Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Operasi atau pembedahan merupakan salah satu bentuk terapi

pengobatan dan merupakan upaya yang dapat mendatangkan ancaman

terhadap integritas tubuh dan jiwa seseorang. Tindakan operasi yang

direncanakan (elektif) pada pasien yang menjalani operasi jantung dapat

menimbulkan respon fisiologi dan psikologi pada pasien (Potter & Perry,

2018). Respon paling umum pada pasien pre operasi salah satunya adalah

respon psikologi (kecemasan), secara mental penderita yang akan

menghadapi pembedahan harus dipersiapkan karena selalu ada rasa cemas

dan takut terhadap penyuntikan, nyeri luka, anesthesia, bahkan terdapat

kemungkinan cacat atau mati (Sjamsuhidajat, 2019).

Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization

(WHO) dalam jurnal (WHO dalam Putra, 2021), jumlah pasien dengan

tindakan operasi bedah jantung mencapai angka peningkatan yang sangat

signifikan dari tahun ke tahun. Tercatat ditahun 2019 terdapat 140 juta

pasien di seluruh rumah sakit di dunia, sedangkan pada tahun 2020 data

mengalami peningkatan sebesar 148 juta jiwa. Tindakan operasi bedah

jantung di Amerika Serikat pada tahun 2021 mencapai 1,2 juta jiwa (WHO

dalam Putra, 2021).


Berdasarkan Data Tabulasi Nasional Departemen Kesehatan

Republik Indonesia Tahun 2021 dalam jurnal (Prasetyaningsih, 2021),

tindakan bedah jantung menempati ururan ke-11 dari 50 pertama

penanganan pola penyakit di rumah sakit di Indonesia yang diperkirakan

tingkat kecemasan pasien operasi jantung pada orang dewasa berkisar

antara 11% sampai 80% (Prasetyaningsih, 2021)

Kecemasan pre operasi merupakan suatu respon antisipasi terhadap

suatu pengalaman yang dianggap pasien sebagai suatu ancaman dalam

peran hidup, integritas tubuh, bahkan kehidupan itu sendiri (Smeltzer &

Bare, 2018). Cemas merupakan hal yang sering terjadi dalam hidup

manusia. Cemas juga dapat menjadi beban berat yang menyebabkan

kehidupan individu tersebut selalu di bawah bayang-bayang kecemasan

yang berkepanjangan dan menganggap rasa cemas sebagai ketegangan

mental yang disertai dengan gangguan tubuh yang menyebabkan rasa tidak

waspada terhadap ancaman, kecemasan berhubungan dengan stress

fisiologis maupun psikologis. Artinya, cemas terjadi ketika seseorang

terancam baik secara fisik maupun psikologis (Asmadi, 2018).

Kecemasan pra operasi pembedahab jantung selalu menjadi

perhatian bagi pasien maupun dokter anestesiologis dan dokter bedah.

Pasien-pasien yang dihadapkan pada kenyataan harus menjalani operasi

khususnya operasi jantung mungkin akan mengalami kecemasan yang

lebih tinggi karena keadaan jantung mereka yang tidak baik, konsep

operasi jantung yang menakutkan dan ketidakpastian terhadap hasilnya.


Kecemasan akan mengaktifkan stres respon yang menyebabkan stimulasi

sistem saraf simpatis yang kemudian akan menstimulasi kardiovaskular

dengan meningkatkan jumlah katekolamin darah yang menyebabkan

takikardi, hipertensi, iskemik dan infark miokardial. Respon tersebut

mungkin mempunyai efek merugikan pada sirkulasi koroner, yang

menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas (Adriana, 2021)

Menurut Volicer & Volicer yang dikutip oleh Rosintan pada tahun

2019, klien yang akan dilakukan pembedahan operasi jantung

menunjukkan kecemasan yang tinggi dibandingkan dengan kelompok

klien yang dirawat tanpa rencana tindakan pembedahan. Ketika klien tiba

di ruangan pre operasi merupakan keadaan yang menambah kecemasan

klien. Kecemasan yang mereka alami biasanya terkait dengan segala

macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman

terhadap keselamatan jiwa akibat segala macam prosedur pelaksanaan

operasi dan tindakan pembiusan.

Banyak faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien, menurut

Hawari (2019) mekanisme terjadinya cemas yaitu psiko- neuro-imunologi

atau psiko-neuro-endokrinolog. Akan tetapi tidak semua orang yang

mengalami stressor psikososial akan mengalami gangguan cemas hal ini

tergantung pada struktur perkembangan kepribadian diri seseorang

tersebut yaitu usia, tingkat pendidikan, pengalaman, jenis kelamin,

dukungan sosial dari keluarga, teman, dan masyarakat.


Kecemasan pada pasien pre operasi memerlukan suatu penanganan

dengan memberikan tindakan non farmakologi dan tindakan farmakologi.

Tindakan non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien pre operasi

salah satunya yaitu dengan stimulasi kutaneus atau Slow Stroke Back

Massage. Salah satu masase yang dapat dilakukan pada pasien pre operasi

adalah Slow-Stroke Back Massage (SSBM). Slow-stroke back massage

(SSBM) adalah masase punggung dengan usapan perlahan (Potter dan

Perry, 2017). Usapan dengan lotion memberikan sensasi hangat yang

mengakibatkan dilatasi pada pembuluh darah lokal. Sensasi hangat dapat

meningkatkan rasa nyaman (Worthy et al, 2019).

Hasil penelitian Rohmah (2021) menunjukkan hasil penelitianya

bahwa Ada pengaruh yang signifikan antara tingkat kecemasan pasien pre

operasi bedah jantung sebelum dilakukan SSBM dengan sesudah

dilakukan SSBM. Hal serupa yang dilakukan Nabil yang menunjukkan

hasil penelitiannya menjelaskan bahwa massage (SSBM) merupakan

terapi manipulasi dengan melakukan pemijatan yang lembut pada bagian

punggung yang bertujuan untuk memberikan efek relaksasi pada

vaskularisasi, otot-otot, dan sistem saraf untuk mengatasi kecemasan

tersebut. Hal ini dibuktikan dengan 60 sampel penelitian yang diteliti

menunjukkan ada pengaruh antara sebelum dan sesudah terapi Slow Stroke

Back Massage.

Hasil penelitian yang lain dilakukan oleh Aisyah (2018) Terdapat

penurunan yang bermakna antara skor kecemasan pasien Gagal jantung


sebelum dan sesudah dilakukan intervensi pijat punggung dengan nilai

p=0,001 (p<0,05). Pijat punggung (SBBM) dapat menurunkan skor

kecemasan pada pasien gagal jantung di ruang rawat inap Rumah Sakit

Pemerintah Kabupaten Garut.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada

kepala ruangan Kemuning RSHS pada bulan 25 Mei 2022 diketahui

jumlah pasien yang sudah terjadwal untuk melakukan bedah jantung

sebanyak 30 orang, diketahui menurut kepala bagian ruang kemuning

mereka cemas, rasa khawatir dengan jadwal operasi jantung nanti,

sehingga ia memiliki pikiran yang negatif pada dirinya. Memperkuat dari

fenomena tersebut peneliti melakukan wawancara pada 10 pasien yang

datang, diantaranya 3 orang menyatakan ia merasa gelisah dan tidak

percaya diri dengan keadaan hidup saat ini, ia takut dengan kematian,

sehingga ia kesulitan tidur setiap malam, selanjutnya 3 orang menyatakan

ia takut dan tidak tenang dengan operasi yang akan dijalani nanti, dan 4

orang lainya merasa khawatir dalam menghadapi kondisi penyakit saat ini.

Penanganan kecemasan di ruang Kemuning sebelumnya sudah

dilakukan dengan perawat yang sudah terlatih dan sudah memiliki

sertifikat pelatihan, dengan demikian pada penelitian ini ingin

membuktikan seberapa besar pengaruh SBBM terhadap kecemasan pasien

yang akan melakukan pembedahan, sehingga nantinya penelitian ini

menjadi salah satu terapi yang dijadikan intervensi untuk mengatasi

kecemasan.
Penanganan kecemasan untuk pasien yang akan menjalani proses

pembedahan jantung sudah banyak diteliti tetapi hasil dari metode yang

digunakan masih belum konsisten. Hal ini berdasarkan uraian diatas

bahwa untuk mengetahui bahwa Slow Stroke Back Massage bisa

menurunkan tingkat kecemasan pada pasien pre opersi, maka peneliti ingin

membuktikan tentang “ Pengaruh Slow Stroke Back Massage Terhadap

kecemasan Pasien Pre Operatif

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat diketahui bahwa

rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui “Pengaruh

Slow Stroke Back Massage (SSBM) Terhadap Kecemasan Pada Pasien

Pre Operasi bedah jantung Di RSHS Kota Bandung”?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui Pengaruh Slow Stroke Back Massage (SSBM) Terhadap

Kecemasan Pada Pasien Pre Operasi bedah jantung Di RSHS Kota

Bandung

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien pre operasi bedah

jantung sebelum dilakukan Slow Stroke Back Massage.


b. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada pasien pre operasi bedah

jantung setelah dilakukan intervensi Slow Stroke Back Massage.

c. Mengetahui pengaruh intervensi Slow Stroke Back Massage

terhadap kecemasan pre operasi bedah jantung.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan menambah

khasanah ilmu di bidang Keperawatan Medikal Bedah terutama

mengenai tingkat kecemasan pada pasien pre operasi bedah jantung

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Rumah sakit

Dapat dijadikan intervensi bagi rumah sakit untuk mengembangkan

intervensi Slow Stroke Back Massage terhadap kecemasan pre

operasi bedah jantung

b. Bagi Perawat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

dapat mengembangkan intervensi keperawatan serta dapat

mengimplementasikan khususnya pada pasien pre opersi dengan

tingkat kecemasan, sehingga dapat mengatasi kecemasan pada

pasien tersebut.

c. Bagi Penelitian Selanjutnya


Dapat dijadikan data awal penelitian yaitu sebagai upaya untuk

melanjutkan penelitian lebih lanjut, sehingga menambah wawasan

secara ilmiah.

