Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

ENHANCED RECOVERY AFTER SURGERY (ERAS)

Oleh :
Meiliati Aminyoto (C117212201)

Pembimbing:
dr. Agussalim Bukhari, M.Med, Ph.D, Sp.GK(K)

BAGIAN ILMU GIZI KLINIS


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
I. Pendahuluan

Dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi perkembangan yang pesat


dan perbaikan pada asuhan perioperatif. Dengan diperkenalkannya protokol
Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) untuk sebagian besar prosedur bedah
mayor, baik kondisi metabolik maupun fungsional mengalami banyak perbaikan.
Pada perubahan asuhan dari tradisional atau konvensional menjadi ERAS,
asuhan gizi merupakan komponen penting. Agar dapat secara sukses
mengaplikasikan asuhan nutrisi perioperatif modern diperlukan pemahaman
dasar mengenai ERAS.1

ERAS (Enhanced Recovery After Surgery) pertama kali dikenalkan oleh


Professor Henrik Kehlet pada tahun 1990an. ERAS atau yang disebut juga ERPs
(Enhanced Recovery Programs) atau fast track program kemudian menjadi
fokus penting manajemen perioperatif pada pembedahan kolorektal, vaskuler,
thoraks, dan radikal sistektomi.2 Pendekatan ERAS ini telah sukses diuji dan
akhirnya menjadi terapi gold standard untuk manajemen perioperatif
pembedahan kolorektal tanpa komplikasi. Perbaikan klinis pasien melalui
protokol ERAS menunjukkan luaran terbaiknya yaitu lama rawat inap 4-6 hari
setelah operasi.3

Program ini mencoba untuk memodifikasi respon fisiologis dan psikologis


terhadap pembedahan mayor dan telah terlihat dapat mengurangi komplikasi dan
lama rawat inap, memperbaiki fungsi kardiopulmoner, kembalinya fungsi usus
yang lebih cepat dan pemulihan aktivitas normal yang lebih cepat. Prinsip utama
dari protokol ERAS meliputi konseling preoperatif, nutrisi preoperatif,
menghindari puasa perioperatif, penggunaan regimen anestesi dan analgesik
terstandar (epidural dan analgesia non-opioid) dan mobilisasi awal.2

Referat ini akan membahas mengenai protokol ERAS yang telah banyak
direkomendasikan untuk manajemen perioperatif pasien bedah.

1
II. Definisi ERAS

ERAS merupakan suatu tahapan protokol perioperatif yang bertujuan


untuk memperbaiki kemampuan pasien menghadapi pembedahan mayor dan
memperbaiki pemulihan postoperatif secara konsekuen. Intervensi ERAS
berfokus pada faktor-faktor kunci yang biasanya menahan pasien lebih lama di
rumah sakit dan menyebabkan ketergantungan terhadap obat-obatan dan
bantuan khusus seperti kebutuhan analgesik parenteral, pemberian cairan
intravena dan keterikatan dengan tempat tidur perawatan.4,5

Asupan perioperatif tradisional menganggap bahwa respon stres


terhadap pembedahan mayor tidak dapat dihindarkan. Konsep ini kemudian
berubah dengan adanya pandangan bahwa elemen substansi dari respon stres
dapat dihindari dengan menerapkan teknik anestesi modern, analgesik dan
dukungan metabolik yang tepat. Perubahan ini meminimalkan respon katabolik
terhadap pembedahan. Asuhan postoperatif konvensional juga mengutamakan
istirahat pasien dan traktus gastrointestinal pasien yang berkepanjangan. Konsep
ini juga dirubah. Perubahan konseptual ini memiliki pengaruh besar terhadap
asuhan nutrisi pasien. Pada pasien yang mengalami katabolisme, penurunan
fungsi akan terjadi jika tidak ada tindakan aktif untuk mengembalikan pasien ke
fungsi normalnya secepat mungkin. Kedua konsep ini dikombinasikan untuk
menghasilkan pandangan baru mengenai bagaimana seharusnya pasien bedah
dirawat yaitu dengan protokol ERAS.6

Dengan menggunakan pendekatan tim multidisiplin yang berfokus untuk


mengurangi stress dan mempercepat pengembalian fungsi, protokol ERAS
bertujuan agar pasien lebih cepat pulih dari pembedahan mayor, menghindari
gejala sisa dari asuhan postoperatif konvensional (misalnya penurunan status
gizi dan fatigue), mengurangi risiko komplikasi, dan mengurangi hari rawat inap
sehingga beban pelayanan kesehatan berkurang.6

Perubahan asuhan perioperatif dari tradisional ke protokol ERAS tidak


berjalan langsung. Kelompok ERAS telah menghasilkan konsensus
komprehensif yang terdiri dari 20 elemen untuk pasien yang menjalani reseksi
kolorektal pada tahun 2005. Protokol ini telah diuji secara luas, dan diaudit
secara prospektif yang terdiri dari >1000 pasien dan dipublikasikan pada tahun
2009. Protokol ini telah diupdate dan menjadi dasar rekomendasi.6,7

2
Saat ini, model ERAS yang paling banyak digunakan pada open reseksi
kolorektal. Prinsip yang sama dapat diaplikasikan ke sebagian besar
pembedahan mayor (contohnya pada reseksi hepatik).

Pilar protokol ERAS meliputi semua fase perioperatif dengan


menghilangkan atau mengurangi pengaruh beberapa faktor dan memicu
kebiasaan baik yang membantu pemulihan fungsi fisiologis. ERAS menghindari
persiapan usus mekanis (mechanical bowel preparations = MBPs) dan puasa
preoperatif, pasien diberikan makanan tinggi karbohidrat sampai beberapa jam
sebelum pembedahan; ERAS membatasi pemberian cairan menyesuaikan
dengan kebutuhan pasien selama pembedahan; ERAS memulai pemberian diet
oral dan mobilisasi awal setelah pembedahan dan mengurangi penggunaan
opioid rutin dan sebagai gantinya menggunakan analgesik yang lebih sedikit
pengaruhnya ke fungsi saluran cerna.2

Gambar 1. Aspek kunci dalam protokol ERAS2

Untuk mengimplementasikan protokol ERAS, harus ada tim multidisiplin


yang meliputi perawat, anestesi dan ilmu bedah. Juga penting untuk
bekerjasama dengan ahli gizi, fisioterapis dan terapis okupasi. Suksesnya
program ini juga butuh keterlibatan manajemen dan tim audit rumah sakit.1,6

3
Konsep inti dari ERAS adalah untuk memelihara homeostasis dan fungsi organ
pasien yang menjalani pembedahan. Ada 3 ranah yang penting untuk proses
pemulihan yakni:

