Anda di halaman 1dari 22

Farmakoterapi Terdapat berbagai jenis obat yang digunakan dalam penatalaksanaan insomnia (Tabel 45.

7), termasuk yang dapat diperoleh dengan bebas (over-the-counter drugs; OTC/OTCD) dan obat-obatan yang hanya dapat diperoleh dengan menggunakan resep dokter; meskipun demikian, terdapat beberapa produk yang penggunaannya tidak disetujui oleh the US Food and Drug Administration (FDA) sebagai terapi insomnia. Beberapa agen yang penggunaannya telah disetujui oleh FDA untuk terapi insomnia berupa sekelompok produk golongan agonis reseptor benzodiazepin dan satu produk golongan agonis reseptor melatonin. Meskipun penggunaannya belum disetujui oleh FDA, persepan golongan antidepresan sedatif telah diberikan secara luas untuk terapi insomnia; dimana pada tahun 2002, 3 dari 4 terapi medikamentosa insomnia yang paling sering diresepkan adalah golongan antidepresan sedatif (Walsh, 2004b). Peresepan golongan lain yang diberikan untuk memperoleh efek samping potensial yang dapat menginduksi terjadinya tidur adalah antipsikotik atipik dan antikonvulsan. Berdasarkan beberapa studi berbasis populasi tertentu, hampir terdapat 2 kali lipat jumlah orang yang mengobati sendiri (self-medication) insomnia yang diderita dibandingkan dengan yang menyengajakan memeriksakan diri dan memperoleh resep resmi dari klinisi/dokter (Johnson et al., 1998; Roehrs et al., 2002). Melalui beberapa polling yang diselenggarakan the National Sleep Foundation menemukan bahwa 16-26% populasi usia mengkonsumsi alkohol dan 22-29%-nya pernah menggunakan berbagai agen OTC untuk membantu tidur pada satu waktu tertentu dalam kehidupannya (National Sleep Foundation, 1991, 1995). Umumnya, pasien yang memedikasi dirinya sendiri menggunakan konsumsi alkohol atau agen-agen OTC dalam jangka pendek cenderung mengalami periode terjadinya onset tidur yang lebih pendek dan mengalami insomnia yang lebih ringan dibandingkan dengan individu-individu yang mendapatkan pengobatan atau resep dari klinsi/dokter.

AGONIS

RESEPTOR

BENZODIAZEPIN

(BENZODIAZEPINE

RECEPTOR AGONISTS; BzRAS) Golongan agonis reseptor benzodizepin yang telah dilegalkan penggunaannya oleh FDA diantaranya berupa beberapa golongan benzodiazepin terdahulu (estazolam, flurazepam, quazepam, temazepam, triazolam) dan beberapa golongan non-benzodiazepin yang lebih baru (eszopiclone, zaleplon, zolpidem) (lihat Tabel 45.7). Berbagai golongan obat-obatan tersebut keseluruhannya berikatan dengan kompleks reseptor GABA tipe A. Golongan benzodizepin berikatan dengan seluruh subtipe reseptor GABAA, sedangkan beberapa golongan nonbenzodizepin, terutama zaleplon dan zolpidem, lebih banyak berikatan dengan reseptor GABAA tipe I. Reseptor tipe I diperkirakan memediasi baik efek hipnotik maupun amnestik golongan BzRA, akan tetapi golongan obat yang beraksi secara selektif pada reseptor ini bersifat kurang efektif sebagai agen pelumpuh otot (muscle relaxants) atau sebagai ansiolitik. Seluruh golongan BzRA berpotensi dalam menghasilkan efek amnesia. Benzodiazepin Seluruh anggota golongan benzodizepin hipnotik, kecuali triazolam, umumnya memiliki waktu paruh yang panjang. Berbagai agen tersebut (estazolam, flurazepam, quazepam, dan temazepam), keseluruhannya dapat mereduksi latensi terhadap onset tidur dan cenderung meningkatkan kemampuan dalam

mempertahankan kontinuitas tidur, yang diindikasikan dengan terjadinya penurunan total waktu terbangun paska onset tidur, reduksi frekuensi terbangun, dan peningkatan waktu tidur totdal per malamnya (Aden and Thatcher, 1983; Hernandez Lara et al., 1983; Melo de Paula, 1984; Roehrs et al., 1986; Scharf et al., 1990; Cohn et al., 1991; Holbrook et al., 2000b). Triazolam juga mempermudah terjadinya onset tidur, akan tetapi karena waktu paruh singkat yang dimilikinya, seringkali kurang efektif untuk digunakan sebagai agen yang memperkuat sleep maintenance (Ngen dan Hassan, 1990; Kales et al., 1991). Benzodiazepin mengurangi jumlah waktu tidur stadium 1 dan memperlama