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ini merupakan bagian Keperawatan Medikal Bedah

dengan sampel pre Operasi yang akan menjalani bedah jantung dilakukan

penelitian di RSHS Kota Bandung pada pelaksanaan bulan Juni-Juli 2022


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Berikut hasil temuan perbedaan penelitian terdahulu terkait

penelitian yang dilakukan yaitu pada tabel berikut ini :

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Nama peneliti Judul penelitian Hasil penelitian


Adriana Pengaruh edukasi terhadap Uji Wilcoxon menunjukkan terdapat
tingkat kecemasan pada pasien penurunan bermakna rerata tingkat
dewasa yang akan menjalani kecemasan sebelum edukasi
operasi jantung terbuka di dibandingkan dengan sesudah
instalasi PJT RSUPN Cipto edukasi. Disimpulkan bahwa Edukasi
Mangunkusumo pra-anestesia menurunkan tingkat
kecemasan pasien dewasa yang akan
menjalani operasi jantung terbuka.
Perbedaan : penelitian terdahulu yang dilakukan Adriana tahun 2021 membahas tentang
terapi edukasi, sedangkan penelitian ini penulis menggunakan terapi Slow Stroke Back
Massage (SSBM) sebagai salah satu terapi yang dapat menurunkan kecemasan pada pasien
bedah jantung
Sumber : (Adriana, 2021)

Nama peneliti Judul penelitian Hasil penelitian


Aditya Pengaruh Pijat Punggung Terdapat penurunan yang bermakna
Terhadap Skor Kecemasan Pada antara skor kecemasan pasien Gagal
Pasien Gagal Jantung Di Rumah jantung sebelum dan sesudah
Sakit Pemerintah Kabupaten dilakukan intervensi pijat punggung
Garut dengan nilai p=0,001 (p<0,05). Pijat
punggung dapat menurunkan skor
kecemasan pada pasien gagal jantung
di ruang rawat inap Rumah Sakit
Pemerintah Kabupaten Garut.
Perbedaan : penelitian terdahulu yang dilakukan Aditya tahun 2018 membahas pengukuran
kecemasannya menggunakan Hamillton Anxiety Rating Scale (HARS), sedangkan pada
penelitian ini menerapkan pengukuran tingkat kecemasan menggunakan State Anxiety
Inventory (STAI), dengan alasan karena alat ukur STAI dapat mengukur kecemasan pada
situasi tertentu, yaitu pasien saat akan menghadapi operasi bedah jantung

Sumber : (Adhitya et al., 2018)


B. Konsep Dasar Kecemasan

1. Definisi Kecemasan

Maryam dkk (2018) menjelaskan gejala-gejala kecemasan yang

sering dialami seseorang meliputi perasaan khawatir atau takut yang

tidak rasional, sulit tidur sepanjang malam, rasa tegang dan cepat

marah, sering membayangkan hal-hal yang menakutkan serta rasa

panik terhadap masalah yang ringan. Myers dalam Annisa (2017),

menyebutkan bahwa perempuan lebih cemas akan

ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki, laki-laki lebih aktif,

eksploratif, sedangkan perempuan lebih sensitif. Walaupun kriteria

diagnostik sama untuk semua jenis kelamin, wanita ternyata lebih

rentan mengalami kecemasan

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas, berkaitan

dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak

memiliki obyek yang spesifik, kecemasan dialami secara subjektif dan

dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart & Sundeen, 2018).

Gejala kecemasan yang dialami oleh seseorang adalah : perasaan

khawatir/takut yang tidak rasional akan kejadian yang belum tentu

terjadi, rasa tegang dan cepat marah, khawatir terhadap penyakit yang

berat dan sering membayangkan hal-hal yang menakutkan, rasa panik

terhadap masalah yang besar sulit tidur dan kecemasan menurun

(Maryam dkk, 2018).


Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan

yang tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup

dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan merupakan pengalaman

subjektif dari individu dan tidak dapat diobservasi secara langsung

serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa objek yang spesifik.

Kecemasan pada individu dapat memberikan motivasi untuk mencapai

sesuatu dan merupakan sumber penting dalam usaha memelihara

keseimbangan hidup (Suliswati, 2018).

Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang spesifik

secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal.

Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan

terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan

perasaan tidak menentu dan tidak berdaya (Suliswati, 2018).

Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang

berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan

emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kecemasan dialami

secara subjektif dan dikomunikasikan secara interpersonal (Stuart &

Sundeen, 2018).

Kecemasan adalah perasaan yang dialami ketika seseorang

terlalu mengkhawatirkan kemungkinan peristiwa yang menakutkan

yang terjadi dimasa depan yang tidak bisa dikendalikan dan jika itu

terjadi akan dinilai sebagai “mengerikan”(Sivalitar, 2017). Kecemasan

merupakan suatu “tanda bahaya“ yang membuat orang yang


bersangkutan waspada dan bersiap diri melakukan upaya untuk

mengatasi ancaman yang bersifat internal tidak jelas dan konfliktual

(Kartijo, 2018)

Kecemasan pada seseorang meliputi: a) respon fisiologis,

diantaranya: jantung berdebar, kelemahan umum, kehilangan nafsu

makan, berkeringat seluruh tubuh, b) respon perilaku, diantaranya:

tremor, menarik diri dari hubungan interpersonal, menghindar,

hiperventilasi/keadaan napas yang berlebihan, c) respon kognitif,

diantaranya: konsentrasi buruk, pelupa, produktivitas menurun, takut

cedera atau kematian, mimpi buruk, d) respon afektif, diantaranya:

gelisah, gugup, ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, rasa bersalah,

dan malu (Stuart & Sundeen, 2018).

2. Proses terjadinya kecemasan

Stuart & Sundeen (2018) menyatakan ada beberapa teori yang telah

dikembangkan untuk menjelaskan proses terjadinya cemas, yaitu:

a. Faktor predisposisi kecemasan

1) Dalam pandangan psikoanalitis, kecemasan adalah konflik

emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian ID dan

superego. ID mewakili dorongan insting dan impuls primitive,

sedangkan superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan

oleh norma budaya. Ego atau Aku, berfungsi menengahi tuntutan


dari dua elemen yang bertentangan itu, dan fungsi cemas adalah

mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

2) Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan

takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal.

Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma,

seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan

tertentu. Individu dengan haraga diri rendah rentan mengalami

kecemasan yang berat.

3) Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan produk

frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan

individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli teori

perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan

yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk

menghindari kepedihan. Ahli teori konflik memandang kecemasan

sebagai pertentangan antara dua kepentingan yang berlawanan.

Mereka meyakini adanya hubungan timbal balik antara konflik

dan kecemasan. Konflik menimbulkan kecemasan, dan kecemasan

menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya

meningkatkan konflik yang dirasakan.

4) Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan

biasanya terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga

tumpang tindih antara gangguan kecemasan.


5) Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor

khusus untuk benzodiasepin, obat-obatan yang meningkatkan

neuroregulator inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA), yang

berperan penting dalam mekanisme biologis yang berhubungan

dengan kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan

gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kemampuan individu

untuk mengatasi tingkat kecemasan sor.

b. Faktor presipitasi kecemasan

Menurut Stuart & Sundeen (2018) kategori faktor pencetus

kecemasan dapat dikelompokkan menjadi dua faktor :

a) Ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologis

yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan

aktivitas hidup sehari-hari (penyakit, trauma fisik, pembedahan

yang akan dilakukan).

b) Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas,

harga diri, dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu.

3. Tingkat kecemasan

Cemas sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak

berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik.

Kondisi dialami secara subjektif dan dikomunikasikan dalam

hubungan interpersonal. Cemas berbeda dengan rasa takut, yang

merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya.


Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup,

tetapi tingkat cemas yang parah tidak sejalan dengan kehidupan.

Rentang respon kecemasan menggambarkan suatu derajat perjalanan

cemas yang dialami individu (Stuart & Sundeen,2018).

Gambar 2.1 : Rentang Respon Kecemasan


(Sumber : Stuart and Sundeen, 2018)

Beberapa kategori kecemasan menurut Stuart & Sundeen (2018):

a. Kecemasan ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan yang

menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang

persepsinya. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan

menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

b. Kecemasan sedang

Kecemasan ini memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang

penting dan mengesampingkan yang lain. Kecemasan sedang ini

mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian, individu

mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada

lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.

c. Kecemasan berat
Pada tingkat kecemasan ini sangat mengurangi lapang persepsi

individu. Individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan

spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan

untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak

arahan untuk berfokus pada area lain.

3. Respon terhadap kecemasan

Respon terhadap kecemasan terdiri dari respon fisiologis,

perilaku, kognitif dan afektif.

a. Respon fisiologis terhadap kecemasan

1) Kardiovaskuler : palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah

meninggi, rasa mau pingsan, pingsan, tekanan darah menurun, dan

denyut nadi menurun.

2) Pernafasan : napas cepat, napas pendek, tekanan pada dada, napas

dangkal, pembengkakan pada tenggorok, sensasi tercekik dan

terengah-engah.

3) Neuromuskuler : reflek meningkat, reflek kejutan, mata berkedip-

kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang,

kelemahan umum, kaki goyah, dan gerakan yang janggal.

4) Gastrointestinal : kehilangan nafsu makan, menolak makanan, rasa

tidak nyaman pada abdomen, mual, rasa terbakar pada jantung dan

diare.
5) Traktus Urinarius : Tidak dapat menahan kencing dan Sering

berkemih.

