Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2017


UNIVERSITAS PATTIMURA

NEFROPATI DIABETIK

. Disusun oleh:

CECILIA CASANDRA UNEPUTTY


NIM. 2011-83-046

Pembimbing:
dr. Denny Jolanda, Sp.PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2017

BAB I

1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Diabetes melitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-gangguan


metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berkaitan dengan defesiensi absolut
atau relatif aktivitas dan atau sekresi insulin. Karena itu, meskipun diabetes asalnya
merupakan penyakit endokrin, manifestasi pokoknya adalah penyakit metabolik.
Gejala-gejala yang khas adalah rasa haus yang berlebihan, poliuri, pruritus, serta
penurunan berat badan yang tak terjelaskan. Diabetes melitus tipe 2 dapat tanpa
gejala, sehingga diagnosis sering dibuat berdasarkan ketidaknormalan hasil
pemeriksaan darah rutin atau uji glukosa dalam urin. Walaupun penyebab dan
patogenitas diabetes yang lazim kini telah dimengerti dengan lebih baik, sampai
sejauh mana keheterogenan terjadi pada jenis-jenis ini masih belum jelas.1

Pada pasien DM, berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti terjadinya
batu saluran kemih, infeksi saluran kemih, pielonefritis akut maupun kronik, dan juga
berbagai bentuk glomerulonefritis, yang selalu disebut sebagai penyakit ginjal non
diabetik pada pasien diabetes.1,2

Pada umumnya nefropati diabetik di definisikan sebagai sindrom klinis pada


pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap ( >300 mg/24jam
atau >200 mg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3
sampai 6 bulan.1,2

Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal


ginjal terminal. Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe 1 dan 2
sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1. Di Amerika,
nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara semua

2
komplikasi diabetes melitus, dan penyebab kematian tersering adalah karena
komplikasi kardiovaskular.3

Secara epidemiologis, ditemukan perbedaan terhadap kerentanan untuk


timbulnya nefropati diabetik, yang antara lain dipengaruhi oleh etnis, jenis kelamin
serta umur saat diabetes timbul.3

Klasifikasi etiologi diabetes melitus menurut American Diabetes


Association (2010)4

a. Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin


absolute):
1. Autoimun
2. Idiopatik
Pada diabetes tipe 1 (diabetes insulin dependent), lebih sering ternyata pada
usia remaja. Lebih dari 90% dari sel pancreas yang memproduksi insulin mengalami
kerusakan secara permanen. Oleh karena itu, insulin yang diproduksi sedikit atau
tidak langsung dapat diproduksikan. Hanya sekitar 10% dari semua penderita diabetes
melitus menderita tipe 1. Diabetes tipe 1 kebanyakan pada usia dibawah 30 tahun.
Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan seperti infeksi virus atau faktor gizi
dapat menyebabkan penghancuran sel penghasil insulin diabetik.

b. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai terutama dominan resistensi insulin disertai


defisiensi insulin relative sampai defek sekresi insulin disertai resistensi insulin)
Diabetes tipe 2 (Diabetes non insulin dependent) ini tidak ada kerusakan pada
pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin, bahkan kadang-kadang insulin
pada tingkat tinggi dari normal. Akan tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek
insulin, sehingga tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhikebutuhan tubuh.
Diabetes tipe ini sering terjadi pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun dan
menjadi lebih umum dengan peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama
diabetes tipe 2. Sebanyak 80% sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2 mengalami

3
obesitas. Obesitas dapat menyebabkan sensitivitas insulin menurun, maka dari itu
orang obesitas memerlukan insulin yang berjumlah sangat besar untuk mengawali
kadar gula darah normal.

c. Diabetes tipe lain.


1. Defek genetic fungsi sel beta
2. DNA mitokondria
3. Defek genetic kerja insulin
4. Penyakit eksokrin pancreas:
a. Pankreatitis
b. Tumor/pankreatektomi
c. Pankreatopati fibroalkulus
5. Endokrinopati
a. Akromegali
b. Sindroma Cusinh
c. Feokromositoma
d. Hipertiroidisme
6. Karena obat/zat kimia
7. Pentamidin, asam nikotinat
8. Glukokortikoid, hormone tiroid
d. Diabetes melitus Gestasional
Cara diagnosis diabetes melitus dapat dilihat dari peningkatan kadar glukosa
darahnya. Terdapat beberapa kriteria diagnosis diabetes melitus berdasarkan kadar
gula darah, berikut ini adalah kriteria diagnosis berdasarlan American Diabetes
Association tahun 2010.

Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus. Pada


sebagian penderita komplikasi ini berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang
memerlukan pengobatan cuci darah atau transplantasi ginjal. Di dalam laporan
perhimpunan nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2010, disebutkan bahwa

4
nefropati diabetic menduduki urutan nomer tiga (16,1%) setelah glomerulonefritis
kronik (30,1%) dan pielonefrotis kronik (18,51 %) sebagai penyebab paling sering
gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci darah di Indonesia.tingginya prevalensi
nefropati iabetic sebagai penyebab gagal ginjal terminal juga menjadi masalah
dinegara lain. Dewasa ini, 35% penderita gagal ginjal terminal yang menjalani cuci
darah di amerika disebabkan oleh nefropati diabetik. Laporan di eropa menyebutkan
prevalensi sebesar 15%. Prevalensi di singapura pada tahun 2010 adalah 25%.
Perbedaan prevalensi dari berbagai ini selain disebabkan adanya perbedaan diabetik
mungkin juga disebabkan oleh perbedaan ras, geografi, atau faktor-faktor lain yang
belum diketahui. Mengingat mahalnya pengobatan cuci darah dan cangkok ginjal,
berbagai upaya dilakukan untuk dapat menegakkan diagnosis nefropati diabetik
sedini mungkin, sehingga progesifitasnya menjadi gagal ginjal terminal dapat dicegah
atau sedikitnya diperlambat5.

BAB II

5
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Ginjal6

Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding


abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3.
Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar. Ginjal
dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsula renalis,
jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan jaringan terluar adalah fascia renal.
Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan memfiksasi
ginjal.

Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang dan
medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa triangular
disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian apeks yang
menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi
yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal.6

6
Gambar 1. Anatomi Ginjal6

2. FISIOLOGI GINJAL6
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air
secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai
di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh
dalam urin melalui sistem pengumpulan urin.
Beberapa fungsi ginjal yaitu:
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
b. Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui
regulasi keseimbangan H2O. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-fluks
osmotik masuk atau keluar sel, yang masing-masing dapat menyebabkan
pembengkakan atau penciutan sel yang merugikan.
c. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion termasuk natrium, ion
hidrogen, bikarbonat, fosfat, sulfat, dan magnesium. Bakhan fluktuasi kecil

7
konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat berpengaruh besar.
Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+ CES dapat menyebabkan disfungsi
jantung yang mematikan.
d. Mempertahankan volume plasma yang tepat, yang penting dalam pengaturan
jangka panjang tekanan darah arteri.
e. Membantu mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh yang tepat
dengan menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- di urin.
f. Mengeluarkan (mengekskresikan) produk-produk akhir metabolisme tubuh,
seperti urea, asam urat, dan kreatinin.
g. Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan,
pestisida, dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.
h. Menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang merangsang produksi sel
darah merah.
i. Menghasilkan renin, suatu hormon enzim yang memicu suatu reaksi berantai
yang penting dalam penghematan garam oleh ginjal.
j. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian
akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari darah
pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Setelah
ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut
merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka urin yang
ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra.
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar
cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman.
Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara bebas sehingga
konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan
plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak

8
difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian akan
dieksresi.

3. NEFROPATI DIABETIK

3.1 Definisi

Nefropati diabetik adalah penyakit ginjal akibat penyakit DM yang merupakan


penyebab utama gagal ginjal. Ada 5 fase nefropati diabetik. Fase 1, hiperfiltrasi
dengan peningkatan GFR, AER (albumin excretion rate) dan hipertropi ginjal. Fase
II, ekskresi albumin relative normal (<30mg/24jam) pada beberapa penderita
mungkin masih terdapat hiperfiltrasi yang mempunyai risiko lebih tinggi dalam
berkembang menjadi nefropati diabetik. Fase III, terdapat mikroalbuminaria (30-
300mg/24jam). Fase IV, dipstick positif proteinuria, ekskresi albumin >300mg/24jam,
pada fase ini terjadi penurunan GFR dan hipertensi biasanya terdapat. Fase V,
merupakan End Stage Renal Disease (ESRD), dialisis biasanya dimulai ketika
GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.6

3.2 Epidemiologi

Diabetes melitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab utama


stadium akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang
diawali dengan nefropati diabetik. Progresivitas nefropati diabetik mengarah stadium
akhir penyakit ginjal dipercepat dengan adanya hipertensi. Angka kejadiannya
nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insiden pada
tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes melitus tipe 2
lebih banyak daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 leih besar
banyak daripada tipe 1. Pasien diabetes melitus tipe 2 dengan end-stage renal failure

