kompresi manual dapat dipertimbangkan. Tindakan semacam itu
dapat menyelamatkan nyawa dengan mengizinkan dokter anestesi mengejar kehilangan darah
dengan tindakan resusitasi agresif. Hal ini juga memungkinkan ahli bedah untuk
mengeluarkan darah dan gumpalan darah intraperitoneal dengan lap sponges atau alat
penghisap sampai lokasi timbulnya perdarahan dapat ditemukan, dikendalikan, dan diperbaiki
atau dapat dilakukan tindakan graft interposisi. Terkadang, cerdera vascular parsial mungkin
perlu diperluas atau diubah menjadi transeksi lengkap untuk memungkinkan perbaikan yang
lebih baik. Tindakan ini terutama dilakukan untuk cedera aorta dan vena cava.3
Perdarahan yang terjadi dari beberapa tempat pada pasien trauma, seperti laserasi
hati, fraktur panggul, atau keduanya, terutama pada pasien hipotermia, dapat ditatalaksana
dengan balutan saja atau bersama dengan embolisasi angiografi untuk mencapai kontrol
sementara diikuti dengan tindakan bedah selanjutnya. Tindakan pengendalian kerusakan ini
sangat penting. Hal ini mungkin merupakan satu-satunya cara agar pasien dapat
diselamatkan. Prinsip pengendalian kerusakan ini bisa dan harus diterapkan diluar pasien
trauma pada semua pasien bedah ketika perdarahan yang tak terduga dihadapi atau perlu

23
dilakukannya tindakan laparotomi kedua. Tindakan tambahan lainnya yang mungkin
membantu dalam menangani perdarahan jaringan yang luas meliputi koagulasi gelombang
mikro, koagulasi laser, dan penggunaan agen hemostatik topical (misalnya, surgical,
thrombin, gelfoam, dan lem fibrin).3

2.2.5 Penutupan Luka


Penutupan luka dapat bersifat sementara atau permanen; dan bisa primer ataupun
sekunder. Faktor penting dalam pengambilan keputusan ini adalah kondisi pasien, keadaan
klinis, area tubuh yang terlibat, kondisi luka itu sendiri, dan proses penyakit atau cedera yang
mengarah pada tindakan intervensi bedah.3
Berbagai metode dapat dipilih untuk menutup luka diberbagai bagian tubuh,
tergantung pada keadaan klinis. Secara umum, luka bersih yang tidak terkontaminasi dengan
kondisi jaringan lokal yang sehat paling baik ditutup dengan penutupan permanen primer.
Pada pasien yang membutuhkan eksplorasi ulang atau pasien dengan sindrom kompartemen
perut, penutupan sementara lebih baik dilakukan.3
Ekstremitas yang sangat terkontaminasi atau luka pada abdomen dibiarkan terbuka
dengan pembalutan saja. Luka abdomen yang terkontaminasi sangat baik ditatalaksana
dengan penutupan fasia saja, dengan kulit dibiarkan terbuka dan dibalut. Prinsip dari
‘eliminating dead space’ untuk mengurangi risiko pembentukan seroma dan hematoma
adalah penting, dan ini dapat dicapai secara internal dengan jahitan atau alat hisap atau secara
eksternal dengan alat kompresi.3
Penutupan permanen dapat dicapai dengan jahitan ‘continuous or ‘interrupted’.
Benang jahitan dapat berupa ‘monofilament atau ‘multifilament’, ‘braided’ atau
‘nonbraided’, dan ‘dissolvable’ atau ‘nondissolvable’. Secara umum, ketika terbukti infeksi
atau kontaminasi menjadi perhatian, jahitan ‘monofilament nonbraided’ lebih baik. Untuk
penutupan dinding perut pada pasien kanker yang lemah dan kurang gizi, penutupan
permanen dengan jahitan ‘nondissolvable’ lebih baik. Pada pasien sirosis dengan asites atau
pasien dengan potensi untuk mengalami asites pasca bedah, perut ditutup dengan jahitan
‘continuous, dan penutupan kedap air multilayer harus dilakukan.3
Penutupan sementara dari dinding perut mungkin baik pada pasien cedera multiple
atau pasien dengan hipertensi intrabdominal. Penutupan ini dapat dilakukan dengan alat
penghisap vakum atau teknik ‘prosthesis bridging’ menggunakan ‘sterile intravenous bag’
atau ‘polypropylene mesh’. Teknik ‘the vacuum suction’ (Vac-Pac) melibatkan penggunaan
bahan penutup sementara dua sisi yang terbuat dari ‘a Ioban over a blue towel’. ‘Ioban’