jumlah waktu tidur stadium 1, meskipun aktivitasnya memiliki kecenderungan mensupresi slow-wave sleep yang terjadi, dan mungkin juga turut mensupresi tidur REM. Efek yang merugikan yang ditimbulkan oleh penggunaan golongan benzodizepin hipnotik berupa sedasi saat siang hari, gangguan kognitif dan psikomotor, dan gangguan memorik ( Ngen and Hassan, 1990; Holbrook et al., 2000b); berbagai efek serupa juga lebih sering dijumpai terjadi pada dosis pemakaian yang lebih besar dan penggunaan agen yang memiliki durasi kerja lebih panjang. Penghentian penggunaannya yang tiba-tiba dapat dihubungkan dengan terjadinya rebound insomnia (Kales et al., 1991; Mauri et al., 1993). Sebagaimana yang telah disampaikan diatas, penggunaan golongan benzodizepin hipnotik diindikasikan untuk terapi insomnia jangka pendek. Tidak terdapat satupun golongan benzodizepin hipnotik diatas yang penggunaannya telah diteliti melalui RCT selama lebih dari 12 minggu, sehingga data terkait efikasi jangka panjang penggunaannya masih belum dapat ditemtuka (Allen et al., 1987). Golongan non-benzodizepin Golongan BzRA non-benzodiazepin yang memiliki waktu paruh pendek (zaleplon dan zolpidem), penggunaannya diindikasikan untuk memicu terjadinya onset tidur, sedangkan yang memiliki waktu paruh yang lebih lama (eszopiclone) atau yang memiliki formulasi lepas terkontrol (controlled-release formulations), seperti zolpidem MR dapat bekerja mereduksi latensi tidur dan memperbaiki sleep maintenance. Zaleplon, yang memiliki waktu paruh paling pendek berkisar 1 jam, dapat diberikan pada pasien dimana setidaknya pasienmasih memiliki waktu tidur selama 4 jam di tempat tidur; penggunaannya pada kelompok kontrol normal tidak mengakibatkan terjadinya gangguan kemampuan dalam mengemudi pada hari berikutnya, juga tidak menimbulkan gangguan memorik, atau fungsi psikomotorik ketika diuji paska konsumsi 10-20 mg zaleplon (Verster et al., 2002). Meskipun pemberian zaleplon sebanyak 5-10 mg secara primer dapat menimbulkan terjadinya onset tidur, penggunaan zaleplon dalam dosis 20 mg

dapat meningkatkan waktu tidur total subyektif pasien (Elie et al., 1999; Fry et al., 2000). Sekarang ini, zolpidem menjadi agen obat tidur yang paling umum diresepkan. Penggunaan zolpidem efektif memicu terjadinya onset tidur, dan juga meningkatkan waktu tidur total apabila diberikan dalam dosis 10 mg atau lebih, baik secara subyektif maupun pengukuran obyektif laboratorik (Scharf et al., 1994). Peningkatan efisiensi tidur dan/atau waktu tidur total diperkirakan disebabkan oleh terjadinya reduksi latensi tidur, sedangkan efek yang terjadi pada waktu bangun paska onset tidur belum diteliti hingga sekarang ini. Sebuah studi kontrol plasebo yang diselenggarakan selama 12 minggu menunjukkan bahwa penggunaan zolpidem intermiten (3-5 kali per minggu) diasosiasikan dengan timbulnya manfaat yang berlanjut selama malam pemakaian obat tersebut dan tidak dijumpai terjadinya rebound insomnia pada malam-malam ketika zolpidem tersebut tidak dikonsumsi (Perlis et al., 2004). Penggunaan zolpidem juga bersifat efektif pada individu-individu yang menderita depresi dan diterapi dengan menggunakan agen SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors), dimana pada individu-individu tersebut dijumpai terjadinya peningkatan waktu tidur total subyektif, dan peningkatan kualitas tidur dan fungsi harian saat siang hari (Asnis et al., 1999). Penggunaan zolidem 10 mg yang diberikan saat malam hari tidak menimbulkan efek yang secara klinis signifikan terhadap kemampuan mengemudi atau psikomotorik di hari berikutnya, setidaknya pada 4-6 jam setelah pemakaian, baik pada individu-individu normal maupun pasien-pasien insomnia (Verster et al., 2002; Staner et al., 2005), meskipun penggunaannya dalam dosis yang lebih tinggi dapat menimbulkan terjadinya gangguan yang signifikan (Verster et al., 2002). Sediaan zolpidem lepas lambat (delayed-release zolpidem MR) menghasilkan durasi kerja yang lebih panjang dengan waktu paruf yang tetap sama pendek; sediaan tablet 2 lapis (dual-layer tablet) terdiri dari sebuah selubung (shell) yang berisikan 7,5 mg zolpidem rilis cepat (immediate release) dan inti yang berisi 5 mg zolpidem rilis lambat, dimana sediaan tersebut memiliki berat tota 12,5 mg zolpidem. Dalam separuh dosis/tablet yang diberikan (6,25 mg)

