Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI

KEPERAWATAN ANESTESI PADA PASIEN DIABETES


MELTUS (DM)
DALAM PERKULIAHAN METODOLOGI KEPERAWATAM ANESTESI

KELOMPOK : 11
1. NAMA : ZULIA NURFAUZIAH NIM: 191FI03032
2. NAMA : SALMA ZHAFIRA MUTIARA NIM: 191FI03033
3. NAMA : NISA AZURA NIM: 191FI03034

PROGRAM STUDI D IV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG, 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya pada kita semua sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah
Asuhan Keperawatan Anestesi tentang Pasien diabetes melitus (DM)
ini dengan baik dan lancar, untuk melengkapi nilai Mata Kuliah Metodologi Keperawatan
Anestesi, dan mengembangkan kemampuan menulis kami.
Penulis menyadari meskipun segala upaya telah penulis lakukan dalam penyusunan laporan
ini, namun pastilah ada kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami berharap
kepada semua pihak yang sekiranya membaca laporan ini dapat memberikan saran agar di
kemudian hari kami dapat menyempurnakan laporan ini. Tak lupa kami ucapkan terima kasih
yang sebanyak – banyaknya kepada :
1. Sri Sulami S.kep,MM selaku Dosen yang memberikan tugas mata kuliah Metodologi
Keperawatan Anestesi yang telah membimbing dalam penulisan Makalah Asuhan Keperawatan
Anestesi
2. Semua anggota kelompok dua semester tiga program studi D-4 Penata Anestesi Tahun
Akademik 2020 yang telah bekerjasama dengan baik selama menyusun Makalah ini.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Makalah ini. Semoga segala bantuan
dan dukungan yang diberikan kepada kami, mendapat imbalan yang berlipat dari Allah
Subhanahu Wata’ala, amin.

Bandung, 12 Desember 2020

Kelompok 2
BAB I

PENDAHULU

AN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) pada geriatri terjadi karena timbulnya resistensi insulin pada usia
lanjut yang disebabkan oleh 4 faktor : pertama adanya perubahan komposisi tubuh, komposisi
tubuh berubah menjadi air 53%, sel solid 12%, lemak 30%, sedangkan tulang dan mineral
menurun 1% sehingga tinggal 5%. Faktor yang kedua adalah turunnya aktivitas fisik yang akan
mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin sehingga
kecepatan transkolasi GLUT-4 (glucosetransporter-4) juga menurun. Faktor ketiga adalah
perubahan pola makan pada usia lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya gigi geligi sehingga
prosentase bahan makanan karbohidrat akan meningkat. Faktor keempat adalah perubahan
neurohormonal, khususnya Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1) dan dehydroepandrosteron
(DHtAS) plasma (Rochmah, 2006). Prevalensi DM pada lanjut usia (geriatri) cenderung
meningkat, hal ini dikarenakan DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi
faktor intrinsik dan ekstrinsik. Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri
dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Dari jumlah tersebut
dikatakan 50% adalah pasien berumur > 60 tahun (Gustaviani, 2006). Pasien geriatrik pada usia
49 tahun.

1.2 Manfaat Penulisan

A. Manfaat Teoritis

Karya tulis ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bacaan dan refrensi mahasiswa
dalam menambah pengetahuan terhadap kasus keperawatan anestesi pada pasien Diabetes
melitus.
B. Manfaat Praktis
Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat dimengerti untuk menambah wawasan dan
dapat digunakan sebagai panduan dalam tindakan anestesi sehari- hari tentang
keperawatan Anestesi pada pasien Diabetes melutus.

BAB II

PEMBAHASAN

Teknik anestesi yang dipilih pada kasus ini adalah anestesi regional yaitu Teknik anestesi
yang dipilih pada kasus ini adalah anestesi regional yaitu spinal anestesi. Teknik ini dipilih
dengan alasan operasi yang akan dilakukan merupakan bedah pada bagian ekstremitas bawah.
Selain itu operasi yang akan dilakukan tidak memerlukan waktu yang lama. Obat anestesi yang
dipakai adalah Bupivacaine 15 mg dengan menggunakan jarum spinal nomor 25G. Tingkat
penyerapan sistemik anestesi lokal tergantung pada dosis total dan konsentrasi obat yang
diberikan, cara pemberian, vaskularisasi, dan ada tidaknya epinefrin dalam larutan anestesi.
Konsentrasi encer epinefrin (1:200.000 atau 5 mcg/mL) biasanya mengurangi tingkat
penyerapan dan konsentrasi puncak plasma Bupivakain Hidroklorida, yang memungkinkan
penggunaan total dosis cukup besar dan kadang memperpanjang durasi kerja. Mula kerja
Bupivakain sepat dan durasi anestesinya cukup lama dibandingkan obat anestesi lokal
lainnya.
Anestesi lokal terikat dengan protein plasma dalam berbagai derajat. umumnya,
semakin rendah konsentrasi plasma obat semakin tinggi persentase obat terikat pada
protein plasma.
Setelah injeksi Bupivakain Hidroklorida pada cauda, epidural, atau blok saraf perifer pada
manusia, tingkat puncak Bupivakain dalam darah dicapai dalam 30 sampai 45 menit, diikuti
dengan penurunan tingkat signifikan selama tiga sampai enam jam berikutnya.Berbagai
parameter farmakokinetik anestesi lokal dapat secara signifikan diubah oleh gangguan hati
atau penyakit ginjal, penambahan epinefrin, faktor yang mempengaruhi pH urin, aliran darah
ginjal, cara pemberian obat, dan usia pasien. Waktu paruh dari Bupivakain
Hidroklorida pada orang dewasa adalah 2,7 jam dan pada neonatus 8,1 jam. Anestesi lokal
jenis amida seperti Bupivakain Hidroklorida dimetabolisme terutama di hati melalui
konjugasi dengan asam glukuronat. Pasien dengan penyakit hati, terutama mereka
dengan penyakit hati yang berat, mungkin lebih rentan terhadap potensi toksisitas
anestesi lokal jenis amida. Pipecoloxylidine adalah metabolit utama Bupivakain Hidroklorida.
Ginjal adalah organ ekskresi utama untuk kebanyakan anestetik lokal dan metabolitnya.
Ekskresi urin
dipengaruhi oleh perfusi kemih dan faktor yang mempengaruhi pH urin.
Hanya 6% dari Bupivakain diekskresikan tidak berubah dalam urin.