9
(ESRF) jumlahnya saat ini meningkat karena meningkatnya pula prevalensi diabetes
melitus tipe 2 dan secara progresif akan menurunkan angka kematian yang
disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah. Insidensi nefropati diabetik
terutama banyak terjadi pada ras kulit hitam dengan frekuensi 3-6 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih. Sementara itu, tidak ada perbedaan yang
begitu signifikan kejadian nefropati diabetik antara pria dan wanita.2
Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian
tertinggi di antara semua komplikasi diabetes melitus, dan penyebab kematian
tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular. Prognosis yang buruk akan
muncul apabila terjadi progresi nefropati diabetik dan memburuknya fungsi ginjal
yang cepat sehingga menyebabkan mortalitas 70-100 kali lebih tinggi dari pada
populasi normal. Bahkan dengan upaya dialisa, kelangsungan hidupnya pun masih
rendah yitu sepertiga pasien meninggal dalam satu tahun setelah dimulai dialisa.
Pasien nefropati diabetik yang menjalani terapi penggantian ginjal, morbiditasnya 2-3
kali lebih tinggi disbanding pasien nondiabetik dalam penyakit ginjal stadium akhir.3

3.3 Faktor Risiko

Faktor-faktor risiko terjadinya nefropati diabetik antara lain hipertensi,


glikosilasi hemoglobin, kolesterol total, peningkatan usia, resistensi insulin, jenis
kelamin, ras (kulit hitam), dan diet tinggi protein.
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari
penyakit diabetes melitus dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung
terjadinya nefropati diabetik. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan
progresivitas untuk mencapai fase nefropati diabetik yang lebih tinggi (Fase V
nefropati diabetik).7

10
Tidak semua pasien diabetes melitus tipe I dan II berakhir dengan nefropati
diabetik. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa factor risiko
antara lain:
1. Hipertensi
Hipertensi dapat menjadi penyebab dan akibat dari nefropati diabetik. Dalam
glomerulus, efek awal dari hipertensi sistemik adalah dilatasi arteriola afferentia,
yang berkontribusi kepada hipertensi intraglomerular, hiperfiltrasi, dan kerusakan
hemodinamik. Respon ginjal terhadap system rennin-angiotensin menjadi abnormal
pada ginjal diabetes. Untuk alasan ini, agen yang dapat mengkoreksi kelainan tekanan
intraglomerular dipilih dalam terapi diabetes. ACE inhibitor secara spesifik
menurunkan tekanan arteriola efferentia, karena dengan menurunkan tekanan
intraglomerular dapat membantu melindungi glomerulus dari kerusakan lebih lanjut,
yang terlihat dari efeknya pada mikroalbuminuria.7,8

2. Predisposisi genetika berupa riwayat keluarga mengalami nefropati diabetik


dan hipertensi.7,8
3. Kepekaan (susceptibility) nefropati diabetik
a. Antigen HLA (Human Leukosit Antigen)
Beberapa penelitian menemukan hubungan factor genetic tipe antigen HLA
dengan kejadian nefropati diabetik. Kelompok penderita diabetes dengan nefropati
lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9.
b. Glukosa Transporter (GLUT)
Setiap penderita diabetes melitus yang mempunya GLUT 1-5 mempunyai
potensi untuk mendapat nefropati diabetik.
4. Hiperglikemia
Kontrol metabolik yang buruk dapat menjadi memicu terjadinya nefropati
diabetik. Nefropati diabetik jarang terjadi pada orang dengan HbA <7,5-8,0^. Pada
akhirnya glukosa memiliki arti dan pertanda klinis untuk kelainan metabolic yang
memicu nefropati diabetik.8

11
5. Kelainan metabolik lain yang berhubungan dengan keadaan hiperglikemia
juga berperan dalam perkembangan nefropati diabetik termasuk AGEs dan polyols.
AGEs ialah hasil pengikatan nonenzimatik, yang tidak hanya mengubah struktur
tersier protein, tapi juga menghasilkan intra dan intermolecular silang. Berbagai
macam protein dipengaruhi oleh proses ini. Kadar AGEs di sirkulasi dan jaringan
diketahui berhubungan dengan mikroalbuminuria pada pasien diabetes. Kadar AGEs
pada dinding kolagen arteri lebih besar 4 kali pada orang dengan diabetes. Pasien
diabetes dengan ESRD memiliki AGEs di jaringan dua kali lipat lebih banyak
daripada pasien diabetes tanpa gangguan ginjal.7
6. Merokok
Merokok meningkatkan progresi nefropati diabetik. Analisis mengenai factor
resiko menunjukan bahwa merokok meningkatkan kejadian nefropati diabetik sebesar
1,6 kali lipat lebih besar.8

3.4 Etiologi

Faktor-faktor etiologis timbulnya nefropati diabetik antara lain: 8,9


1. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140 160 mg/dl
[7.7 8.8 mmol/l]); dimana A1C > 7 8 %
2. Faktor-faktor genetis
3. Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan LFG,
peningkatan tekanan intraglomerulus)
4. Hipertensi sistemik
5. Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik)
6. Inflamasi
7. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
8. Asupan protein berlebih
9. Gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan advanced
glycation end products, peningkatan produksi sitokin)
10. Pelepasan growth factors
11. Kelainan metabolisme karbohidrat / lemak / protein