akan berisikan 3,75 mg zolpidem rilis cepat dan 2,5 mg zolpidem lepas lambat. Dalam sebuah studi multisentrik yang dilakukan didapatkan efikasi klinis atas penggunaan zolpidem MR sebanyak 12,5 mg yang diberikan selama 6 bulan dan dikonsumsi selama 3-7 malam per minggu yang tanpa disertai dengan terjadinya rebound insomnia yang signifikan paska dihentikan penggunaannya (Krystal et al., 2008). Pasie-pasien yang menggunakan agen tersebut melaporkan terjadinya latensi onset tidur yang lebih singkat, mengalami perbaikan dalam kemampuan mempertahankan tidur, dan merasakan perasaan serta fungsi harian yang baik, yang diindikasikan dengan diperolehnya berbagai laporan subyektif berupa peningkatan konsentrasi dan penurunan rasa kantuk saat pagi hari. Eszopiclone merupakan agen hipnotik pertama yang diindikasikan penggunaannya untuk terapi insomnia dan tidak disertai dengan restriksi durasi pemakaiannya. Agen tersebut memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan dengan golongan non-benzodizepin lainnya. Dalam sebuah RCT yang dilakukan selama 6 bulan, penggunaannya menunjukkan efikasi yang tetap tinggi (persisten) dalam mereduksi latensi terhadap onset tidur (Krystal et al., 2003). Dalam sebuah RCT lain, penggunaan eszopiclone tidak hanya mereduksi insomnia yang terjadi, tetapi juga dapat meningkatkan ukuran kualitas hidup dan mereduksi keterbatasan terkait pekerjaan (Walsh et al., 2007). Agen tersebut juga merupakan agen pertama yang dari data penelitiannya menunjukkan terjadinya peningkatan fungsi harian dan/atau penurunan komorbiditas yang disebabkan oleh berbagai gangguan lain. Pasien-pasien lansia yang menderita insomnia dan menerima eszopiclone 2 mg melaporkan terjadinya penurunan waktu tidur siang (Scharf et al., 2005), dan pada pasien-pasien depresi yang menerima terapi kombinasi fuoxetine dengan eszopiclone melaporkan terjadinya tidur yang lebih baik dan tingginya respons dan remisi dalam 8 minggu berikutnya dibandingkan dengan pasien-pasien depresi yang hanya diberikan terapi fluozetine dan plasebo saja (Fava et al., 2006). Efikasi golongan BzRA

Terdapat beberapa meta-analisis yang dilakukan guna menilai efikasi golongan BzRA hipnotik dengan pembanding berupa plasebo dalam penatalaksanaan insomnia. Dalam sebuah review yang disarikan dari berbagai studi yang dilakukan pada kelompok dewasa yang berusia < 65 tahun, didapatkan bahwa penggunaan benzodiazepin dan zolpidem menghasilkan perbaikan subyektif yang signifikan terkait latensi tidur, waktu total tidur, frekuensi terbangun, dan kualitas tidur, dengan ukuran/kekuatan efek (effect size) yang moderat berada pada rentang 0,560,71 (Nowell et al., 1997). Dalam sebuah studi meta-analisis yang dilakukan pada pasien-pasien usia dewasa dan lansia menunjukkan bahwa penggunaan benzodiazepin menyebabkan terjadinya perbaikan yang signifikan, pada beberapa parameter tidur subyetif dan obyektif; secara obyektif, latensi tidur berkurang hingga 4,2 menit dan secara subyektif berkurang hingga 14,3 menit, dan secara obyektif, waktu tidur total bertambah hingga 61,8 menit dan secara subyektif, bertambah sebesar 48,4 menit (Holbrook et al., 2000a, b). Dalam sebuah analisis lain mengenai efek obat bagi pasien-pasien insomnia lansia menunjukkan terjadinya peningkatan kualitas tidur yang signifikan (effect size 0,14), peningkatan waktu tidur total (25,2 menit), dan reduksi frekuensi terbangun selama tidur (effect size 0,63) pada penggunaan agen sedatif dibandingkan dengan penggunaan plasebo (Glass et al., 2005). Dalam sebuah studi perbandingan yang membandingkan antara penggunaan agen benzodiazepin hipnotik dengan golongan non-benzodiazepin menyimpulkan bahwa penggunaan zolpidem lebih memberikan manfaat dibandingkan dengan penggunaan temazepam dalam mereduksi latensi tidur dan meningkatkan kualitas tidur, dan dibandingkan dengan penggunaan zalepion dalam memperpanjang durasi tidur dan meningkatkan kualitas tidur. Akan tetapi, penggunaan zaleplon lebih jarang dalam menyebabkan timbulnya rebound insomnia dibandingkan dengan penggunaan zolpidem. (Dundar et al., 2004). Berbagai efek samping penggunaan BzRA Terdapat sejumlah efek samping yang merugikan yang diasosiasikan dengan penggunaan obat-obatan golongan BzRA. Efek sedatif/hangover saat siang hari,