6) Kulit : wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak tangan),

gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat, dan

berkeringat seluruh tubuh (Stuart & Sundeen, 2018).

b. Respon Psikologis

Kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal maupun

personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan

gerak reflek. Kesulitan mendengarkan akan mengganggu

hubungan dengan orang lain. Kecemasan dapat membuat individu

menarik diri dan menurunkan katerlibatan dengan orang lain

(Stuart & Sundeen, 2018).

c. Respon Kognitif

Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berfikir baik proses

pikir maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu

memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunya

lapangan persepsi, bingung (Stuart & Sundeen, 2018).

d. Respon Afektif

Secara afektif pasien akan mengekspresikan dalam bentuk

kebingungan dan curiga terhadap kecemasan (Stuart & Sundeen,

2018).

4. Faktor-Faktor Kecemasan
Faktor – faktor kecemasan menurut Stuart & Sundeen, 2018

yaitu sebagai berikut :

a. Usia, seseorang yang mempunyai usia lebih muda ternyata lebih

mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada

seseorang yang lebih tua usianya.

b. Jenis kelamin, gangguan ini lebih sering dialami oleh Wanita

daripada pria. Wanita memiliki tingkat kecemasan yang lebih

tinggi dibandingkan subjek berjenis kelamin laki-laki.

Dikarenakan bahwa perempuan lebih peka dengan emosinya,

yang pada akhirnya peka juga terhadap perasaan cemasnya.

c. Tingkat pendidikan

Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masing – masing.

Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola pikir,

pola bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan. Tingkat

pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam

mengidentifikasi stresor dalam diri sendiri maupun dari luar

dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan

pemahaman terhadap stimulus.

d. Tingkat sosial ekonomi

Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan

psikiatrik.

e. Penyakit Penyerta
Pada dasarnya penyakit penyerta seperti kombobid juga

merupakan faktor utama pada bedah jantung seperti hipertensi,

DM.

2. Alat ukur tingkat kecemasan

Tingkat kecemasan adalah suatu keadaan tertekan atau

keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan

segera terjadi, kecemasan merupakan respon yang tepat terhadap

ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila datang tanpa

penyebab dan bila tidak sesuai proporsinya (Nevid dkk,2018).

Cara yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur

tingkat kecemasan yaitu skala STAI form Y. Pada penelitian ini skala

ukur kecemasan menggunakan Skala STAI dengan alasan untuk

menghilangkan kecemasan bukan dalam jangka panjang akan tetapi

sesaat ini saja. Domain dari skala STAI yaitu 1) Mengenali emosi diri

(Selfawareness), 2) Mengelola emosi (Selfcontrol), 3) Memotivasi diri

sendiri (Self-motivation), 4) Mengenali emosi orang lain (Empathy)

dan domain 5) Membina hubungan (Social Skill)

Skala STAI form Y Spielberger terdiri dari 20 pernyataan

dengan 4 respon skala likert. Sebagian dari aitem tersebut merupakan

pernyataan positif (favorable), yakni merasa aman, nyaman, tidak

gelisah, dan sebagainya, yang terdapat pada 10 nomor dengan skor:

4= tidak sama sekali; 3= kurang; 2= cukup; 1= sangat merasakan.

Sepuluh lainnya merupakan pernyataan negatif (unfavorable), seperti


ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi, gelisah, cemas, dan

ketegangan. Pemberian skor pada pernyataan negatif merupakan

kebalikan dari skor pernyataan positif, yakni: 1= tidak sama sekali; 2=

kurang; 3= cukup; 4= sangat merasakan. Total nilai (secore) minimum

kuesioner adalah 20 dan maksimal adalah 80:

1. Skor 20-39 menunjukkan kecemasan ringan

2. skor 40-59menunjukkan kecemasan sedang

3. skor 60-80 menunjukkan kecemasan berat

Adapun hasil uji validitas pada kuesioner ini yaitu memiliki

validitas global dan keandalan. Menurut laporan Mariam dalam

(Mohammadpourhodki et al., 2019) untuk validitas tes tersebut, mean

kecemasan masyarakat normal dan standar di semua kelompok usia

dibandingkan pada 5% dan %, untuk mencapai hasil yang berarti,

menunjukkan keabsahan dari kecemasan pengukuran. Keandalan

ilmiahnya adalah juga diverifikasi oleh rumus -Cronbach, yang adalah

0,9452 di komunitas normal dan 0,9418 dalam komunitas standar

C. Bedah Jantung

1. Pengertian

Bedah jantung merupakan suatu tindakan untuk mengatasi

gangguan pada jantung, ketika terapi medikamentosa dan terapi

supotif tidak dapat mengatasi lagi. Operasi jantung digunakan untuk

menangani penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung didapat.


Operasi jantung bawaan dilakukan pada usia anak kurang dari 1 tahun

(Marrelli, 2018). Operasi jantung yang paling banyak untuk orang

dewasa adalah Coronary Artery Bypass Graft (CABG). Pasien

menjalani operasi CABG biasanya disebabkan penyakit jantung

koroner. Rerata usia pasien laki-laki yang menjalani operasi CABG

diatas 40 tahun, sedangkan rerata usia pasien wanita diatas 50 tahun.

Dokter menggunakan operasi jantung untuk memperbaiki, mengganti,

menanam, mengobati dan mengontrol penyakit jantung (Soeharto,

2018).

2. Operasi penyakit jantung bawaan

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) dibagi menjadi 3 bagian, yaitu lesi

obstruktif, PJB nonsianotik dan PJB sianotik (Muttaqin, 2019):

a. Lesi obstruktif

1) Stenosis katup pulmonalis

Penyempitan katup pulmonal menyebabkan terjadinya

bendungan, peninggian tekanan, dan hipertrofi ventrikel kanan

disertai gagal jantung kanan. Secara klinis, terdengar bising sistolik

yang tajam dan keras pada daerah intercostalis II dextra.

Perbandingan antara kondisi jantung normal dengan stenosis katup

pulmonal. Tindakan bedah harus dilakukan segera pada usia dini

(terutama bila terjadi gagal jantung akut), yaitu melebarkan

pembuluh menggunakan lanset dengan cara valvulotomi Brock.


Tindakan ini disebut juga komisurotomi. Hasil yang sama dapat

dicapai dengan dilatasi kateter balon. Hasil pembedahan tergantung

pada besarnya lebaran katup yang telah dilakukan, keadaan umum,

dan keadaan paru prabedah.

2) Stenosis katup aorta

Adanya penyempitan isthmus aorta pada aorta desendens.

Kelainan ini dapat ditangani tanpa bedah terbuka. Stenosis aorta

dapat menyebabkan tekanan darah yang tinggi pada kepala, leher,

ekstermitas atas, dan tekanan darah yang rendah pada tubuh dan

ekstermitas bawah. Gejala dan tanda terlihat beberapa hari sesudah

bayi lahir. Gejala stenosis aorta tergantung pada derajat stenosis

katup.

Kebanyakan orang dengan stenosis aorta pada derajat

ringan

sampai sedang tidak menunjukkan gejala. Tiga gejala yang sering

timbul pada stenosis aorta adalah sinkop, nyeri dada angina dan

dispnea atau gejala lain dari gagal jantung seperti ortopnea, dispnea

exertional, paroksismal nocturnal dispnea, atau pedal edema.

Diagnosis stenosis aorta pada pemeriksaan foto thoraks terlihat

adanya kalsifikasi katup aorta, pada kasus stenosis aorta yang

berlangsung lama terjadi pembesaran ventrikel kiri. Pemeriksaan

EKG ventrikel kiri membesar.


Tindakan bedah yang sering dilakukan adalah penggantian

katup aorta (aortic valve replacement) dan valvuloplasti.

Penggantian katup aorta dilakukan dengan mengambil katup yang

rusak dengan katup mekanik baru atau bagian dari jaringan katup.

Katup mekanik terbuat dari metal, dapat bertahan lama tetapi dapat

menyebabkan resiko penggumpalan darah pada katup atau daerah

yang dekat dengan katup. Untuk mengatasinya pasien harus

mengkonsumsi obat anti koagulan seperti warfarin untuk mencegah

penggumpalan darah. Sedangkan penggantian dengan katup aorta

dapat diambil dari babi, sapi atau berasal dari cadaver manusia

serta jaringan katup yang berasal dari katup pulmonal pasien.

Valvuloplasti merupakan cara bedah jantung pada katup aorta

untuk memisahkan daun katup yang menyatu dan meningkatkan

kembali aliran darah yang melewati katup atau dengan cara

memperbaiki katup yaitu menghilangkan kalsium berlebih yang

terdapat pada daerah sekitar katup.

b. Penyakit jantung bawaan nonsianotik

1) Atrium Septal Defect (ASD)

Adanya kebocoran septum yang menghubungkan atrium

kanan dengan atrium kiri karena kegagalan pembentukan septum.

Defek dapat berupa defek sinus venosus didekat muara vena kava

superior, foramen ovale terbuka; defek septum sekundum, yaitu


kegagalan pembentukan septum sekundum (ASD II); defek septum

primum, yaitu kegagalan penutupan septum primum.

Gejala klinis yang paling umum tampak pada ASD adalah

anak mudah lelah saat bermain, berkeringat, nafas cepat, sesak

nafas, pertumbuhan buruk, dan sering infeksi saluran nafas. Tetapi,

pada sebagian anak tidak muncul gejala. Pada pemeriksaan EKG

terdapat hipertrofi ventrikel kanan dan foto polos dada jantung

tampak membesar. Tindakan bedah untuk pasien ASD berupa

penutupan dengan menjahit langsung ASD dengan jahitan jelujur

atau menambal defek menggunakan dakron. Metode terbaru untuk

ASD II, ditutup dengan metode kateterisasi transkutan

2) Ventricle Septal Defect (VSD)

Ventricle septal defect dapat berupa defek di atas atau di

bawah Krista supraventrikularis, di daerah katup trikuspidal, atau di

daerah septum muskulorum. Arah pintasan VSD dari kanan ke kiri.

Gejala klinis VSD yang sering tampak pada bayi yaitu, cepat lelah,

sesak nafas, berkeringat, nafas cepat, nafsu makan berkurang

karena cepat lelah saat makan, dan berat badan menurun.