12
12. Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan
membrana basalis glomerulus)
13. Gangguan ion pump (peningkatan Na+ - H+ pump dan penurunan Ca2+ -
ATPase pump)
14. Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
15. Aktivasi protein kinase C

3.5 Klasifikasi
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada DM lebih banyak dipelajari pada
DM tipe 1 daripada tipe 2, dibagi menjadi 5 yaitu: 9,10
Tahap 1
Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang
disertai dengan hiperfiltrasi dan hipertropi ginjal. Albuminuria belum nyata dan
tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversible dan berlangsung 0-5 tahun
sejak awal diagnosis DM tipe 1 ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang
ketat, biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.
Tahap 2
Pada Tahap ini terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubahan
morfologik ginjal dan faal ginjal berlanjut, dengan LFG masih tetap meningkat.
Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress atau
kendali metabolic yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya saja
sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan
memburuknya kendali metabolic. Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (Silent
Stage) atau disebut juga tahap asimptomatik.
Tahap 3
Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. LFG
meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju eksresi albumin dalam
urin adalah 20 200 ig/menit (30 300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat.
Secara histologis didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume
mesangium fraksional dalam glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah

13
masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahun0tahun dan
progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang
kuat.
Tahap 4
Tahap ini merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis
lebih jelas, seperti yang ditunjukkan Gambar 1, dan juga timbul hipertensi pada
sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. LFG
menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan
dengan tingginya tekanan darah.

14
Gambar 2. Gambaran Histologis Nefropati Diabetik12

Tahap 5
Ini adalah tahap gagal ginjal atau End Stage Renal Failure, saat LFG sudah
sedemikian rendah sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan
memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialysis maupun transplantasi
ginjal.

Gambar 3. Progresi Kerusakan Ginjal Kronik5

3.6 Patofisiologi
Hingga saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme
patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron
yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.
Mekanisme terjadinya peningkatan LFG pada nefropati diabetik masih belum
jelas, tetapi diduga disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung
glukosa. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik
asam amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Proses ini akan terus

15
berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis
tubulointerstisialis sesuai dengan tahap-tahap menurut Mogensen. Hipertensi yang
timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal juga akan mendorong
sklerosis pada ginjal pasien DM. diperkirakan bahwa hipertensi pada DM terutama
disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus.11
Teori patogenesis nefropati diabetik:
1. Hiperglikemia
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada penderita
DM tipe 1 dapat menurunkan resiko perkembangan nefropati diabetik. Perbaikan
kontrol glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat mencegah kejadian
mikroalbuminuria. Keadaan mikroalbuminuria akan memperberat kejadian nefropati
diabetik. Dengan bukti-bukti ini menunjukan bahwa hubungan antara hiperglikemia
dengan nefropati tidak ada yang meragukan, ini tampak pada kenyataan bahwa
nefropati dan komplikasi mikroangiopati dapat kembali normal bila kadar glukosa
darah terkontrol.11
2. Glikolisasi Non Enzimatik
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik
asam amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang akan
menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation Products). Penimbunan AGEs
dalam glomerulus maupun tubulus ginja dalam jangka panjang akan merusak
membrane basalis dan mesangium yang akhirnya akan merusak seluruh glomerulus.11
3. Polyolpathyway
Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose
reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran utama dalam
merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah meningkat maka sorbitol
akan meningkat dalam sel ginjal dan akan mengakibatkan kurangnya kadar
mioinositol, yang akan mengganggu osmoregulase sel sehingga sel itu rusak.11,8
4. Glukotoksisitas

16
Konsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam
perkembangan nefropati diabetik studi tentang sel ginjal dan glomerulus yang disolasi
menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah penimbunan
matriks ekstraselular. Menurut Lorensi, sehingga dapat terjadi nefropati diabetik.11,8
5. Hipertensi
Hipertensi mempunyai peranan paling dalam patogenesis nefropati diabetik
disamping hiperglikemia. Penelitian menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan
hipertensi lebih banyak mengalami nefropati dibandingkan penderita diabetes tanpa
hipertensi. Hemodinamik dan hipertropi mendukung adanya hipertensi sebagai
penyebab terjadinya hipertensi glomerulus dan hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dari neuron
yang sehat lambat lain akan menyebabkan sclerosis dari nefron tersebut. Jika
dilakukan penurunan tekanan darah, maka penyakit ini akan reversible.8,11
6. Proteinuria
Proteinuria merupakan predictor independent dan kuat dari penurunan fungsi
ginjal baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya. Adanya
hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya filtrasi protein, dimana
pada keadaan normal tidak terjadi. Proteinuria yang berlangsung lama dan berlebihan
akan menyebabkan kerusakan tubulo-intertisiel dan progresifitas penyakit. Bila
reabsorbsi tubuler terhadap protein meningkat maka akan terjadi akumulasi protein
dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti
endotelin I, osteoponin, dan monocyte chemotractant protein-I (MCP-1). Factor
factor ini akan merubah ekspresi dari pro-inflamatory dan fibritic cytokines dan
infiltrasi sel mononuclear, menyebabkan kerusakan dari tubulointertisiel dan akhirnya
terjadi renal scarring dan insufisiensi.11
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan
dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik, dan hemodinamik
berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan ginjal
sebagai bagian dasar terjadinya nefropati diabetik adalah terjadinya proses
hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomerulus. Gambaran histologi jaringan