dan gangguan kognitif dan kemampuan psikomotorik dapat ditemui terjadi saat tercapai konsentrasi puncak dalam serum darah, dan dapat berlangsung hingga hari berikutnya ketika digunakan agen-agen yang memiliki durasi kerja yang lebih lama (Verster et al., 2004). Amnesia anterograd, atau hilangnya memori yang terjadi paska konsumsi agen hipnotik, lebih umum dijumpai terjadi pada konsumsi dalam dosis yang lebih tinggi dan jenis obat yang dapat terakumulasi dengan cepat dalam darah, seperti: triazolam dan golongan non-benzodiazepin, atau kombinasi BzRA dengan alkohol. Selain itu, dapat juga dijumpai erjadinya confusional arousals atau episode-episode sleepwalking. BzRA seharusnya diminum segera ketika memasuki jam tidur guna meminimalkan risiko terjadinya amnesia atau parasomnia, dan dihentikan pemakaiannya pada pasien-pasien yang melaporkan terjadinya berbagai fenomena yang disebutkan diatas. Berbagai terapi medikamentosa yang ditujukan untuk mempermudah dan mempertahankan tidur, temasuk golongan BzRA, juga golongan antidepresan dan antikonvulsan dapat meningkatkan risiko terjadinya jatuh saat malam hari pada pasien-pasien lansia (Mendelson, 1992; Wang et al., 2001; Kelly et al., 2003). Walaupun demikian, sebenarnya insomnia sendiri juga menjadi dalah satu faktor independen atas terjadinya kejadian jatuh pada lansia (Brassington et al., 2000), dan dalam sebuah studi yang dilakukan menunjukkan bahwa insomnia sendiri, bukannya penggunaan agen hipnotik, diasosiasikan dengan terjadinya risiko jatuh yang lebih besar (Avidan et al., 2005). Beberapa efek samping lain yang diasosiasikan dengan konsumsi agen BzRA meliputi terjadinya toleransi, rebound insomnia, penyalahgunaan dan penghentian konsumsi agen tersebut. Rebound insomnia yang terjadi umumnya terjadi hanya selama 1-2 hari, dan bahkan tidak selalu dijumpai pada setiap studi yang dilakukan. Terdapatnya dilema terkait toleransi yang terjadi akibat konsumsi obat tersebut, memaksa para klinisi dan pasien untuk membatasi konsumsi penggunaan agen-agen ini, meskipun demikian, dalam beberapa studi yang dilakukan terhadap penggunaan

eszopiclone, zolpidem, dan zaleplon dalam jangka waktu yang lebih panjang, nyatanya tidak menunjukkan terjadinya toleransi yang sangat parah (Asnis et al.,

1999; Walsh et al., 2000, 2007; Perlis et al., 2004). Penyalahgunaan dan dependensi terhadap BzRA dapat terjadi pada individu-individu yang memiliki riwayat penyalahgunaan obat-obatan, dan pada pasien-pasien yang pemberian BzRA seharusnya untuk

dihindarkan

memiliki

kecenderungan

menyalahgunakan konsumsi obat. Terkadang, risiko tersebut terlalu dibesarbesarkan pada pasien-pasien yang tidak pernah memiliki riwayat ketergantungan sebelumnya; dimana, pasien-pasien yang menderita insomnia hanya berlaku mencari pengobatan, bukannya mencari kesenangan yang ditimbulkan oleh konsumsi obat (Mendelson et al., 2004). Dalam sebuah studi yang ditujukan untuk menilai risiko dan manfaat penggunaan BzRA dalam terapi insomnia, disimpulkan bahwa meskipun penggunaan berbagai agen tersebut terbukti dapat memperbaiki tidur, tetapi agenagen tersebut juga dapat menimbulkan berbagai efek samping yang lebih intens dibandingkan dengan plasebo (Holbrook et al., 2000a, b). Berbagai efek samping yang merugikan tersebut, diantaranya adalah peningkatan terjadinya rasa kantuk saat siang hari (odds ratio 2,4) dan pusing (dizziness atau lightheadedness (odds ratio 2.6). Dalam sebuha studi mengenai penggunaan BzRA pada pasien-pasien lansia dengan insomnia ditemukan berbagai risiko yang signifikan yang ditimbulkan baik oleh penggunaan golongan benzodizepin maupun nonbenzodizepin, diantaranya berupa gangguan kognitif (4,78 kali lebih umum terjadi), gangguan psikomotorik (2,61 kali lebih umum terjadi), dan timbulnya kelelahan saat siang hari (3,82 kali lebih umum terjadi) (Glass et al., 2005). Para periset menyimpulkan bahwa risiko-risaiko yang ditimbulkan oleh penggunaan BzRA pada pasien-pasien lansia nampaknya tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Indikasi dan pembatasan Golongan benzodizepin, berupa zolpidem dan zaleplon diindikasikan sebagai terapi jangka pendek insomnia, sedangkan eszopiclone dan zolpidem MR diindikasikan sebagai terapi jangka panjang insomnia, yang tidak memiliki

batas durasi penggunaan. Golongan BzRA ini tidak boleh digunakan pada wanitawanita hamil (kategori C) dan pasien-pasien yang memiliki riwayat

