Anda di halaman 1dari 17

PERTANYAAN

1. Mengapa pendidikan mendasari tindakan anestesi?


Di era globalisasi sekarang ini, Indonesia masih memiliki jumlah dokter
anestesi yang sedikit dan penyebarannya yang tidak merata. Hal ini menyebabkan
timbulnya anggapan yang kurang benar dari orang awam mengenai anestesiologi atau
ilmu anestesi. Anggapan yang kurang benar itu adalah bahwa ilmu anestesi
merupakan kegiatan praktek di kamar operasi untuk memberikan obat yang akan
penderita masuk ke dalam keadaan tidak sadar atau terbius sehingga dokter bedah
dapat melakukan tugasnya yaitu melakukan pembedahan terhadap penderita (Saleh,
2011) Dalam kenyataannya sehari-hari, banyak pasien yang akan menjalani operasi
dengan pengetahuan yang kurang benar tersebut, padahal pengetahuan tersebut dapat
mempengaruhi tingkat kecemasan pasien saat akan menjalani operasi. Reaksi cemas
terhadap proses yang akan dijalani adalah respon psikologis pasien yang akan
menjalani tindakan operasi (Jubaidi, 2008). Kecemasan pada pasien preoperasi harus
diatasi karena dapat menimbulkan perubahan-perubahan fisiologis yang akan
menghambat dilakukannya tindakan operasi. Untuk mengatasi kecemasan pasien
maka diperlukan informasi yang komprehensif mengenai segala sesuatu tentang
proses pembedahan (Sisca, 2008).
Berdasarkan penelitian oleh Pasaribu (2013) diketahui bahwa terdapat 45%
responden dalam kategori baik, 31% responden dalam kategori cukup dan 24%
responden dalam kategori kurang. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah
jumlah responden belum mengetahui anestesi secara baik. Siska (2008) menyebutkan
bahwa masyarakat secara umum belum mengetahui anestesi dengan baik. Hal yang
sama dikatakan Saleh (2011) bahwa banyak orang yang belum mengetahui anestesi
dengan baik dan mengganggap anestesi hanya sebagai teknik pembiusan saja. Jubaidi
(2010) mengatakan bahwa pengetahuan pasien terhadap anestesi berpengaruh
terhadap kecemasan pasien. Untuk mengurangi kecemasan tersebut dibutuhkan
sebuah tindakan komhensif kepada pasien (Siska, 2008). Berdasarkan hasil uji
sebelum test dan sesudah test visit anestesi di atas, peneliti berasumsi bahwa pasien-
pasien bedah elektif di RSUP Adam Malik akan berkurang kecemasannya dengan
meningkatnya pengetahuan pasien terhadap anestesi setelah dilakukan kunjungan
anestesi.
Sumber:
Jubaidi, 2010. Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi Sectio Cesaerea
Sebelum dan Sesudah Dilakukan Informerd Consent. Akademi Kesehatan Sapta
Bakti Bengkulu. Available from http://saptabakti.ac.id/jo/index.php/jurnal/129-
gambaran-tingkat-kecemasan-pasien-pre-operasi-sectio-caesarea-sebelum-dan-
setelah-dilakukan-informed-consent-di-ruang-mawar-rsud-dr-m-yunus-
bengkulu-tahun-2010-jubaidi-dian-novisen?format=pdf.
Pasaribu, 2013. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Pasien Bedah Elektif terhadap
Anestesi sebelum dan sesudah kunjungan Anestesi. E-Journal FK USU; 1(1): 1-
4.
Saleh, S. C., 2011. Peran Anestesiologi dalam Kedokteran Gawat Darurat. Aspek
Pendidikan dan Harapan di Masa Mendatang. Available from:
http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/416/gdlhub-gdl-grey-2011-salehsitic-
20758-pg7510-k.pdf
Sisca, 2008. Tingkat kecemasan pada pasien apendiktomi. Universitas Muhammadyah
Semarang. Available from
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/106/jtptunimus-gdl-anggaprata-5291-3-
bab2.pdf.

