PROPOSAL
Oleh:
Pembimbing I:
dr. Akhyar Hamonangan Nasution, Sp.An, KAKV
Pembimbing II:
dr. Qadri Fauzi Tanjung, SpAn, KAKV
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Hipotesis
Terdapat perbedaan tingkat kecemasan pasien operasi elektif sebelum dan
sesudah prosedur preoperatif
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
2.1 Perioperatif
Sebelum operasi, pasien diberikan pemeriksaan medis, menerima tes
pra-operasi tertentu, dan status fisik mereka dinilai sesuai dengan sistem
klasifikasi status fisik ASA. Jika hasil ini memuaskan, pasien menandatangani
formulir persetujuan dan diberikan izin operasi. Jika prosedur ini diharapkan
menghasilkan kehilangan darah yang signifikan, donor darah autologus dapat
dilakukan beberapa minggu sebelum operasi. Jika pembedahan melibatkan
sistem pencernaan, pasien dapat diinstruksikan untuk melakukan persiapan
usus dengan minum larutan polietilen glikol malam sebelum prosedur.
Pasien juga diinstruksikan untuk menjauhkan diri dari makanan atau
minuman (pesanan NPO setelah tengah malam pada malam sebelum prosedur),
untuk meminimalkan efek isi perut pada obat pra-operasi dan mengurangi
risiko aspirasi jika pasien muntah selama atau setelah prosedur.
Beberapa sistem medis memiliki praktik rutin melakukan x-rontgen
dada sebelum operasi. Premis di balik praktik ini adalah bahwa dokter mungkin
menemukan beberapa kondisi medis yang tidak diketahui yang akan
mempersulit operasi, dan bahwa setelah menemukan ini dengan rontgen dada,
dokter akan menyesuaikan praktek operasi yang sesuai. Bahkan, organisasi
spesialis medis profesional merekomendasikan terhadap rontgen dada pra-
operasi rutin untuk pasien yang memiliki riwayat medis biasa-biasa saja dan
disajikan dengan pemeriksaan fisik yang tidak menunjukkan rontgen dada.
Pemeriksaan ronsen rutin lebih mungkin menghasilkan masalah seperti
7
Untuk kasus operasi yang terencana sebaiknya kada gula darah ada di
bawah 150 gr % untuk gua darah sewaktu ( Gula darah tanpa persiapan puasa ).
Jika memang dalam kondisi darurat, dokter bedah perlu berkonsultasi dengan
dokter penyakit dalam lebih dahulu sebelum melakukan tindakan.
Tujuan akhir dari penilaian medis pra operasi adalah untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas bedah dan anestesi pasien operatif, dan
untuk mengembalikannya ke fungsi yang diinginkan secepat mungkin. Sangat
penting untuk menyadari bahwa risiko "perioperatif" adalah multifaktorial dan
fungsi dari kondisi medis pra operasi pasien, invasif prosedur bedah dan jenis
anestesi yang diberikan. Riwayat dan pemeriksaan fisik, berfokus pada faktor
risiko untuk komplikasi jantung dan paru dan penentuan kapasitas fungsional
pasien, sangat penting untuk evaluasi pra operasi apa pun. Pemeriksaan
laboratorium harus dipesan hanya bila ditunjukkan oleh status medis pasien,
terapi obat, atau sifat prosedur yang diusulkan dan tidak secara rutin. Orang
tanpa masalah medis secara bersamaan mungkin memerlukan sedikit lebih dari
tinjauan medis singkat. Mereka dengan komorbiditas harus dioptimalkan untuk
prosedur ini. Konsultasi yang tepat dengan layanan medis yang tepat harus
diperoleh untuk meningkatkan kesehatan pasien. Konsultasi ini idealnya tidak
harus dilakukan dengan cara "terakhir". Persiapan pra operasi melibatkan
prosedur yang dilaksanakan berdasarkan sifat dari operasi yang diharapkan serta
temuan dari pemeriksaan diagnostik dan evaluasi pra operasi.
