obat yang sangat sering digunakan pada periode perioperatif dengan efek yang
bervariasi seperti sedasi, ansiolitik, hipnotik, dan amnesia. Efek-efek inilah yang
dibutuhkan sebelum dilakukannya induksi anestesia sehingga resiko perioperatif yang
dapat terjadi pada pasien dapat berkurang. Tujuan utama digunakannya benzodiazepine
pada periode perioperatif adalah untuk mengurangi cemas atau ansiolitik dan efek
hipnotik-sedasi untuk menurunkan kesadaran pasien. Selain itu juga sebagai adjuvan
anestesi yaitu untuk menginduksi relaksasi dan amnesia (procedural memory loss).1,2
Adapun efek lain yang didapat dari BZDs selain pada periode perioperatif yaitu efek
sedasi dengan periode yang lebih panjang pada perawatan intensif di intensive care unit.
Tetapi hal ini memiliki efek samping yang buruk yaitu terakumulasinya obat dan
meningkatnya secara signifikan konsentrasi dari metabolit aktif. Jenis benzodiazepine
yang paling sering digunakkan di Amerika berturut turut yaitu Midazolam (>75%),
Diazepam (7%) dan lorazepam (2%).3
Ansietas pada pasien yang akan menjalani tindakan operasi sangatlah sering
terjadi. Pada sebuah penelitian, angka keseluruhan dari terjadinya ansietas pada pasien
yang akan menjalani operasi caesarian section adalah 72.7% (112/154). Sebesar 23.4%
dari pasien ditemukan cemas terhadap tindakan GA (general anesthesia) dan insiden
cemas lebih sering terjadi pada wanita (35.1%) dibanding pada laki-laki (11.1%).4
Selain itu angka cemas juga tinggi pada pasien dengan tingkat edukasi yang lebih
rendah. Kecemasan yang terjadi pada periode preoperatif dapat memiliki efek yang
buruk terhadap periode keseluruhan perioperatif baik pada induksi anestesi maupun
pemulihan pasien seperti terjadinya cemas postoperatif, peningkatan nyeri postoperatif
sehingga meningkatnya kebutuhan obat analgesik, postoperative nausea and vomiting
(PONV) dan meningkatkan durasi rawat inap pasien.5,6
Meskipun Benzodiazepines memiliki banyak manfaat, pemberiannya pada orang
dengan umur lebih tua perlu diperhatikan. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan
bahwa pada pasien dengan umur lebih tua mendapatkan lebih banyak keuntungan
dengan anestesi tanpa benzodiazepine dibandingkan dengan menggunakan
benzodiazepine. Hal ini disebabkan karena terjadinya insidens seperti delirium
postoperatif dan disfungsi kognitif postoperatif.6 Selain itu juga terdapat resiko sedasi
berlebihan, tertundanya pemulihan, gangguan fungsi psikomotor pada periode awal
postoperatif. Tetapi meskipun begitu, pemberian benzodiazepine dengan dosis yang
adekuat dan indikasi yang sesuai dapat memperoleh hasil hemodinamik yang stabil saat
induksi anestesi dan meningkatkan kesehatan pasien secara umum serta kepuasan
pasien. Oleh karena itu, indikasi yang jelas mengenai pemberian Benzodiazepines
sebagai premedikasi diperlukan karena tidak semua pasien membutuhkannya.2,3
2.2.2 Indikasi
Berdasarkan kasus yang telah dijabarkan sebelumnya, pasien adalah seorang
lansia berjenis kelamin perempuan. Menurut penelitian, obat-obatan jenis
benzodiazepine banyak digunakan oleh pasien muda atau pasien dengan jenis kelamin
wanita sebagai premedikasi untuk mengatasi ansietas. Adapun kecemasan sebelum
operasi dapat terjadi pada 80% pasien bedah, dengan dua kelompok pasien yang rentan
adalah perempuan dan anak-anak.12 Kebanyakan wanita dewasa biasanya khawatir
tentang ketidakpastian masa depan mereka, keluarga mereka, keberhasilan operasi, dan
keamanan anestesi, sementara anak-anak akan mengalami kecemasan karena harus
berpisah dengan orang tua keluarganya (separation anxiety). 12,13 Pendekatan psikologis
dan farmakologis efektif dalam mengurangi kecemasan pra operasi. Beberapa