2. Penyakit yang menyebabkan perbandingan tekanan sistolik dan diastolik sempit


(Narrow Pulse Pressure)?
Pada trauma, tekanan nadi yang rendah atau sempit menunjukkan kehilangan darah
yang signifikan. Pada orang sehat lain, perbedaan kurang dari 40 mmHg biasanya
merupakan kesalahan pengukuran. Jika tekanan nadi benar-benar rendah, mis. 25
mmHg atau kurang, penyebabnya mungkin volume stroke yang rendah, seperti pada
Gagal Jantung Kongestif dan / atau syok, atau masalah serius lain yang belum
diketahui. Interpretasi ini diperkuat jika denyut jantung saat istirahat relatif cepat,
misalnya 100-120 (pada sinus tachycardia), mencerminkan peningkatan aktivitas
sistem saraf simpatik sebagai respons tubuh terhadap volume stroke yang rendah dan
curah jantung yang rendah. Tekanan nadi yang sempit juga bisa disebabkan oleh
stenosis aorta.

Sumber:
(http:/ / hyper. ahajournals. org/ cgi/ content/ full/ 33/ 6/ 1385?maxtoshow=&
HITS=10& hits=10& RESULTFORMAT=& fulltext=arterial& searchid=1&
FIRSTINDEX=60& resourcetype=HWFIG)

3. Apa saja yang termasuk dalam premedikasi anestesi?


PERSIAPAN FARMAKOLOGIK PRABEDAH
(premedikasi dalam arti sempit/khusus)

Setelah penilaian prabedah selesai dengan menghasilkan antara lain penentuan status
fisik pasien, langkah berikutnya ialah menentukan macam obat premedikasi yang
akan digunakan. Untuk penentuan ini ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
yaitu :
 Macam operasi
 Posisi pasien waktu dilakukan operasi
 Perkiraan lama operasi dan sebagainya

Tujuan utama dari pemberian obat premedikasi ialah untuk memberikan sedasi psikis,
mengurangi rasa cemas dan melindungi keadaan basal fisiologis dalam melawan
bahaya stress mental atau faktor-faktor yang tidak ada hubungannya dengan anestesi
yang spesifik. Hasil akhir yang diharapkan dari pemberian premedikasi yaitu induksi
anestesi yang lancar.

Sehingga dapat disimpulkan secara singkat, bahwa tujuan dari premedikasi dan
anestesi ialah untuk melindungi pasien terhadap akibat segera dari trauma
pembedahan (misalnya rasa takut, sakit, aktivitas saraf simpatis, ketegangan
otot).Oleh karena itu premedikasi ini harus memenuhi kebutuhan masing-masing
pasien yang untuk setiap pasien dapat berbeda-beda.

Mengapa masalah takut dan nyeri ini harus diperhatikan betul pada prabedah, dapat
dijelaskan sebagai berikut :

Reaksi fisiologis terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas 2 bagian :
 Somatik (voluntary)
 Simpatetik (involuntary)
Efek somatik ini timbul dalam kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk
bertahan atau menghindari kejadian tsb. Kebanyakan pasien akan melakukan
modifikasi terhadap menifestasi efek somatik tersebut dan menerima keadaan yaitu
dengan tampak tenang.

Reaksi saraf simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat disembunyikan oleh
pasien. Rasa takut dan nyeri mengaktifkan saraf simpatis untuk menimbulkan
perubahan dalam berbagai derajat yang mengenai setiap sistem dalam tubuh. Banyak
dari perubahan ini yang disebabkan oleh suplai darah ke jaringan, sebagian karena
stimulasi eferen simpatis yang ke pembuluh darah, dan sebagian karena naiknya
katekolamin dalam sirkulasi.

Impuls adrenergik dari rasa takut timbul di korteks serebri dan dapat ditekan dengan
tidur atau dengan sedatif yang mencegah kemampuan untuk menjadi takut bila ada
penyebab takut yang sesuai.