penyalahgunaan substansi tertentu. Penggunaannya harus selalu dimonitor apabila diberikan pada individu-individu yang menderita penyakit paru atau hati dan pada pasien-pasien lansia; direkomendasikan untuk dilakukan reduksi dosis pada populasi pasien tersebut. Sejauh ini, belum terdapat satupun agen hipnotik yang penggunaannya diizinkan untuk anak dibawah usia 18 tahun. MELATONIN DAN AGONIS RESEPTOR MELATONIN Melatonin merupakan sebuah hormon yang diproduksi kelenjar pineal, yang tersedia dalam sediaan OTC dan telah digunakan secara luas untuk terapi insomnia dan berbagai problem terkait tdiur. Sekarang ini, ramelteon menjadi satu-satunya sediaan agonis reseptor melatonin yang dapat digunakan untuk terapi insomnia dan dapat diperoleh dengan menggunakan resep dokter. Agen ini diperkirakan bekerja melalui efek yang ditimbulkanya pada reseptor-reseptor melatonin pada nukleus suprakiasmatik pada otak, meskipun mekanisme eksak dari kerja melatoni tersebut belum diketahui sepenuhnya. Melatonin Sediaan OTC melatonin merupakan bentuk sediaan yang cepat diserap dan memiliki waktu paruh yang singkat (hingga 1 jam). Sediaan OTC melatonin ini tidak diregulasi oleh FDA. Efek hipnotik melatonin lebih kecil dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh golongan BzRA; sebuah meta-analisis terkini menunjukkan terjadinya rerata penurunan latensi tidur sebanyak 4 menit (Brzezinski, 1997). Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian melatonin dosis rendah (300-500 mg) efektif dalam menyebabkan terjadinya pergeseran fase (phase shifts) pada individu-individu normal dan membentuk ritme sirkadian pada pasien-pasien tunanetra (Lewy et al., 1992, 2005; Sack et al., 2000). Melatonin juga tidak menyebabkan terjadinya efek samping yang kentara, hanya terbatas pada terjadinya sedasi saja. Ramelteon

Sekarang ini, ramelteon menjadi satu-satunya agen hipnotik non-BzRA yang diizinkan penggunaannya oleh FDA, merupakan agonis reseptor melatonin tipe 1 dan 2 dan secara struktural tidak berhubungan dengan melatonin; ramelteon tidak memiliki afinitas terhadap kompleks reseptor GABA atau reseptor-reseptor lain yang diperkirakan berkontribusi dalam mekanisme tidur atau bangun/terjaga. Ramelteon memiliki waktu paruh yang relatif singkat (2,6 jam) dan metabolit nya juga bekerja sebagai agonis reseptor melatonin tipe 1 (MT1)/MT2. Efek ramelteon terkait tidur yang paling kentara berupa reduksi latensi terhadap onset tidur, dan juga pemberiannya diindikasikan bagi penatalaksanaan insomnia yang ditandai dengan terjadinya kesulitan dalam memulai tidur (onset tidur) Selain itu juga dilaporkan bahwa agen ini dapat meningkatkan waktu tidur total dalam beberapa studi (Erman et al., 2006), meskipun aktivitasnya sendiri tidak menurunkan wakefulness paska onset tidur. Efek samping utama yang ditimbulkan oleh ramelteon berupa somnolen, pusing, dan kelelahan. Perbedaan yang mencolok pada ramelteon dibandingkan dengan BzRA adalah tidak terdapat bukti yang menyokong terjadinya toleransi, withdrawal, rebound insomnia, gangguan kognitif atau psikomotorik, atau sedasi pada saat siang hari(Buysse et al., 2005). Sejauh ini belum terdapat data terkait efikasi ramelteon dalam mentalaksana gangguan ritme sirkadian. Ramelteon mungkin tidak seefektif BzRA dalam menatalaksana insomnia, tetapi beberapa faktor lain yang dimiliki oleh ramelteon menjadikan ramelteon sebagai alternatif subtitusi bagi pasien-pasien tertentu, yakni: toksisitas yang rendah dan batas keamanan yang lebar; efek samping yang minimal; dan dapat diberikan bagi pasien-pasien yang memiliki riwayat penyalahgunaan substansi tertentu dan yang menderita berbagai kondisi medis tertentu, termasuk penderita penyakit paru derajat ringan hingga sedang. Dalam penggunaannya, ramelteon tidak boleh dikombinasikan dengan fluvoxamine atau agen-agen lain yang merupakan inhibitor poten sitokrom P450 1A2, karena kombinasi tersebut dapat meningkatkan konsentrasi ramelteon yang sangat tinggi dalam darah. Ramelteon juga tidak direkomendasikan untuk diresepkan pada wanita-wanita hamil.

PERHATIAN TERKAIT PENGGUNAAN AGEN_AGEN HIPNOTIK Pada tahun 2007, FDA melakukan penggantian label untuk berbagai agen hipnotik, termasuk golongan benzodizepin, BzRA, dan ramelteon, berdasarkan berbagai efek samping yang sebenarnya jarang terjadi, tetapi bersifat poten dan berbahaya yang dilaporkan dialami paska konsumsi agen-agen hipnotik tertentu (US Food and Drug Administration, 2007). Diantaranya berupa reaksi alergi berat dan berbagai gangguan terkait tidur (complex sleep-related behaviors), seperti sleep-driving, sleepeating,dan sleep-sex, dimana individu-individu tersebut