pendekatan psikologis yang dapat dilakukan yaitu melalui kunjungan dokter anestesi
untuk melakukan konsultasi sebelum pasien dioperasi atau melalui brosur edukasi,
namun pendekatan farmakologis khususnya dengan midazolam telah terbukti lebih
efektif dalam mengurangi ansietas preoperative dalam banyak penelitian.11,13
Penggunaan midazolam juga telah terbukti tidak akan memperlambat proses pemulihan
pasien dari recovery room nantinya.13 Midazolam juga diketahui memiliki efek
antiansietas, antikonvulsan, hipnotik, dan muscle relaxant, serta membantu dalam
proses induksi anestesi secara keseluruhan.7
Selain itu, penggunaan midazolam sebagai premedikasi juga dapat mengurangi
terjadinya kejadian menggigil perioperatif. Umumnya, prosedur anestesia, baik general
atau regional dapat mengganggu proses termoregulasi dan kejadian menggigil setelah
pemberian obat anestesia dilaporkan terjadi pada sebanyak 40-64% pasien yang tidak
diberikan profilaksis sebelumnya. Midazolam dan propofol, yang bekerja sebagai
agonis reseptor γ-aminobutyric acid diketahui dapat mencegah hipotermia dan kejadian
menggigil pada prosedur anestesi.11
Penggunaan midazolam sebagai premedikasi pada anak-anak dicurigai memiliki
efek negatif pada fungsi kognitif atau bahkan dapat menyebabkan gangguan perilaku
setelah operasi.14 Paparan terhadap agonis GABA pada usia kanak-kanan (seperti
midazolam atau propofol) dan antagonis NMDA (seperti ketamine, isoflurane, dan
nitric oxida) menyebabkan efek negatif terhadap perkembangan anak-anak akibat
mekanisme kerjanya pada jalur transmisi saraf. Namun, penelitian mengenai hal ini
pada anak-anak masih terbatas dengan hasil yang bervariasi dan kebanyakan bersifat
restrospektif sehingga masih kontroversial.15
Adapun beberapa obat-obatan lain yang juga banyak digunakan sebagai
premedikasi dalam operasi antara lain jenis obat-obatan agonis reseptor α2-adrenergik
seperti clonidine dan deksmedetomidine. Pada satu penelitian, ditemukan bahwa waktu
tercapainya efek sedasi lebih cepat dengan penggunaan midazolam, namun efek
kedalaman sedasi lebih cepat dengan penggunaan clonidine.16 Sementara itu,
dibandingkan dengan clonidine, dexmedetomidine merupakan agonis reseptor α2-
adrenergik yang lebih seletif dengan waktu pencapaian konsentrasi puncak plasma yang
lebih cepat dan waktu paruh eliminasi yang lebih singkat. Namun, penelitian lain
membuktikan bahwa midazolam lebih baik dibandingkan dengan dexmedetomidine
dalam proses induksi.17 Beberapa efek samping premedikasi dengan deksmedetomidine
antara lain penurunan tekanan darah sistolik dan denyut jantung, serta peningkatan
lamanya waktu tercapainya sedasi.18
2.2.3 Farmakodinamik
Benzodiazepin mengikat reseptor GABAA pada sistem saraf pusat dan
meningkatkan frekuensi pembukaan saluran ion klorida. Adapun struktur kimia
benzodiazepin terdiri dari cincin benzena dan tujuh anggota cincin diazepin, seperti
yang terlihat pada Gambar 2.1. Substitusi pada berbagai posisi di cincin benzena
tersebut dapat mempengaruhi potensi dan biotransformasi anggota golongan obat
benzodiazepin. Adanya cincin imidazol pada midazolam menyebabkan tingginya
tingkat kelarutan midazolam dalam air pada pH rendah. diazepam dan lorazepam tidak
larut dalam air sehingga sediaan parenteral kedua obat ini mengandung propilen glikol,
yang dapat menyebabkan iritasi vena. Sementara itu, flumazenil adalah antagonis
reseptor benzodiazepine spesifik yang secara efektif melawan efek benzodiazepine pada
sistem saraf pusat.9
2.2.4 Farmakokinetik
Pada kasus yang telah dijelaskan sebelumnya, midazolam diberikan dengan
dosis 1 mg secara intravena untuk pasien dengan berat badan 48 kg. Dosis ini sesuai
dengan dosis yang diberikan untuk sedasi (0.001-0.1 mg/kgBB) pada premedikasi.