24
menghadap ke usus dan mencegah adhesi ke ‘blue towel’. Membran terselip di bawah
dinding perut, dengan sisi ‘blue towel’ menghadap ke atas untuk memberikan retensi dan
mencegah kemungkinan hilangnya jaringan. Bagian tengah tirai (drape) dilubangi sebelum
ditempatkan. Kateter hisap dan pembalut kasa ditempatkan di bawah Biodrape kedua yang
menutupi seluruh dinding perut dan menutup penutupnya. Teknik ini memiliki banyak
kelebihan; cepat dan mudah digunakan, penutupan sementara dapat dibuat dari bahan yang
tersedia di ruang bedah, tidak diperlukan penjahitan (dan oleh karena itu integritas fasia
abdomen dipertahankan untuk kemudian dilakukan penutupan permanen), dan penghisapan
dilakukan untuk mencegah cairan menumpuk di rongga perut. Kekurangannya yaitu tidak
bisa melakukan pemeriksaan usus (seperti penggunaan kantong intravena) di sisi tempat tidur
dan meningkatnya kompleksitas keseimbangan cairan dan elektrolit karena potensi
kehilangan cairan yang besar. Lakukan penggantian penutup sementara setiap 3 sampai 4 hari
di ruang bedah. Jika memungkinkan, jahitan (interrupted permanent) penutup fasia
ditempatkan di ujung superior dan inferior fasia untuk menutup fasia secara bertahap, selama
tiga hingga empat kunjungan ke ruang bedah.3
Dua konsep yang lebih baru dalam bedah abdomen termasuk penggunaan adhesion
reduction barriers dan synthetic biomembranes untuk penutupan dinding perut. Tersedia
dua adhesion reduction barriers, yaitu hyaluronic acid-carboxymethylcellulose dan oxidized
regenerated cellulose. Kedua bahan ini digunakan pada permukaan usus sebelum penutupan
perut, dan mereka berubah menjadi zat agar-agar dalam waktu satu jam. 14 Meskipun
penggunaan membran ini tidak meniadakan perlengketan sepenuhnya, penggunaannya telah
dibuktikan dalam uji klinis dengan hasil mengurangi tingkat keparahan perlengketan yang
mungkin terjadi. Inovasi kedua melibatkan penggunaan matriks jaringan yang direkayasa
untuk penutupan dinding perut. Bahan-bahan ini dibuat dari jaringan integumen donor dan
diproses untuk menghilangkan bagian seluler epidermal dan kulit serta komponen antigenik
allograft. Produk yang dihasilkan adalah matriks berbasis kolagen dengan kelenturan aslinya
masih utuh tetapi tidak lagi memicu respon imun. Celah dari allograft diisi oleh populasi
seluler dari penerima.10 Bahan ini memiliki kekuatan yang lebih baik dan lebih tahan terhadap
infeksi untuk penutupan complex abdominal wall defect daripada penggunaan bahan sintesis
seperti polypropylene mesh.3