17
pada nefropati diabetik memperlihatkan adanya penebalan membran basal
glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan
glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta fibrosis tubulo intertitial.
Berbagai fakto berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa
yang menahun (glukotoksisitasi) pada penderita yang mempunya predisposisi genetik
merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati
diabetik. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur:
1) Alur metabolik (metabolik pathway)12
Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara
proses non enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGEs (advance
glycosilation end-products). Peningkatan AGEs akan menimbulkan kerusakan pada
glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C.
Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat
meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan
sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan
gangguan osmolaritas membran basal.

Gambar 4. Mekanisme Polyol pathway13

18
Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang
merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-
dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase
mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species) menjadi
inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan
NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivasi aldose reduktase cukup untuk
mengurangi glutachione (GSH) yang merupakan tambahan stress oksidatif. Sorbitol
dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa
menggunakan NAD-sebagai kofaktor.12,13

Gambar 5. Mekanisme AGE-pathway12,13

19
Mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE (Advanced Glycation
End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Perubahan ikatan kovalen
protein intraseluler oleh prekursor dicarbonyl AGE akan menyebabkan perubahan
pada fungsi selular. Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein ekstraseluler
mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks protein yang lain dan dengan
integrin. Perubahan plasma protein oleh prekursor AGE membentuk rantai yang akan
berikatan dengan reseptor AGE, kemudian menginduksi perubahan pada ekspresi gen
pada sel endotel, sel mesangial, dan makrofag.12,13

Gambar 6. Mekanisme Protein Kinase-C12,13

20
VCHBMP r a al oo s - co u l a r
RsFpNTViduPD n c iel lf r l m a m e a m b i l
OuiaAFGEpft ti l rt l y o o w r y
SabyDFGepgI rnb le gn ieo o g e n
oreP-F, m sx c i p sa r l e s s i
ciHgeo1 t lf n i e s
unolfEP ie s
ioxkcTK o ti
nldes-C
yom1(
si
iea
s
Keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan DAG (Diacylglycerol), yang
selanjutnya mengaktivasi protein kinase kinase-C, utamanya pada isoform dan .
Aktivasi PKC menyebabkan beberapa akibat pathogenik melalui pengaruhnya
terhadap endothelial nitric oxide synthetase (eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular
endothelial growth factor (VEGF), transforming growth factor- (TGF- ) dan
plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dan aktivasi NF-kB dan NAD(P)H
oxidase.12,13

2) Alur Hemodinamik
Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi akibat
glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah. Faktor
hemodinamik diawali dengan peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II.
Angiotensin II juga berperan dalam perjalanan nefropati diabetik. Angiotensin II
berperan baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut
antara lain merangsang vasokonstriksi sistemik, meningkatnya tahanan kapiler
arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks
ekstraselular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini

21
didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor non Willebrand dan
trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endoteol kapiler. Hal ini juga
yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita denga mikroalbuminuria persisten,
terutama pada DM tipe2, lebih banyak terjadi kematian akbiat kardiovaskular dari
pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabettik kidney disease masih
kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana ada penderita ini hipertensi
dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis
mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya
nefropati tetapi mempercepat progresive ke arah GGT pada penderita yang sudah
mengalami diabetik kidney disease.12,14
Dari kedua faktor di atas maka akan terjadinya peningkatan TGF beta yang
akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta
juga akan meningkatkan akumulasi ektraselular matriks yang berperan dalam
terjadinya nefropati diabetik.
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya
pertumbuhan dan kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya
komplikasi kronik pada DM. perubahan dasar atau disfungsi tersebut terutama terjadi
pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel
mesangial ginjal. Semuanya penyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan
komplikasi vaskuler diabetes. Pada nefropati diabetik terjadi peningkatan glomerular.
Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi
perubahan yang mengarah kepada terjadinya glomerulsklerosis.12,14