- Kontrol terhadap nyeri


- Fungsi usus
- Mobilisasi

Semua tindakan staf yang terlibat dalam pelayanan multidisiplin pasien


pembedahan harus berfokus pada bagaimana memberikan pelayanan yang
optimal pada ketiga domain ini. Kendali nyeri bertujuan agar pasien tetap bebas
nyeri selama masa pemulihan, awalnya dengan menggunakan epidural thorak
kemudian hanya dengan analgesik oral. Kembalinya fungsi usus didukung untuk
dapat menerima asupan makanan biasa untuk memenuhi kebutuhan gizi
sesegera mungkin dan kembalinya gerakan usus. Mobilisasi pasien harus
dilakukan secepat mungkin yang bertujuan untuk secepatnya mengembalikan ke
kondisi normal.1,8

III. Elemen ERAS

A. Informasi, edukasi dan konseling pasien

Informasi detail yang diberikan kepada pasien sebelum tindakan anestesi


dan pembedahan dapat mengurangi rasa takut dan khawatir dan mempercepat
pemulihan postoperatif sehingga pasien lebih cepat dipulangkan dari rumah
sakit. Intervensi psikologis preoperatif bertujuan mengurangi ansietas, juga dapat
mempercepat penyembuhan luka dan pemulihan setelah pembedahan
laparaskopik. Konseling personal, pemberian leaflet atau informasi multimedia
yang mengandung penjelasan prosedur beserta hal-hal yang harus dilakukan
pasien dapat memperbaiki asupan perioperatif, mobilisasi awal postoperatif,
kendali nyeri, dan fisioterapi pernafasan, dan kemudian dapat mengurangi
prevalensi komplikasi.9

Ringkasan dan rekomendasi: Pasien harus mendapatkan konseling preoperatif


secara rutin

4
B. Optimalisasi preoperatif

Delapan penelitian randomised controlled trials (RCTs) dilakukan dengan


berbagai setting yang meneliti peranan preoperative physical conditioning
(Prehab) terhadap luaran pembedahan. Setting pembedahan meliputi bedah
abdominal, bedah kardiotoraks dan bedah orthopedi. Meskipun terdapat
berbagai derajat perbaikan fungsi fisiologis dan pemulihan pembedahan, hanya 1
penelitian yang hasilnya terdapat perbaikan pada fungsi fisiologis yang
berhubungan dengan percepatan pemulihan. Hasil ini dapat dipengaruhi oleh
ukuran fisiologis yang kurang tepat, penelitian dilakukan pada kelompok usia
lanjut, regimen latihan intensif yang berlebihan dan kurangnya ketaatan terhadap
program yang sudah dirancang. Penelitian Prehab yang lebih lanjut dibutuhkan
pada populasi usia yang lebih muda. Juga dibutuhkan penelitian lebih lanjut
mengenai metode yang dapat meningkatkan kepatuhan terhadap Prehab.
Secara umum, optimalisasi medis preoperatif diperlukan sebelum pembedahan.

Terjadi peningkatan morbiditas postoperatif dua sampai tiga kali lipat


pada penyalahguna alkohol. Komplikasi yang paling sering terjadi yakni
perdarahan, komplikasi pada luka dan kardiopulmoner. Satu bulan tidak
mengkonsumsi alkohol sebelum operasi dapat memperbaiki fungsi organ
sehingga mengurangi morbiditas postoperatif.9,10

Merokok merupakan faktor pasien yang berpengaruh negatif terhadap


pemulihan. Pada perokok terjadi peningkatan risiko komplikasi pulmoner dan
luka postoperatif. Satu bulan tidak merokok diperlukan untuk mengurangi insiden
komplikasi.

Ringkasan dan rekomendasi: Meningkatkan latihan preoperatif dapat


bermanfaat. Merokok harus dihentikan 4 minggu sebelum pembedahan dan
konsumsi alkohol harus dihentikan 4 minggu sebelum pembedahan

C. Persiapan usus preoperatif

Persiapan usus mekanis memiliki efek samping fisiologis yang dapat


menyebabkan dehidrasi, menyebabkan tekanan pada pasien, dan berhubungan
dengan ileus berkepanjangan setelah pembedahan kolon. Bagaimanapun, telah
tampak bahwa pasien yang menjalani persiapan usus mekanis memiliki tendensi

5
insiden kebocoran isi usus yang lebih tinggi, yang dapat meningkatkan
komplikasi postoperatif. Dengan demikian, dogma persiapan usus mekanis
kemudian dipertanyakan. Review Cochrane yang terbaru tahun 2011 (meliputi 18
RCT dengan 5805 pasien yang menjalani pembedahan kolorektal elektif) tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara pasien yang dilakukan
persiapan usus mekanis dengan yang tanpa persiapan usus mekanis, atau
antara persiapan usus mekanis dengan yang hanya diberikan enema rektal saja
dalam hal leakage anastomosis, angka mortalitas, reoperasi dan infeksi luka.9,11

Ringkasan dan rekomendasi: Persiapan usus mekanis seharusnya tidak


dilakukan secara rutin pada pembedahan kolon

D. Puasa sebelum operasi dan pemberian karbohidrat

Puasa sejak tengah malam telah menjadi praktik standar dengan adanya
keyakinan hal ini dapat mengosongkan lambung sehingga mengurangi risiko
aspirasi pulmoner pada pembedahan elektif. Tidak pernah ada bukti ilmiah dari
dogma ini. Suatu meta analisis termasuk review Cochrane dari 22 RCT
menunjukkan bahwa puasa dari tengah malam tidak mengurangi isi lambung
atau meningkatkan pH cairan lambung dibandingkan dengan pasien yang
mengkonsumsi clear fluid 2 jam sebelum dilakukan anestesi.9

Asupan clear fluid 2 jam sebelum pembedahan tidak meningkatkan


kejadian komplikasi. National and European Anaesthesia Societies
merekomendasikan asupan clear fluid sampai dengan 2 jam sebelum induksi
anestesi dan 6 jam puasa dari makanan padat. Dengan memberikan clear fluid
yang mengandung konsentrasi karbohidrat kompleks yang tinggi 2 3 jam
sebelum anestesi, pasien dapat menjalani pembedahan dalam kondisi fed state
secara metabolik. Pemberian 400 ml minuman yang mengandung 12,5%
karbohidrat terutama maltodektrin telah menunjukkan dapat mengurangi rasa
haus, lapar, anxietas dan resistensi insulin postoperatif. Pemberian karbohidrat
dapat mengurangi hilangnya nitrogen dan protein setelah operasi sehingga lean
body mass dan kekuatan otot dapat lebih dipertahankan. Data dari RCT
menunjukkan pemulihan yang lebih cepat. Data dari meta analisis menunjukkan
berkurangnya satu hari rawat inap pada pasien yang mendapatkan loading
karbohidrat preoperatif dalam pembedahan abdominal mayor.9,12

6
Ringkasan dan rekomendasi: Pemberian clear fluids dilakukan sampai 2 jam,
makanan padat sampai 6 jam sebelum induksi anestesi. Pada pasien dimana
pengosongan lambung mungkin terlambat (obstruksi duodenum dan lainnya),
langkah-langkah keamanan tertentu harus dilakukan saat induksi anestesi.
Pemberian karbohidrat oral preoperatif harus dilakukan secara rutin. Pada pasien
diabetes, pemberian karbohidrat dapat dilakukan bersama dengan pengobatan
diabetes.