2.3 Management Pasca Bedah dan Komplikasi


2.3.1 Management Pasca Bedah Segera

25
Pasien yang mendapat general anestesi harus diobservasi di dalam ruang pemulihan
sampai pasien sadar dan tanda-tanda vital pasien stabil. Komplikasi mayor yang mengancam
jiwa yang dapat timbul di ruang pemulihan antara lain obstruksi jalan napas, infark miokard,
henti jantung, perdarahan dan gagal napas. Komplikasi-komplikasi ini juga dapat timbul saat
di bangsal, tetapi dengan beberapa pengecualian banyak dari masalah tersebut timbul bukan
merupakan komplikasi yang mengancam jiwa dan sering merupakan efek spesifik dari
tindakan bedah. Ruang pemulihan membutuhkan staf terlatih khusus dan alat-alat yang
digunakan untuk observasi dan perawatan untuk gangguan pernapasan akut, sistem
kardiovaskular dan koreksi cairan, yang merupakan penyebab mayor terjadinya komplikasi
yang mengancam jiwa.15
Umumnya, dokter anestesi bertanggung jawab pada fungsi sistem kardiopulmonal
pasien dan dokter bedah bertanggung jawab bagian tubuh yang mendapat tindakan bedah,
luka dan drainase bedah. Catatan medis harus mendokumentasikan tindakan bedah dan
prosedur tindakannya, dokter anestesi mencatat keadaan pasien selama tindakan bedah,
instruksi pasca bedah yang berhubungan dengan penggunaan obat dan cairan intravena, serta
keseimbangan cairan.15
Pemantauan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi darah merupakan prioritas
utama. Jenis tindakan bedah dan kondisi premorbid medis pasien akan menentukan tingkat
monitoring pasca bedah yang dibutuhkan; namun, warna kulit, nadi, tekanan darah, laju
pernapasan, saturasi oksigen dan tingkat kesadaran akan di monitor secara rutin. Sifat dan
volume cairan drainase yang terkumpul pada wadah penampungan atau cairan yang
merembes dari penutup luka, dan pengeluaran urin dimonitor, jika memungkinkan.
Pemantuan dengan elektrokardiogram (EKG) secara terus-menerus dilakukan dan status
oksigenisasi dinilai menggunakan pulse oximeter. Pemantuan tekanan vena sentral mungkin
dibutuhkan jika pasien mengalami hipotensi, mengalami keterbatasan fungsi jantung dan
pernapasan, atau membutuhkan cairan intravena dalam jumlah besar.15
Pasien yang awalnya mendapat tindakan intubasi, dan diikuti dengan tindakan
ekstubasi harus mendapat suplementasi oksigen menggunakan face mask atau nasal kanul,
dan harus didorong untuk sering mengambil napas dalam. Pasien harus bernapas secara
adekuat dan pertahankan perfusi jaringan dengan baik. Pernapasan dangkal mungkin berarti
bahwa pasien masih mengalami paralisis parsial. Satu dosis neostigmine dapat memperbaiki
efek sisa dari penggunaan agen curariform. Sianosis merupakan tanda yang mengindikasikan
terjadinya hipoksemia karena oksigenisasi yang tidak adekuat, dan mungkin karena adanya
hambatan jalan napas atau gangguan ventilasi. Depresi pernapasan lanjut yang terjadi pada

26
periode pasca bedah biasanya disebabkan oleh adanya tindakan sedasi yang menggunakan
agen analgesik secara berlebihan.15

2.3.1.1 Hambatan Jalan Napas


Penyebab utama terjadinya hambatan jalan napas antara lain:
 Obstruksi akibat lidah dapat terjadi dengan penurunan tingkat kesadaran. Hilangnya
tonus otot menyebabkan lidah jatuh ke belakang terhadap dinding posterior faring,
dan dapat diperparah oleh spasme otot masseter yang muncul setelah tindakan
anestesi. Perdarahan didalam lidah atau jaringan lunak mulut atau faring dapat
menjadi sebuah faktor penyulit setelah tindakan bedah yang melibatkan area mulut.
 Obstruksi akibat benda asing, seperti gigi palsu, tambalan gigi and gigi yang terlepas.
Gigi palsu harus dilepas sebelum tindakan bedah dan tindakan pencegahan dilakukan
untuk melindungi terhadap lepasnya tambalan gigi atau gigi itu sendiri.
 Spasme laring dapat terjadi pada tingkat penurunan kesadaran ringan dan diperparah
oleh adanya stimulasi.
 Edema laring dapat terjadi pada anak usia muda akibat adanya trauma pada tindakan
intubasi, atau ketika terdapat infeksi pada epiglottis.
 Kompresi trakea dapat terjadi akibat tindakan bedah pada leher, dan kompresi akibat
perdarahan ditakutkan dapat terjadi akibat tindakan thyroidectomy.
 Spasme bronkus atau obstruksi bronkus dapat terjadi akibat inhalasi benda asing atau
aspirasi bahan iritan, seperti misalnya cairan lambung. Dapat juga terjadi akibat
reaksi alergi terhadap obat-obatan dan akibat komplikasi dari asma.