melakukan berbagai aktivitas tersebut tanpa menyadarinya. Reaksi-reaksi tersebut cenderung terjadi akibat penggunaan hipnotik yang dikombinasikan dengan berbagai agen sedatif lain, termasuk alkohol, atau dikonsumsi dalam dosis yang besar, melebihi dosis yang dianjurkan. ANTIDEPRESAN SEDATIF Meskipun hanya terdapat informasi/data yang minimal dan tidak adanya indikasi dari FDA untuk penatalaksanaan insomnia, beberapa agen antidepresan sedatif, seperti antidepresan trisiklik, trazodone dan mirtazapine, merupakan agen yang paling umum digunakan untuk menatalaksana insomnia kronis. Antidepresan trisiklik (tricyclic antidepressants , TCAs) Amitriptyline dan doxepin adalah contoh beberapa TCA yangdigunakan dalam terapi insomnia (Walsh, 2004a). Efek terapeutik yang berkaitan dengan depresi yang dimilikinya dihubungkan dengan terjadinya inhibisi reuptake serotonin dan norepinefrin, sedangkan efek terkait tidur yang dimiliki oleh berbagai agen tersebut diperkirakan dimediasi oleh efek antagonistik terhadap reseptor-seseptor histamin tipe I (H1), serotonin tipe 2 (5HT2), dan sebuah reseptor adrenergik tipe I. Kebanyakan agen TCA memiliki waktu paruh yang panjang, sehingga sering menyebabkan terjadinya sedasi saat siang hari dan berbagai efek sampinh. Umumnya, ketika digunakan untuk memperbaiki tidur, agen-agen ini diberikan dalam dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan dosis yang digunakan untuk menatalaksana depresi.

Berbagai efek TCA terhadap tidur telah diteliti pada berbagai pasien depresi mayor, dimana penggunaannya pada pasien-pasien tersebut dapat mereduksi latensi terhadap onset tidur dan meningkatkan efisiensi tidur (Roth et al., 1982; Shipley et al., 1985). Beberapa studi PSG yang silakukan pada pasienpasien dewasa dan lansia yang menderita insomnia primer menunjukkan bahwa penggunaan dosis rendah doxepin (1, 3, or 6 mg) dapat meningkatkan kualitas tidur baik secara subyektif amupun obyektif dan durasi tidur dibandingkan dengan penggunaan plasebo saja, yang juga tidak dijumpai terjadinya berbagai efek samping, seperti: efek antikolinergik, hangover, atau gangguan memori (Roth et al., 2007; Scharf et al., 2008). Penggunaan TCA dalam dosis yang lebih besar menimbulkan efek yang sangat besar terhadap arsitektur tidur, terutama berupa supresi tidur REM (Obermeyer and Benca, 1996;Mayers and Baldwin, 2005). REM sleep rebound dan beberapa bentuk gangguan tidur lain dapat terjadi akibat penghentian tiba-tiba konsumsi TCA. TCA juga dapat meninbulkan terjadinya berbagai efek samping terkait tidur, seperti: eksaserbasi dari restless legs syndrome atau periodic limb movements, atau precipitation of REM behavior disorder (Wilson and Argyropoulos, 2005). Selain itu, penggunaan yang tidak dikontrol dapat menginduksi terjadinya hipomania atau mania pada pasien-pasien yang memiliki riwayat gangguan bipolar (bipolar disorder), yang umumnya diasosiasikan dengan terjadinya insomnia berat. Semua golongan antidepresan trisiklik dapat menimbulkan efek

antikolinergik yang signifikan, yang dapat menyebabkan terjadinya berbagai efek sampin seperti mulut kering, konstipasi, retensi urin, dan berkeringat, dimana amitriptilin merupakan agen TCA yang paling kuat dalam menimbulkan berbagai efek samping tersebut. Berbagai agen TCA juga memiliki efek yang serupa dengan efek yang ditimbulkan oleh quinidine pada konduksi kardiak/jantung, yang dapat menimbulkan terjadinya pemanjangan interval QT; kardiotoksisitas merupakan pertimbangan utama yang harus selalu diperhatikan dimana obatobatan ini memiliki fatalitas yang poten yang diakibatkan oleh overdosis

Meskipun hanya terdapat sejumlah kecil studi yang mendokumentasikan berbagai efeknya terhadap tidur, trazodone merupakan salah satu jenis agen

antidepresan sedatif yang paling sering diresepkan guna menerapi insomnia, yang diberikan dalam dosis hingga 100 mg saat memasuki waktu tidur. Popularitas penggunaan trazodone disebabkan oleh harga yang terjangkau, potensi penyalahgunaan yang rendah, dan tidak ketatnya restriksi dalam penggunaan jangka panjang Efek terkait tidur yang dimilikinya diperkirakan berasal dari efek antihistaminergik pada reseptor H1, antagonisme pada reseptor a-1, dan antagonisme pada reseptor 5HT2. Dalam beberapa studi yang dilakukan pada pasien-pasien depresi. Pemberian trazodone dapat mereduksi latensi tidur, dan peningkatan efisiensi tidur dan jumlah waktu tidur total (Mendelson, 2005). Dalam sebuah studi yang dilakukan pada pasien-pasien yang menderita insomnia primer dilakukan perbandingan antara trazodone 50 mg dengan zolpidem 10 mg selama periode 2 minggu (Walsh et al., 1998). Dalam minggu pertama, baik penggunaan trazodone maupun zolpidem menimbulkan terjadinya reduksi latensi tidur, meningkatkan jumlah waktu todur total dan kualitas tidur, dan menurunkan frekuensi terbangun/wakefulness paska onset tidur, meskipun zolpidem

menimbulkan reduksi latensi tidur yang lebih besar dibandingkan trazodone. Selama minggu kedua, penggunaan trazodone tidak memberikan hasil yang berbeda dari pemberian plasebo, sedangkan penggunaan zolpidem masih menimbulkan terjadinya latensi tidur yang secara signifikan lebih singkat dan memberikan waktu tidur total yang lebih panjang. Tidak terdapat data yang menunjukkan bahwa penggunaan trazodone dapat menyebabkan terjadinya toleransi atau rebound insomnia. Trazodone diasosiasikan dengan sejumlah efek samping yang sering terjadi, diantaranya berupa sedasi/rasa kantuk saat siang hari, mulut kering, gangguan gastrointestinal, pandangan kabur, dan nyeri kepala; dimana berbagai efek samping tersebut menyebabkan terjadinya frekuensi diskontinuasi