Pembedahan untuk menutup VSD harus dilakukan segera sesudah

diagnosis ditegakkan, umumnya dilakukan penambalan dengan

potongan dakron.
3) Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Patent ductus arteriosus adalah duktus arteriosus Botalli

yang gagal menutup secara spontan sesudah bayi lahir. Duktus

arteriosus Botalli pada masa janin menghubungkan arteri

pulmonalis dengan aorta. Pada janin, ventrikel kanan berisi darah

yang kaya oksigen mengalir menuju arteri pulmonalis kemudian

sebgian besar dialirkan melalui duktus arteriosus Botalli ke aorta,

hanya sebagian yang mengalir ke paru-paru. Napas spontan dan

tangisan bayi, mengakibatkan tekanan oksigen dalam darah

meningkat, menyebabkan duktus menutup, disebut penutupan

fisiologis.

Tanda dan gejala PDA tergantung pada ukuran duktus,

tahanan vascular pulmonalis, usia saat presentasi dan anomaly

penyerta. Pada PDA ukuran besar akan berdampak saat masa bayi

dengan payah jantung kongestif. Tanda yang terjadi pada pasien

PDA adalah bayi rewel, takikardi disertai takipneu dan sulit makan.

Pemeriksaan fisik menunjukkan sirkulasi hiperdinamik dengan

prekordium hiperaktif dan denyut perifer yang meloncat loncat.

Tekanan darah sistolik biasanya normal, diastolic sering kali

hipotensi karena pinta kiri ke kanan besar. Foto polos dada

memperlihatkan kardiomegali dan pemeriksaan EKG

memperlihatkan hipertrofi ventrikel kiri.


Tindakan bedah kasus PDA dilakukan pada pasien

simtomatis, tindakan bedah yang dilakukan adalah meligasi

pembuluh pintas yang terbuka. Tindakan ini harus dilakukan sedini

mungkin. Terutama pada bayi lahir premature dengan duktus

Botallo terbuka dan menunjukkan tanda tanda gagal jantung. Pada

pasien asimtomatik dapat ditunda namun tindakan bedah harus

sudah dilakukan sebelum usia sekolah. Tindakan bedah tidak

dilakukan apabila sudah terjadi aliran balik darah di pintasan, yaitu

dari kanan ke kiri dan terjadi sindrom Eisenmenger pada paru.

4) Atrioventricular Septal Defect (AVSD)

Kelainan jantung yang ditandai dengan tingkat

pertumbuhan bagian inferior septum atrium yang tidak sempurna,

bagian inflow septum ventrikel, dan katup atrioventrikular.

Kelainan ini jarang terjadi. AVSD dibagi menjadi parsial,

intermediet, dan komplit. Tanda dan gejala AVSD adalah gagal

jantung kongestif yang muncul 1 sampai 2 bulan awal kelahiran,

pertumbuhan terhambat, pertumbuhan gerak motorik terhambat,

jantung murmur, nafas cepat, dan sianosis terlihat terutama ketika

bayi menangis.

c. Penyakit jantung bawaan sianotik

1) Tetralogy of Fallot (TOF)

Tetralogy of Fallot pertama kali disampaikan oleh dr.

Etienne Fallot. Tetralogy of Fallot adalah kelainan yang


disebabkan oleh pemisahan konus yang tidak merata, karena

pergeseran letak sekat trunkus dan konus ke depan. Pergeseran

sekat menyebabkan adanya sindrom yang terdiri dari 4 kelainan,

yaitu defek septum ventrikel, stenosis pulmonal, overriding aorta,

dan hipertrofi ventrikel kanan.

Pada bayi yang sangat biru dengan stenosis pulmonalis

yang sangat berat memerlukan operasi paliatif yaitu Blalock

Taussig Shunt (BT-shunt) atau modifikasinya yaitu membuat pirau

buatan dari arteri subclavia ke arteri pulmonalis. Pencegahan yang

harus dilakukan adalah mencegah anemia relatif, mempertahankan

kadar Hb=16-19 g/dl dan Ht 50-60 vol% dengan cara memenuhi

kecukupan asupan zat besi dari makanan dan terapi Fe.

2) Transposition of Great Artery (TGA)

Kelainan aorta yang muncul dari ventrikel kanan dan arteri

pulmonalis muncul dari ventrikel kiri karena katup septum

konotrunkus pada janin gagal mengikuti perjalanan spiral yang

normal dan turun langsung ke bawah. Pertolongan pertama yang

dilakukan adalah membuat defek pada sekat atrium (septostomi

atrium) dengan menggunakan balon, sehingga sekat atrium robek.

Tindakan bedah selanjutnya dilakukan pada usia 2 minggu – 3

bulan. Pilihan terbaik untuk kasus TGA sederhana dengan ASD

baik neonatal atau anak yang lebih besar adalah operasi Senning

atau arterial switch. Pada sebagian pasien dengan kelainan penyerta


harus dikoreksi bersamaan dengan arterial switch, sebagian pasien

lainnya yang tidak dapat dilakukan metode tersebut harus

menggunakan strategi lain.

3. Tindakan pasca operasi penyakit jantung bawaan

Sesudah tindakan bedah dilakukan, pasien PJB dirawat di ruang

ICU selama 1-3 hari. Selama beberapa jam pertama kesadaran pasien

kurang akibat obat anestesi yang diberikan saat pembedahan. Pasien

PJB paska bedah akan mendapatkan perawatan intensif di ICU berupa

(Cahyono, 2018):

a. Ventilator: Mesin yang digunakan untuk membantu pasien bernafas

ketika efek obat anestesi paska bedah masih bekerja.

b. Kateter intravena: Alat berupa selang plastik yang dimasukkan

pada kulit pasien dan dihubungkan pada pembuluh darah vena

untuk membantu memberikan cairan dan obat obatan pada pasien

selama perawatan.

c. Arterial line: Alat yang umumnya dipasang pada pergelangan

tangan pasien, dan digunakan untuk mengukur tekanan darah

secara terus menerus selama pasien perawatan ICU.

d. Nasogastric tube: Selang plastik yang digunakan untuk

mengeluarkan isi lambung dan memasukkan nutrisi cair serta obat-

obatan, dipasang melalui hidung sampai lambung.


e. Kateter urin: Selang plastik yang digunakan untuk mengeluarkan

urin pasien, serta membantu mengukur kerja jantung, karena

sesudah pasien melakukan operasi jantung akan melemah dan

menyerap banyak cairan yang memungkinkan terjadinya

pembengkakan jantung.

f. Chest tube: Tabung drainase pada dada yang digunakan untuk

mengeluarkan darah yang menumpuk sesudah penutupan

pembedahan.

g. Heart monitor: Alat yang digunakan untuk memantau keadaan

jantung, gambaran irama jantung, tekanan arteri, tekanan nadi, dan

nilai-nilai lainnya. Sesudah dirawat di ICU, pasien dibawa ke ruang

pemulihan dalam beberapa hari. Pasien dan keluarga pasien

diajarkan cara merawat luka pasca bedah, dan pasien diperbolehkan

kembali ke rumah.

4. Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

a. Pengertian Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah

satu penanganan intervensi dari Penyakit Jantung Koroner (PJK),

dengan cara membuat saluran baru melewati arteri koroner yang

mengalami penyempitan atau penyumbatan. Terdapat beberapa

indikasi untuk dilakukan CABG antara lain asymptomatic/ mild

angina dengan ditemukannya sumbatan pada left main, triple


vessel disease; stable angina; unstable/ non-ST elevation MI; ST

elevation MI; fungsi ventrikel kiri yang buruk; aritmia ventrikel

yang mengancam jiwa; Percutaneus Coronary Intervention (PCI)

gagal dan riwayat CABG sebelumnya. Teknik ini dilakukan

dengan menggunakan pembuluh darah dari bagian tubuh lain untuk

pintasan arteri yang menghalangi pesokan darah ke jantung.

Pembuluh darah yang sering digunakan adalah arteri mamaria

interna, arteri radialis, dan vena safena magna (Soeharto, 2018).

b. Teknik Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Ada 2 teknik yang digunakan pada operasi CABG yaitu

tindakan CABG yang menggunakan mesin Cardio Pulmonary

Bypass (CPB) sering disebut On-Pump Coroanary Artery Bypass

atau tanpa menggunakan mesin CPB yang sering disebut Off-Pump

Coronary Artery Bypass (OPCAB) (Asai et all. 2016).

Ada beberapa parameter dalam memilih tehnik operasi off-

pump atau on-pump antara lain yaitu, status hemodinamik harus

stabil, karena status hemodinamik yang tidak stabil, memerlukan

pemberian obat, dan apabila pemberian obat tidak memberikan

hasil yang baik, maka menggunakan tehnik operasi on-pump lebih

dipilih. Kemudian evaluasi pembuluh darah yang akan dioperasi,

karena pada pasien obesitas dengan lapisan lemak epikardium

yang tebal atau pembuluh darah target yang terlalu dalam di

lapisan miokardium atau pembuluh darah yang terlalu kecil.


Keadaan ini akan mempersulit penggunaan tehnik operasi off-

pump (Asai et all. 2016).

Teknik operasi Off-Pump Coronary Bypass Graft belum

banyak digunakan karena teknik ini merupakan teknik baru, tanpa

menggunakan mesin CPB. Tehnik in mempunyai tingkat mortalitas

dan morbiditas yang rendah. Namun bukan berarti teknik ini lebih

baik. Penggunaan teknik On-pump Coronary Artery Bypass Graft

lebih banyak dari pada teknik Off-Pump Coronary Bypass Graft.

Pada operasi On-pump Coronary Artery Bypass Graft, prosedur

dilakukan dengan alat mekanis mesin jantung paru atau CPB.

Mesin ini meminimalkan perdarahan saat operasi berlangsung, dan

perfusi jantung dapat dipertahankan untuk jaringan dan organ lain

di tubuh

(Asai et all. 2016).

c. Komplikasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG)

Komplikasi yang mungkin terjadi segera sesudah operasi

maupun dalam waktu yang lebih lama antara lain (Asai et all.