2.1 Anestesi pada Geriatri


Efek samping anestesi pada pasien geriatri kemungkinan terjadi lebih besar karena
adanya keterbatasan fungsi tubuh. Morbiditas dan mortalitas meningkat sesuai dengan
peningkatan usia. Rekomendasi perioperatif pada pasien geriatri adalah menghindari obat-obat
yang beresiko meningkatkan delirium, pemberian cairan, kalori adekuat, masalah transportasi,
terapi fisik dan segera mungkin dapat melakukan aktifitas sehari hari. Pasien geriatric
membutuhkan perhatian ekstra saat penilaian perioperatif, tatalaksana terperinci saat
intraoperatif yang bervariasi dan mengetahui status penyakit penyerta serta kewaspadaan
terhadap pemberian titrasi dan dosis dari obat-obat yang digunakan.
Sejauh ini tidak ada alat, obat dan teknik anestesi yang dikatakan terbaik untuk pasien
geriatri. Fakta dan penelitian ilmiah yang menyarankan penggunaan anestesi regional
pada pasien geriatri karena teknik yang sederhana, aman, pemulihan cepat dan efek
samping minimal dibandingkan anestesi umum. Pada geriatri seringkali terjadi degeneratif massa
otot dan
secara mikroskopik terjadi penebalan celah penghubung neuromuskular. Arthritis,
osteoporosis, kelemahan dan kekakuan ligamen, cenderung mudah terjadi fraktur dan dislokasi
sendi pada tiap gerakan dan posisi intraoperative sehingga menjadi penyulit anestesi epidural dan
spinal

2.2 Hubungan Usia dan Perubahan Fisiologi


a) Sistem Kardiovaskular
Penurunan elastisitas pembuluh darah karena fibrosis pada tunika media, ini adalah proses
normal dari proses penuaan. Penurunan komplain arteri mengakibatkan peningkatan afterload,
meningkatnya systolic blood pressure, hipertrophy ventrikel kiri. Penebalan dinding ventrikel
kiri ini meningkatkan rongga dari ventrikel kiri. Beberapa kali sering terjadi. fibrosis myocardial
dan kalsifikasi pada katup Bila penyakit penyerta tidak ada, maka tekanan darah diastolik harus
tetap dipertahankan atau menurun. Fungsi Baroreseptor. Dengan cara yang sama, sebaliknya
terutama pada cardiac output menurun sesuai peningkatan usia, tampaknya dipertahankan
dengan baik pada individu yang sehat. Bila tidak ada penyakit penyerta, Resting diastolic dari
fungsi jantung tampaknya tetap dipertahankan sampai usia diatas 80 tahun. Peningkatan tonus
vagal dan penurunan sensitifitas dari reseptor adrenergic memincu terjadinya penurunan
denyut jantung / heart rate. Maksimal penurunan Heart rate sekitar 1 denyut per menit pertahun,
pada umur diatas 50 tahun. Fibrosis pada system konduksi dan hilangnya sel-sel SA node
meningkatkan incidence
dari dysrhythmia, terutama Atrial Fibrilasi dan Atrial Flutter. Pada pasien tua yang sedang
dalam evaluasi untuk dilakukan pembedahan, mempunyai insiden yang meningkat
terjadinya disfungsi diastolic, dimana hal ini dapat di ketahui dengan Dopller EKG. Tanda
adanya
disfungsi diastolic dapat dilihat dari adanya Hypertensi sistemik, Penyakit arteri caroner,
Kardiomiopathy, dan penyakit katub jantung, terutama stenosis aorta. Pasien dapat tanpa gejala
atau adanya keluhan terhadap gangguan anktifitas, dispone, batuk dan fatique. Disfungsi
diastolic mengakibatkan peningkatan yang relative besar pada Tekanan end-diastolic ventrikel
dengan sedikit perubahan volume ventrikel kiri; kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel
menjadi hal yang penting dibandingkan pada pasien yang masih muda. Pembesaran atrium
merupakan
predisposisi terjadinya Artrial Fibrilasi dan atrial flutter. Pasien ini mempunyai resiko
yang meningkat akan terjadinya Congestive Heart Failure. Pengurangan Cardiac Reserve pada
beberapa orang yang sudah tua mungkin dimanisfestasikan dengan penurunan tekanan
darah saat dilakukannya induksi dari tindakan General Anesthesi. Memanjangnya waktu
sirkulasi, memperlambat onset dari obat IV tetapi mempercepat induksi dengan obat
Inhalasi. Seperti pada penderita bayi, pasien tua mempunyai sedikit kemampuan berespon
terhadap hypovolemic, Hypotensi dan Hypoksia dengan meningkatkan hear rate jantungnya.

b) Sistem Respirasi
Elastisitas menurun juga terjadi pada jaringan paru, Overdistensi pada alveolar dan
kolapnya beberapa jalan napas yang kecil dapat terjadi. Penurunan luas permukaan area
alveolar merupakan hal yang terjadi lebih dahulu, dengan menurunkan efisiensi terhadap
pertukaran gas. Kolapsnya jalan napas meningkatkan Volume Residual paru (volume sisa udara
pada akhir ekspirasi maksimal) dan Clossing capacity (volume udara pada paru dimana jalan
napas kecil mulai tertutup). Bahkan pada orang normal closing capacity meningkatkan
fungsional residual capacity (volume sisa udara pada akhir ekspirasi normal) pada usia 45 tahun
pada posisi supine dan usia 65 tahun pada posisi duduk. Ketika hal ini terjadi, beberapa jalan
napas tertutup
selama pernapasan normal, yang mengakibatkan perbedaan yang tidak sebanding antara
ventilasi dengan perfusi. Efek tambahan yang terjadi pada menyerupai empishema ini adalah
perubahan menurunnya tekanan oksigen arteri, rata-rata 0.35 mmHg / tahun. Tetapi, pada
pasien tua yang akan dilakukan operasi mempunyai range tekanan oksigen yang cukup
luas.Terjadi peningkatan dead space anatomi dan fisiologi.
Ventilasi dengan mask lebih sulit dilakukan pada pasien dengan
edentulous/ompong, sedangkan arthritis pada TMJ atau vertebra servikal, intubasi merupakan
suatu tantangan. Pada hal lain, tidak adanya gigi atas sering bermanfaat dalam memperbaiki
penglihatan terhadap pita suara saaat dilakukan intubasi/laringoskop. Pencegahan perioperatif
termasuk hypoksia dengan melakukan preoksigenasi lebih lama sebelum melakukan
intubasi, meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi selama antesthesi, sedikit meningkatkan
PEEP, dan agresif melakukan pulmonary toilet / pembersihan trachea. Pneumonia Aspirasi
sering dan potensial terjadi sebagai komplikasi saat lakukan penyelamatan dijiwa pada penderita
tua. Satu alasan kecenderungan. terjadinya hal ini adalah adanya penurunan reflek proteksi
laringeal yang progresif sesuai dengan umur. Kegagalan ventilasi di RR sering terjadi pada
pasien tua. Untuk itu, pasien-pasien dengan penyakit paru berat sebelumnya dan yang telah
dilakukan operasi abdominal, post op pasien harus tetap terintubasi. Tambahan, untuk
management nyeri post op harus dilakukan dengan pertimbangan yang serius (seperti,
epidural dengan lokal anesthesi dan opioid, blok nervus interkosta).