Prosedur bedah dan administrasi anestesi dikaitkan dengan respons
stres kompleks yang sebanding dengan besarnya cedera, waktu operasi total,
jumlah kehilangan darah intraoperatif dan tingkat nyeri pasca operasi. Efek
metabolik dan hemodinamik yang merugikan dari respons stres ini dapat
9
Persiapan Kulit
Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari
rambut.
Pencukuran dilakukan pada waktu malam
menjelang operasi.
Rambut pubis dicukur bila perlu saja, lemak dan
kotoran harus terbebas dari daerah kulit yang
akan dioperasi.
Luas daerah yang dicukur sekurang-kurangnya
10-20 cm2
Pencukuran menggunakan pisau cukur searah
dengan rambut kemudian dicuci dengan sabun
sampai bersih
Setelah dilakukan pencukuran, pasien dimandikan
dan dikenakan pakaian khusus dan memakai
11
tutup kepala.
Kebersihan Mulut
Mulut harus dibersihkan dan gigi harus disikat
Gigi palsu harus dilepas dan disimpan
Hasil Pemeriksaan
Dilakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
dengan hasil pemeriksaan fisik oleh dokter
ruangan dan atau dokter konsulen RSJRW
menunjukkan kondisi dalam batas toleran
Dokter Ruangan dan atau dokter konsulen
penyakit dalam dan atau dokter konsulen anestesi
dan atau dokter konsulen lainnya menyatakan
pasien dapat dioperasi
Pemeriksaan penunjang laboratorium, foto
roentgen, ECG, USG dan lain-lain.
Persetujuan Operasi / Informed Consent
Izin tertulis dari pasien / keluarga harus tersedia.
Persetujuan bisa didapat dari keluarga dekat yaitu
suami / istri, anak tertua, orang tua dan kelurga
terdekat.
Pada kasus gawat darurat ahli bedah mempunyai
wewenang untuk melaksanakan operasi tanpa
surat izin tertulis dari pasien atau keluarga,
setelah dilakukan berbagai usaha untuk mendapat
kontak dengan anggota keluarga pada sisa waktu
yang masih mungkin
Diberikan antibiotik perioperatif sesuai petunjuk
dokter
b. Persiapan mental
Pasien harus memahami maksud dan tujuan
operasi serta resiko yang harus dihadapi dalam
menjalani operasi ini.
Lakukan Informed Consent sesuai prosedur.
Pasien di tenangkan dan diberi penyuluhan yang
baik agar tegar menghadapi tindakan operasi
yang akna dijalaninya.
Pasien diminta untuk berdoa menurut
keyakinannya masing-masing.
Keluarga pasien diminta selalu mendampingi dan
mendukung secara moril.
Unit Terkait 1. Unit Rekam Medik
2. Bidang Perawatan
3. Kelompok Kerja Fungsional Keperawatan
Referensi : Standar Prosedur Operasional Untuk Rumah sakit
12
2.2 Anestesi
2.2.1 Defenisi
Anestesi umum adalah suatu keadaan reversibel yang mengubah status
fisiologistubuh, ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi), hilangnya persepsi
nyeri (analgesia),hilangnya memori (amnesia) dan relaksasi. Beberapa senyawa
yang dapat menghasilkankeadaan anestesi umum antara lain bersifat inert (xenon),
anorganik (nitrous oxide),inhalasi hidrokarbon (halothan), dan struktur organik
komplek (barbiturat) (Morgan, 2013).Terdapat beberapa daerah mikroskopik
sebagai tempat bekerjanya substansi anestesiumum. Pada otak diketahui anestesi
umum mempengaruhi beberapa tempat, seperti system retikular, kortek serebri,
nukleus kuneatus, kortek olfaktori, dan hipokampus (Firman,2009).