Reaksi kardiovaskuler terhadap nyeri secara neurologis berbeda dengan rasa takut,
karena arkus refleks yang tersangkut seluruhnya ada di batang otak di bawah level
sensoris thalamus. Ini berarti bahwa pendekatan klinis untuk menghilangkan kedua
hal tersebut harus berbeda.

Tanda akhir dari reaksi adrenergik terhadap rasa takut ialah meningkatnya detak
jantung dan tekanan darah. Maka tujuan pemberian obat premedikasi dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Menghilangkan kecemasan
2. Mendapatkan sedasi
3. Mendapatkan analgesi
4. Mendapatkan amnesi
5. Mendapatkan efek antisialogoque
Disamping itu pada keadaan tertentu juga :
1. Menaikkan pH cairan lambung
2. Mengurangi volume cairan lambung
3. Mencegah terjadinya reaksi alergi
Premedikasi ini tidak boleh diberikan secara otomatis/rutin, tetapi harus berdasar pada
keadaan psikis dan fisiologis pasien yang ditetapkan setelah kunjungan prabedah
dilakukan. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan
harus selalu dengan memperhitungkan :
1. Umur pasien
2. Berat badan
3. Status fisik
4. Derajat kecemasan
5. Riwayat hospitalisasi sebelumnya (terutama pada anak)
6. Riwayat reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien pernah
diberi anestesi sebelumnya)
7. Riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang kemungkinan dapat berpengaruh
pada jalannya anestesi (misalnya MAO inhibitor, kortikosteroid, antibiotik
tertentu)
8. Perkiraan lamanya operasi
9. Macamnya operasi (misalnya terencana, darurat pasien rawat inap atau rawat
jalan)
10. Rencana obat anestesi yang akan digunakan

OBAT-OBAT PREMEDIKASI YANG DIGUNAKAN


Sesuai dengan tujuannya maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat
premedikasi dapat digolongkan seperti dibawah ini (beberapa contoh yang terdapat di
Indonesia)
Dalam praktek sehari-hari sering diberikan kombinasi beberapa obat untuk mendapat
hasil yang diinginkan, misalnya :
1. Kombinasi Narkotik + Benzodiazepin + Antikolinergik
2. Kombinasi Narkotik + Butyrophenon + Antikolinergik
3. Kombinasi Narkotik + Antihistamin + Antikolinergik
Pada keadaan tertentu (misalnya pasien obstetrik) perlu diberikan antasida.

Barbiturat
Kebanyakan pasien yang telah direncanakan untuk menjalani operasi akan lebih baik
bila diberikan hipnotik malam sebelum hari operasi, karena rasa cemas, hospitalisasi
atau keadaan sekitar yang tidak biasa dapat menyebabkan insomnia. Untuk itu dapat
digunakan golongan barbiturat per oral sebelum waktu tidur

Selain itu barbiturat juga digunakan untuk obat premedikasi. Keuntungan penggunaan
obat ini ialah dapat menimbulkan sedasi, efek terhadap depresi respirasi minimal (ini
dibuktikan dengan tidak berubahnya respon ventilasi terhadap CO2), depresi sirkulasi
minimal dan tidak menimbulkan efek mual dan muntah. Obat ini efektif bila diberikan
per oral.

Sayang untuk bangsa Indonesia, premedikasi per oral belum dapat dibudayakan
(terutama bagi golongan menengah/bawah) karena masih ditakutkan bila disamping
minum obat, pasien tidak dapat menahan diri untuk tidak minum lebih banyak.
Kerugian penggunaan barbiturat termasuk tidak adanya efek analgesi, terjadinya
disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta tidak ada antagonisnya.

Narkotik
Morfin dan petidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialah memudahkan induksi,
mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca-bedah,
memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan, dapat diantagonisir dengan
naloxon.

Narkotik ini dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan


hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan
hipovolemia.

Berlawanan dengan barbiturat, narkotik ini dapat menyebabkan depresi pusat


pernapasan di medulla oblongata yang akan dapat ditunjukkan dengan turunnya
respon terhadap CO2. Mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada
pusat mundah di medulla. Bila pasien dalam posisi tidur akan mengurangi efek
tersebut. Morfin diberikan dengan dosis 0,1 – 2,2 mg/kg BB, sedang petidin dengan
dosis 1 – 2 mg/kg BB. Pada orang tua dan anak-anak dosis diberikan lebih kecil.