c) Fungsi Ginjal
RBF dan masa ginjal (spt. Jumlah glumerulus dan panjang tubulus) menurun sesuai
dengan Usia. Perubahan yang mencolok terutama terjadi kortek ginjal dimana disini akan
diganti oleh lemak dan jaringan fibrosis. Fungsi ginjal ditentukan oleh GFR dan penurunan
kreatinin serum menjadi menurun. Kadar kreatinin serum tidak berubah dikarenakan
adanya penurunan masa otot dan produksis kreatinin. Sebaliknya kadar BUN (Blood Urea
Nitrogen) perlahan meningkat (0.2 mg/dL per tahun). Gangguan terhadap pemeliharaan
natrium, dan kemampuan untuk mengkonsentrasi dan kemampuan dilusi mempengaruhi
pasien-pasien tua untuk terjadinya dehidrasi atau kelebihan cairan (Fluid Overload). Respon
terhadap hormon antidiuretik dan aldosteron menurun. Kemampuan untuk reabsorbsi gula
menurun. Kombinasi antara penurunan RBF dan dan penurunan masa nefron, meningkatkan
resiko pasien tua untuk
terjadinya ARF pada periode post operatif. Karena menurunnya fungsi ginjal, yang mempuyai
fungsi untuk mengekskresikan obat-obatan. Menurunnya kemampuan dalam menangani
cairan dan elektrolit, membuat penanganan atau penatalaksaan terhadap cairan harus lebih
kritis/serius; pasien tua lebih cenderung terjadi hypokalemia dan hyperkalemia. Ini merupakan
Komplikasi
lebih lanjut terhadap seringnya penggunaan diuretik pada pasient tua. Pada akhirnya elektrolit
serum, Cardiac Filling Pressures, dan output urin harus lebih sering di monitor.

d) Fungsi Metabolik dan Endokrin


Konsumsi Oksigen basal dan maksimal menurun sesuai dengan usia.Puncaknya setelah
usia 60 tahun, banyak laki-laki dan wanita mulai kehilangan berat badannya
dibandingkan usia muda. Produksi panas badan menurun, kehilangan panas meningkat. dan
hypothalamic sebagai pusat pengatur temperatur suhu tubuh baru akan ter-reset pada level
yang terendah.
Peningkatan resistensi insulin menjadi penyebab terjadinya penurunan yang progresif dalam
kemampuan untuk mengatasi peningkatan glukosa dalam tubuh. Respon neuroendocrine
terhadap stress tampaknya dipertahankan atau sedikit menurun dibandingkan dengan pasien
tua yang masih sehat. Penuaan dihubungkan dengan penurunan respon terhadap obat-obat ß-
adrenergik (endogenous ß – blockade). Kadar norepineprin dalam sirkulasi dikatakan akan
meningkat pada pasien-pasien tua.

e) Fungsi Gastrointestinal
Massa hati menurun pada orang tua sesuai juga terjadinya penurunan aliran darah ke hati
(Hepatic Blood Flow). Dan Fungí hati (cadangan) menurun sesuai dengan penurunan
masa dari hati. Sehingga biotransformasi dan produksi albumin menurun. Kadar Choline
esterase plasma menurun pada laki-laki tua. pH lambung cenderung meningkat,
sedangkan pengosongan lambung memanjang. Walaupun menurut bebarapa penelitan pada
pasien-pasien tua mempunyai volume lambung yang rendah dibandingkan dengan pasien
mudah

f) Sistem Saraf

Masa otak menurun sesuai dengan usia; neuron yang berkurang menonjol di kortek
cerebral, terutama lobus frontal. CBF menurun sekitar 10 – 20% sesuai dengan berkurangnya
sel saraf. Ini berhubungan erat dengan metabolisme ; autoregulasi masih baik. Neuron
menurun dalam ukuran dan kehilangan beberapa kompletisitas dari cabang-cabang dendrit dan
jumlah sinaps. Pembentukan beberapa neurontransmiter seperti dopamin dan
sejumlah reseptor berkurang. Ikatan Serotonergic, adrenergic dan amino-γ buteric acid (GABA)
juga berkurang. Jumlah sel Astrocyt dan sel mikroglia meningkat. Degradasi sel-sel saraf perifer
mengakibatkan lamanya kecepatan konduksi dan atropi dari otot skeletal. Penuaan dihubungkan
dengan peningkatan threshol / ambang dari hamper semua sensorik, termasuk sentuh,
sensasi temperatur, propioseptif, pendengaran dan penglihatan. Perubahan presepsi
nyeri adalah sangat komplek dan masih belum dapat dimergerti benar. Proses Mekanisme di
pusat dan perifer seperti perubahan.
Dosis yang diperlukan diturunkan untuk anestesi lokal (Minimum anesthetic
Concentration) dan anestesi General (Minimum Alveolar concentration). Pada pasien usia
tua pemberian anesthesi epidural cenderung menyebar ke arah cephal, tetapi dengan durasi
analgetik dan blok motoric yang pendek. Lamanya duration of action harus dipikirkan
pada spinal anesthesi. Bila tidak ada penyakit penyerta, penurunan fungsi kognitif adalah
normal, tetapi berbeda setiap orang. Memori jangka pendek yang biasanya paling sering
terganggu. Aktivitas secara fisik dan intelektual yang berkelanjutan tampaknya
mempunyai efek yang baik terhadap pemeliharaan fungsi kognitif. Pada pasien yang sudah tua
memerlukan waktu yang lebih lama untuk pemulihan sistem saraf pusat dari efek tindakan
anesthesi umum, terutama
pada mereka yang mengalami kebingungan dan disorientasi pada preoperatif. Ini merupakan hal
penting pada pasien geriatik yang akan dilakukan tindakan pembedahan rawat jalan, dimana
faktor sosioekonomi yang merupakan factor utama/tertinggi yang menyebabkan pasien
diharuskan dirawat dirumah. Banyak pasien tua/geriatri mengalami bermacam-macam
derajat dari
Acute confusional state, delirium atau gangguan Kognitive setelah pembedahan.
Penyebab dari Disfungsi kognitif postoperatif (POCD = Post Operative Cognitive Dysfungsion)
adalah multifaktor dan termasuk efek obat, nyeri, demensia, hypotermia dan gangguan
metabolik. Rendahnya kadar neurotransmiter utama, seperti asetilkolin, mungkin juga
memberikan
kontribusi. Pada pasien tua terutama sensitif terhadap obat – obat bekerja sebagai anti
kolinergik yang bekerja dipusat seperti scapolamin atau atropin. Menariknya, kejadian
delirium postoperasi sepertinya terjadi pada regional anesthersi dan general anaesthesi. Mungkin
ini jarang terjadi pada anesthesia regional tanpa sedasi. Beberapa pasien menderita karena
prolonged atau permanent POCD setelah pembedahan dan anesthesi. Beberapa penelitian
mengatakan bahwa POCD dapat dideteksi pada 10% - 15% pada pasien diatas usia 60 tahun
selama 3 bulan post pembedahan utama. Pada bagian yang lain seperti post oprasi cardiac dan
prosedur bedah tulang besar, emboli arteri intraoperative dapat juga menjadi penyebab. Pada
pasien tua tampaknya mempunyai resiko terbesar terhadap terjadinya POCD dibandingkan
dengan pasien rawat jalan
lainnya.