Melalui mekanisme kerjanya, anestesi umum mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan pada sistem seluler, seperti perubahan pada ligand gate ion
channel, fungsisecond messenger, atau reseptor neurotransmitter. Sebagai contoh
terjadi peningkataninhibisi pada γ-Aminobutyric Acid (GABA) pada sistem saraf
pusat. Seperti diketahuireseptor agonis GABA akan memperdalam anestesi,
sedangkan antagonis GABA akanmenghilangkan aksi anestesi (Morgan, 2013).
Semua zat obat anestesi umum menghambat susunan saraf pusat secara
bertahap,dimulai dari fungsi yang kompleks dan yang paling akhir adalah medula
oblongata yangbekerja sebagai pusat vasomotor dan pusat pernapasan.Guedel
(1920) membagi anestesia umum dengan menggunakan eter dalam empat(4)
stadium dimana stadium III dibagi lagi dalam empat tingkat (Sadikin, 2011).
Stadium I (analgesta). Stadium analgesta dimulai dari saat pemberian zat
obatanestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat
mengikutiperintah, dan rasa sakit hilang (analgesia). Pada stadium ini dapat
dilakukan tindakanpembedahan ringan seperti mencabut gigi, biopsi kelenjar dan
sebagainya (Sadikin, 2011).
Stadium II (delirium/eksitasi). Stadium ini dimulai dari hilangnya
kesadaran sampaipermulaan stadium pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas
adanya eksitasi dan gerakanyang tidak menuruti kehendak, penderita tertawa,
berteriak, menangis, menyanyi,pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan
hiperpnea, tonus otot rangkameningkat, inkontinesia urin dan alvi, muntah,
13
Stadium II terjadi akibat aktivitas neuron yangkompleks pada kadar obat anestesi
yang lebih tinggi di otak. Aktivitas ini antara lain berupapenghambatan berbagai
neuron inhibisi bersamaan dengan dipermudahnya pelepasanneurotransmitter
eksitasi. Selanjutnya, depresi hebat pada jalur naik di sistem aktivasiretikular dan
penekanan aktivitas refleks spinal menyebabkan pasien masuk ke stadium
III.Neuron di pusat napas dan pusat vasomotor relatif tidak peka terhadap obat
anestesi kecualipada kadar yang sangat tinggi. Apa yang menyebabkan perbedaan
kepekaan berbagaibagian sistem saraf pusat ini masih perlu diteliti (Sadikin,
2011).
konsolidasi memori
Tidak ada efek samping PONV cukup sering ditemukan
Metabolic Rate menurun selama tidur Metabolic Rate menurun
NREM dan meningkat selama tidur
REM
vital Pemulihan
Pulse oxymetri dan kapnograf Observasi terhadap tanda-tanda
EKG depresi pernafasan,
Anestesi dan Resusitasi kardiovaskuler, kesadaran
Obat-obat kedaruratan Kriteria pasien dapat dipulangkan
Peralatan intubasi dan LMA
Kemampuan melakukan tindakan Kondisi-kondisi khusus
resusitasi Konsultasi dan pengawas ahli
Peralatan penunjang seperti suction , bidang keilmuan lain
alat bantu nafas, oksigen Perawatan intensif pasca tindakan
Midazolam lebih disukaidibandingkan dengan diazepam karena obat ini
larut dalam air, tidak menimbulkan rasanyeri pada saat pemberian, waktu
paruhnya lebih singkat, dan menghasilkan metabolit yangkurang aktif
dibandingkan dengan diazepam. Midazolam jarang mendepresi system
pernafasan, namun dapat menimbulkan efek agitasi pada beberapa individu.
Pemberianopioid dengan dosis tertentu dapat mendepresi sistem pernafasan
karena tempat kerjanyaberada di reseptor µ medulla oblongata yang dapat
menghambat respon terhadappeningkatan CO2. Obat jenis lain seperti ketamin
dan propofol juga menjadi pilihan obatyang sering digunakan. Propofol umumnya
hanya dipakai untuk pasien anak dengan usia diatas 3 tahun (Mahajan VA,Ni
Chonghaile M, 2007).