Penting untuk segera menentukan dan memperbaiki penyebab sumbatan jalan


napas. Teknik mempertahankan jalan napas terdiri dari chin-lift atau jaw-thrust manuver,
dengan cara mengangkat bagian anterior mandibula dan mengarahkan lidah ke arah depan.
Faring dihisap, pasang oropharyngeal airway (OPA) untuk menjaga jalan napas, dan berikan
suplementasi oksigen. Jika sianosis tidak membaik atau stridor tidak menghilang, harus
dilakukan tindakan reintubasi.15

2.3.1.2 Perdarahan
Kehilangan darah yang signifikan ke dalam saluran drainase bedah, terutama jika
yang berkaitan dengan terjadinya syok hipovolemik, merupakan indikasi segera untuk
mengirim pasien ke ruang bedah untuk tindakan eksplorasi ulang dan untuk mengendalikan

27
sumber perdarahan. Perdarahan ulang biasanya disebabkan oleh terlepasnya jahitan atau
larutnya koagulasi diatherma akibat perbaikan tekanan darah setelah tindakan bedah.
Perdarahan superfisial dari luka bekas tindakan bedah jarang yang membutuhkan tindakan
segera; tetapi, pasien yang menjalani tindakan bedah pada leher harus diobservasi untuk
kemungkinan terjadinya akumulasi darah pada luka bedah. Jika dibutuhkan, tempat
pembedahan dapat dibedah kembali di dalam ruang pemulihan untuk mencegah kompresi
jalan napas dan terjadinya asfiksia.15
Perdarahan sekunder lambat biasanya terjadi pada hari ke 7-10 setelah tindakan
bedah dan dapat disebabkan oleh robeknya pembuluh darah akibat infeksi. Pipa drainase
kaku biasanya dapat juga menyebabkan robeknya pembuluh darah besar dan menyebabkan
perdarahan hebat pasca bedah. Perdarahan sekunder yang terjadi akibat infeksi lebih sering
sulit untuk ditangani. Teknik radiologi intervensi dapat digunakan untuk mengontrol
perdarahan sementara waktu, tapi biasanya diindikasikan untuk dilakukan tindakan bedah
eksplorasi ulang.15

2.3.2 Management Di Bangsal Bedah (Surgical Ward Care)


2.3.2.1 Management Umum
Pemantauan tanda vital dan suhu tubuh secara terus-menerus pada pasien yang
dikirim ke bangsal perawatan dengan kateter urin, selang NGT, dan drainase bedah yang
terpasang. Frekuensi pencatatan atau penilaian dapat dikurangi apabila kondisi pasien telah
stabil. Normalnya pasien akan mendapatkan kunjungan oleh staf medis pada pagi dan sore
hari untuk memastikan kemajuan kondisi pasien. Kecemasan, penurunan kesadaran, dan
perubahan kecil kepribadian, prilaku atau penampilan sering merupakan tanda awal adanya
komplikasi. Status sirkulasi umum dan keadekuatan oksigenisasi dicatat, dan tanda-tanda
vital direkam pada grafik perawatan yang diperiksa. Pembacaan suhu tubuh memberikan
informasi penting mengenai kemajuan keadaan pasien dan dapat memberikan tanda awal
terjadinya komplikasi berat pasca bedah.15
Dilakukan juga pemeriksaan thoraks dan juga pemeriksaan dahak. Ekspansi seluruh
dada dan batuk dianjurkan. Setelah tindakan bedah abdomen, lakukan pemeriksaan abdomen
untuk melihat ada tidaknya bukti distensi atau sensitif terhadap nyeri yang berlebihan.
Kembalinya suara bising usus dan terjadinya flatus menandakan pulihnya gerak peristaltik
usus. Lakukan pemeriksaan terhadap ada tidaknya pembengkakan, perubahan warna, dan
tahanan pada kaki.15