2016):

1) Komplikasi kardiovaskuler meliputi disritmia, penurunan

curah jantung dan hipotensi persisten.

2) Komplikasi hematologi meliputi perdarahan dan pembekuan.

3) Komplikasi ginjal dapat terjadi gagal ginjal ketika terjadi

penurunan curah jantung.


4) Komplikasi paru termasuk atelektasis, pneumoni, edem pulmo,

hemothorax/ pneumothorax .

5) Komplikasi neurologi dapat muncul sangat jelas termasuk

stroke dan encephalopathy, delirium, cerebrovascular

accident.

6) Disfungsi gastrointestinal seperti stress ulcer, ileus paralitik.


d. Rapid Restenosis Graft (dalam waktu 6 bulan) atau vena graft

colap.

Hal yang sangat penting pada tindakan CABG adalah

penanganan kondisi pasien pascabedah. Sesudah operasi, pasien

biasanya ditempatkan pada ruang ICU agar dapat dipantau dengan

ketat fungsi jantung dan tanda-tanda vitalnya selama 1-2 hari.

Hampir 25% pasien dapat mengalami gangguan ritme jantung

dalam 3 atau 4 hari sesudah operasi bypass jantung.

Hal ini diakibatkan oleh trauma operasi pada jantung. Sebagian

besar gangguan ritme ini dapat respon baik dengan terapi obat-

obatan yang dapat mencapai satu bulan. Sekitar 5% pasien

membutuhkan perhatian ketat dalam 24 jam karena risiko

perdarahan sesudah operasi. Ketika pemantauan ketat tidak

diperlukan lagi, biasanya dalam waktu 2-4 hari sesudah operasi,

pasien dipindahkan ke unit perawatan transisi. Rata-rata waktu

rawat inap pasien yang menjalani operasi bypass jantung sekitar 3-

8 hari. Jahitan dilepaskan dari dada atau dari tungkai bawah (jika

menggunakan vena saphena) sekitar 7-10 hari sesudah keluar dari

rumah sakit.

Pasien dapat sembuh total sekitar 4-6 minggu. Pasien dapat

kembali bekerja sekitar 1-2 bulan sesudah operasi. Usia berkaitan

erat dengan hasil rawat ICU. Kejadian infeksi saat masuk ICU

secara signifikan meningkat sebanding dengan umur. Pasien


operasi CABG rata-rata dilakukan oleh pasien usia tua. Hal ini

mempengaruhi lama rawat ICU pasca operasi, karena pasien usia

tua memiliki cadangan fisiologis yang lebih rendah daripada usia

muda. Sesudah kondisi stabil di Ruang ICU pasien dipindahkan ke

Ruang HCU (High Care Unit) untuk mendapatkan perawatan lebih

lanjut.

D. Perioperatif Bedah jantung

1. Pre operasi

Potter Dan Perry (2018) menjelaskan bahwa keperawatan pre

operasi dimulai ketika keputusan tindakan pembedahan diambil, dan

berakhir ketika pasien dipindahkan ke kamar operasi. Fase pre operasi

dilakukan pengkajian operasi awal, merencanakan penyuluhan dengan

metode yang sesuai dengan kebutuhan pasien , melibatkan keluarga

atau orang terdekat dalam wawancara, memastikan kelengkapan

pemeriksaan pre operasi, mengkaji kebutuhan pasien dalam rangka

perawatan pasca operasi. Kesalahan yang dilakukan pada fase ini akan

berakibat fatal pada tahap berikutnya. Pengkajian secara integral dari

fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat

diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi (Smeltzer,

2019).

2. Tindakan Pre Operasi


Persiapan pasien di unit perawatan, diantaranya adalah (Potter dan

Perry,2018):

1) Terapi Farmakologi

a) Status kesehatan fisik secara umum

Status kesehatan meliputi identitas pasien , riwayat penyakit

seperti kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga,

pemeriksaan fisik lengkap, vital sign, antara lain status

hemodinamika, kardiovaskuler, pernafasan, fungsi ginjal dan

hepatik, dan lain- lain.

b) Status nutrisi

kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan

berat badan, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin

dan globulin segala bentuk defisiensi nutrisi harus di koreksi

sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk

perbaikan jaringan. Anestesi umum tidak diperbolehkan makan

atau minum 8 jam menjelang operasi dan anestesi lokal makanan

ringan masih diperbolehkan. Bahaya yang sering timbul makan/

minum sebelum operasi meliputi aspirasi saat pembedahan,

mengotori meja operasi, dan mengganggu jalannya operasi.

c) Pencukuran daerah operasi

Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari

terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena

rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi


kuman dan juga mengganggu/ menghambat proses penyembuhan

dan perawatan luka. Tindakan pencukuran (scheren) harus

dilakukan dengan hati- hati jangan sampai menimbulkan luka pada

daerah yang dicukur. Daerah yang dilakukan pencukuran

tergantung pada jenis operasi dan daerah yang akan di operasi.

Pada bedah jantung, pencukuran bulu mata sangat disarankan agar

tidak mengganggu jalannya operasi dan mencegah terjadinya

infeksi (Ilyas, 2017).

d) Keseimbangan cairan dan elektrolit

Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input

dan output cairan. Demikian juga kadar elektrolit serum harus

berada dalam rentang normal. Keseimbangan cairan dan elektrolit

terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi

mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi metabolik. Jika

fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan dengan baik

e) Pengosongan kandung kemih

Pengosongan Kandung Kemih Dengan Pemasangan Alat Kateter

Jika Memang diperlukan. Pengosongan kandung kemih bertujuan

untuk memperlancar jalannya operasi. latihan pra operasi berbagai

latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum operasi, hal ini

sangat penting sebagai persiapan pasien dalam menghadapi

kondisi pasca operasi, seperti: nyeri daerah operasi, batuk dan

banyak lendir pada tenggorokan. Latihan yang diberikan meliputi


antara lain latihan napas dalam, batuk efektif, dan gerak sendi

(pasien diperbolehkan berubah posisi sebelum dilakukan operasi).

f) Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi,

laboratorium darah, serum, dan urin maupun pemeriksaan lain

seperti ekg, dan lain-lain.

g) Pemeriksaan status anestesi. Pemeriksaan status fisik untuk

pembiusan perlu dilakukan untuk keselamatan pasien selama

pembedahan.

2) Terapi Non Farmakologi

Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum

operasi, hal ini sangat penting sebagai persiapan pasien dalam

menghadapi kondisi pasca operasi, seperti: nyeri daerah operasi,

batuk dan banyak lendir pada tenggorokan. Latihan- latihan yang

diberikan pada pasien sebelum operasi, antara lain:

a) Latihan Nafas Dalam

Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk

mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat membantu pasien

relaksasi sehingga pasien lebih mampu beradaptasi dengan nyeri

dan dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain itu teknik ini juga

dapat meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah

anastesi umum. Dengan melakukan latihan tarik nafas dalam secara

efektif dan benar maka pasien dapat segera mempraktekkan hal ini
segera setelah operasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien.

b) Latihan Batuk Efektif

Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien

terutama klien yang mengalami operasi dengan anestesi general.

Karena pasien akan mengalami pemasangan alat bantu nafas

selama dalam kondisi teranestesi. Sehingga ketika sadar pasien

akan mengalami rasa tidak nyaman pada tenggorokan. Dengan

terasa banyak lendir kental di tenggorokan.Latihan batuk efektif

sangat bermanfaat bagi pasien setelah operasi untuk mengeluarkan

lendir atau sekret tersebut.

c) Latihan Gerak Sendi

Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi

pasien sehingga setelah operasi, pasien dapat segera melakukan

berbagai pergerakan yang diperlukan untuk mempercepat proses

penyembuhan. Pasien/keluarga pasien seringkali mempunyai

pandangan yang keliru tentang pergerakan pasien setelah operasi.

Banyak pasien yang tidak berani menggerakkan tubuh karena takut

jahitan operasi sobek atau takut luka operasinya lama sembuh.

Pandangan seperti ini jelas keliru karena justru jika pasien selesai

operasi dan segera bergerak maka pasien akan lebih cepat

merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien akan lebih

cepat kentut/ flatus. Keuntungan lain adalah menghindarkan


penumpukan lendir pada saluran pernafasan dan terhindar dari

kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus. Tujuan lainnya adalah

memperlancar sirkulasi untuk mencegah stasis vena dan

menunjang fungsi pernafasan optimal.

d) Slow Stroke Back Massage SBBM

SBBM dikenal dengan pijat sederhana yang memberikan

rasa nyaman, pemijatan dilakukan dengan santai khususnya bagi

yang mengalami stres, mengalami kesulitan dalam membina

pengaruh dengan orang lain, SBBM ini juga dapat berguna untuk

mengurangi atau menghilangkan rasa sakit karena menimbulkan

efek relaksasi dan dapat mengurangi kecemasan. SBBM juga

dapat diterapkan untuk membantu mengurangi behavioural and

psychological symptoms of dementia (BPSD) (Pramesti, 2020).

SBBM dikenal dengan tindakan pemijatan pada tangan

dengan tehnik lima langkah pemijatan menggunakan minyak. Kim

dkk (2018) telah membuktikan pada klien yang menjalani

pembedahan bedah jantung bahwa terapi pemijatan dapat

menurunkan tingkat kecemasan seorang klien secara fisik dan

psikologis. Tindakan Pijat dapat merangsang peningkatan hormon

oksitosin dan mengurangi hormon adrenocortiko trofin (ACTH)

pada manusia (Sitompul, 2017).