E. Pengobatan preanestesi

Edukasi preoperatif dapat menurunkan anxietas pasien tanpa


membutuhkan pengobatan anxiolytic. Menghindari starvasi yang berkepanjangan
dan mengikuti pedoman ERAS mengenai carbohydrate loading juga bermanfaat.
Premedikasi dengan sedatif long-acting harus dihindari dalam 12 jam
pembedahan karena berpengaruh terhadap pemulihan postoperatif karena
mengganggu mobilitas dan asupan oral.9

Jika diperlukan, obat anestesi short-acting (misalnya fentanyl


dikombinasikan dengan penambahan dosis kecil midazolam atau propofol) dapat
diberikan dibawah pengawasan untuk memfasilitasi prosedur anestesi regional
seperti anestesi spinal atau pemasangan epidural thorak sebelum induksi
anestesi dengan efek sisa yang minimal setelah pembedahan.13

Ringkasan dan rekomendasi: Pasien tidak seharusnya diberikan medikasi sedatif


long acting atau short acting secara rutin sebelum pembedahan karena dapat
menunda pemulihan setelah operasi. Jika dibutuhkan, obat intravena yang
berkerja short acting dapat dititrasi dengan hati-hati oleh ahli anestesi untuk
dapat memberikan analgesia spinal atau epidural secara aman karena hal ini
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pemulihan.

F. Profilaksis terhadap tromboembolisme

Insiden deep vein thrombosis (DVT) asimptomatik pada pasien bedah


kolorektal tanpa tromboprofilaksis adalah sekitar 30% dengan embolus pulmoner
fatal terjadi pada 1% subyek. Semua pasien kolorektal harus mendapatkan

7
tromboprofilaksis mekanis dengan stocking kompresi karena dapat secara
signifikan menurunkan prevalensi DVT pada pasien rawat inap. Penambahan
kompresi pneumatik intermiten juga harus dipertimbangkan, terutama pada
pasien dengan keganasan atau yang telah menjalani pembedahan pelvis.

Penelitian terbaru yang dilakukan pada 4195 pasien kolorektal


menunjukkan bahwa profilaksis farmakologis menurunkan prevalensi venous
thromboembolism (VTE) dari 1,8% menjadi 1,1% dan juga menurunkan
mortalitas kanker kolorektal secara keseluruhan. Pemberian LMWH (low
molecular weight heparin) sekali sehari sama efektifnya dengan pemberian dua
kali sehari. Penggunaan LMWH lebih disukai karena digunakan dosis sekali
sehari dan risiko terjadinya heparin-induced thrombocytopenia lebih rendah.
Dalam 12 jam setelah pemberian heparin direkomendasikan kateter epidural
tidak dipasang atau dilepas.9,10

Ringkasan dan rekomendasi: Pasien harus memakai stoking kompresi, kompresi


pneumatik intermiten dan profilaksis farmakologis dengan LMWH. Profilaksis
yang diperpanjang sampai 28 hari harus diberikan untuk pasien dengan kanker
kolorektal.

G. Profilaksis antimikroba dan persiapan kulit

Penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien yang menjalani


pembedahan kolorektal sangat penting untuk mengurangi risiko infeksi pada
tempat pembedahan. Untuk antibiotik intravena, waktu pemberian yang terbaik
adalah 30 60 menit sebelum insisi.9

Prevalensi infeksi tempat pembedahan 40% lebih rendah pada persiapan


kulit dengan menggunakan alkohol-chlorhexidine dibandingkan dengan povidone
iodine.

Ringkasan dan rekomendasi: Profilaksis rutin dengan antibiotik intravena harus


diberikan 30 60 menit sebelum memulai pembedahan kolorektal. Penambahan
dosis harus diberikan selama prosedur pembedahan yang diperpanjang (>3 jam)
berdasarkan waktu paruh obat yang digunakan.

8
H. Protokol anestesi standar

Pelepasan katekolamin terjadi selama dan setelah pembedahan baik


secara sistemik dari medula adrenalis sebagai respon terhadap rasa takut dan
nyeri, maupun secara lokal dari ujung saraf simpatis akibat diseksi peritoneum
visceral.14

Medula adrenalis diinervasi melalui segmen T5-T11, usus halus melalui


T9-T12, dan kolon melalui T11-L2. Blok epidural dengan menggunakan anestesi
lokal pada tingkat mid-thorak secara efektif menurunkan konsentrasi katekolamin
di sirkulasi dan secara signifikan memperpendek durasi ileus postoperatif
dibandingkan pemberian opioid secara sistemik.14,15

Gambar 2. Diseksi peritoneal dan ileus postoperatif14

Gambar 3. Epidural mid thorak dibutuhkan untuk blok simpatetik traktus


intestinal14

9
Blok epidural harus dilakukan di mid thorak untuk mendapatkan efek blok
simpatetik. Untuk meningkatkan efek analgesik anestesi lokal yang diberikan
secara epidural, opioid seringkali ditambahkan kedalam infus epidural. Meskipun
penambahan opioid dosis rendah tersebut dapat menyebabkan ileus
postoperatif, efeknya kecil dan dapat menurunkan dosis anestesi lokal epidural
sehingga meminimalkan paralisis ekstremitas bawah.14,16

Dapat digunakan agen induksi short-acting seperti propofol yang


dikombinasikan dengan opioid short acting seperti fentanil, alfentanil atau
remifentanil. Relaksan otot short acting dapat dititrasi menggunakan monitoring
neuromuskuler. Total intravenous anaesthesia (TIVA) dengan pompa infus
terkontrol dapat digunakan dan mungkin bermanfaat pada pasien yang memiliki
kecenderungan mual dan muntah setelah operasi. Ahli anestesi bertanggung
jawab terhadap tiga elemen kunci yang mempengaruhi luaran pembedahan:
reaksi stress terhadap pembedahan, terapi cairan dan analgesia.