g) Sistem Muskuloskeletal
Masa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopis neuromuscular junction menebal. Receptor
acethylcholine tampaknya juga tersebar dibeberapa extrajunctional.Kulit mengalami atropi
sesuai dengan umur dan mudah untuk terjadinya trauma dari plester, Alas dari elektrocauter,
electroda dari EKG. Vena sering lemah dan mudah terjadi ruptur oleh karena IVFD. Adanya
Arthritis sendi mengganggu terhadap pengaturan posisi (spt. Lithotomi) atau Anesthesi regional
(spt. Subarachnoid block / Spinal anesthesi). Adanya penyakit degenaratif pada tulang
servikal dapat membatasi ekstensi leher yang berpotensial menyebabkan kesulitan dilakukannya
intubasi

2.3 Anestesi Pada Pasien Diabetes Mellitus

Pada orang dewasa normal, produksi insulin sekitar 50 unit per hari dari sel beta
lengerhans pancreas. Jumlah sekresi insulin terutama tergantung kadar glukosa didalam
plasma. Insulin, merupakan hormon anabolik paling penting yang mempunyai efek metabolik
yang banyak, meliputi peningkatan glukosa dan potassium memasuki adiposa dan sel
otot; meningkatan glikogen, protein, dan sintesis asam lemak dan penurunan glikogenolisis,
glukoneogenesis, ketogenesis, lipolisis dan katabolisme protein. Biasanya, insulin merangsang
anabolisme, dimana gangguan insulin dihubungkan dengan katabolisme dan balans nitrogen
yang negatif. Diabetes mellitus ditandai oleh kerusakan metabolisme karbohidrat yang
disebabkan oleh defisiensi insulin atau kemampuan reaksi insulin, yang menimbulkan
hiperglikemi dan glukosuria. Dignosis berdasarkan peningkatan glukosa plasma puasa ( >
140 mg/dl ) atau glukosa darah ( 126mg/dl ). Nilai dari beberapa laporan bahwa kadar gula darah
berkiras 12 –15% lebih rendah dari glukosa plasma, demikian juga ketika pengujian pada whole
blood, perhitungan glukosa terbaru, dan pada glukosa plasma. Diabetes baru-baru ini
terlah diklasifikasikan kembali meliputi empat tipe (table 36-2); DM tipe I (insulin-dependen)
dan DM tipe II (noninsulin-dependen) yang paling umum dan dikenal. Diabetik Ketoasidosis
(DKA) dihubungkan dengan DM tipe I, tetapi ada orang tertentu, dimana saat ini dengan DKA
yang secara fenotip terlihat mempunyai DM tipe II. Selanjutnya, individu dengan
diagnosa awal DM tipe II kemudian berkembang menjadi DM tipe II Penurunan aktivitas
hormon insulin mengakibatkan terjadinya katabolism dari asam lemak bebas menjadi
benda keton (acetoacetate dan -βhydroxybutyrate), sebagian dari yang ada adalah asam
lemah. Akumulasi dari asam organic ini mengakibatkan suatu anion-gap acidosis
metabolisme — DKA (Diabetic Keto Asidosis). DKA dapat dengan mudah dicirikan dari
Asidosis Laktat, dimana hal ini dapat terjadi pada waktu bersamaan; Asidosis laktat dicirikan
dengan peningkatan laktat plasma ( > 6 mmol/L ) dan tidak ditemukan di urine dan keton plasma
(walaupun mereka dapat terjadi secara bersamaan dan ketosis pada kelaparan dapat
terjadi asidosis laktat). Pada
peminum alcohol, ketoacidosis dapat dibedakan dengan adanya riwayat terakhir konsumsi
alkohol berat (pesta minum minuman keras yang memabukan) pada pasien nondiabetic dengan
suatu kadar glukosa darah yang sedikit meningkat. Pada keadaan seperti itu pasien juga
mempunyai peningkatan tidak sebanding pada hydroxybutyrate dengan acetoacetate Infeksi
merupakan penyebab yang paling umum pada DKA, dimana pada beberapa pasien, terutama
pada anak remaja, adalah manifestasi pertama dari diabetes mellitus type I. Maifestasi klinik
meliputi tachypnea (mencoba untuk melakukan kompensasi terhadap acidosis metabolisme),
sakit abdominal yang menyerupai suatu abdomen akut, mual dan muntah, dan perubahan
sensoris.
Pengobatan DKA tergantung pada koreksian pertama yang sering penting
hypovolemia, hyperglycemia, dan defisit dari kalium tubuh, dengan infuse kontinyu
suatu cariran isotonic dan kalium, dan infuse insulin.
Tujuan dari penurunan kadar glukosa pada ketoacidosis harus 75–100
mg/dL/jam atau 10%/jam. Pengobatan dapat dimulai dengan suatu pemberian infuse 0,1
U/Kg/jam atau nilai glukosa darah kurang 60 kali 0.1 U/jam. Pada pasien ini sering terjadi
resistensi terhadap terapi insulin, dan rata-rata dibutuhkan dosis yang lebih tinggi jika
glukosa tidak menurun. Seperti glukosa yang bergerakkan keintrasel, demikian juga
kalium. Jika dikoreksi, hal ini dapat dengan cepat mendorong kearah suatu tingkatan
hypokalemia yang kritis, penggantian yang sangat cepat pada hyperkalemi dapat menyebabkan
suatu hal yang sama dalam mengancap kehidupan. Kalium, Glukosa Darah, dan serum keton
harus dimonitor terus, minimal setiap 2 jam dan lebih baik setiap jam. Beberapa liter dari normal
saline (1–2 L pada jam pertama, yang diikuti oleh
200–500 mL/jam) yang secara khas diperlukan untuk mengoreksi dehidrasin tersebut.
Cairan RL harus dihindari ketika hati dengan cepat mengkonversi laktat ke bikarbonat; karena
menyebabkan lemahnya perfusi pada jaringan, Volume penyebaran dari normal salin adalah
sangat aman. . Ketika glukosa plasmamencapai 250 mg/dL, Infus D5W yang ditambahkan
insulin untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hipoglikemi dan untuk menyediakan
suatu sumber hormon insulin dan glukosa yang terus-menerus yang pada akhirnya
untuk
menormalkan metabolisme intrasel. Pasien mungkin memerlukan NGT untuk dekompresi
gaster dan kateter kandung empedu untuk memonitor pengeluaran air kencing. Koreksi pada
asidosis berat (pH < 7,1) dengan bicarbonat sering tidak diperlukan, seperti koreksi asidosis
dengan volume yang berlebihan dan menormalkan keadaan hiperglikeminya. Ketoacidosis
bukanlah suatu bentuk dari koma nonketotik hyperosmolar, mungkin disebabkan hormon
insulin yang cukup tersedia untuk mencegah perubahan benda-benda keton. Sebagai
gantinya, suatu diuresis hyperglycemic mengakibatkan dehidrasi dan hyperosmolaritas.
Dehidrasi berat cepat menimbulkan gagal ginjal, asidosis laktat, dan kecenderungan
membentuk thromboses intravascular. Hyperosmolaritas, sering melebihi 360 mOsm/L, yang
mengubah keseimbangan air di cerebral, yang menyebabkan perubahan status mental dan
kejang. Hyperglycemia berat menyebabkan suatu factitious hyponatremia: setiap
peningkatan 100 mg/dL glukosa plasma menurunkan konsentrasi sodium plasma sekitar
1,6 mEq/L. Terapi meliputi resusitasi cairan dengan normal saline, dosis hormon insulin yang
relatif kecil, dan penambahan kalium.
Hypoglycemia pada penderita DM adalah berlebihnya hormon insulin relative terhadap
intake karbohidrat. Lebih lanjut, pada beberapa pasien tidak mampu mengkonter dengan
pengeluaran glucagon atau epinephrine terhadap terjadinya hypogl cemia (counterregulatory
failure)). Ketergantungan otak pada glukosa sebagai suatu sumber energi membuatnya
sebagai organ yang paling peka terhadap hypoglycemia. Jika hypoglycemia tidak diobati,
terjadi perubahan status mental cepat dari lightheadedness atau kebingungan sampai terjadi
kejang dan koma yang permanen. Manfestasi sistemik dari hipoglikemi diakibatkan oleh
pengeluaran katekolamin dan meliputi diaphoresis, tachycardia, dan gelisah.
Kebanyakan dari tanda dan gejala dari hypoglycemia akan hilang/tersembunyi oleh anesthesia
umum. Walaupun kadar glukosa plasma normal adalah tidak jelas dan tergantung pada umur dan
jenis kelamin, hypoglycemia dapat secara biasanya dianggap kurang dari 50 mg/dL.
Pengobatan hypoglycemia adalah dengan memberikan 50% glukosa intravena (setiap
mililiter 50% glukosa akan menaikkan glukosa darah kira-kira 2 mg/dL pada pasien dengan BB
70-kg).