Secara fisikis Pasien yang akan menghadapi pembedahan

akan mengalami berbagai macam jenis prosedur tindakan tertentu


dimana akan menimbulkan kecemasan. Segala bentuk prosedur

pembedahan selalu didahului dengan suatu reaksi emosional

tertentu oleh pasien, apakah reaksi itu jelas atau tersembunyi,

normal atau abnormal. Sebagai contoh, kecemasan pre operasi

kemungkinan merupakan suatu respon antisipasi terhadap suatu

pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman

terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh, atau bahkan

kehidupan itu sendiri. Sudah diketahui bahwa pikiran yang

bermasalah secara langsung mempengaruhi fungsi tubuh.

Karenanya, penting artinya untuk mengidentifikasi kecemasan

yang dialami pasien (Potter & Perry, 2018)

Pasien pre operasi mengalami berbagai ketakutan, termasuk

ketakutan akan ketidaktahuan dan kematian. Kehawatiran

mengenai kehilangan waktu kerja, kemungkinan kehilangan

pekerjaan, tanggung jawab mendukung keluarga, dan ancama

ketidakmampuan permanen yang lebih jauh, memperberat

ketegangan emosional yang sangat hebat yang diciptakan oleh

prospek pembedahan (Potter & Perry, 2018)

Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien

dapat dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik seperti:

meningkatnya frekuensi denyut jantung dan pernafasan, tekanan

darah, gerakan-gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak

tangan yang lembab, gelisah, menanyakan pertanyaan yang sama


berulang kali, sulit tidur, dan sering berkemih. Perawat perlu

mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien

dalam menghadapi stres. Disamping itu perawat perlu mengkaji

hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu pasien dalam

menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan ini, seperti adanya

orang terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor

pendukung/support system.

Mekanisme koping adalah proses adaptasi terhadap

perasaan individu dikarenakan masalah tertentu yang mengganggu

individu itu sendiri. Dalam konsep mekanisme koping, membahas

tentang pengertian koping, mekanisme koping, sumber koping, dan

faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping. Koping

merupakan upaya perilaku dan kognitif seseorang dalam

menghadapi ancaman fisik dan psikososial Hidayat (2014), koping

adalah proses atau cara untuk berespon terhadap lingkungan

(stimulus) untuk mencapai kondisi adaptasi.

Sumber daya mengatasi pilihan atau strategi yang

membantu apa yang bisa dilakukan. Mereka memperhitungkan

pilihan koping yang tersedia, kemungkinan bahwa opsi yang

diberikan akan mencapai keinginan yang sesungguhnya dan

kemungkinan bahwa orang tersebut dapat menerapkan strategi

tertentu yang efektif. Hubungan antara kelompok, individu,

keluarga, dan masyarakat adalah model yang sangat penting untuk


saat ini. Sumber daya koping lainnya termasuk kesehatan dan

energy, mendukung spiritual, keyakinan positif, kemampuan

pemecahan masalah dan sosial. Keyakinan spiritual dan melihat

diri sendiri positif dapat berfungsi sebagai dasar harapan dan dapat

mempertahankan usaha seseorang mengatasi dalam kondisi yang

paling buruk (Suart & Laraia, 2019)

Support system keluarga atau dukungan keluarga yang

merupakan bagian dari dukungan sosial mempunyai pengaruh

terhadap kesehatan. Jika kita merasa didukung oleh lingkungan

maka segala sesuatu dapat menjadi lebih mudah pada waktu

menjalani kejadian-kejadian yang menegangkan. Dukungan

tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk dukungan emosional

melalui rasa empati, dukungan maju, dukungan kontra mental

melalui bantuan langsung berupa harta atau benda dan dukungan

informative melalui pemberian nasehat, saran-saran atau petunjuk

(Suart & Laraia, 2019)

E. Slow Stroke Back Massage

1. Pengertian

Massage adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering di

pusatkan di punggung dan bahu. Massage tidak secara spesifik

menstimulasi reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat

mempunyai tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem control


desenden. Massage dapat membuat pasien lebih nyaman karena

massage membuat relaksasi otot (Smeltzer, 2019).

2. Sejarah

Pijat merupakan terapi kuno yang telah digunakan di Cina selama

lebih dari 5.000 tahun (McRee, Noble, & Pasvogel, 2018). Ini adalah

salah satu yang paling banyak digunakan terapi komplementer dan

telah menjadi bagian dari keperawatan armamentarium selama

berabad-abad. Ironisnya, namun, pada saat pijat semakin banyak

digunakan oleh masyarakat umum, perawat jarang mengelola kembali

menggosok atau jenis lain dari pijat.

Pijat sering dikombinasikan dengan terapi lain seperti musik,

aromaterapi, akupresur, dan sentuhan sederhana, sehingga sulit untuk

membedakan efek khusus pijat dari orang-orang yang dihasilkan dari

kombinasi terapi. Hasil dalam banyak studi menunjukkan efek positif

pijat dalam memproduksi relaksasi, memperbaiki tidur, dan

mengurangi rasa sakit. Pijat telah ditemukan untuk menghasilkan

respon relaksasi (Holland & Pokorny, 2019).

Peneliti telah melaporkan bahwa pijat mengakibatkan penurunan

parameter fisiologis (sistolik dan diastolic tekanan darah, denyut

jantung, dan suhu kulit) menunjukkan respon relaksasi (Holland &

Pokorny, 2019).
Stimulasi pada kulit yaitu Slow Stroke Back Massage dimana

massage ini berfungsi untuk membuat keadaan pasien merasa nyaman

sehingga dapat menurunkan tingkat stres pasien serta menyebabkan

vasodilatasi pembuluh darah yang berdampak pada penurunan tekanan

darah (Holland & Pokorny, 2019).

Mekanisme Slow Stroke Back Massage yaitu meningkatkan

relaksasi dengan menurunkan aktivitas saraf simpatis dan

meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis, sehingga menyebabkan

terjadinya pelepasan endorfin yang membuat pembuluh darah menjadi

vasodilatasi (Holland & Pokorny, 2019).

Slow Stroke Back Massage dapat menstimulasi saraf-saraf di

superficial kulit yang kemudian diteruskan ke otak di bagian

hipotalamus. Sistem saraf desenden melepaskan opiat endogen seperti

hormon endorphin. Pengeluaran hormon endorphin mengakibatkan

meningkatnya kadar hormon endorphin didalam tubuh yang akan

meningkatkan produksi kerja hormone dopamin. Peningkatan hormon

dopamine mengakibatkan terjadinya peningkatan aktivitas system

saraf parasimpatis. Sistem saraf parasimpatis berfungsi mengontrol

aktivitas yang berlangsung dan bekerja pada saat tubuh rileks,

sehingga penderita hipertensi mempersepsikan sentuhan sebagai

stimulus respon relaksasi dan menyebabkan penurunan tekanan darah

(Potter & Perry, 2018).


Apabila seseorang mempersepsikan sentuhan sebagai stimulus

untuk rileks kemudian akan muncul respon relaksasi. Efek relaksasi

melalui penurunan sekresi hormon katekolamin (epinefrin dan

norepinefrin) akan berlanjut pada penurunan aktivitas saraf simpatis

disertai penurunan tekanan darah. Efek penurunan tekanan darah dari

Slow Stroke Back Massage didapatkan melalui vasodilatasi pembuluh

darah, mengurangi sekresi hormon katekolamin (epinefrin dan

norepinefrin) dan dapat mengurangi rasa nyeri kepala akibat hipertensi

sehingga komplikasi lebih lanjut dapat dicegah (Moraska, et al., 2019).

3. Standar Operasional Prosedur (SOP) Slow Sroke Back Massage

(SSBM)

1) Pengertian

Slow Stroke Back Massage adalah intervensi keperawatan dan

cara komunikasi bukan dengan menggunakan kata-kata, tetapi

dengan menyentuh pasien. SSBM sebenarnya adalah gerakan

lembut dari kulit sehingga tangan meluncur di atas kulit dan jangan

gerakkan otot-otot dalam. SSBM diterapkan pada seluruh tubuh.

SSBM biasanya dimulai dari bagian belakang tubuh bagian,

pijatannya lambat, berirama dan melibatkan gerakan tangan yang

lembut punggung pasien, dengan kecepatan sekitar 60 bergerak per

menit, dan dibutuhkan sekitar 3 hingga 10 menit

(Mohammadpourhodki et al., 2019)


2) Tujuan

Mengurangi tingkat kecemasan pada pasien pre operasi dengan

mekanisme gate control dan rangsangan pengeluaran hormon

endorphin.

3) Prosedur

a) Tahap Persiapan

(1) Menyiapkan alat dan bahan

(a) Bahan pelicin berupa krem, minyak atau lotion yang

aman dan tidak kadaluwarsa

(b) 1 buah mangkuk kecil

(c) 1 lembar selimut

(d) 1 lembar washlap / handuk kecil

(e) 1 lembar handuk kering

(f) 1 buah sabun

(2) Menjaga lingkungan : atur pencahayaan dan privacy

ruangan

b) Tahap orientasi

1. Memberikan salam

2. Menjaga privacy pasien dengan menutup pintu dan

jendela/korden

3. Mengklarifikasi kegiatan massage


4. Menjelaskan tujuan dan prosedur Slow Stroke Back

Massage

5. Memberi kesempatan pasien untuk bertanya

6. Informed consent

7. Mendekatkan alat ke pasien

c) Tahap pelaksanaan

Adapun langkah-langkah SSBM adalah sebagai berikut

(Mohammadpourhodki et al., 2019):

(1) Menjelaskan tujuan dan lama pemijatan kepada pasien;

(2) Menjaga privasi dan keamanan pasien. Hanya ada pasien

dan peneliti di ruang pijat;

(3) Pasien duduk di kursi pijat dan menyandarkan kepalanya

di bantal;

(4) Sebelum memulai pemijatan, terlebihdahulu melakukan

pemanasan dengan menggosokkan kedua tangannya.