Blok regional dapat menurunkan respon stress. Hal ini meliputi


berkurangnya resistensi insulin (mekanisme utama yang mendasari
hiperglikemia). Monitoring glukosa penting karena hiperglikemia dapat
menyebabkan meningkatnya prevalensi komplikasi setelah operasi meskipun
penggunaan regimen insulin yang intensif harus diimbangi untuk mencegah
terjadinya hipoglikemia. Selama pembedahan, pemberian cairan harus sesuai
langkah-langkah fisiologis, dan mean arterial pressure dipertahankan
menggunakan vasopressor jika normovolemia telah tercapai sehingga terhindar
dari kelebihan garam dan air. Hal ini sangat penting jika menggunakan anestesi
epidural untuk mempertahankan aliran darah ke usus.9

Ringkasan dan rekomendasi: Protokol anestesi standar dimana pasien cepat


sadar kembali harus diberikan. Ahli anestesi harus melakukan kontrol terapi
cairan, analgesia dan perubahan hemodinamis untuk mengurangi respon stress
metabolik. Blok epidural mid thorak menggunakan anestesi lokal dan opioid dosis
rendah harus dipertimbangkan pada operasi terbuka. Pada pembedahan
laparaskopik, analgesia spinal atau morfin merupakan alternatif lain. Jika opioid
intravena akan digunakan, dosisnya harus dititrasi untuk meminimalkan risiko
efek yang tidak diinginkan.

10
I. PONV (Postoperative Nausea and Vomiting)

PONV terjadi pada 25 35% dari semua pasien bedah dan menjadi
penyebab utama ketidakpuasan pasien dan tertundanya kepulangan pasien dari
rumah sakit. Etiologi PONV multifaktorial dan dapat diklasifikasikan menjadi 3
faktor: pasien, anestesi dan pembedahan. Pasien perempuan, tidak merokok dan
yang memiliki riwayat motion sickness memiliki risiko PONV. Penggunaan agen
anestesi volatile seperti nitrous oxide dan opiate parenteral meningkatkan risiko
PONV. Pembedahan abdomen mayor pada penyakit kolorektal berhubungan
dengan prevalensi PONV yang tinggi, mencapai 70% pada beberapa penelitian.
Banyak guideline yang menyarankan penggunaan sistem skoring PONV
(misalnya skor Apfel) yang menstratifikasi pasien menjadi kelompok berisiko
rendah sampai dengan tinggi dan kemudian memberikan profilaksis antiemetik
berdasarkan risiko preoperatif tersebut.9

Konsep pendekatan multimodal teradap PONV mengkombinasikan teknik


antiemetik non-farmakologis dan farmakologis. Teknik non-farmakologis meliputi
menghindari stimuli emetogenik seperti anestesi inhalasi, dan meningkatkan
pengunaan propofol untuk induksi dan mempertahankan anestesi. Puasa
preoperatif yang minimal, loading karbohidrat dan hidrasi adekuat juga
bermanfaat untuk pasien.

Ringkasan dan rekomendasi: Pendekatan multimodal untuk profilaksis PONV


harus diadopsi pada semua pasien dengan 2 faktor risiko yang menjalani
pembedahan kolorektal mayor. Jika PONV terjadi, terapi harus diberikan
menggunakan pendekatan multimodal.

J. Laparoskopi dan modifikasi akses pembedahan

Laparaskopi pada reseksi kolonik meningkatkan pemulihan dari segi


prevalensi komplikasi postoperatif, nyeri dan lama rawat inap. Laparaskopi juga
mengurangi prevalensi imunosupresi postoperatif.
Penelitian Laparascopy and/or Fast-track Multimodal Management
Versus Standar Care (LAFA) melaporkan hasil dari RCT multicentre yang
mengacak antara laparaskopi dengan kolektomi segmental terbuka pada 9
centre di Belanda. Jumlah hari rawat inap keseluruhan 2 hari lebih pendek pada
reseksi laparoskopi.9,17

11
Ringkasan dan rekomendasi: Pembedahan laparaskopik untuk reseksi kolon
direkomendasikan jika ada ahlinya.

K. Intubasi nasogastrik

Meta analisis pada tahun 1995 menunjukkan bahwa dekompresi dengan


nasogastrik harus dihindari setelah pembedahan kolorektal karena kejadian
demam, atelektasis dan pneumonia menurun pada pasien tanpa NGT. Meta
analisis lainnya dilakukan pada 28 RCT dekompresi dengan NGT setelah bedah
abdominal melibatkan 4195 pasien. Pembedahan meliputi reseksi kolorektal (7
RCT), bedah gastrodudenal (7 RCT), bedah bilier dan ginekologis (4 RCT),
bedah vaskuler dan trauma (2 RCT) dan bedah lainnya (7RCT). 8 RCT dengan
862 pasien menunjukkan penurunan interval waktu dari pembedahan ke flatus
pertama yakni setengah hari jika tidak dilakukan intubasi nasogastrik. Hasil yang
sama juga tampak pada meta analisis yang dipublikasikan tahun 2011. Tidak ada
rasionalisasi pemasangan rutin NGT selama pembedahan kolorektal kecuali
untuk mengeluarkan udara yang mungkin masuk ke dalam lambung selama
ventilasi menggunakan facial mask sebelum intubasi endotrakea.9

Ringkasan dan rekomendasi: NGT postoperatif tidak seharusnya digunakan


secara rutin. Pipa nasogastrik yang diinsersi saat pembedahan harus dilepas
sebelum anestesi dihentikan.

L. Mencegah hipotermia intraoperatif

Mempertahankan suhu yang normal penting untuk mempertahankan


homeostasis tubuh yang normal. Pasien yang mengalami hipotermia (<36C)
terlihat lebih banyak mengalami infeksi luka dan penelitian terbaru melaporkan
kejadian kelainan jantung dan perdarahan. Pada saat pemulihan, risiko shivering
lebih tinggi pada pasien yang hipotermia, yang akan meningkatkan konsumsi
oksigen pada waktu yang kritis. Skor nyeri juga lebih baik pada pasien yang tidak
mengalami hipotermia. Menghangatkan pasien dengan selimut udara hangat
sebelum masuk ke ruang operasi terlihat dapat memperbaiki suhu tubuh. Cairan
intravena seharusnya dihangatkan sebelum diberikan ke pasien. Suhu tubuh
pasien harus dimonitor dan untuk menghindari hiperpireksia yang juga dapat

12
terjadi pada prosedur yang berkepanjangan jika pasien mengalami systemic
inflammatory response syndrome (SIRS).9

Ringkasan dan rekomendasi: Mempertahankan suhu normal selama operasi


dengan peralatan menghangatkan yang sesuai (seperti forced air heating
blanket, matras penghangat atau circulating water garment system) dan
menghangatkan cairan intravena harus dilakukan secara rutin untuk
mempertahankan suhu tubuh >36C. Monitoring suhu tubuh penting dilakukan
untuk mentitrasi peralatan menghangatkan dan untuk menghindari hiperpireksia.