28
2.3.2.2 Tube, Drainase dan Kateter
Selang NGT yang terpasang akan mempertahankan terbukanya jalan napas untuk
memenuhi kebutuhan udara. Untuk mengeluarkan isi lambung dapat dilakukan dengan
pemasangan selang NGT yang diselingi dengan tindakan aspirasi secara manual dan
pelepasan selang NGT dapat dilakukan ketika jumlah volume aspirasi berkurang. Tidak perlu
menunggu hingga kembalinya bising usus atau terjadinya flatus. Selang NGT menyebabkan
rasa tidak nyaman pada pasien dan dapat menekan reflek batuk yang dapat menyebabkan
akumulasi dahak pada saluran napas, sehingga penggunaannya tidak boleh dalam waktu yang
lama jika tidak sangat dibutuhkan. Pelepasan drainase bedah biasanya dilakukan ketika
volume cairan yang keluar telah berkurang. Apabila menggunakan kateter urin, sebaiknya
segera dilakukan pelepasan apabila pasien telah dapat berpindah posisi (berjalan).15

2.3.2.3 Keseimbangan Cairan


Pemantauan keseimbangan cairan dilakukan secara teratur. Standar pemberian
cairan intravena pada dewasa adalah 3 L/hari, dengan cara pemberian 1 liter berupa normal
saline dan 2 liter dekstrose 5%. Dalam 24 jam pertama setelah tindakan bedah pemberian
normal saline dapat dihentikan dan digantikan dengan dektrose 5% karena adanya
penambahan sodium akibat respon metabolik. Namun demikian, hal ini harus dinilai
berdasarkan status umum sirkulasi pasien, banyaknya kehilangan cairan yang terpantau, dan
penilaian serum urea dan kadar elektrolit harian. Demikian juga, tidak perlu melakukan
penggantian potassium dalam 24-48 jam pertama setelah tindakan bedah, karena potassium
diproduksi oleh sel dan jaringan yang mengalami kerusakan pada tempat bedah.
Penambahan potassium sebanyak 1 mEq/kg/hari (60-80 mmol/hari) kedalam caira intravena,
diberikan apabila pengeluran urin adekuat (0,5-1,0 mL/kg/jam). Pemberian cairan harian
harus dapat memenuhi kecukupan cairan akibat tambahan kehilangan cairan karena suhu
lingkungan di Negara tropis dimana tingginya kehilangan cairan yang tak disadari jarang
terjadi. Penggantian harus dibuat untuk kehilangan cairan tubuh seperti pada aspirasi
nasogastrik dan diganti dengan tepat menggunakan Na, K dan cairan. Sebanyak 1 liter
campuran cairan lambung yang diaspirasi normalnya harus digantikan kurang lebih dengan
120 mEq Na dan 10 mEq K pada 24 jam selanjutnya. Keseimbangan carian yang digantikan
oleh dekstrose 5%. Penggantian kehilangan cairan yang abnormal harus diberikan tiap 8 jam
pada tindakan bedah yang dilakukan pada anak. Terapi penggantian cairan intravena dapat
dihentikan jika pemberian cairan secara oral sudah dapat dilakukan.15

29
2.3.2.4 Transfusi darah
Pengukuran kadar haemoglobin darah digunakan untuk menentukan apakah perlu
adanya tindakan transfusi pada pasien pasca bedah. Pemeriksaan kadar darah lengkap harus
dilakukan dalam 24 jam pasca tindakan bedah dan umunya transfusi diindikasikan jika kadar
haemoglobin dibawah 8% g/L dengan kadar heamokrit <24. Diatas kadar ini, pasien dapat
diresepkan besi secara oral, kecuali pasien memiliki kondisi kardiovaskular yang tidak stabil
atau terdapat gejela anemia. Tindakan transfusi tanpa indikasi harus dihindari, khususnya
pada pasien dengan keganasan kolorektal karena berkaitan dengan terjadinya keganasan
berulang.15