Untuk pasien-pasien yang telah direncanakan sebelumnya untuk
mendapat sedasiselama prosedur berlangsung, sebaiknya dipuasakan terlebih
dahulu (Morgan, 2013)
2.3 Kecemasan
Kecemasan adalah hal yang normal di dalam kehidupan karena
kecemasan sangat dibutuhkan sebagai pertanda akan bahaya yang mengancam.
Namun ketika kecemasan terjadi terus-menerus, tidak rasional dan intensitasnya
meningkat, maka kecemasan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari dan disebut
sebagai gangguan kecemasan (ADAA, 2010). Bahkan pada beberapa penelitian
menunjukkan bahwa gangguan kecemasan juga merupakan suatu komorbiditas
(Luana, et al., 2012).
Gangguan kecemasan adalah salah satu gangguan mental yang umum
dengan prevalensi seumur hidup yaitu 16%-29% (Katz, et al., 2013). Dilaporkan
18
lingkungan. Salah satu contoh faktor internal yang berpengaruh terhadap prestasi
belajar mahasiswa yaitu variabel-variabel kepribadian seperti gangguan
kecemasan (Zulkarnain & Novliadi, 2009).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa mengalami stres
baik selama periode sebelum ujian maupun saat berlangsungnya ujian. Dalam hal
ini yang menjadi stresor utama ialah tekanan akademis dan ujian itu sendiri. Hal
itu dapat menyebabkan kecemasan pada mahasiswa dan disebut sebagai
kecemasan akademis (Hashmat. Et al., 2014). Kecemasan akademis adalah
perasaan cemas seperti tegang dan ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi di
lingkungan akademik (Singh, 2009). Kecemasan akademis mengacu pada pola
pemikiran dan respon fisik serta perilaku karena kemungkinan performa yang
ditunjukkan oleh mahasiswa tidak begitu baik (Sanitiara, et al., 2014).
Menurut Rohen Meetei (2012) (dalam Nadeem, et al., 2012), kecemasan
akademik merupakan bentuk dari state anxiety yang berhubungan dengan bahaya
yang akan datang dari lingkungan akademis atau lembaga pendidikan seperti
halnya dosen, mata kuliah tertentu dan lain sebagainya.Penelitian yang dilakukan
Utami di tahun 2011 pada pelayanan konsultasi psikologi di Gadjah Mada
Medical Center (GMC) menunjukkan mahasiswa yang berkonsultasi
menunjukkan masalah-masalah terkait dengan perasaan kurang bersemangat,
tertekan, gangguan konsentrasi, perasaan bingung, kesulitan tidur, putus asa, dan
dorongan mengakhiri hidup, bahkan pada beberapa kasus telah terjadi percobaan
bunuh diri (CPMH, 2012).
Menurut teori perilaku, rasa frustasi dan trauma yang terus-menerus
dialami dan tidak terkendali akan memunculkan kecemasan dalam diri mahasiswa
(Prawirohusodo dalam Anita, 2014). Jika dibiarkan, maka hal tersebut dapat
mempengaruhi kondisi psikologi dan emosi mahasiswa baik ketika dihadapkan
dengan situasi belajar maupun saat berinteraksi langsung dengan mata kuliah yang
merupakan stresor penyebab timbulnya kecemasan dalam dirinya.