M. Manajemen cairan perioperatif

Terapi cairan merupakan bagian penting untuk mencapai luaran yang


optimal setelah pembedahan. Volume intravaskuler merupakan salah satu
determinan utama cardiac output dan pengangkutan oksigen ke jaringan.
Hipovolemia intravaskuler dapat menyebabkan hipoperfusi organ vital dan usus,
yang dapat menyebabkan komplikasi. Namun, memberikan cairan terlalu banyak
dapat menyebabkan edema usus dan meningkatnya cairan interstisial paru, yang
juga dapat menimbulkan komplikasi.
Central venous catheter tidak secara rutin digunakan untuk monitoring
tekanan vena sentral karena merupakan prediktor yang buruk dari respon cairan.
Jadi, CVC hanya dipasang jika dibutuhkan akses vena sentral untuk infus obat-
obatan. Penggunaan saturasi vena sentral untuk menunjukkan ekstraksi oksigen
pada periode awal postoperatif untuk memonitor terapi cairan telah divalidasi
pada beberapa penelitian, dan mungkin sangat berguna pada pasien-pasien
dengan risiko tinggi. Cairan intravena postoperatif harus diminimalkan untuk
mempertahankan kondisi normovolemia dan menghindari kelebihan cairan. Rute
enteral harus digunakan dan tetesannya diturunkan bila memungkinkan
(diusahakan tidak lewat dari pagi hari setelah pembedahan). Pasien
normovolemik yang mengalami hipotensi akibat anestesi epidural seharusnya
diterapi dengan pemberian vasopressor dan bukan diberikan cairan yang
berlebihan. Kristaloid yang digunakan adalah saline 0,9% untuk
mempertahankan keseimbangan elektrolit.9
Pada praktik tradisional, kehilangan cairan yang sesungguhnya ataupun
yang diperkirakan hilang akan diganti selama dan setelah pembedahan. Praktik

13
ini sering dilakukan pada pasien pembedahan dengan penyebab trauma namun
telah tampak dapat mengganggu fungsi gastrointestinal dan morbiditas
postoperatif pada pembedahan elektif. Penelitian pada hewan coba
menunjukkan kelebihan cairan menyebabkan edema dan paralisis dinding
lambung.14

Pada manusia, pemberian cairan perioperatif yang bertujuan


mempertahankan keseimbangan cairan dibandingkan dengan kelebihan cairan
telah menunjukkan hasil dapat mengurangi waktu kembalinya fungsi usus dan
lama rawat inap secara signifikan setelah dilakukannya reseksi kolon.14

Gambar 4. Keseimbangan cairan dan sodium postoperatif mendukung fungsi


gastrointestinal14

Tiga faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan cairan


perioperatif adalah persiapan usus preoperatif, puasa malam sebelum operasi
dan analgesia epidural. Efek negatif dari faktor-faktor ini dapat diminimalkan
pada asuhan perioperatif modern. 14

14
Tabel 1. Gambaran klinis yang berkaitan dengan kelebihan cairan dan garam18

Meta analisis terbaru menunjukkan bahwa mempertahankan kondisi


perioperatif pasien pada tahapan fluid balance akan mengakibatkan 59% lebih
sedikit komplikasi dan 3,4 hari rawat inap yang lebih pendek dibandingkan
pasien dalam tahap hidrasi berlebihan atau justru kekurangan (fluid imbalance).

Dalam terapi cairan dan elektrolit, akurasi diagnosis, monitoring dan


preskripsi disertai dengan pemahaman yang jelas akan masalah yang mendasari
mutlak diperlukan untuk mencapai hasil terbaik dan menghindari morbiditas dan
mortalitas.9

Ringkasan dan rekomendasi: Kristaloid yang seimbang menggunakan saline


0,9%. Pada pembedahan terbuka, pasien harus mendapatkan cairan
intraoperatif (koloid dan kristaloid) yang dipandu dengan pengukuran untuk
mengoptimalkan cardiac output. Pengukuran flow juga dipertimbangkan jika
pasien risiko tinggi dengan komorbid: jika kehilangan darah >7 ml/kg; atau dalam
prosedur yang panjang. Vasopressor harus dipertimbangkan untuk manajemen
intra dan postoperatif hipotensi yang dipicu epidural. Rute enteral cairan
postoperatif harus digunakan secepat mungkin, dan cairan intravena harus
dihentikan secepat mungkin.

15
N. Drainage kavitas peritoneum setelah anastomosis kolon

Drainage peritoneum dulunya digunakan untuk mencegah akumulasi


cairan ditempat diseksi, infeksi dan bocornya anastomosis. Meta analisis tidak
menunjukkan adanya efek drainage secara klinis dan radiologis terhadap
dehisensi anastomosis, infeksi luka, reoperasi, komplikasi ekstra abdominal atau
mortalitas. Observasi empiris memperlihatkan kebanyakan sistem drainage
secara signifikan mengganggu mobilisasi pasien.9

Ringkasan dan rekomendasi: Drainage rutin tidak dianjurkan karena merupakan


intervensi yang dapat mengganggu mobilisasi.

O. Drainage urin

Drainage kandung kemih digunakan selama dan setelah pembedahan


mayor untuk memonitor output urin dan mencegah retensi urin. Durasi drainage
yang berkepanjangan berhubungan dengan meningkatnya risiko infeksi saluran
kemih. Meta analisis menunjukkan kateterisasi kandung kemih suprapubik pada
pembedahan abdominal berhubungan dengan kejadian bakteriuria yang lebih
rendah dan berkurangnya ketidaknyamanan pasien dibandingkan dengan
drainage transurethral. Namun data ini relevan untuk drainage urin selama 4 7
hari, manfaat kateterisasi suprapubik pada drainage transurethral jangka pendek
tidak pasti.9

Ringkasan dan rekomendasi: Drainage kandung kemih transurethral rutin selama


12 hari direkomendasikan. Kateter dapat dilepas tanpa memperhatikan
penggunaan atau durasi anestesi epidural thoraks.