Untuk mencegah kerusakan pada kulit pasien, kemudian

dioleskan ke kulit untuk melumasi permukaan gosok;

(5) Pukulan halus dan melingkar kecil dengan ibu jari di

leher (20 pukulan dalam 30 detik);

(6) Pukulan permukaan dari pangkal tengkorak ke daerah

sakral menggunakan telapak satu tangan dan mengulangi


tindakan di sisi lain tulang belakang menggunakan

telapak tangan yang lain, sedangkan tangan pertama akan

bergerak ke arah pangkal tengkorak (60 pukulan dalam

120 detik);

(7) Mengusap menggunakan tangan di sepanjang tulang

belikat menggunakan ibu jari (20 pukulan halus dalam 30

detik) diikuti;

(8) Pukulan tangan menggunakan ibu jari di kedua sisi tulang

belakang dari bahu ke pinggang (10 pukulan dalam 30

detik) adalah yang berikutnya;

(9) Selanjutnya mengusap dari daerah leher ke daerah

sakrum dengan menggunakan kedua telapak tangan (40

pukulan dalam 90 detik);

(10) Langkah 5 sampai 9 diulangi, dan di akhir pemijatan,

yang selanjutnya permukaan kulit pasien dibersihkan

dengan menggunakan handuk kecil. Peneliti melakukan

pemijatan sendirian, di tempat yang tenang.

d) Tahap Terminasi

(1) Mengevaluasi respon pasien

(2) Menyimpulkan hasil kegiatan

e) Pendokumentasian
F. Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian


Sumber : Stuart & Sundeen, 2018, Potter dan Perry, 2018
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual

Kerangka kerja adalah langkah-langkah dalam aktivitas ilmiah dari

penetapan popolasi, sampel dan teknik sampel penelitian. Kerangka kerja

merupakan bagan kerja kegiatan penelitian yang akan dilakukan. Kerangka

kerja meliputi populasi, sampel dan tektik sampling penelitian, teknis

pengumpulan data dan analisis data (Notoatmodjo, 2020)

Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan pada tinjauan

pustaka serta masalah penelitian maka dapat disusun kerangka konsep

penelitian dengan menggunakan beberapa variable sebagai berikut :

Gambar 3.1 Bagan Pengaruh Slow Stroke Back Massage (SBBM)


terhadap Kecemasan pasien Pre Operasi Bedah Jantung di
RSHS Kota Bandung

Input Proses Output

B. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam


bentuk kalimat pertanyaan (Notoatmodjo, 2020). Dari penelitian ini,

peneliti merumuskan hipotesis yaitu :

Ho : Tidak terdapat pengaruh Slow Stroke Back Massage (SBBM)

terhadap perubahan kecemasan pada pasien pre operasi bedah

jantung di RSHS Kota Bandung

H1 : Terdapat pengaruh Slow Stroke Back Massage (SBBM)

terhadap perubahan Kecemasan pasien Pre Operasi Bedah

Jantung di RSHS Kota Bandung

C. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara

operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga

memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran

secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Notoatmodjo, 2020)

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur
Variabel Dependen
1 Kecemasan Respon atau Kuesioner Skor kecemasan: Rasio
dengan skala 0. Skor <20-39
pada pasien perasaan responden
kecemasan ringan
STAI
pre operasi yang dirasakan oleh 1. Skor 40-59
kecemasan
bedah pasien pre operasi
sedang
jantung sebelum dan 2. Skor ≥60-80
kecemasan berat
sesudah SBBM
Variabel Independen (Intervensi)
2 Intervensi Intervensi yang SOP - -
Slow Stroke diberikan massage terlampir
Back pada punggung
No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
Massage dengan SSBM pada
(SBBM) pasien pre operasi
untuk menurunkan
kecemasan

D. Rancangan Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian Quasi Experimen dengan

rancangan penelitian pretest-posttest desain without control group.

Penelitian sebelum atau percobaan, untuk mengetahui suatu gejala

atau pengaruh yang timbul, sebagai akibat dari adanya perlakuan

tertentu. Ciri khusus dari penelitian ini adanya perlakuan yaitu Slow

Stroke Back Massage (SBBM) . Dari perlakuan tersebut diharapkan

terjadi perubahan atau pengaruh terhadap variabel yang lain yaitu Slow

Stroke Back Massage (SBBM) sebagai salah satu terapi mengurangi

kecemasan pada pasien pre operasi bedah jantung (Rianto, 2018).

Penelitian ini menggunakan rancangan one grup pretest-posttest

karena pada desain ini kelompok intervensi dilakukan sebelum dan

sesudah intervensi, tetapi dalam desain ini tidak ada kelompok sesudah

(pembanding) dan tidak dipilih secara random yang di gambarkan

sebagai berikut :

01 X 02

pretest Perlakuaan postest

Sumber : (Rianto, 2018)


Gambar 3.1 Desain One Group Pretest-Posttest

Keterangan :

O1 : Pengukuran kemampuan awal sebelum intervensi (Pre test)

O2 : Pengukuran kemampuan akhir sesudah intervensi (Post test)

X : Pemberian perlakuan dengan Pemberian Slow Stroke Back

Massage (SBBM)

Tahapan Rancangannya sebagai berikut yaitu Tahapan intervensi

tentang Pemberian Slow Stroke Back Massage (SBBM) yang diberikan

sesuai tahapan jadwal pengumpulan data :

1. Tahapan pertama

Peneliti memilih dan menetukan sampel sesuai krteria insklusi yang

selanjutnya membagikan kuesioner kecemasan pertama yaitu untuk

mengetahui data awal kecemasan pada Pasien Pre Operasi Bedah

jantung sebelum dilakukan operasi bedah jantung pada kelompok

eksperimen

2. Tahapan kedua

Peneliti memberikan intervensi Slow Stroke Back Massage pada

kelompok eksperimen dengan langkah-langkah sebagai beikut :

1) Menjelaskan tujuan dan lama pemijatan kepada pasien;

2) Menjaga privasi dan keamanan pasien. Hanya ada pasien dan

peneliti di ruang pijat;

3) Pasien duduk di kursi pijat dan menyandarkan kepalanya di

bantal;
4) Sebelum memulai pemijatan, terlebih dahulu melakukan

pemanasan dengan menggosokkan kedua tangannya. Untuk

mencegah kerusakan pada kulit pasien, kemudian dioleskan ke

kulit untuk melumasi permukaan gosok;

5) Pukulan halus dan melingkar kecil dengan ibu jari di leher (20

pukulan dalam 30 detik);

6) Pukulan permukaan dari pangkal tengkorak ke daerah sakral

menggunakan telapak satu tangan dan mengulangi tindakan di

sisi lain tulang belakang menggunakan telapak tangan yang

lain, sedangkan tangan pertama akan bergerak ke arah pangkal

tengkorak (60 pukulan dalam 120 detik);

7) Mengusap menggunakan tangan di sepanjang tulang belikat

menggunakan ibu jari (20 pukulan halus dalam 30 detik)

diikuti;

8) Pukulan tangan menggunakan ibu jari di kedua sisi tulang

belakang dari bahu ke pinggang (10 pukulan dalam 30 detik)

adalah yang berikutnya;

9) Mengusap dari daerah leher ke daerah sakrum dengan

menggunakan kedua telapak tangan (40 pukulan dalam 90

detik);

10) Di akhir pemijatan dilakukan pada permukaan kulit pasien

dibersihkan dengan menggunakan handuk kecil. Peneliti

melakukan pemijatan sendirian, di tempat yang tenang.


3. Tahapan ketiga

Peneliti kembali membagikan kuesioner kedua kepada Pasien Pre

Operasi Bedah jantung sebelum pasien ke meja operasi pada

kelompok eksperimen sesudah diberikan intervensi dan diberikan

kuesioner kecemasan sesudah intervensi.

2. Populasi dan Sampel Penelitian

a. Populasi

Populasi penelitian adalah subjek misalnya manusia/klien

yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Secara umum dapat

diartikan bahwa populasi adalah kumpulan semua individu dalam

suatu batas tertentu. Kumpulan individu yang akan diukur atau

diamati ciri-cirinya disebut populasi studi (Notoatmodjo, 2020).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien pre operasi

bedah jantung periode 1 bulan Mei 2022 sebanyak 32 orang (Data

Rekam Medis RSHS, 2022).

b. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti

(Notoatmodjo, 2020). Sampel dalam penelitian ini adalah pasien

pre operasi bedah jantung di RSHS. Teknik pengambilan sampel

yaitu purposive sampling, yaitu teknik penetapan sampel dengan


cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang

dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian). Jadi

jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang. Cara

pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dimana jumlah sampel sebanyak 30 orang. Berdasarkan studi untuk

penelitian eksperiment, penelitian yang sukses adalah dengan

ukuran sampel kecil antara 10 sampai 20 reponden (Rianto, 2018).

c. Kriteria sampel

- Kriteria Inklusi :

1. Pasien kooperatif

2. Pasien yang pada saat penelitian telah direncanakan untuk

di operasi bedah jantung sesuai prosedur berdasarkan data

rekam medis RSHS periode Mei 2022

3. Pasien yang dalam keadaan sadar

- Kriteria Eksklusi

1. Pasien pre operasi yang tidak sadarkan diri

2. Pasien dengan terapi lain seperti relaksasi dan farmakologis

(obat penenang)

3. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk

pengumpulan data yang terdiri dari data primer yaitu data yang diambil

langsung dari responden. Instrument yang digunakan dalam penelitian


ini yaitu untuk tingkat kecemasan pasien pre operasi adalah dengan

kuesioner alat ukur kecemasan state atau State Anxiety Inventory

(STAI ) form-Y karena kecemasan yang diteliti adalah kecemasan pada

situasi tertentu, yaitu pasien saat akan menghadapi operasi bedah

jantung .

Skala STAI form Y Spielberger terdiri dari 20 pernyataan

dengan 4 respon skala likert. Sebagian dari aitem tersebut merupakan

pernyataan positif (favorable), yakni merasa aman, nyaman, tidak

gelisah, dan sebagainya, yang terdapat pada 10 nomor dengan skor: 4=

tidak sama sekali; 3= kurang; 2= cukup; 1= sangat merasakan. Sepuluh

lainnya merupakan pernyataan negatif (unfavorable), seperti ketakutan

pada sesuatu yang akan terjadi, gelisah, cemas, dan ketegangan.