22
Gambar 7. Patofisiologi Nefropati Diabetik12

3.7 Diagnosis
Untuk kepentingan klinik, praktis dan non invasif, digunakan kriteria diagnostik
untuk Nefropati diabetik. sebagai berikut:15
1. Diabetes Mellitus, disertai dengan
2. Retinopati Diabetik, dan
3. Makroproteinuria (Combur 9 atau Albustix positif) pada 4 kali pemeriksaan
dengan interval 2 minggu, tanpa adanya sebab penyakit lain dari ginjal dan
salurannya.
Biopsi ginjal hanya dilakukan atas indikasi saja, yaitu bila:
1. Klinik menyerupai N.D. tetapi tidak terdapat Retinopati Diabetik

23
2. Mengidap D.M. belum 10 tahun, tetapi didapatkan makroproteinuria
persisten.
Adapun kriteria diagnostik N.D. Akut adalah:
1. D.M. baru, tidak jelas adanya Retinopati Diabetik.
2. GFR meningkat (biasanya kreatinin serum kurang dari 1 mg%)
3. Makroproteinuria (tanpa sebab lain dari penyakit ginjal)
Nefropati Diabetik bentuk akut ini lebih jarang kasusnya, tetapi sangat cepat
membaik dengan regulasi D.M.nya.
Pada saat diagnosa DM ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi
ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan
rutin DM. Pemantauan yang dianjurkan antara lain pemeriksaan terhadap adanya
mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin. Untuk
mempermudah evaluasi klirens kreatinin, dapat digunakan perhitungan LFG dengan
menggunakan rumus dari Cockroft-Gault, yaitu:
( 140umur ) x Berat Badan
Klirens Kreatinin x (0,85 untuk wanita)
72 x Kreatinin Serum
*) LFG dalam ml/menit/1,73 m2

3.8 Penatalaksanaan
Secara non farmakologis terdiri dari 3 pengelolaan penyakit ginjal diabetik
yaitu:16,17

1. Edukasi.

Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman


tentang penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari pengendalian DM,
penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah
khusus yang dihadapi, dll.

2. Perencanaan makan.

24
Perencanaan makan pada penderita DM dengan komplikasi penyakit ginjal
diabetic disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal ginjal kronis.
Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah
garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah
protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada penderita
DM Tipe I diberi diet mengandung protein 0,9 gr/kgBB/hari selama 4 tahun
menurunkan resiko terjadinya penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD)
sebanyak 76 %. Pada umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung
protein sebanyak 0,8 gr/kgBB/hari yaitu sekitar 10 % dari kebutuhan kalori pada
penderita dengan nefropati overt, akan tetapi bila LFG telah mulai menurun, maka
pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gr/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk
memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Jenis protein sendiri juga berperan dalam
terjadinya dislipidemia. Pemberian diet rendah protein ini harus diseimbangkan
dengan pemberian diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50 Kal/24 jam. Penderita DM
sendiri cenderung mengalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan
diet dan obat bila diperlukan. Dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL
kolesterol < 100mg/dl pada penderita DM dan < 70 mg/dl bila sudah ada kelainan
kardiovaskuler.

3. Latihan Jasmani.

Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit. Latihan
jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin,
tapi tetap harus disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani penderita.
Contoh latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang.
Prinsipnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).

Intervensi Farmakologis yang perlu dilakukan adalah :

1. Pengendalian DM

25
Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan melibatkan ribuan
penderita telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif
akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik
pada DM tipe I maupun tipe II. Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan agar terapi
ini dilaksanakan sesegera mungkin. Diabetes terkendali yang dimaksud adalah
pengendalian secara intensif kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc sehingga
mencapai kadar yang diharapkan. Selain itu pengendalian status gizi dan tekanan
darah juga perlu diperhatikan.18,19

2. Pengendalian Tekanan Darah

Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam pencegahan


dan terapi nefropati diabetik. Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan
memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi maupun
terhadap organ kardiovaskuler. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik
pula renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai
dalam pengendalian tekanan darah pada penderita diabetes.20

Pada penderita diabetes dan kelainan ginjal, target tekanan darah yang
dianjurkan oleh American Diabetes Association dan National Heart, Lung, and Blood
Institute adalah < 130/80 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat 1 gr/24
jam, maka target lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg. Pengelolaan tekanan darah

26
dilakukan dengan dua cara, yaitu non-farmakologis dan famakologis. Terapi non-
farmakologis adalah melalui modifikasi gaya hidup antara lain menurunkan berat
badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok, serta mengurangi
konsumsi garam. Harus diingat bahwa untuk mencapai target ini tidak mudah. Sering
harus memakai kombinasi berbagai jenis obat dengan berbagai efek samping dan
harga obat yang kadang sulit dijangkau penderita. Hal terpenting yang perlu
diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan apapun jenis obat
yang dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)
dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB), dikenal mempunyai efek antiprotein uric
maupun renoproteksi yang baik, maka selalu disukai pemakaian obat-obatan ini
sebagai awal pengobatan hipertensi pada penderita DM. Pada penderita hipertensi
dengan mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB
merupakan terapi utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat diterima
atau memberikan hasil yang kurang maksimal maka dapat dianjurkan penggunaan
Non Dihydropyridine CalciumChannel Blockers (NDCCBs).21,22,23