Perjalanan farmakokinetik midazolam dan perbandingannya dengan obat-obatan
golongan benzodiazepine lainnya dijabarkan sebagai berikut:
2.2.4.1 Penyerapan
Benzodiazepin umumnya diberikan secara oral dan intravena untuk memberikan
efek sedasi. Golongan obat ini juga dapat diberikan dalam tahap induksi, namun
penggunaannya relatif lebih jarang karena terdapat pilihan beberapa obat-obatan lain
yang lebih poten dan minim efek samping. Diazepam dan lorazepam diserap dengan
baik dari saluran pencernaan, dengan kadar plasma puncak biasanya dicapai dalam
berturut-turut 1 dan 2 jam. Midazolam intravena (0,05-0,1 mg/kg) diberikan untuk
ansiolisis sebelum anestesi umum atau regional dan relatif lebih sering digunakan.
Sementara itu, midazolam oral (0,25-1 mg/kg) sering digunakan sebagai obat-obatan
premedikasi pediatrik. Demikian juga, sediaan midazolam intranasal (0,2–0,3 mg/kg),
bukal (0,07 mg/kg), dan sublingual (0,1 mg/kg) juga dapat memberikan sedasi pra
operasi yang efektif.9
2.2.4.2 Distribusi
Diazepam relatif larut dalam lemak dan mudah menembus sawar darah otak.
Meskipun midazolam larut dalam air pada pH rendah, cincin imidazolnya dapat
menutup pada pH fisiologis dan meningkatkan kelarutan lipidnya. Sementara itu,
lorazepam memiliki tingkat kelarutan lipid yang relatif lebih rendah dibandingkan
diazepam dan midazolam sehingga dapat menembus sawar darah-otak secara lebih
lambat, dengan waktu tercapainya efek yang lebih lambat. Proses redistribusi cukup
cepat terjadi dan seperti barbiturat benzodiazepine juga dapat menyebabkan terjadinya
kejang. Diazepam, lorazepam, dan midazolam sangat terikat pada protein (90-98%).
Walaupun midazolam dapat digunakan sebagai agen induksi, tidak ada obat golongan
benzodiazepine yang dapat menandingi kualitas onset cepat dan durasi singkat dari
propofol atau etomidate, sehingga propofol dan etomidate lebih sering digunakan pada
tahap induksi.9
2.2.4.3 Biotransformasi
Benzodiazepin mengalami biotransformasi di hati. Metabolit fase I diazepam
aktif secara farmakologis. Diazepam diekstraksi oleh hati secara relatif lebih lambat dan
dengan volume distribusi yang besar (Vd), sehingga waktu paruh eliminasi untuk
diazepam relatif lebih lama (30 jam). Meskipun lorazepam juga memiliki rasio ekstraksi
hati yang rendah, kelarutan lipidnya yang lebih rendah membatasi volume distribusinya,
sehingga waktu paruh eliminasinya lebih pendek (15 jam). Meskipun demikian, durasi
klinis dari lorazepam seringkali cukup lama karena afinitas reseptornya tinggi.
Midazolam memiliki volume distribusi yang mirip dengan diazepam, tetapi waktu paruh
eliminasinya (2 jam) adalah yang terpendek dari kelompok benzodiazepine karena rasio
ekstraksi obat oleh hati yang tinggi.9
2.2.4.4 Ekskresi
Metabolit benzodiazepin diekskresikan terutama pada urin. Diazepam dapat
menghasilkan puncak sekunder (secondary peak) pada plasma karena adanya sirkulasi
enterohepatik dalam durasi 6 sampai 12 jam setelah pemberian.9
1. Sigurdsson, M. I. et al. Association between Preoperative Opioid and
Benzodiazepine Prescription Patterns and Mortality after Noncardiac Surgery.