(penghentian) konsumsi trazodone atau drop out dari trial klinis yang dilakukan (Mendelson, 2005). Meskipun lebih jarang terjadi, efek kardiovaskuler yang

signifikan, seperti hipotensi ortostatik, pemanjangan interval QT, dan aritmia kardiak dapat saja terjadi. Priapisme, meskipun sangat jarang terjadi, merupakan salah satu kasus emergensi dan dapat terjadi meskipun pada penggunaan dosis rendah trazodene. Salah satu metabolit trazodone, berupa meta-

chlorophenylpeperazine (m-CPP), memiliki efek serotonergik yang diperkirakan berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya sindroma serotonin (seperti: kebingungan/konfusi, delirium, hiperrefleks, dan instabilitas otonom) ketika trazodone digunakan dengan kombinasi bersama agen-agen serotonergik lainnya. Berbagai efek samping yang potensial tersebut menjadi pertimbangan ulang atas penggunaan trazodone pada pasien-pasien lansia atau yang mengalami permasalahan medis tertentu. Mirtazapine digunakan dalam dosis rendah (7,515 mg) sebagai induktor tidur dan diperkirakan dapat berpengaruh pada tidur melalui antagonisme terhadap reseptor-reseptor H1, 5HT2, dan adrenergik a1. Dipercaya bahwa mirtazapine dosis rendah lebih bersifat sedatid dibandingkan dengan dosie mirtazapine yang lebih tinggi. Efek samping yang sering terjadi akibat penggunaan mirtazapine berupa rasa kantuk dan sedasi saat siang hari, mulut kering, peningkatan nafsu makan dan berat badan. Toksisitas mirtazapine yang rendah merupakan fitur unggul yang dimiliki mirtazapine dibandingkan dengan agen-agen antidepresan sedatif lainnya. ANTIPSIKOTIK ATIPIKAL Antipsikotik atipikal, terutama quetiapine dan olanzapine,juga digunakan seiring dengan terjadinya peningkatan frekuensi insomnia. Seperti halnya dengan golongan antipsikotik terdahulu, berbagai agen antipsikotik ini beraksi melalui blokade reseptor-reseptor dopamin tipe 2 (D2), selain itu, mereka juga beraksi melalui mekanisme antagonis pada reseptor-reseptor 5HT2A dan 5HT2C, efek antihistaminergik, dan antagonime terhadap reseptor adrenergik a-1. Meskipun agen-agen tersebut berperan dalam menatalaksana insomnia komorbid pada pasien-pasien dengan indikasi primer penggunaannya (seperti; psikosis, gangguan

bipolar, penatalaksanaan depresi refrakter), penggunaannya sebagai terapi insomnia primer sebaiknya dihindari, karena dapat menimbulkan berbagai efek samping. Dalam sebuah studi mengenai efek pemberian quetiapine 25 atau 100 mg pada sukarelawan laki-laki (Cohrs et al., 2004)menghasilkan terjadinya latensi tidur yang lebih singkat, peningkatan jumlah waktu tidur total, efisiensi tidur, dan kualitas tidur subyektif. Dosis quetiapine 100 mg dapat menyebabkan peningkatan frekuensi terjadinya periodic leg movements yang signifikan. Pemberian olanzapine dalam 1 malam pada sukarelawan laki-laki juga menghasilkan efek yang serupa terhadap quetapine dengan perbandingan berupa plasebo (Sharpley et al., 2000). Dalam sebuah open-label study yang dilakukan pada pasien-pasien depresi, penambahan olanzapine terhadap terapi SSRI yang diberikan dapat mengakibatkan peningkatan efisiensi tidur slow-wave sleep (Sharpley et al., 2005). Disamping minimnya data mengenai efikasi agen antipsikotik atipikal untuk terapi insomnia, terdapat berbagai efek samping poten yang diasosiasikan dengan penggunaan agen-agen tersebut. Sebagaimana yang terjadi dengan penggunaan agen antipsikotik terdahulu, efek ekstrapiramidal dapat saja terjasi. Selain itu, dapat dimungkinkan terjadinya risiko pertambahan berat badan, intoleransi glukosa, dislipidemia, sedasi saat siang hari, dan gangguan kognitif. Penggunaan agen-agen tersebut juga tidak terlepas dengan adanya black box warning berupa risiko peningkatan terjadinya kematian mendadak (sudden death) pada pasien-pasien lansia yang menderita demensia. ANTIKONVULSAN Beberapa agen antikonvulsan yang beraksi pada sistem GABA melalui intensifisasi efek GABA pada otak digunakan dalam terapi insomnia. Sekarang ini, terdapat sejumlah data yang menyokong penggunaannya dalam terapi insomnia, meskipun penggunaannya tersebut masih menyebabkan terjadinya efek sedasi dan/atau pemicu tidur. Keuntungan dari pemakaian agen antikonvulsan berupa toksisitas yang rendah dan tergolong dalam substansi yang tidak dikontrol.