Benzodiazepin
Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam bekerja
pada reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek antiansietas yang selektif pada
dosis yang tidak menimbulkan sedasi yang berlebihan, deperesi napas, mual atau
muntah.
Kerugian penggunaan diazepam untuk premedikasi ini ialah kadang-kadang pada
orang tertentu dapat menyebabkan sedasi yang berkepan-jangan. Selain itu juga rasa
sakit pada penyuntikan intramuskular. Serta absorbsi sistemik yang jelek setelah
pemberian IM. Sekarang sudah ada obat baru dari golongan Benzodiazepin IM, yaitu
Midazolam. Keuntungan obat ini tidak menimbulkan rasa nyeri pada penyuntikan
baik secara IM maupun IV.

Diazepam dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 10 mg, sedang pada anak
kecil 0,2 – 0,5 mg/kg BB. Midazolam dapat diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg BB.
Penggunaan midazolam ini harus dengan pengawasan yang ketat, karena
kemungkinan terjadi depresi respirasi.

Butyrophenon
Dari golongan ini Droperidol dengan dosis 2,5 – 5 mg IM digunakan sebagai obat
premedikasi dengan kombinasi narkotik. Keuntungan yang sangat besar dari
penggunaan obat ini ialah efek antiemetik yang sangat kuat, dan bekerja secara sentral
pada pusat muntah di medulla. Obat ini ideal digunakan untuk pasien-pasien dengan
resiko tinggi, misalnya pada operasi mata, pasien dengan riwayat sering muntah dan
obesitas. Dapat juga diberikan secara intravena dengan dosis 1 – 1,25 mg.

Kadang-kadang pada pasien tertentu Droperidol ini dapat menimbulkan dysphoria


(pasien merasa takut mati). Droperidol juga mempunyai efek blokade terhadap
dopaminergik pada pasien yang normal. Selain itu juga mempunyai efek alfa
adrenergik antagonis yang ringan, sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah perifer. Efek ini dapat digunakan pada pasien hipertermi sebelum diberikan
kompres basah seluruh tubuh. Namun perlu diingat akan terjadinya relatif
hipovolemia. Pada pasien dengan riwayat alergi/rinitis vasomotorika sebaiknya
penggunaan obat ini dihindari.

Antihistamin
Dari golongan ini yang sering digunakan sebagai obat premedikasi ialah Promethazin
(phenergan) dengan dosis 12,5 – 25 mg intramuskular pada orang dewasa. Digunakan
pada pasien dengan riwayat asma bronchiale.
Antikolinergik
Atropin mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik dari
asetilkolin. Atropin ini dapat menembus barier lemak misalnya Blood-Brain Barrier,
Placenta Barrier, dan Gastrointestinal tract.

Reaksi tersering dari pemakaian obat ini ialah :


1. Menghasilkan efek antisialogog
2. Mengurangi sekresi ion H asam lambung
3. Menghambat refleks bradikardia
4. Efek sedativa dan amnesik (terutama scopolamin)

Efek yang kurang menyenangkan dari golongan obat ini ialah :


1. CMS toxicity (gelisah, agitasi)
2. Naiknya nadi
3. Mydriasis dan cycloplegia
4. Kenaikan suhu tubuh
5. Mengeringkan sekret jalan napas

Antasida
Pemberian antasida 15-30 menit pra induksi hampir 100% efektif untuk menaikkan
pH asam lambung di atas 2,5. Seperti diketahui, aspirasi cairan asam lambung dengan
pH yang rendah dapat menimbulkan apa yang dinamakan Acid Aspiration Syndrome
atau disebut juga Mendelson Syndrome . Yang dianjurkan adalah preparat yang
mengandung Mg-trisilikat.

Histamin H2-reseptor antagonis


Obat ini melawan kemampuan histamin dalam meningkatkan sekresi cairan lambung
yang mengandung ion H tinggi.