2.4 Pertimbangan Anestesi

a. Preoperative
Kadar Hemoglobin A1c dapat membantu mengidentifikasi pasien yang mempunyai
resiko besar terjadi hyperglycemia perioperative dan oleh karena itu peningkatan komplikasi
dan hasil yang buruk. Morbiditas Perioperative pada DM dihubungkan dengan
preoperative kerusakan dari end-organ, walaupun sepertiga sampai setengah pada pasien DM
type II mungkin tidak acuh bahwa mereka mempunyai itu. Paru-paru, Kardiovaskular,
dan sistem renal memernukan penilaian yang ketat. Suatu Rongent thorak
preoperative pada penderita DM lebih mungkin terjadi pembesaran jantungkongesti pembuluh
darah paru, atau efusi pleura. EKG preoperatif pada pasien DM juga terjadi peningkatan insiden
abnormalitas dari segment ST dan segmen gelombang T. Myocardial ischemia mungkin jelas
terihat pada EKG di samping riwayat yang tidak ada/negatif (silent myocardial ischemia
dan infark). Pasien DM dengan hipertensi, 50% nya menderita neuropathy otonom
diabetic (Tabel 36–3). Refleksi gangguan fungsi sisten saraf otonom meningkat sejalan dengan
peningkatan usia, DM lebih dari 10 tahun, CAD, atau blokade - adrenergic. Neuropathy
Otonomi pada penderita DM dapat membatasi kemampuan kerja jantung untuk
melakukan kompensasi terhadap perubahan
volume intravaskuler dan dapat mempengaruhi ketidak stabilan kardiovaskuler (seperti pada
hipotensi postinduksi) dan bahkan kematian berhubungan dengan kematian jantung yang
mendadak, insidennya mungkin meningkat dengan penggunaan angiotensin-converting
enzyme inhibitors atau angiotensin receptor blockers. Lebih lanjut, gangguan fungsi otonomik
berperan terhadap perlambatan pengosongan lambung (gastroparesis). Premedikasidengan
suatu antacid dan metoclopramide akan sangat bijaksana pada pasien DM yang gemuk dengan
tanda dari disfungsi otonom jantung. Bagaimanapun, disfungsi otonom dapat
mempengaruhi tractus gastrointestinal tanpa tanda tanda-tanda keterlibatan jantung.
1Normal heart rate variability during voluntary deep breathing (6 breaths/min) is greater than 10
beats/min. Gangguan ginjal dimanifestasikan dengan proteinuria dan kemudian
peningkatan kreatinin serum. Dengan kriteria ini, pasien DM tipe I paling sering mengalami
gangguan ginjal pada usia 30 tahunan. Karena tingginya kejadian infeksi yang dihubungkan
dengan system kekebalan, perhatian yang tegas pada tehnik aseptic harus dilakukan pada
pemasangan semua kateter intravena dan monitoring invasive. Hiperglikemi kronik dapat
memicu terjadinya glikosilasi / glycosylation pada protein jaringan dan sindrom keterbatasan
pergerakan sendi / limited-mobility joint syndrome. Pada preoperative, Pasien DM harus selalu
dievaluasi secara rutin
terhadap kemampuan pergerakan dari sendi temporomandibular dan tulang leher untuk
membantu dalam menghadapi kesulitan intubasi, dimana kejadian ini terjadi sekitar 30% pada
penderita DM tipe I.