Pemberian skor pada pernyataan negatif merupakan kebalikan dari

skor pernyataan positif, yakni: 1= tidak sama sekali; 2= kurang; 3=

cukup; 4= sangat merasakan. Total nilai (secore):

1. Skor 20-39 menunjukkan kecemasan ringan

2. skor 40-59menunjukkan kecemasan sedang

3. skor 60-80 menunjukkan kecemasan berat

Instrumen penelitian ini di adopsi dari penelitian

(Mohammadpourhodki et al., 2019) yang sudah baku. Adapun hasil uji

validitas pada kuesioner ini yaitu memiliki validitas global dan

keandalan. Menurut laporan Mariam dalam (Mohammadpourhodki et

al., 2019) untuk validitas tes tersebut, mean kecemasan normal dan
standar di semua kelompok usia dibandingkan pada 5%, untuk

mencapai hasil yang berarti, menunjukkan keabsahan dari kecemasan

pengukuran. Keandalan ilmiahnya adalah juga diverifikasi oleh rumus

-Cronbach, yang adalah 0,9452 di komunitas normal dan 0,9418 dalam

komunitas standar

4. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data merupakan suatu proses

pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karaterisktik

subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Notoatmodjo, 2020).

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer. Data

primer adalah berbagai informasi tentang responden berkaitan dengan

objek penelitian. Data primer ini diperoleh dari respon yang

menunjukan antara sebelum dan sesudah pada Kecemasan Pasien Pre

Operasi Bedah jantung menggunakan Slow Stroke Back Massage

Setelah mendapatkan izin dari RSHS Kota Bandung, peneliti

mengadakan pendekatan atau membuat kontrak pada Pasien Pre

Operasi Bedah jantung untuk mendapatkan persetujuan sebagai

reponden. Responden adalah Pasien Pre Operasi Bedah jantung yang

memenuhi kriteria inklusi. Responden diberi penjelasan tentang tujuan

penelitian, selanjutnya responden diberikan informed consent sebagai

tanda persetujuan menjadi responden. Selanjutnya peneliti melakukan


wawancara dengan menggunakan lembar kuisioner yang berisi tentang

identitas umum pasien.

5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

a. Teknik Pengolahan Data

Sebelum peneliti melakukan analisis data dialukan dulu sebagai

tahapan berikut ini yaitu :

1. Editing (Pengeditan Data)

Editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan

isian formulir atau kuisoner. Apakah semua pertanyaan sudah terisi,

apakah jawaban atau tulisan masing-masing pertanyaan cukup jelas

atau terbaca, apakah jawabannya relevan dengan pertanyaannya, dan

apakah jawaban-jawaban pertanyaan konsisten dengan jawaban

pertanyaan lainnya.

2. Coding (Pengkodean)

Setelah melakukan editing, selanjutnya dilakukan peng”kodean” atau

“coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi

data angka atau bilangan

3. Data Entry (Pemasukan Data)

Yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam

bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukan kedalam program atau

“software” komputer program yang sering digunakan untuk “entri

data” penelitian adalah paket progra SPSS for Window.


4. Cleaning Data (Pembersihan Data)

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukkan perlu dicek kembali untuk melihat adanya kemungkinan

kesalahan-kesalahan kode dan ketidak lengkapan, kemudian dilakukan

pembetulan atau koreksi.

b. Analisis Data

Analisis yang akan di tempuh yaitu dengan tahapan berdasarkan

langkah-langkah sebagai berikut :

1. Analisis Univariat

Analisa data univariat bertujuan untuk mengetahui distrkliensi

masing-masing variabel penelitian independen dan variabel dependen

(Notoatmodjo, 2020). Dalam penelitian hanya menjelaskan satu

variabel yaitu kecemasan yang kemudian diuraikan menjadi variabel

sebelum dilakukan perlakuan dan variabel setelah dilakukan

perlakuan. Tahap ini menggunakan statistik deskriptif yaitu dengan

menghitung distrkliensi frekuensi kecemasan sebelum dan sesudah

intervensi yaitu dengan menggunakan nilai mean (Me), median (Md),

standar deviasi atau simpangan baku (Sd).

2. Analisa Bivariat

Pada penelitian ini dilakukan terhadap kelompok yaitu

pengaruh Slow Stroke Back Massage terhadap kecemasan klien pre

operasi. Uji normalitas data yang digunakan pada penelitian ini


adalah uji kolmogorov smirnov karena jumlah sampel penelitian ≤dari

50.

a. Uji Normalitas

Distrkliensi Shapiro Wilk digunakan rumus sebagai berikut:

Jika p-value <0,05 tidak normal

Jika p-value >0,05 normal

Keterangan:

D = Koefisien Shapiro Wilk

Xn-i+1 = Angka n-i+1 pada data

Xi = Angka ke i pada data

Keterangan :

Xi = Angka ke i pada data

X = Rata-rata data.

Apabila hasil normalitas diatas menunjukan tidak normal maka

dilakukan uji non parametrik.

b. Uji Hipotesis
Pada tahapan ini jika jenis data normal maka akan dilakukan uji T

Dependen berpasangan, dimana membandingkan kecemasan yang

dibandingkan perubahan sebelum dan sesudah perlakuan.

Tahapan rumus yaitu sebagai berikut :

1) Uji Hipotesis berdistribusi data Normal

Uji T-dependent atau Paired Sampel T-test digunakan untuk

membandingkan rata-rata dua set data (data sebelum dan sesudah)

yang saling berpasangan. Dalam penelitian ini dua set data adalah

kecemasan sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing

kelompok sampel, pada taraf kepercayaan 95% (α 0,05).

Untuk masing-masing kelompok jika data berdistribusi

normal maka akan dilakukan uji t-dependen berpasangan.

Bertujuan untuk melihat rata-rata perubahan kecemasan sebelum

dan sesudah intervensi digunakan uji Rank Bertingkat Wilcoxon

pada kelompok perlakuan digunakan uji Paired Sampel T-Test.

Sehingga didapatkan rumus sebagai berikut :

x1−x 2
t=

( )
s1 2

√ s + s2 −2 r √ n ( √sn )
1
2 2

1 2

Keterangan :

x1 = Rata-Rata 1 sebelum intervensi

x2 = Rata-rata 2 sesudah intervensi

s1 = Simpangan Baku 1 sebelum intervensi


s2 = Simpangan Baku 2 sesudah intervensi

s1
2
= Varians 1 sebelum intervensi

s2
2
= Varians 2 sesudah intervensi

r = Korelasi Antar Dua Sampel (Sopiyudin, 2020)

2) Uji Hipotesis bila berdistribusi data Tidak Normal

Pada tahapan ini dilakukan uji normalitas, jika diketahui data

tidak normal maka digunakan uji Z berpasangan dari masing-

masing seblum dan sebelum diujikan dengan diketahui

menggunakan panduan SOP. Bertujuan untuk mengetahui

perbandingkan perubahan kecemasan sebelum dan sesudah

intervensi.

Pengujian ini digunakan ketika dua sampel dalam penelitian

berasal dari dua sampel yang mempunyai mean dan dan deviasi

standar dan Variabel yang diamati. Selain itu pengujian ini

digunakan ketika dua sampel tersebut berukuran lebih kecil ≤50

dengan menggunakan rumus uji wilcoxon berpasangan karena

memiliki dua sampel kelompok yang berbeda sebagai berikut :

x 1−x 2
Z=


2 2
s1 s 2
+
n1 n2

Keterangan :

x1 = Rata-Rata Sampel 1 (Kelompok sebelum)


x2 = Rata-rata Sampel 2 (Kelompok sesudah)

2
s1 = Nilai Varian sebelum

2
s2 = Nilai Varian sesudah

n1
2
= Jumlah sampel sebelum

n2
2
= Jumlah sampel sesudah (Sopiyudin, 2020)

Keputusan Hasil Hipotesis :

a. Menghitung nilai uji Z dengan mengggunakan rumus di atas.

b. Menentukan taraf signifikansi (α)

c. Taraf signifikansi yang umumnya dipilih adalah 0,05.

d. Melihat nilai Z tabel

e. Kriteria keputusan pengujian yaitu sebagai berikut :

a) Ho<0,05A maka H0 DITOLAK

b) Ho>0,05 maka H0 DITERIMA

f. Membandingkan Z hitung dengan Z tabel

E. Etika Penelitian

Menurut (Notoatmodjo, 2020) etika penelitian sangat penting

karena penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia

dimana manusia memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya, sehingga

penelitian yang akan dilaksanakan benar-benar menjunjung tinggi

kebebasan manusia. Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain :

a. Surat persetujuan (Informed Consent)


Surat persetujuan merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden dengan memberikan lembar persetujuan sebelum

penelitian dilakukan. Pemberian Informed Consent bertujuan agar

subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian. Jika subjek tidak

bersedia maka peneliti harus menghormati hak subjek. Jika subjek

bersedia maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan.

b. Tanpa nama (Anonymity)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak

memberikan dan mencantumkan nama responden pada lembar alat

ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar persetujuan data atau

hasil penelitian yang akan disajikan.

c. Kerahasiaan (Confindentiality)

Masalah ini merupakan etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti. Hanya data tertentu yang dilaporkan pada

hasil riset.

F. Jadwal Penelitian

Tabel 3.2 Jadwal Kegiatan Penelitian


N Kegiatan Bulan
o Mar Mei Jun Jul Agst
1 Pengajuan judul dan
Penyusunan proposal
2 Sidang proposal dan
revisi
4 Pelaksanaan
penelitian
5 Pengolahan data
hasil penelitian
6 Deskripsi hasil
penelitian
7 Sidang hasil
penelitian dan revisi
8 Revisi hasil sidang

Anda mungkin juga menyukai