Dari kepustakaan disebutkan bahwa pemberian cimetidin oral 300 mg 1 – 1,5 jam pra
induksi dapat menaikkan pH cairan lambung di atas 2,5 sebanyak lebih dari 80%
pasien. Dapat pula diberikan secara intravena dengan dosis yang sama 2 jam sebelum
induksi dimulai.
Sumber: http://www.medicinestuffs.com/2014/02/persiapan-anestesi-dan-
premedikasi.html

4. Anti nyeri yang cocok diberikan untuk ibu hamil?


Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan
masalah fisiologis dari si ibu, karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena
kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan
proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka
waktu relative pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya
diperlukan pengobatan dalam jangka waktu tertentu. Penilaian yang seksama terhadap
penyebab nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat yang paling
tepat.
1) Analgetika-narkotika
Semua analgetika-narkotika dapat melintasi plasenta dan dari berbagai penelitian
pada gewan uji, secara konsisten obat ini menunjukkan adanya akumulasi pada
jaringan otak janin. Terdapat bukti meningkatkan kejadian permaturitas, retardasi
pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian perinatal pada bayi-bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang sering mengkonsumsi analgetika-narkotik. Keadaan
withdrawl pada bayi-bayi yang baru lahir tersebut biasanya manifes dalam bentuk
tremor, iritabilitas, kejang, muntah, diare dan takhipnoe.
Metadon, jika diberikan pada kehamilan memberi gejala withdrawal yang
munculnya lebih lambat dan sifatnya lebih lama dibanding heroin. Beratnya
withdrawal karena metadon nampaknya berkaitan dengan meningkatnya dosis
pemeliharaan pada ibu sampai di atas 20 mg/hari
Petidin, dianggap paling aman untuk pemakaian selam proses persalinan. Tetapi
kenyataannya bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat petidin selama
proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik yang lebih rendah
disbanding bayi-bayi yang ibunya tidak mendapat obat ini, atau yang mendapat
anestesi lokal. Dengan alasan ini maka pemakaian petidin pada persalinan hanya
dibenarkan apabila anestesi epidural memang tidak memungkinkan.
2) Analgetika-antipiretik
Parasetamol, merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman jika
diberikan selama kehamilan. Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping
hepatotoksisitas tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih
besar dari yang dianjurkan.
Antalgin, dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah
satu efek samping yang dikhawatirkan pada penggunaan antalgin ini adalah
terjadinya agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat jarang,
tetapi pemakaian selama kehamilan sebaiknya dihindari.

Sumber:
Departemen Kesehatan RI . 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk Ibu Hamil
Dan Menyusui.

3) Premedikasi anestesi
Jawab:
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk
melancarkani induksi, pemeliharaan dan pemulihan anestesia.
Tujuan:
a. Meredakan/menghilangkan ketakutan dan kecemasan (ansietas)
b. Memperlancar induksi anesthesia
c. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat anestetik
e. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah
f. Untuk menimbulkan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung dan meningkatkan pH asam lambung.
h. Mengurangi refleks yang tidak diinginkan
Cara pemberian:
Cara Mulai Kerja Masa Kerja