2.3.2.5 Nutrisi
Pemberian nutrisi pada pasien pasca bedah penting untuk menjadi perhatian.
Kelaparan yang dialami pasien dalam beberapa hari dapat sedikit membahayakan, tapi
pemberian nutrisi penting dilakukan dengan cara enteral maupun parenteral jika pasien
mengalami kelaparan yang berkepanjangan. Pemberian nutrisi dengan cara enteral
dianjurkan, karena memiliki kejadian komplikasi yang rendah dan dipercaya dapat
menambah fungsi barrier usus. Jika kelaparan yang berkepanjangan akan diantisipasi pada
periode pasca bedah, feeding jejunostomy tube dapat dipasang ketika tindakan bedah
abdomen berlangsung. Sebagai alternatif, dapat diganti dengan penggunaan fine-bore
nasogastric atau nasojejunal feeding tube. Jika rute enteral tidak dapat digunakan, dapat
dilakukan tindakan pemberian nutrisi parenteral total. Pemberian nutrisi harian pasca bedah
pada pasien harus dipantau, dan pemberian suplementasi tinggi kalori secara oral dapat
dilakukan jika dibutuhkan.15

2.3.3 Komplikasi
2.3.3.1 Komplikasi Umum
Mual dan muntah dapat disebabkan oleh tindakan bedah dan/atau tindakan anestesi,
dan antiemetik terbukti dapat berguna dan dapat diberikan sebagai profilaksis jika mual
berhubungan dengan tindakan anestesi sebelumnya. Cegukan yang bersifat sementara yang
timbul segera pasca tindakan bedah merupakan kondisi yang menggangu namun hal ini
tidaklah berbahaya. Cegukan yang bersifat menetap lebih mengindikasikan kondisi yang
lebih serius, menyebabkan kelelahan dan mengganggu tidur pasien, dan kondisi ini dapat
disebabkan karena iritasi diafragma, distensi gaster atau disebabkan oleh proses metabolik,

30
seperti gagal ginjal. Jika sebab timbulnya tidak dapat ditemukan, penggunaan chlorpromazine
dosis kecil dapat membantu menghilangkan keluhan.15
Tindakan spinal anaesthesia dapat menyebabkan timbulnya sakit kepala disebabkan
oleh bocornya cairan serebrospinal, dan pasien harus diposisikan telentang selama 12 jam
jika hal tersebut terjadi. Jika sakit kepala menetap, mungkin penting untuk melakukan
tindakan penutupan pada tempat injeksi yang dilakukan di antara dura-arachnoid
menggunakan blood patch (tindakan penyuntikan pada daerah ekstradural menggunakan
bekuan darah pasien untuk menutup bocoran). Nyeri yang timbul di daerah dada, perut dan
leher merupakan komplikasi spesifik akibat penggunaan suxamethonium, dan dapat
berlangsung hingga satu minggu.15
Penggunaan obat-obat atau cairan yang bersifat mengiritasi menggunakan prosedur
intravena dapat menyebabkan timbulnya memar, hematoma, phlebitis dan thrombosis vena.
Pemasangan kanul intravena pada pembuluh vena besar harus diikuti dengan penutupan
sekitar kanul dengan baik untuk mencegah terjadinya emboli udara. Tempat kanul dipasang
harus selalu diperiksa terhadap kemungkinan terjadinya infeksi secara berkala, dan jika
dibutuhkan kanul dapat dilepaskan. Kanul arteri dan jarum suntik merupakan penyebab
tersering terjadinya luka pada arteri dan jarang dapat menyebabkan terjadinya sumbatan arteri
dan gangren.15

2.3.3.2 Komplikasi pada Organ Lain


Komplikasi pasca bedah dapat terjadi pada sistem-sistem organ yang lain seperti
terjadinya hipoksemia pasca bedah, kolaps paru, infeksi paru, gagal napas, acute respiratory
distress syndrome (ARDS), efusi pleura, pneumotoraks, komplikasi pada jantung, iskemi atau
infark miokard, gagal jantung, aritmia, syok pasca bedah, retensi urin pasca bedah, infeksi
traktus urinarius, gagal ginjal, cerebrovascular accidents (CVA), gangguan neuropsikiatri,
delirium tremens (acute alcohol withdrawl syndrome), deep venous thrombosis (DVT),
emboli paru, infeksi pada luka operasi, dehiscene, dan demam pasca bedah.15