JAMA Surg. 154, 1–9 (2019).
2. Wright, J. D. et al. Association of New Perioperative Benzodiazepine Use with
Persistent Benzodiazepine Use. JAMA Netw. Open 4, 1–14 (2021).
3. Zhang, Y., Tang, Y., Yang, J., Gong, C. & Li, Z. Perioperative Use of
Benzodiazepines: A Reconsideration of Risks and Benefits. J. Anesth. Perioper.
Med. 5, 34–40 (2018).
4. Lahkar, B. & Dutta, K. Benzodiazepine premedication in general anaesthesia: a
clinical comparative study. Int. J. Clin. Trials 6, 45 (2019).
5. Pyeon, T., Chung, S., Kim, I., Lee, S. & Jeong, S. The effect of triazolam
premedication on anxiety, sedation, and amnesia in general anesthesia. Korean J.
Anesthesiol. 70, 292–298 (2017).
6. van Beek, S. et al. The effect of midazolam as premedication on the quality of
postoperative recovery after laparotomy: a randomized clinical trial. Can. J.
Anesth. 67, 32–41 (2020).
7. Lader, M. Benzodiazepine harm: How can it be reduced? Br. J. Clin. Pharmacol.
77, 295–301 (2014).
8. Prabhakar, A. et al. Adjuvants in clinical regional anesthesia practice: A
comprehensive review. Best Pract. Res. Clin. Anaesthesiol. 33, 415–423 (2019).
9. Butterworth, J. F., Mackey, D. & Wasnick, J. D. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. Syria Studies (McGraw-Hill Education, 2018).
10. Antognini, J. F. & Carstens, E. In vivo characterization of clinical anaesthesia
and its components. Br. J. Anaesth. 89, 156–166 (2009).
11. Sheen, M. J., Chang, F. L. & Ho, S. T. Anesthetic premedication: New horizons
of an old practice. Acta Anaesthesiol. Taiwanica 52, 134–142 (2014).
12. Brick, N. Premedication for Anxiety in Adult Day Surgery Patients. AORN J. 92,
101–102 (2010).
13. Sun, G. C., Hsu, M. C., Chia, Y. Y., Chen, P. Y. & Shaw, F. Z. Effects of age and
gender on intravenous midazolam premedication: A randomized double-blind
study. Br. J. Anaesth. 101, 632–639 (2008).
14. Rosenbaum, A., Kain, Z. N., Larsson, P., Lönnqvist, P. A. & Wolf, A. R. The
place of premedication in pediatric practice. Paediatr. Anaesth. 19, 817–828
(2009).
15. McCann, M. E. & Soriano, S. G. Does general anesthesia affect
neurodevelopment in infants and children? BMJ 367, 1–12 (2019).
16. Dahmani, S. et al. Premedication with clonidine is superior to Benzodiazepines.
A meta analysis of published studies. Acta Anaesthesiol. Scand. 54, 397–402
(2010).
17. Sun, Y., Lu, Y., Huang, Y. & Jiang, H. Is dexmedetomidine superior to
midazolam as a premedication in children? A meta-analysis of randomized
controlled trials. Paediatr. Anaesth. 24, 863–874 (2014).
18. FitzSimons, J., Bonanno, L. S., Pierce, S. & Badeaux, J. Effectiveness of
preoperative intranasal dexmedetomidine, compared with oral midazolam, for the
prevention of emergence delirium in the pediatric patient undergoing general
anesthesia: a systematic review. JBI database Syst. Rev. Implement. reports 15,
1934–1951 (2017).
19. Frölich, M. A., Arabshahi, A., Katholi, C., Prasain, J. & Barnes, S.
Hemodynamic characteristics of midazolam, propofol, and dexmedetomidine in
healthy volunteers. J. Clin. Anesth. 23, 218–223 (2011).