P. Pencegahan ileus postoperatif (termasuk penggunaan laksatif


postoperatif)

Paralisis traktus gastrointestinal telah menjadi masalah utama dalam


pembedahan tradisional, membatasi toleransi terhadap nutrisi oral atau enteral.
Waktu untuk pemulihan fungsi gastrointestinal yakni 2 5 hari. Penundaan nutrisi

16
oral atau enteral secara signifikan menunda pemulihan dan meningkatkan risiko
komplikasi infeksi.9

Penyebab paralisis gastrointestinal postoperatif multifaktorial. Penyebab


utamanya adalah aktivitas simpatetik inhibisi sebagai respon terhadap nyeri dan
diseksi peritoneum, pelepasan neurotransmiter inhibisi lokal sebagai respon
terhadap manipulasi usus, suatu efek inhibisi langsung dari opioid endogen dan
eksogen, dan kelebihan cairan. Sebagian besar efek ini dapat dipengaruhi oleh
intervensi perioperatif, meminimalkan atau bahkan menghilangkan ileus
postoperatif.14

Tidak ada agen prokinetik yang terbukti efektif mengurangi atau


mengobati ileus postoperatif, namun beberapa jenis intervensi lainnya telah
terbukti berhasil. Analgesia epidural mid thorak sangat efektif mencegah ileus
postoperatif dibandingkan pemberian analgesia opioid intravena. Menghindari
dekompresi dengan nasogastrik akan mengurangi durasi ileus postoperatif.
Reseksi kolon dengan bantuan laparaskopi juga mempercepat kembalinya fungsi
usus, demikian pula dengan kembalinya asupan oral. Magnesium oksida oral
dapat meningkatkan fungsi usus postoperatif dan mempercepat kembalinya
fungsi usus. Pemberian bisacodyl (10 mg p.o) dua kali sehari mulai dari hari
sebelum operasi sampai dengan hari ketiga setelah operasi memperbaiki fungsi
usus pada suatu RCT dengan 189 pasien yang menjalani pembedahan
kolorektal. Tidak ada efek bisacodyl terhadap toleransi terhadap makanan padat
atau lama rawat inap. Alcimopan (suatu antagonis reseptor -opioid telah
disetujui untuk digunakan secara klinis pada ileus postoperatif) yang diberikan
melalui rute oral mempercepat pemulihan gastrointestinal dan mengurangi lama
rawat inap pada pasien yang menjalani reseksi kolon terbuka yang mendapatkan
analgesia opioid postoperatif. Pemberian permen karet kunyah perioperatif
memiliki pengaruh positif pada durasi ileus postoperatif.9
Mengunyah permen karet setelah pembedahan merupakan bentuk dari
sham feeding, dimana substansi makanan dikunyah namun tidak masuk ke
dalam lambung. Permen karet dipostulasikan dapat meningkatkan stimulasi
cephalo-vagal, yang akan meningkatkan motilitas lambung dan mengurangi input
inhibisi dari sistem saraf simpatis. Hormon-hormon gastrointestinal seperti
gastrin, neurotensin, kolesistokinin dan polipeptida pankreatik juga meningkat
dan mengakibatkan stimulasi vagal serabut otot polos. Mengunyah permen karet

17
juga meningkatkan sekresi saliva dan pancreatic juices. Sorbitol dan dan hexitol
yang ada pada permen karet bebas gula juga dapat berperan mengurangi ileus
postoperatif. Meta analisis dari beberapa RCT menunjukkan manfaat signifikan
dari mengunyah permen karet dengan mempercepat flatus dan bowel
movement.2,19

Ringkasan dan rekomendasi: Analgesia epidural mid thorakik dan pembedahan


laparoskopik harus digunakan pada pembedahan kolon jika memungkinkan.
Kelebihan cairan dan dekompresi nasogastrik harus dihindari. Mengunyah
permen karet dapat direkomendasikan, demikian pula pemberian magnesium
dan alvimopan oral (bila menggunakan analgesia berbasis opioid)

Q. Analgesia postoperatif

Regimen analgesik yang optimal untuk pembedahan mayor harus dapat


berefek bebas nyeri, mobilisasi awal, kembalinya fungsi usus dan asupan
dengan cepat, dan tidak menyebabkan komplikasi.
Selama fase postoperatif, penggunaan analgesik multimodal ditujukan
untuk menghindari penggunaan opioid. Parasetamol merupakan bagian penting
dari analgesia multimodal. Parasetamol terdapat dalam bentuk sediaan intravena
dan dapat diberikan 1 g empat kali per hari. NSAID juga merupakan bagian yang
penting dari analgesia multimodal.13
Efek paralitik usus yang disebabkan oleh opioid empat kali lebih kuat
dibandingkan efek analgesiknya. Manfaat dari analgesia epidural adalah dapat
menghilangkan kebutuhan analgesia opioid sistemik postoperatif. Saat analgesia
epidural dihentikan, non-steriodal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) dan
parasetamol mengurangi kebutuhan analgesia opioid dan dapat menurunkan
kejadian ileus postoperatif.14

Meskipun pemberian opioid sistemik dapat dihindari dengan memberikan


analgesia multimodal, opioid endogen tetap diproduksi pada periode postoperasi.
Pemberian antagonis reseptor opioid oral aktif secara lokal, meskipun masih
dalam tahap eksperimental, telah menunjukkan dapat menurunkan ileus
postoperatif secara signifikan.14

18
Ringkasan dan rekomendasi: anestesi dengan epidural thorakik menggunakan
anestesi lokal dosis rendah dan opioid harus digunakan pada pembedahan
terbuka. Untuk mengatasi nyeri, dapat digunakan titrasi untuk meminimalkan
dosis opioid. Pada pembedahan laparaskopik, alternatif epidural dapat diberikan
analgesia spinal secara hati-hati dengan dosis rendah, opioid long acting. Bila
epidural akan dihentikan, sebaiknya digunakan NSAID dan paracetamol.

R. Asuhan nutrisi perioperatif

Sebagian besar pasien yang menjalani reseksi kolon elektif dapat makan
secara normal sebelum pembedahan, dan banyak diantaranya yang memiliki
status gizi normal. Pada setting ERAS, jika stress pembedahan diminimalkan,
indeks masa tubuh yang rendah tidak tampak sebagai risiko independen
terhadap komplikasi atau rawat inap yang berkepanjangan. Penelitian baru-baru
ini menunjukkan adanya masa otot yang rendah menjadi faktor prediktif terhadap
komplikasi dan lama rawat inap setelah pembedahan kolorektal.9
Konsumsi energi dan protein seringkali rendah saat fase preoperatif pada
pasien yang akan menjalani pembedahan kolon. Dalam program ERAS,
suplemen nutrisi oral digunakan pada hari sebelum pembedahan dan sedikitnya
4 hari pertama setelah operasi untuk mencapai target asupan energi dan protein
selama fase awal postoperatif. Penelitian yang mengkombinasikan terapi
karbohidrat oral, analgesia epidural, dan nutrisi enteral dini menunjukkan bahwa
ketiga komponen ERAS ini mengakibatkan terjadinya keseimbangan nitrogen,
menjaga kadar glukosa tetap normal tanpa membutuhkan insulin eksogen
dengan cara meminimalkan resistensi insulin.9
Jika didapatkan kehilangan berat badan signifikan yang tidak dapat
dijelaskan, suplemen oral sebaiknya diberikan pada periode perioperatif, dan
perlu dipertimbangkan untuk dilanjutkan sampai pasien pulang kerumah. Pada
pasien malnutrisi, suplementasi nutrisi (oral dan/atau parenteral) memiliki efek
terbaik jika dimulai 7 10 hari preoperatif, dan berhubungan dengan penurunan
prevalensi komplikasi infeksi dan kebocoran anastomosis. Perhatian khusus
diberikan kepada pasien lanjut usia, pasien penyakit kronis dan peminum alkohol
yang mungkin pula mengalami defisiensi mikronutrien atau mengkonsumsi
vitamin dan mineral dibawah rekomendasi dan yang mungkin membutuhkan
suplementasi sebelum dan sesudah pembedahan.9