Oral 1 – 2 jam 6 – 8 jam

Intravena + 2 – 5 menit + 2 – 3 jam

Intramuskular + 30 – 60 menit 4 – 6 jam

Supositoria 10 – 15 menit 4 – 8 jam

Untuk meredakan kecemasan


1. Benzodiazepin
– Antiansietas (sedasi, antikonvulsi, relaksasi otot amnesia)
– Bekerja pada sistem limbik & amigdala (pusat rasa takut, cemas, & depresi).
Cara: ↑ kepekaan reseptor GABA kanal Cl terbuka  hiperpolarisasi  sel
tidak dapat dieksitasi.
– Absorbsi baik di GI, metabolisme di hepar, ekskresi melalui ginjal dengan
waktu paruh 12-24 jam. Dosis Ulangan menyebabkan akumulasi
– Sistem kardiovaskular  vasodilatasi sistemik ringan dan menurunkan CO
(tidak mempengaruhi HR). Risiko depresi napas pada psien penyakit paru.
Diazepam
• Efek puncak akan muncul dalam 4-8 menit IV.
• Waktu paruh: ±24 jam
• Dosis obat IV: 0,1-0,2 mg/kgBB, IM: 0,2-0-0,25 mg/kgBB, Per rektal:
0,75 mg/kgBB dan Per oral: 10-20 mg
Lorazepam
• Onset kerja : ± 5-20 menit
• Waktu paruh: sekitar 48 jam
• Masa pemulihan dengan lorazapam 6x lebih lambat dibandingkan
midazolam. Lorazepam direkomendasikan untuk sedasi jangka panjang
dan efek amnesia.
Midazolam
• Onset kerja sekitar 30-60 detik
• Efek puncak : 3-5 menit
• Waktu eliminasi midazolam adalah sekitar 1-4 jam
• Jika dibandingkan dengan diazepam, midazolam memiliki onset kerja
yang lebih cepat, efek amnesia yang lebih besar, efek sedasi yang lebih
kecil, serta masa pemulihannya lebih cepat. Nyeri injeksi dan
thrombosis vena jauh lebih jarang ditemukan jika dibandingkan dengan
injeksi diazepam.
• Fungsi mental kembali normal dalam 4 jam.
• Dosis 0,05-0,1 mg/kgBB secara IV
2. Beta-bloker
Obat ini biasanya diberikan kepada pasien yang mengalami manifestasi somatik
ansietas yang berlebihan, misalnya takikardia.

Antiemetik
• mengurangi insidensi mual muntah pasca operasi
• Keadaan ini tidak menjadi kronik dan tidak menyebabkan kematian, namun dapat
sangat mengganggu.
• Namun, sampai saat ini memang belum ada obat yang paling efektif untuk
mengatasi keadaan ini dengan
• Angka kejadian 20-30% pada pasien yang mengalami anestesia umum
• Benzodiazepin.
Contoh: midazolam. Cara:penghambatan dopamin; efek ansiolisis berperan dalam
antiemetik. Angka kejadian mual muntah pada pasien pasca-operasi THT dan
strabismus menurun dengan diberikannya midazolam.
• Antagonis dopamin (metoklopramid)
– Dosis: 10 mg per IV.
– Cara kerja: penghambatan dopamin pada Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ)
medula (meningkatkan ambang rangsang CTZ dan menurunkan sensitivitas)
– Onset kerja: IV: 1-3 menit, IM: 10-15 menit, Oral: 30-60 menit. Ekskresi oleh
ginjal dengan waktu paruh 5-6 jam.
– Mempercepat pengosongan lambung
• Antagonis serotonin 5-Hidroksitriptamin (5-HT3)
– Ondansetron
– Serotonin 5-HT3 merangsang saraf vagus, menyampaikan rangsangan ke CTZ
dan pusat muntah sehingga terjadi mual dan muntah.
– mengatasi mual dan muntah yang hebat dan relatif aman
– Dosis obat 4-8 mg per IV
– Onset kerja: kurang dari 30 menit, biasa digunakan 1 jam sebelum operasi.
Efek puncak muncul bervariasi
– Durasi kerja obat 12-24 jam
– Dapat menyebabkan hipotensi, bradikardia, bronkospasme dan sesak napas,
konstipasi.

Mengurangi pH lambung
• Ranitidin
 Absorbsi obat diperlambat dengan makanan
 Metabolisme di hati, diekskresi di ginjal dengan waktu paruh sekitar 1,7-3
jam
 Dosis 150 mg per oral, 2 jam sebelum operasi.
 menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan
terhadap reseptor tersebut akan merangsang sekresi asam lambung.
• Omeprazol
 Golongan Proton Pump Inhibitor (PPI), lebih kuat dari AH2.
 Dosis 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi, 30 menit sebelum makan
 Dalam bentuk salut enterik
 la diberikan bersamaan dengan makanan sehingga sebaiknya diberikan 30
menit sebelum makan.
 Obat berdifusi ke serl parietal lambung terkumpul di kanalikuli sekretoar 
aktivasi  berikatan dengan gugus sulfihidril  penghambatan enzim 
menurunkan produksi asam lambung 80-90%.