31
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Management perioperatif yang terdiri dari tindakan prabedah, intra bedah, dan pasca
bedah sangat penting dilakukan pada setiap tindakan bedah. Dengan melakukan management
perioperatif yang baik dapat membantu dokter bedah untuk merencanakan apa saja tindakan
yang diperlukan untuk menyelamatkan pasien. Selain itu, dengan adanya management
perioperatif yang baik dapat meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada pasien
selama dan sesudah tindakan bedah dilaksanakan.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. R.Venna, Wee, MYK. AAGBI Safety Guideline Pre operative Assesment and
patient preparation. The role of the anasthetist. Published by the Association of
Anaesthetists of great Britain and Ireland. 21 Portland Place, London. January,
2010.
2. De Jong, W. Persiapan prabedah. Dalam :R Sjamsuhidajat, Theddeus O. H.
Prasetyono, Reno Rudiman, dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 4. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2014. h. 300-87.
3. Neumayer L, Ghalyaie N. Principles of preoperatif and operative surgery. In
Townsend CM, Evers BM, Beauchamp RD, et al, editors: Sabiston textbook of
surgery the biological basis of modern surgical practice, ed 20, Philadelphia:
Saunders; 2017. p. 222-37.
4. Bilimoria KY, Liu Y, Paruch JL, et al: Development and evaluation of the
universal ACS NSQIP surgical risk calculator: A decision aid and informed
consent tool for patients and surgeons. J Am Coll Surg 217:833-42. e1-e3, 2013.
5. Vaid S, Bell T, Grim R, et al: Predicting risk of death in general surgery patients
on the basis of preoperative variables using American College of Surgeons
National Surgical Quality Improvement Program data. Perm J 16:10-17, 2012.
6. Neary WD, Prytherch D, Foy C, et al: Comparison of different methods of risk
stratification in urgent and emergency surgery. Br J Surg 94:1300-305, 2007.

33
7. Fazio VW, Tekkis PP, Remzi F, et al: Assessment of operative risk ini colorectal
cancer surgery: in The Cleveland Clinic Foundation colorectal cancer model. Dis
Colon Rectum 47:2015-024, 2004.
8. Duval H, Dumont F, Vibert E, et al: The Association Francise de Chirurgie (AFC)
colorectal index: A reliable preoperative prognostic index in colorectal surgery [in
French]. Ann Chir 131:34-8, 2006.
9. Alves A, Panis Y, Mantion G, et al: The AFC score: Validation of a 4-item
predicting score of postoperative mortality after colorectal resection for cancer or
diverticulitis: Result of a prospective multicenter study in 1049 patients. Ann Surg
246:91-6, 2007.
10. van Stijn MF, Korkic-Halilovic I, Bakker MS, et al: Preoperative nutrition status
and postoperative outcome in elderly general surgery patients: A systematic
review. JPEN J Parenter Enteral Nutr 37:37-43, 2013.
11. Aarts MA, Okrainec A, Glicksman A, et al: Adoption of enhanced recovery after
surgery (ERAS) strategies for colorectal surgery at academic teaching hospitals
and impact on total length of hospital stay. Surg Endosc 26:442-50, 2012.
12. American Society of Anesthesiologist Committee: Practice guidelines for
preoperative fasting and the use of pharmacologic agents to reduce the risk of
pulmonary aspiration: Application to healthy patients undergoing elective
procedures: An updated report by the American Society of Anesthesiologist
Committee on Standards and Practice Parameters. Anesthesiology 144:495-511,
2011.
13. Bratzler DW, Dellinger EP, Olsen KM, et al: Clinical practice guidelines for
antimicrobial prophylaxis in surgery. Am J Health Syst Pharm 70:195-283, 2013.
14. Neumayer L, Vargo D: Principles of preoperative and operative surgery. In
Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, et al, editors: Sabiston textbook of
surgery: the biological basis of modern surgical practice, ed 19, Philadelphia:
Saunders; 2012.
15. Lal P. Postoperative care and complications. In Garden OJ, Parks RW, editors:
Principles and practice of surgery, ed 7, China: Elsevier Ltd; 2018. p. 128-36.

34

Anda mungkin juga menyukai