3. Penanganan Gagal Ginjal

Dasar penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

Terapi konservatif dan terapi pengganti.24

a. Terapi Konservatif

1. Memperkecil beban ginjal atau mengurangi kadar toksin uremik:

- keseimbangan cairan

- diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam bila ditemukan adanya
edema atau hipertensi

- menghindarkan obat-obat nefrotoksik (NSAID, aminoglikosida, tetrasiklin,


dll)

27
2. Memperbaiki faktor-faktor yang reversible

- mengatasi anemia

- menurunkan tekanan darah

- mengatasi infeksi

3. Mengatasi hiperfosfatemia dengan memberikan Ca(CO)3 dan diet rendah


fosfat

4. Terapi penyakit dasar seperti DM

5. Terapi keluhan:

- untuk mual/muntah diberikan Metoklopramid

- untuk gatal-gatal diberikan Dipenhydramin

6. Terapi komplikasi

- payah jantung dengan Diuretik, vasodilator, dan hati-hati terhadap pemberian

digitalis

b. Terapi pengganti

1. Dialisis

- hemodialisis

- dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan

- indikasi : bila Klirens Kreatinin kurang dari 5 cc/menit.

2. Transplantasi ginjal

4. Penanganan Multifaktorial

28
Penanganan intensif secara multifaktorial pada penderita DM tipe II dengan
mikroalbuminuria menunjukkan pengurangan faktor resiko yang jauh melebihi
penanganan. Yang dimaksud dengan intensif adalah energi yang dititrasi sampai
mencapai target, baik tekanan arah, kadar gula darah, lemak darah dan
mikroalbuminuria juga disertai pencegahan penyakit kardiovaskuler dengan
pemberian aspirin. dalam kenyataanya penderita dengan terapi intensif lebih banyak
mendapat obat golongan ACE-I dan ARB. Demikian juga dengan obat hipoglikemik
oral atau insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak mendapat statin.
Bagi penderita yang sudah berada dalam tahap V gagal ginjal maka terapi yang
khusus untuk gagal ginjal perlu dijalankan, sepeti pemberian diet rendah protein,
pemberian obat pengikat fosfat dalam makanan, pencegahan dan pengobatan anemia
dengan pemberian eritropoietin dan lain-lain.24

3.9 Prognosis
Secara keseluruhan prevalensi dari mikroalbuminuria dan makroalbuminuria
pada kedua tipe diabetes melitus diperkirakan 30-35%. Nefropati diabetik jarang
berkembang sebelum sekurang-kurangnya 10 tahun pada pasien DM tipe 1, dimana
diperkirakan 3% dari pasien dengan DM tipe 2 yang baru didiagnosa menderita
nefropati. Puncak rata-rata insidens (3%/th) biasanya ditemukan pada orang yang
menderita diabetes selama 10-20 tahun.
Mikroalbuminuria sendiri memperkirakan morbiditas kardiovaskular, dan
mikroalbuminuria dan makroalbuminuria meningkatkan mortalitas dari bermacam-
macam penyebab dalam diabetes melitus. Mikroalbuminuria juga memperkirakan
coronary and peripheral vascular disease dan kematian dari penyakit kardiovaskular
pada populasi umum nondiabetik. Pasien dengan proteinuria yang tidak berkembang
memiliki tingkat mortalitas yang relatif rendah dan stabil, dimana pasien dengan
proteinuria memiliki 40 kali lipat lebih tinggi tingkat relatif mortalitasnya. Pasien
dengan DM tipe 1 dan proteinuria memiliki karakteristik hubungan antara lamanya

29
diabetes /umur dan mortalitas relatif, dengan mortalitas relatif maksimal pada interval
umur 34-38 tahun (dilaporkan pada 110 wanita dan 80 pria).
ESRD (end stage renal disease) adalah penyebab utama kematian, 59-66%
kematian pada pasien dengan DM tipe 1 dan nefropati. Tingkat insidens kumulatif
dari ESRD pada pasien dengan proteinuria dan DM tipe 1 adalah 50%, 10 tahun
setelah onset proteinuria, dibandingkan dengan 3-11%, 10 tahun setelah onset
proteinuria pada Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab
kematian tertinggi di antara semua komplikasi diabetes melitus, dan penyebab
kematian tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular. Prognosis yang buruk
akan muncul apabila terjadi progresi nefropati diabetik dan memburuknya fungsi
ginjal yang cepat sehingga menyebabkan mortalitas 70-100 kali lebih tinggi dari pada
populasi normal. 6,7,19

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes Mellitus pada ginjal yang
dapat berakhir sebagai gagal ginjal.