b. Intraoperatif
Tujuan utama dari management gula darah intraoperatif adalah menghindari
terjadinya hipoglikemi. Walaupun memcoba untuk mempertahanka kondisi euglikemi adalah
hal yang kurang hati-hati, tidak dapat diterimanya hilangnya gula darah kontrol
(>180mg/dL) juga membawa suatu resiko. Hiperglikemi telh dihubungkan dengan
keadaan hiperosmolaritas,
infeksi/peradangan dan luka yang sulit sembuh. Yang lebih penting, ia dapat memperburuk
neurologis setelah suatu episoda iskemik serebral dan hasil setelah tindakan bedah jantung atau
setelah akut miokard infark. Kecuali hiperglikemi diobati secara agresif pada DM tipe,
kontrol hasil metabolik, terutama yang berhubungan dengan pembedahan besar atau
sepsis. Pengawasan yang ketat bermanfaat pada pasien yang akan menjalani
pembedahan kardiopulmonary bypass dengan memperbaiki kontraktilias dan pemisahan
dang dengan
menurunnya infeksi dan komplikasi neurologis. Kontrol ketat pada pasien hamil dengan DM
telah memperlihatkan perbaikan hasil pada bayi. Meskipun demikian, seperti dicatat sebelumnya,
bahwa ketergantungan otak terhadap glukosa sebagai sumber energi yang membuat hal ini
menjadi penting, sehingga terjadinya hipoglikemi harus dihindari Adanya beberapa regimen
pada managemen perioperatif untuk pasien DM. Yang paling sering, pasien menerima suatu
fraksi (biasanya setengah) dari total dosis insulin dosis pada bentuk insulin kerja menurunkan
resiko terjadinya hipoglikemi, insulin diberikan setelah akses vena terpasang dan diperiksa kadar
gula darah pagi hari. Sebagai contoh, seorang pasien yang normal mendapatkan Insulin NPH
(neutral protamine Hagedorn; intermediate-acting) dosis 30 U dan 10 U dari regular atau insulin
Lispro (short- acting) atau analog insulin setiap pagi dan setiap yang gula darahnya kurang
150mg/dL mendapatkan 15 U (setengah dari 30, setengah dari dosis normal pagi hari) dari NPH
secara subkutan atau IM sebelum pembedahan bersama dengan infus dekstrosa 5% (1,5
mL/kg/jam). Penyerapan insulin subkutan atau IM tergantung dari pada aliran darah
dijaringan, bagaimanapun, dan selama pembedahan dapat tidak diramalkan. Penggunaan
dari jalur intravena dengan jarum infus yang keci untuk pemberian cairan dextrose guna
mencegah terjadinya pengaruh dengan cairan intraoperatif dan obat yang lain. Tambahan
dekstrosa dapat diberikan jika pasien menjadi hipglikemik ( < 100 mg/dL ). Tetapi,
hiperglikemi intraoperatif ( > 150-180 mg/dL ) diterapi dengan cairan insuliln reguler IV sesuai
dengan skala yang ada. Satu unit insulin regular yang diberikan pada dewasa biasanya kadar
glukosa lebih rendah pada 25 – 30 mg/dL. Ini harus ditekankan bahwa dosis-dosis ini adalah
perkiraan dan tidak berlaku bagi pasien dalam keadaan Katabolic ( misalnya, sepsis,
hyperthermia) Suatu metode alternative untuk pemberian regular insulin adalah dengan infuse
kontinyu. Kelebihan dari tehnik ini adalah lebih seksama/tepat mengontrol pemberian insulin
daripada dapat dicapai dengan suntukan insulin NPH secara subkutan atau IM, terutama pada
kondisi yang dihubungkan dengan perfusi dikulit dan otot yang jelek. Dua ratus dan 50 Unit
regular insulin dapat ditambahkan dalam 250ml garam fisiologis dan infuse dimulai pada dosis
0,1 U/kg/jam. Seperti pada Fluktuasi gula darah, infuse regular insulin dapat
ditambahkan dapat disesuaikan menurut rumusan yang berikut : Target umum untuk
mempertahankan gula darah intraoperatif adalah 120 – 150 mg/dL. Walau beberapa telah diatas
target dari 120 mg/dL. Kontrol yang ketat dengan tehnik intravena kontinous mungkin lebih
tepat untuk DM type I. penambahan 20mEg KCl pada setiap 1 liter cairan harus lebih
diperhatikan, insulin menyebabkan potassium (Kalium) pindah ke intraseluler. Efek
dari penyerapan insulin oleh spuit intravena dapat diminimalkan dengan flushing jalur sebelum
dimulainya infuse. Beberapa anestesi juga menyarankan penempatan infuse insulin pada botol
gelas untuk meminimalkan penyerapan oleh plastic intravenous bag. Karena kebutuhan
insulin setiap individu sangat bervariasi sekali, banyak formula yang harus diperhatikan hanya
sebagai guidline saja. Jika pasien pada preoperatif sedang meminum obat hipoglicemik
oral sebagai pengganti insulin, obat dapat dilanjutkan samapi hari akan dioperasi, tetapi padda
sulfonylureas dan metformin harus dihentikan 24 – 48 jam sebelum operasi karena mereka
mempunyai half life / masa paruh yang panjang. Mereka dapat dimulai lagi postoperatif
ketika pasien sudah dapat minum per oral.Metformin dimulai jika fungsi renal dan hepar
tetap adekuat. Karena aksi kerja yang lama, suatu infus glukosa dimulai dan gula darah terus
dimonitor sebagai insulin dengan kerja yang intermediat telah diberikan. Efek obat oral
hipoglikemi dengan lama kerja yang singkat dapat memanjang pada gangguan ginjal. Banyak
pasien-pasien ini memerlukan insulin dari luar selama masa intraoperatif dan postoperatif. Hal
ini disebabkan oleh stress menghadapi pembedahan yang menyebabkan peningkatan
dalam counterregulatory hormon (seperti, catecholamines, glucocorticoids, growth hormone)
dan mediator inflasi seperti faktor nekrosis tumor dan interleukin. Setiap penambahan ini
menjadi stress hiperglikemi, dengan peningkatan kebutuhan insulin. Namun, beberapa DM tipe
II
akan bertoleransi kecil, prosedur pembedahan yang ringan tanpa memerlukan insulin dari luar.
Kunci untuk beberapa cara managemen adalah memantau kadar glukosa plasma secara rutin dan
menyadari adanya variasi antara pasien pasien denganDM bervariasi dalam kemampuan
mereka untuk menghasilkan insulin endogenous. Pasien dengan DM tipe I yang rapuh
mungkin memerlukan penilaian glukosa setiap jam, sementara pada beberapa pasien DM tipe 2
cukup setiap 2 – 3 jam. Demikian juga, kebutuhan insulin bervariasi sesuai stress pada prosedur
pembedahan tersebut. Pasien yang menerima insulin pada pagi hari tetapi tidak menjalankan
pembedahan sampai sore adalah cenderung menjadi hipogl kemi walaupun diberikan infus
dextrose. Kecuali kalau terpasang arteri line, pengambilan spesimen darah yang banyak
dan mengirimkanya ke laboratorium memerlukan waktu dan biaya yang mahal, dan
memberikan trauma pada pembuluh darah pasien. Portable spectrophotometers dapat menilai
konsentrasi glukosa dari setetes darah yang berasal dari ujung jari dalam semenit. Alat ini
menilai konversi warna suatu potongan glucose-oxidase-impregnated yang telah diunjukkan ke
darah pasien itu untuk suatu periode tertentu. Ketelitian mereka tergantung pada luas besar,
kepedulian dengan mana pengukuran dibuat Pemantauan gula di urin tidak cukup akurat
untuk management Intraoperatif (intraoperative manajement.) Pasien yang mendapatkan NPH
atau protamine zinc, insulin meningkatkan resiko reaksi alergi terhadap protamine sulfat –
termasuk syok anaphylaksis dan kematian. Sayangnya, operasi yang memerlukan penggunaan
heparin dan yang berikutnya berlawanan dengan protamine (seperti pada Kardiopulmonal
bypass)
adalah lebih sering terjadi pada penderita DM. Pada pasien ini menerima sedikit protamin untuk
test dose 1 – 5 mg selama lebih dari 5 – 10 menit sebelum diberikan dosis reversal penuh.