19
Pada fase postoperatif, pasien yang menjalani ERAS dapat minum
secepatnya setelah pulih dari anestesi dan kemudian makan makanan normal
rumah sakit dan dengan mengikuti hal demikian, secara spontan mengkonsumsi
1200 1500 kkal/hari. Hal ini aman, RCT mengenai enteral atau oral feeding dini
dibandingkan puasa menunjukkan bahwa pemberian makan dini menurunkan
risiko infeksi dan lama rawat. Namun, dengan pemberian makanan oral dini,
risiko muntah meningkat, khususnya bila tidak diberikan terapi anti-ileus
multimodal.
Kombinasi diet berbeda yang mengandung komponen yang bertujuan
meningkatkan fungsi imun pada pasien pembedahan telah diteliti. Diet ini yang
sering disebut immunonutrisi biasanya mengandung kombinasi arginin, glutamin
asam lemak omega-3 dan nukleotida. Beberapa meta analisis telah
dipublikasikan mengenai efektivitas klinis immunonutrisi. Secara keseluruhan,
sebagian besar menunjukkan adanya manfaat klinis immunonutrisi dengan
terjadinya penurunan prevalensi komplikasi dan berkurangnya lama rawat inap
dalam konteks perawatan bedah tradisional, namun hasilnya heterogen.
Terdapat bukti bahwa immunonutrisi paling efektif pada pasien malnutrisi, dan
tidak ada penelitian yang menilai efektivitas formula ini pada setting ERAS jika
stress diminimalkan.9

Ringkasan dan rekomendasi: Pasien harus diskrining status gizi dan jika berisiko
kekurangan gizi, berikan dukungan nutrisi aktif. Untuk pasien ERAS yang standar
puasa preoperatif harus diminimalkan dan setelah operasi harus didukung untuk
makan makanan normal secepat mungkin. Suplemen nutrisi oral dapat
digunakan menambah asupan total.

S. Kontrol glukosa postoperatif

Resistensi insulin merupakan penyebab hiperglikemia setelah


pembedahan. Meningkatnya resistensi insulin dan kadar gula darah
berhubungan dengan komplikasi dan mortalitas setelah pembedahan abdominal
mayor. Risiko ini meningkat dengan semakin meningkatnya resistensi insulin dan
peningkatan kadar gula darah yang semakin tinggi.
Data yang didapatkan pada pasien bedah kolorektal dengan protokol
ERAS yang mengkonsumsi 1500 kkal dari hari pertama setelah pembedahan

20
kolorektal elektif menunjukkan bahwa kadar gula darah lebih tinggi setelah
asupan makan dibandingkan kadar gula darah puasa. Penelitian yang
mengkombinasikan epidural, pemberian karbohidrat preoperatif dan dilanjutkan
dengan pemberian makan dengan pipa enteral secara penuh dan kontinyu
setelah pembedahan mayor kolorektal menunjukkan bahwa kadar gula darah
tetap bertahan pada kadar normal tanpa dibutuhkan insulin pada 3 hari pertama
setelah pembedahan.
Beberapa elemen protokol ERAS mempengaruhi kerja/resistensi insulin
dan kadar gula darah baik secara langsung maupun tidak langsung (persiapan
usus menyebabkan puasa preoperatif berkepanjangan, pemberian karbohidrat
preoperatif lebih baik daripada puasa sepanjang malam). Profilaksis dan terapi
PONV untuk mendukung asupan nutrisi meliputi menghindari puasa,
mempertahankan keseimbangan cairan untuk mendukung gerakan usus,
anestesi epidural untuk mengurangi respon stress endokrin dari kelenjar adrenal,
menghindari penggunaan opioid yang mengganggu pergerakan usus;
menghindari penggunaan anti inflamasi untuk mengurangi stress; menghindari
penggunaan tube dan drain; dan mobilisasi aktif. Tidak ada satupun dari
prosedur ini yang menimbulkan risiko hipoglikemia.9
Terapi hiperglikemia pada pasien pembedahan di ICU secara konsisten
mengalami perbaikan dimana komplikasi hiperglikemia tersebut telah dapat
dihindari. Berkurangnya hiperglikemia memperbaiki luaran pembedahan. Pada
kadar > 10 12 mmol/l, risiko diuresis osmotik meningkat dan menyebabkan
gangguan keseimbangan cairan. Penggunaan insulin intravena memiliki risiko
terjadinya hipoglikemia terutama pada pasien yang dirawat di bangsal.9

Ringkasan dan rekomendasi: Hiperglikemia merupakan faktor risiko komplikasi


dan harus dihindari. Beberapa protokol ERAS mempengaruhi kerja/resistensi
insulin sehingga memperbaiki kontrol glikemik tanpa risiko menyebabkan
hipoglikemia. Untuk pasien bangsal, insulin harus digunakan dengan hati-hati
untuk mempertahankan glukosa darah tetap normal.

T. Mobilisasi dini
Mobilisasi dini dipostulasikan untuk mengurangi komplikasi paru dan
menghilangkan resistensi insulin akibat imobilisasi. Mengkombinasikan forced
mobilisasi dengan dukungan nutrisi berakibat terjadinya perbaikan kekuatan otot

21
namun hanya pada fase postoperatif awal. RCT pada 119 pasien menunjukkan
latihan otot postoperatif hanya sedikit berpengaruh pada luaran postoperatif
jangka panjang. Tirah baring berkepanjangan memiliki beberapa efek negatif,
diantaranya menurunnya kapasitas kerja. Kegagalan mobilisasi pada hari
pertama postoperatif mungkin disebabkan oleh kontrol nyeri yang inadekuat,
berlanjutnya penggunaan cairan intravena, penggunaan kateter urin indwelling,
motivasi pasien dan komorbiditas yang ada.9
Penelitian terbaru oleh Yeovil menunjukkan kegagalan mobilisasi
merupakan penyebab tersering penyimpangan dari protokol ERAS dan berkaitan
dengan rawat inap yang berkepanjangan.