Mahasiswa hampir selalu disibukkan dengan banyak tuntutan internal
maupun eksternal yang dapat menimbulkan masalah-masalah akademis dan non-
akademis. Masalah-masalah non-akademis sangat berpengaruh terhadap
20
Anxietas
2.3.2 Neurotransmitter
Tiga neurotransmitter utama yang berhubungan dengan dasar dari
penelitian binatang dan respon kepada penanganan obat adalah norepinephrine
(MODA), serotonin, dan γ-asam amino butirat (GABA). Sebagian besar informasi
dasar neuroscience tentang eksperimen binatang membentuk paradigma tingkah
laku dan agen psikoaktif. Satu diantaranya adalah eksperimen untuk mempelajari
test konflik, di mana binatang secara simultan menghadiahi stimuli yang positif
(e.g., makanan) dan negatif (e.g., goncangan elektrik). Obat-obatan Anxiolytic
(e.g., benzodiazepines) cenderung untuk memberikan fasilitas adaptasi pada
binatang terhadap situasiini, sedangkan obat-obatan lain (e.g., amfitamin) lebih
lanjut mengganggu respon tingkah laku binatang. (Tsigos et al. 2000)
2.3.3 Norepinefrin
Gejala kronis pasien dengan gangguan cemas, seperti serangan panik,
kesulitan untuk tidur, mengejutkan, dan autonomic hyperarousal, adalah
karakteristik noradrenergik yang meningkat. Teori umum tentang peran dari
norepinefrin dalam ketidakteraturan dimana dipengaruhi pasien, mungkin
23
2.3.5 Serotonin
Identifikasi dari banyak jenis reseptor serotonin telah menstimulasi
pencarian dari peran serotonin pada patogenesis gangguan cemas. Tipe berbeda
dari hasil tekanan akut dalam peningkatan 5-hydroxytryptamine (5-HT) terjadi di
korteks prefrontal, nukleus accumbens, amigdala, dan hipothalamus lateral.
Keterikatan pada hubungan ini pada awalnya termotivasi oleh observasi dimana
serotonergik antidepresan mempunyai efek terapeutik pada beberapa gangguan
cemas, sebagai contoh : clomipramine (Anafranil) pada OCD. Efektivitas dari
buspirone (BuSpar), suatu serotonin 5-HT1A reseptor agonis, dalam penanganan
darigangguan cemas juga menyarankan kemungkinan dari satu asosiasi antara
serotonin dan kecemasan. Badan sel dari sebagian besar neuron serotonergik
adalah terletak di raphe nuclei di rostral brainstem dan memproyeksikan ke
korteks cerebral, sistem limbik (terutama, amygdala dan hippocampus), dan
hipotalamus. Beberapa laporan menunjukkan bahwa meta-
chlorophenylpiperazine (mCPP), satu obat dengan berbagai efek serotonergik dan
non- serotonergik, dan fenfluramine (Pondimin), yang menyebabkan pelepasan
dari serotonin, juga menyebabkan peningkatan rasa cemas pada pasien dengan
gangguan cemas, dan banyak laporan anekdot menunjukkan bahwa serotonergik
halusinogen serta stimulan, sebagai contoh: asam lysergic diethylamide (LSD)
dan 3,4-methylenedioxy-methamphetamine (MDMA) dihubungkan dengan
25
perkembangan gangguan cemas akut dan kronis pada orang yang menggunakan
obat-obatan ini. Penelitian Klinis dari 5-HT berfungsi pada gangguan cemas yang
mempunyai hasil campuran. Satu penelitian menemukan bahwa pasien dengan
gangguan panik mempunyai tingkat yang lebih rendah dalamsirkulasi 5-HT
bandingkan dengan pengaturannya. Dengan begitu, tidak ada pola jelas dari