c. Post-operative
Pemantauan yang ketat pada pasien DM terhadap kadar gula darahnya harus tetap diperiksa
postoperatif secara terus-menerus. Satu alasan untuk hal ini adalah variasi individu pada onset
dan lama nya kerja dari preparat insulin (Tabel36-5). Untuk contoknya, onset kerja dari insulin
reguler mungkin kurang dari 1 jam, tetapi lama kerjanya lebih dari 6 jam. Insulin NPH
mempunyai ciri pada onset kerja kurang dari 2 jam, tetapi kerjanya dapat lebih lama dari 24 jam.
Alasan lain pemantauan yang ketat adalah progresivitas dari stress hiperglikemi dalam masa
rekoveri. Jika volume laktanya besar –terkandung pada IVFD yang diberikan
intraoperatif, kadar gula cenderung meningkat 24 – 48 jam post operatif dimana hepar merubah
laktat menjadi glukosa. Pasien DM rawat jalan mungkin diperlukan izin untuk dirawat semalam
jika mual dan muntahnya tetap ada yang berassal dari gastroparesis mencegah intake oral

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi,
kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.

kelompok anestesi

Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi.
Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. seseorang yang
mengonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak selalu menghilangkan
seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri.
Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya
menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.

Tipe anestesi

Beberapa tipe anestesi adalah:

 Pembiusan total — hilangnya kesadaran total


 Pembiusan lokal — hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil
daerah tubuh).
 Pembiusan regional — hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade
selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya

Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan
sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran. Obat bius jenis
ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah selesai operasi tidak membuat lama
waktu penyembuhan operasi.

Anestesiologis dengan empat rangkaian kegiatan

Anestesi dilakukan oleh dokter spesialis anestesi atau anestesiologis. Dokter spesialis
anestesiologi selama pembedahan berperan memantau tanda-tanda vital pasien karena sewaktu-
waktu dapat terjadi perubahan yang memerlukan penanganan secepatnya.

Empat rangkaian kegiatan yang merupakan kegiatan sehari-hari dokter anestesi adalah:

 Mempertahankan jalan napas


 Memberi napas bantu
 Membantu kompresi jantung bila berhenti
 Membantu peredaran darah
 Mempertahankan kerja otak pasien.

Sejarah anestesi

Eter ([CH3CH2]2O) adalah salah satu zat yang banyak digunakan sebagai anestesi dalam dunia
kedokteran hingga saat ini. Eter ditemukan seorang ahli kimia berkebangsaan Spanyol,
Raymundus Lullius pada tahun 1275. Lullius menamai eter "sweet vitriol". Eter pertama kali
disintesis Valerius Cordus, ilmuwan dari Jerman pada tahun 1640. Kemudian seorang ilmuwan
bernama W.G. Frobenius mengubah nama "sweet vitriol" menjadi eter pada tahun 1730.
Sebelum penemuan eter, Priestly menemukan gas nitrogen-oksida pada tahun 1777, dan
berselang dua tahun dari temuannya itu, Davy menjelaskan kegunaan gas nitrogen-oksida dalam
menghilangkan rasa sakit.

Sebelum tahun 1844, gas eter maupun nitrogen-oksida banyak digunakan untuk pesta mabuk-
mabukan. Mereka menamai zat tersebut "gas tertawa", karena efek dari menghirup gas ini
membuat orang tertawa dan lupa segalanya.
Penggunaan eter atau gas nitrogen-oksida sebagai penghilang sakit dalam dunia kedokteran
sebenarnya sudah dimulai Horace Wells sejak tahun 1844. Sebagai dokter gigi, ia bereksperimen
dengan nitrogen-oksida sebagai penghilang rasa sakit kepada pasiennya saat dicabut giginya.
Sayangnya usahanya mempertontonkan di depan mahasiswa kedokteran John C. Warren di
Rumah Sakit Umum Massachusetts, Boston gagal, bahkan mendapat cemoohan. Usahanya
diteruskan William Thomas Green Morton.

Morton adalah sesama dokter gigi yang sempat buka praktik bersama Horace Wells pada tahun
1842. Ia lahir di Charlton, Massachusetts, Amerika Serikat pada tanggal 9 Agustus 1819. Pada
usia 17 tahun, ia sudah merantau ke Boston untuk berwirausaha. Beberapa tahun kemudian
mengambil kuliah kedokteran gigi di Baltimore College of Dental Surgery. Morton meneruskan
kuliah di Harvard pada tahun 1844 untuk memperoleh gelar dokter. Namun karena kesulitan
biaya, tidak ia teruskan. Pada tahun yang sama, ia menikah dengan Elizabeth Whitman dan
kembali membuka praktik giginya. Ia berkonsentrasi dalam membuat dan memasang gigi palsu
serta cabut gigi. Suatu pekerjaan yang membutuhkan cara menghilangkan rasa sakit.

Morton berpikir untuk menggunakan gas nitrogen-oksida dalam praktiknya sebagaimana yang
dilakukan Wells. Kemudian ia meminta gas nitrogen-oksida kepada Charles Jackson, seorang
ahli kimia ternama di sekolah kedokteran Harvard. Namun Jackson justru menyarankan eter
sebagai pengganti gas nitrogen-oksida.

Morton menemukan efek bius eter lebih kuat dibanding gas nitrogen-oksida. Bahkan pada tahun
1846 Morton mendemonstrasikan penggunaan eter dalam pembedahan di rumah sakit umum
Massachusetts. Saat pasien dokter Warren telah siap, Morton mengeluarkan gas eter (atau
disebutnya gas letheon) yang telah dikemas dalam suatu kantong gas yang dipasang suatu alat
seperti masker. Sesaat pasien yang mengidap tumor tersebut hilang kesadaran dan tertidur.
Dokter Warren dengan sigap mengoperasi tumor dan mengeluarkannya dari leher pasien hingga
operasi selesai tanpa hambatan berarti.