Antikolinergik
 Atropin dan Hyoscine

 obat gologan antagonis muskarinik

 berfungsi dalam menghambat reseptor muskarinik

 memberikan efek terhadap sistem saraf otonom berupa efek parasimpatolitik.

 Pada sistem kardiovaskular  efek takikardia.

 Pada sistem respirasi  menghambat kelenjar liur dan bronkial dan relaksasi
otot bronkial.

 Pada sistem gastrointestinal  menurunkan tonus dan peristaltik usus.

 Otonom Efek penghambatan pada kelenjar keringat

 half-life di plasma 2-3 jam , diekskresi sebagian diginjal.

 Dosis 0,25-0,5 mg IV, 0,015 mg/kgbb IV.

• Beta-bloker.

 Digunakan untuk mengurangi aktivitas simpatis, seperti takikardia dan


hipertensi saat dilakukan tindakan intubasi.

 Obat yang digunakan adalah atenolol (25-50 mg) / esmolol.

 Dapat mengurangi insidensi kejadian koroner yang tidak diinginkan pada


pasien berisiko tinggi mengalami operasi besar.

Analgesia

 Untuk mengurangi / menghilangkan nyeri. Obat yang digunakan adalah opioid


kuat.

 memiliki efek depresi terutama pada sistem susunan saraf pusat, respirasi dan
gastrointestinal.

 Metabolisme di hati dan diekskresi melalui empedu dan urin.

 Tiga jenis obat yang digunakan: Morfin, Petidin, Fentanyl


 Petidin efek analgetik 1/10 morfin dan masa kerjanya lebih singkat. Dosis 1-2
mg/kgbb I.V/I.M.

 Fentanyl efek analgetik 100 kali morfin. Dosis 1-3 mcg/kgbb

4) Ringer laktat apakah bisa sebagai maintenance?


Jawab:
Ringer laktat merupakan cairan paling fisiologis jika sejumlah volume besar
diperlukan. Banyak dipergunakan sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok
hipovolemik, diare, trauma, luka bakar. Laktat yang terdapat di dalam RL akan
dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat untuk memperbaiki keadaan seperti
metabolic asidosis. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk maintenance
sehari-hari, apalagi untuk kasus deficit kalium. Tidak mengandung glukosa sehingga
bila akan dipakai sebagai cairan maintenance harus ditambah glukosa untuk
mencegah terjadinya ketosis.

5) Mengapa HES dengan berat dalton yang tinggi dapat membahayakan?


Jawab :
HES (hydroxyl ethyl starch) merupakan koloid sintesis yang paling sering digunakan.
HES mempertahankan tekanan osmotic koloid plasma, meminimalkan akumulasi
cairan interstitial lebih baik dan mempunyai waktu paruh lebih panjang sehingga
bertahan lebih lama di darah dibandingkan dengan kristaloid. Pemberian HES sebagai
cairan subtitusi diberikan sesuai perdarahan yang keluar, disbanding dengan kristaloid
yang memerlukan volume yang lebih besar, yaitu diberikan 3 kali perdarahan yang
terjadi. Hal ini disebabkan karena berat molekul HES yang sama atau lebih besar dari
berat molekul darah yaitu 40 kD sehingga cairan tidak keluar ke interstitial tetapi
tetap di intravascular, disbanding dengan kristaloid yang mudah keluar ke interstitial.
HES dengan berat molekul besar mempunyai keuntungan yaitu memperbaiki keadaan
hemodinamik lebih baik tetapi mempunyai kerugian yaitu gangguan factor koagulasi
lebih besar dan kerja ginjal lebih berat. Derajat substitusi berpengaruh terhadap proses
ekskresi ke ginjal semakin kecil derajat substitusi semakin cepat untuk terjadinya
metabolisme sehingga semakin cepat diekskresi ke ginjal

Anda mungkin juga menyukai