Ringkasan dan rekomendasi: RCT yang ada tidak mendukung efek klinis yang
bermanfaat secara langsung terhadap mobilisasi postoperatif. Namun, imobilisasi
yang berkepanjangan meningkatkan risiko terjadinya pneumonia, resistensi
insulin dan kelemahan otot sehingga pasien harus mobilisasi.

U. Audit

Pengukuran standar dan audit kualitas pelayanan kesehatan akan


mamacu perbaikan praktik secara berkesinambungan. Audit terhadap
compliance merupakan instrumen kunci untuk membantu klinisi
mengimplementasikan program ERAS. Audit ERAS berada pada 3 domain:9
1. Mengukur luaran klinis ERAS seperti lama rawat inap, dirawat kembali
dan komplikasi
2. Menentukan pemulihan fungsi dan pengalaman pasien
3. Mengukur kepatuhan dengan (penyimpangan dari) protokol ERAS

V. Luaran perawatan ERAS

Luaran ERAS telah dilaporkan pada suatu penelitian kohort yang besar
yang mencapai 1000 pasien. Penelitian ini menyimpulkan bahwa proporsi pasien
dengan morbiditas postoperatif dan timbulnya gejala yang menunda
pemulangan, dan dirawatnya kembali pasien di rumah sakit secara signifikan
berkurang (38% dibandingkan 69%) dengan meningkatnya compliance ERAS.
Terdapat beberapa alat untuk mengaudit compliance dan luaran ERAS. Di dalam

22
kelompok ERAS, proses audit sistematik telah dibuat kedalam ERAS Interactive
Audit System dan sistem pengumpulan data untuk memfasilitasi implementasi
ERAS.9

Ringkasan dan rekomendasi: Audit sistematik bersifat esensial untuk


menentukan luaran klinis dan mengukur kepatuhan agar dapat sukses
mengimplementasikan protokol. Sistem harus juga melaporkan pengalaman
pasien dan pemulihan fungsi, namun hal ini membutuhkan alat yang tervalidasi.

IV. Penutup

Telah banyak dilakukan penelitian, systematic review dan meta analisis


dengan hasil menunjukkan bahwa pelaksanaan protokol ERAS dapat
memperbaiki luaran pembedahan elektif. Namun, masih sukup sulit untuk
memperkenalkan guideline ini agar dapat rutin dipraktikkan secara klinis. Banyak
klinisi masih belum mengetahui dan memahami manfaat penerapan protokol
ERAS sehingga penting untuk memperkenalkan ERAS.
Nutrisi merupakan elemen penting dari protokol ERAS sebagai bagian
dari asuhan perioperatif. Pemberian nutrisi perioperatif ditujukan untuk
mengurangi dan menghindari stress metabolik yang timbul akibat pembedahan
sehingga luaran klinis akan semakin baik.
.

23
REFERENSI

1. Fearon KCH. Enhanced recovery: principles. ESPEN LLL Programme. 2011


2. Melnyk M, Casey RG, Black P, Kouparris AJ. Enhanced recovery after
surgery (ERAS) protocols: Time to change practice? Can Urol Assoc J
2011;5(5):342-8
3. Gravante G, Elmussareh M. Enhanced recovery for colorectal surgery:
Practical hints, results and future chalanges. World J Gastrointest Surg
2012;4(8):190-198
4. Abraham N, Albayati S. Enhanced recovery after surgery programs hasten
recovery after colorectal resections. World J Gastrointest Surg 2011;3(1):1-6
5. ASERNIPS. Brief review: fast-track surgery and enhanced recovery after
surgery (ERAS) programs. The Royal Australian College of Surgeons. 2009
6. Fearon KCH, Ljungvist O, Von Meyenfeldt M, Revhaug A, Dejong CHC,
Lassen K, et al. Enhanced recovery after surgery: A consensus review of
clinical care for patients undergoing colonic resection. Clinical Nutrition
2005;24:466-477
7. Andersen HK, Lewis SJ, Thomas S. Early enteral nutrition within 24h of
colorectal surgery versus later commencement of feeding for postopertaive
complications (Review). The Cochrane Library 2011;2
8. Nygren J, Thacker J, Carli F, Fearon KCH, Norderval S, Lobo DN, et al.
Guidelines for perioperative care in elective rectal/pelvic surgery: Enhanced
Recovery After Surgery (ERAS) society recommendations. Clinical Nutrition
2012;31:801-816
9. Gustafsson U, Scott MJ, Schwenk W, Demartines N, Roulin D, Francis N, et
al. Guidelines for perioperative care in elective colonic surgery: Enhanced
Recovery After Surgery (ERAS) Society recommendations. Clinical Nutrition
2012;31:783-800
10. Lassen K, Coolsen MME, Slim K, Carli F, de Aguilar-Nascimento JE, Schafer
M, et al. Guidelines fr perioperative care for pancreaticoduodenectomy:
Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) society recommendations.
Clinical Nutrition 2012;31:817-830
11. Teeuwen PH, Bbleichrodt RP, Strik C, Groenewoud JJM, Brinkert W, van
Laarhoven JHM, et al. Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) versus

24
conventional postoperative care in colorectal surgery. J Gastrointest Surg
2010;14:88-95
12. Sakakushev BE. Enhanced recovery after surgery for gastric cancer. J
Gastroint Dig Syst 2013 S12:003
13. White PF, Kehlet H, Neal JM, Schricker T, Carr DB, Carli F. The role of the
anesthesiologist in fast-track surgery: from multimodal analgesia to
perioperative medical care. Anesth Analg 2007;104:1380-96
14. Soop M. Nutritional goals in the perioperative period. Facilitating oral or
enteral nutrition. ESPEN LLL Programme. 2008
15. Matthews C. Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) anaesthesia tutorial
of the week 204. Pp 1-9
16. Lassen K, Soop M, Nygren J, Cox PBW, Hendry PO, Spies C, et al.
Consensus review of optimal perioperative care in colorectal surgery.
Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) group recommendations. Arch
Surg. 2009;144(10):961-969
17. Maessen J. Enhanced recovery after surgery. Fact or fiction? Maastricht,
2009
18. Lobo DN, Allison SP. Fluid balance and metabolism in surgery. ESPEN LLL
Programme. 2011
19. Parrish CR. Pre-op NPO and traditional post-op diet advancement: time to
move on. Nutrition Issues in Gastroenterology, 2010;90:16-27

25

Anda mungkin juga menyukai