Tanggal 16 Oktober 1846 menjadi hari bersejarah bagi dunia kedokteran. Demonstrasi Morton
berhasil dengan baik dan memicu penggunaan eter sebagai anestesi secara besar-besaran.
Revolusi pembedahan dimulai dan eter sebagai anestesi dipakai hingga saat ini. Ia bukanlah yang
pertama kali menggunakan anestesia, namun berkat usahanyalah anestesia diakui dunia
kedokteran. Wajar jika Morton masuk dalam 100 orang paling berpengaruh dalam sejarah dunia
dalam buku yang ditulis William H. Hart beberapa tahun yang lalu.

Di balik kesuksesan zat anestesi dalam membius pasien, para penemu dan penggagas zat anestesi
telah terbius ketamakan mereka untuk memiliki dan mendapatkan penghasilan dari paten
anestesi yang telah digunakan seluruh dokter di seluruh bagian dunia.

Terjadilah perseteruan di antara Morton, Wells, dan Jackson. Masing-masing mengklaim zat
anestesi adalah hasil penemuannya. Di tempat berbeda, seorang dokter bernama Crawford W.
Long telah menggunakan eter sebagai zat anestesi sejak tahun 1842, empat tahun sebelum
Morton memublikasikan ke masyarakat luas. Ia telah menggunakan eter di setiap operasi
bedahnya. Sayang, ia tidak memublikasikannya, hanya mempraktikkan untuk pasien-pasiennya.
Sementara ketiga dokter dan ilmuwan yang awalnya adalah tiga sahabat itu mulai besar kepala,
dokter Long tetap menjalankan profesinya sebagai dokter spesialis bedah.

Wells, Morton, dan Jackson menghabiskan hidupnya demi pengakuan dari dunia bahwa zat
anestesi merupakan hasil temuannya. Morton selama dua puluh tahun menghabiskan waktu dan
uangnya untuk mempromosikan hasil temuannya. Ia mengalami masalah meskipun ia telah
mendaftarkan hak patennya di lembaga paten Amerika Serikat (U.S. Patent No. 4848, November
12, 1846). Ketika tahun 1847 dunia kedokteran mengetahui, zat yang digunakan adalah eter yang
telah digunakan sejak abad 16, Morton tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mendapat
keuntungan dari patennya. Jackson juga mengklaim, dirinya juga berhak atas penemuan tersebut.

Ketika Akademi Kedokteran Prancis menganugerahkan penghargaan Monthyon yang bernilai


5.000 frank pada tahun 1846, Morton menolak untuk membaginya dengan Jackson. Ia
mengklaim, penemuan tersebut adalah miliknya pribadi. Sementara itu, Wells mencoba
eksperimen dengan zat lain (kloroform) sebagai bahan anestesi.

Selama bertahun-tahun Morton menghabiskan waktu dan materi untuk mengklaim patennya. Ia
mulai stres dan tidak memedulikan lagi klinik giginya. Morton meninggal tanggal 15 Juli 1868 di
usia 49 tahun di Rumah Sakit St. Luke's, New York. Begitu juga dengan Jackson yang
meninggal dalam keadaan gila dan Wells yang meninggal secara mengenaskan dengan cara
bunuh diri.(Dewi Marthaningtyas:"Terbius Memburu Paten Gas Tertawa", Cakrawala, 2005).

Penggunaan obat-obatan dalam anestesi

Dalam membius pasien, dokter anestesi memberikan obat-obatan (suntik, hirup, ataupun lewat
mulut) yang bertujuan menghilangkan rasa sakit (pain killer), menidurkan, dan membuat tenang
(paraytic drug). Pemberian ketiga macam obat itu disebut triangulasi.

Bermacam obat bius yang digunakan dalam anestesi saat ini seperti:

 Thiopental (pertama kali digunakan pada tahun 1934)


 Benzodiazepine Intravena
 Propofol (2,6-di-isopropyl-phenol)
 Etomidate (suatu derifat imidazole)
 Ketamine (suatu derifat piperidine, dikenal juga sebagai 'Debu Malaikat'/'PCP' (phencyclidine)
 Halothane (d 1951 Charles W. Suckling, 1956 James Raventos)
 Enflurane (d 1963 u 1972), isoflurane (d 1965 u 1971), desflurane, sevoflurane
 Opioid-opioid sintetik baru - fentanyl (d 1960 Paul Janssen), alfentanil, sufentanil (1981),
remifentanil, meperidine
 Neurosteroid

Gejala siuman (awareness)

Sering terjadi pasien ternyata dapat merasa dan sadar dari pengaruh bius akibat obat pembius
yang tidak bekerja dengan efektif. Secara statistik, Dr. Peter Sebel, ahli anestesi dari Universitas
Emory yang dikutip Time terbitan 3 November 1997 mengungkapkan bahwa dari 20 juta pasien
yang dioperasi setiap tahunnya di Amerika Serikat, 40.000 orang mengalami gejala siuman
tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, dalam pertemuan tahunan sekitar bulan Oktober 1997,
Persatuan Dokter Ahli Anestesi Amerika ditawari suatu alat yang disebut Bispectral Index
Monitor yang akan memberi peringatan bahwa pasien yang sedang dioperasi mengalami gejala
siuman atau menjelang "bangun dari tidurnya".Penemu alat tersebut adalah Dr. Nassib Chamoun,
seorang dokter ahli saraf (neurologist) asal Yordania. Dengan menggunakan prinsip kerja dari
alat yang sudah ada, yaitu peranti yang disebut EEG (Electroencephalography). Alat yang
ditemukan Dr. Chamoun itu mampu memonitor potensi listrik yang ditimbulkan oleh aktivitas
"jaringan otak manusia".

Alat ini dapat menunjukkan derajat kondisi siuman pasien yang sedang menjalani suatu
pembedahan. Angka "100" menunjukkan pasien dalam keadaan "siuman sepenuhnya". Bila
jarum menunjukkan angka "60" berarti pasien dalam kondisi "siap untuk dioperasi". Angka "0"
menandakan pasien mengalami "koma yang dalam".

Dengan mengamati derajat siuman dari alat ini, dokter anestesi dapat menambahkan obat
pembiusan apabila diperlukan, atau memberikan dosis perawatan kepada pasien yang telah
mengalami kondisi ideal untuk dilakukan operasi. Di samping itu, dokter bedah dapat dengan
tenang menyelesaikan operasinya sesuai rencana yang telah ditetapkan.

Pemilihan teknik anestesi


Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan pengetahuan
yang dalam baik antara pasien dan faktor-faktor pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi
pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik daripada pembiusan total.Blokade neuraksial bisa
mengurangi risiko thrombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan pernapasan, infark
miokardial dan kegagalan ginjal.

Anda mungkin juga menyukai