30
2. Diagnosa Nefropati Diabetika ditegakkan apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. DM
b. Retinopati Diabetika
c. Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2
minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria satu kali
pemeriksaan piks kadarr kreatinin serum > 2,5 mg/dl.
3. Manajemen Nefropati Diabetika tergantung pada presentasi klinis, yaitu saat:
Incipient diabetic nephropathy, Over diabetic nephropathy,atau End stage diabetic
nephropathy.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV : Diabetes Melitus
Di Indonesia. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. p: 1875.

31
2. Velasquez, M., Bhathena, S., Striffler, J., Thibault, N., dan Scalbert, E.
2015. Role of angiotensin-converting enzyme inhibition in glucose metabolism
and renal injury in diabetes. Dalam : Metabolism, 47 (12 Suppl 1), 7-11.
3. Ayodele, O.E., Alebiosu, C.O., Salako, B.L. 2016. Diabetik nephropathy
areview of the natural history, burden, risk factors and treatment. Dalam:Journal
National Medical Association: 144554.
4. American Diabetes Association (ADA). 2010. Diabetik Nephropathy.
www.diabetes.diabetesjournals.com/cgi/content.
5. Arsono, Soni. 2013. Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian
Gagal Ginjal Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono
Soekarjo Purwokert. Jurnal Epidemiologi.
6. Rully Roesli, Endang Susalit ,Jusman Djafar. Nefropati Diabetik. Dalam :
Slamet Suyono, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV, Jakarta,
BP FKUI, 2001 p.356-363
7. Kronenberg, H. M., Sholmo Melmed, Kenneth S, Polonsky P, Reed Larsen.
2010. Williams Textbook of Endocrinology, 11th ed. Philadelphia, Saunders
Elsevier's Health Sciences.
8. Fernando Gerchman, dkk. Diabetic Nephropaty. Dalam Jurnal Biodmed.
September 2009.
9. Foster, D.W. 1994. Diabetes Mellitus in Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 13, EGC. Jakarta. Hal 2212-2213.
10. Ligaray, K. 2007. Diabetes Mellitus, Type 2. www.emedicine.com/med.
11. Permanasari, A., Dwiana A., Saleh A., Dharma M. 2010. Nefropati Diabetes.
http://www.scribd.com/doc/47089834/Nefropati-Diabetikum.
12. Sunaryanto D, Wira Gotera dr. Sp.PD-KEMD. Penatalaksanaan penderita
dengan diabetic nefropati. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Divisi
Endokrinologi. Fakultas Kedokteran Universitas Udaya/RSUP Sanglah
Denpasar. 2010

32
13. Soman, S.S. 2009. Diabetik Nephropathy. eMedicine Specialities
http://www.nature.com/nature/journal/v414/n6865/fig_tab/414813a_F1.html
14. Dronavalli, S., Duka I., Bakris G.L. 2008. The pathogenesis of
diabetik nephropathy. Nature clinical practice endocrinology and metabolism.
August 2008 VOL 4 NO 8.
15. Bidaya Eny Dr, Tjokroprawiro A, Dr. Nefropati Diabetik. Laboratorium Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Soetomo, Surabaya. 2010.
16. Michael, S., Diabetic Nephropathy: Clinical Evidence Concise, Available at:
http://www.aafp.org/afp/20051201/bmj.html, (Accessed 4 October 2017).
17. Micahl, T. Diabetic Nephropathy: Common Questions, Available at:
http://www.aafp.org/afp/20050701/96.html. (Accessed 4 October 2017).
18. Diabetic Nephropathy (2006, July 25 last update). Available at:
http://renux.dmed.ed.ac.uk/edren/EdRenINFObits/Diabetic_nephLong.html
(Accessed 4 October 2017).
19. Nicholas Robertloon, MB, BCh, BAO. Diabetic Kidney Disease: Preventing
Dialysis and Transplantation. Clinical Diabetes. Vol. 21:2. 2003
20. Perkeni. (2002), Petunjuk Praktis Pengelolaan DM Tipe 2. Jakarta: PB
Perkeni.
21. Steigerwalt S, MD, FACP. Management hypertension in Diabetic Patient With
Chronic Kidney Disease. Diabetes Spectrum. Vol.21: 1. 2008
22. Diabetes and Cardiovascular Disease Review, Available at: http: // www.
diabetes. org/ uedocuments / ADA cardioreview_2pdf. (Accessed 4 October
2017).
23. Williams G H. Hipertensive vascular disease. In: Harrisons of internal
medicine. 15th ed. India: Mc Graw-Hill. 2003; 1: 1414-1377.
24. Chobanian, AV et al. The Seventh Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA.
2003;289;19; pp 2560-2572.

33
34

Anda mungkin juga menyukai