kelainan dalam fungsi 5-HT pada gangguan panik yang muncul dari analisa dari
unsur-unsur darah perifer. (Tsigos et al. 2000)
2.3.6 GABA
Sebuah peran dari GABA pada gangguan cemas adalah sebagian besar
didukung oleh keefektifan dari benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas dari
GABA pada reseptor GABA tipe A (GABA-A), dalam penanganan dari beberapa
bentuk gangguan cemas. Walaupun benzodiazepine potensi-rendah adalah paling
efektif untuk gejala gangguan cemas pada umumnya, potensi-tinggi
benzodiazepine, seperti alprazolam (Xanax), dan clonazepam adalah efektif dalam
penanganan dari gangguan panik. Penelitian pada primata telah ditemukan bahwa
susunan saraf otonom memperlihatkan gejala gangguan cemas yang diinduksi
ketika satu benzodiazepine invers agonist, asam β-carboline-3-carboxylic (BCCE)
dikelola. BCCE juga dapat menyebabkan kecemasan. Antagonis benzodiazepin,
flumazenil (Romazicon), menyebabkan serangan panik yang sering pada pasien
dengan gangguan panik. Data ini telah memimpin peneliti untuk memberikan
hipotesa bahwa beberapa pasien dengan gangguan cemas mempunyai fungsi
abnormal dari reseptor GABA-A mereka, walaupun hubungan ini sudah tidak
diperlihatkan secara langsung. (Tsigos et al. 2000)
diterbitkan oleh Max Hamilton pada tahun 1959. Untuk tujuan klinis, dan untuk
tujuan skala ini, hanya kecemasan parah atau tidak tepat yang dihadiri. Skala ini
dianggap sebagai "peringkat klinis" dari kepanjangan dari kecemasan, dan
ditujukan untuk individu yang "sudah didiagnosis dengan neurosis kecemasan."
[3]
Skala ini terdiri dari 14 item yang dirancang untuk menilai tingkat
keparahan kecemasan pasien. Masing-masing dari 14 item berisi sejumlah gejala,
dan setiap kelompok gejala dinilai pada skala nol hingga empat, dengan empat
gejala paling parah. Semua skor ini digunakan untuk menghitung skor
menyeluruh yang menunjukkan tingkat keparahan kecemasan seseorang. [4] Skala
Hamilton Anxiety Rating telah dianggap sebagai skala yang berharga selama
bertahun-tahun, tetapi definisi kecemasan yang terus berubah, teknologi baru, dan
penelitian baru telah berdampak pada persepsi kegunaan skala tersebut. [5]
Akibatnya, ada perubahan, dan tantangan, pada versi asli skala dari waktu ke
waktu. [6]
Tabel 2.6 Interpretasi derajat depresi menurut PHQ-9 (Kroenke K dan Spitzer,
2001)
SKOR INTERPRETASI
0-4 Depresi minimal
5-9 Depresi ringan
10-14 Depresi sedang
15-20 Depresi sedang berat
20-27 Depresi Berat
kecemasan praoperatif. Secara garis besar ada dua hal yang dapat dinilai melalui
dilakukan sistem skoring dengan nilai 1 sampai 5 dengan skala Likert. Enam item
bedah (sum C = sum A + sum S). Menurut Moerman, pasien dengan skor 11-13
praoperatif. Pasien dengan skor 5 atau lebih pada komponen kebutuhan akan
informasi seharusnya diberikan informasi pada topik yang sesuai dengan
keinginan pasien. Skor yang semakin tinggi menunjukkan makin tinggi tingkat
3
kecemasan praoperatif dan kebutuhan akan informasi. Studi oleh Kindler
menyimpulkan bahwa VAS merupakan instumen yang valid untuk mengukur
kecemasan praoperatif. VAS setara atau sama baiknya dengan STAI untuk
6
mengukur kecemasan praoperatif.
30
menemukan korelasi positif antara APAIS dan STAI. Pada studi penggunaan
APAIS versi German merupakan instrumen yang valid dan reliabel. Studi di
mempunyai korelasi yang reliabel dengan STAI. Berdasarkan data tersebut dapat
menemukan korelasi positif antara APAIS dan STAI. Pada studi penggunaan
APAIS versi German merupakan instrumen yang valid dan reliabel. Studi di
mempunyai korelasi yang reliabel dengan STAI. Berdasarkan data tersebut dapat
Preoperatif
Anxietas preoperatif
Penghambatan sistem
Aktivasi system saraf
saraf parasimpatis
simpatif
Pengeluaran
ACTH
Stimulasi korteks
adrenal
Pelepasan
glukocorticoid
Kortisol
33
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
1
1.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan desain cross-
sectional. Untuk melihat perbandingan tingkat kecemasan pasien operasi elektif
sebelum dan sesudah prosedur preoperatif di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan
Populasi
Kriteria
sampel
Sampel
Randomisasi
Pengumpulan data
(Wawancara dan dokumen
atau rekam medis)
DAFTAR PUSTAKA
31. De Souza EB, Insel TR, Perrin MH, Rivier J, Vale WW, Kuhar MJ.
Corticotropin-releasing factor receptors are widely distributed within the
rat central nervous system: an autoradiographic study. J Neurosci
1985;5:3189-3203.
32. Dunn AJ, Berridge CW. Physiological and behavioral responses to
corticotropin-releasing factor administration: is CRF a mediator of anxiety
or stress responses? Brain Res Brain Res Rev 1990;15:71-100.
33. Perrin MH, Vale WW. Corticotropin releasing factor receptors and their
ligand family. Ann N Y Acad Sci 1999;885:312-328.
34. Polymeropoulos MH, Torres R, Yanovski JA, Chandrasekharappa SC,
Ledbetter DH. The human corticotropin-releasing factor receptor (CRHR)
gene maps to chromosome 17q12-q22. Genomics 1995;28:123-124.
35. Meyer AH, Ullmer C, Schmuck K, Morel C, Wishart W, Lubbert H,
Engels P. Localization of the human CRF2 receptor to 7p21-p15 by
radiation hybrid mapping and FISH analysis. Genomics 1997;40:189-190.
36. Chen R, Lewis KA, Perrin MH, Vale WW. Expression cloning of a human
corticotropin-releasing-factor receptor. Proc Natl Acad Sci U S A
1993;90:8967-8971.
37. Lovenberg TW, Chalmers DT, Liu C, De Souza EB. CRF2 alpha and
CRF2 beta receptor mRNAs are differentially distributed between the rat
central nervous system and peripheral tissues. Endocrinology
1995;136:4139-4142.
38. Chalmers DT, Lovenberg TW, De Souza EB. Localization of novel
corticotropin-releasing factor receptor (CRF2) mRNA expression to
specific subcortical nuclei in rat brain: comparison with CRF1 receptor
mRNA expression. J Neurosci 1995;15:6340-6350.
39. Sanchez MM, Young LJ, Plotsky PM, Insel TR. Autoradiographic and in
situ hybridization localization of corticotropin-releasing factor 1 and 2
receptors in nonhuman primate brain. J Comp Neurol 1999;408:365-377.
40. Wong ML, Licinio J, Pasternak KI, Gold PW. Localization of
corticotropin-releasing hormone (CRH) receptor mRNA in adult rat brain
by in situ hybridization histochemistry. Endocrinology 1994;135:2275-
2278.
41. Grammatopoulos DK, Chrousos GP. Functional characteristics of CRH
receptors and potential clinical applications of CRH-receptor antagonists.
Trends Endocrinol Metab 2002;13:436-444.
42. Grammatopoulos DK. Insights into mechanisms of corticotropin-releasing
hormone receptor signal transduction. Br J Pharmacol. 2012
May;166(1):85-97.
43. Antoni FA. Vasopressinergic control of pituitary adrenocorticotropin
secretion comes of age. Front Neuroendocrinol 1993;14:76-122.
44. Gillies GE, Linton EA, Lowry PJ. Corticotropin releasing activity of the
new CRF is potentiated several times by vasopressin. Nature
1982;299:355-357.
45. Rivier C, Rivier J, Mormede P, Vale W. Studies of the nature of the
interaction between vasopressin and corticotropin-releasing factor on
adrenocorticotropin release in the rat. Endocrinology 1984;115:882-886.
42