Gabapentin diperkirakan dapat meningkatkan konsentrasi sinapti GABA, meskipun mekanisme yang melatarbelakanginya belum diketahui sepenuhnya (Czapinski et al., 2005). Sejauh ini belum terdapat studi sistematis yang mempelajari efikasi gabapentin sebagai terapi insomnia, tetapi dilaporkan bahwa penggunaannya dapat meningkatkan slow-wave sleep pada pasien-pasien yang menderita epilepsi (Legros and Bazil, 2003), memperbaiki insomnia ratings dalam sebuah open-label study terhadap pasien-pasien insomnia yang alkoholik (Karam-Hage dan Brower, 2003), dan meningkatkan periode slow-wave sleep pada individu dewasa normal (Foldvary-Schaefer et al., 2002). Gabapentin umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki toksisitas yang rendah, meskipun penggunaannya dapat menyebabkan terjadinya sedasi saat siang hari, pusing, dan lekopenia. Tiagabine menginhibisi reuptake GABA melalui inhibisi transporter GABA. Agen ini merupakan salah satu dari beberapa jenis antikonvulsan yang penggunaannya diteliti melalui berbagai studi terkontrol pada pasien-pasien insomnia. Dalam sebuah studi yang dilakukan pada lansia yang menderita insomnia, pemberian dosis 4-8 mg secara signifikan dapat meningkatkan slowwave sleep, dan dosis 6-8 mg dapat menurunkan frekuensi terbangun (Roth et al., 2006). Pada dosis 8 mg, subyek melaporkan terjadinya penurunan subyektif terkait waktu tidur total, tidur yang tidak menyegarkan, fungsi harian yang buruk, dan berbagai efek samping lainnya, Efek serupa juga ditemukan terjadi dalam sebuah studi mengenai penggunaan tiagabine pada individu-individu lansia yang sehat (Walsh et al., 2005). Pemberian dosis yanglebih tinggi diasosiasikan dengan terjadinya efek samping yang lebih beragam. Sehingga, meskipun bersifat potensial dalam menerapi insomnia, efek samping yang dimiliki oleh tiagabine membatasi penggunaannya untuk terapi insomnia. Pregabaline, hampir serupa dengan gabapentin merupakan substansi yang didesain sebagai analog GABA dan mekanisme aksinya sendiri belum jelas. Dalam sebuah perbandingan dengan alprazolam yang dilakukan pada individuindividuu dewasa yang sehat menunjukkan bahwa kedua agen tersebut dapat

mereduksi latensi tidur dan menurunkan jumlah tidur REM (Hindmarch et al., 2005); meskipun demikian, pregabalin secara signifikan dapat menyebabkan peningkatan slow-wave sleep yang signifikan, sedangkan alprazolam cenderung mereduksinya. Efek samping yang paling umum yang disebabkan oleh pemakaian preganaline berupa pusing dan somnolensi. ANTIHISTAMIN Antihistamin merupakan komposisi aktif yang paling sering ditemukan pada berbagai jenis medikasi OTC dan beraksi melalui mekanisme antagonis terhadap reseptor-reseptor H1. Diphenhydramine dan doxylamine biasanya ditemukan secara virtual dalam semua jenis obat tidur (sleeping medications), akan tetapi perlu diperhatikan bahwa doxepin, merupakan antihistamin yang lebih poten dibandingkan dengan berbagai jenis antihistamin dalam berbagai OTC. Antagonis H1 dapat menyebabkan terjadinya sedasi pada sebagian besar individu, terutama apabila diberikan dalam dosis yang lebih besar dan/atau pada anak-anak dan lansia. Meskipun telah digunakan dengan luas, tidak terdapat data yang menunjukkan efeknya terhadap tidur, dan tidak terdapat satupun studi yang menunjukkan kontibusinya dalam insomnia. Dalam sebuah studi yang dilakukan pada pasien-pasien rawat jalan yang menderita insomnia ringan hingga berat dalam tatanan praktik dokter keluarga dilaporkan tercapainya tidur yang lebih nyenyak dan latensi tidur yang lebih singkat melalui penggunaan

diphenhydramine 50 mg dibandingkan dengan plasebo (Rickels et al., 1983). Dalam sebuah penilaian terhadap aktivitas motorik dan parameter tidur subyektif menunjukkan terdapatnya efek yang minimal atau tidak terdapat efek pada parameter tidur, dan kecenderungan terjadinya peningkatan aktivitas motorik (Borbely dan Youmbi-Balderer, 1988). Akhirnya, dalam sebuah studi yang dilakukan pada individu-individu laki-laki yang sehat menunjukkan bahwa pemberian diphenhydramine menyebabkan terjadinya toleransi yang cepat terhadap efek sedatif yang ditimbulkannya (Richardson et al., 2002), hal tersebut menandakan bahwa diphenhydramine tidak cocok untuk digunakan sebagai terapi jangka panjang. Penggunaan antihistamin dapat menyebabkan beberapa efek

samping, seperti sedasi saat siang hari, gangguan kognitif, peningkatan risiko terjadinya kecelakaanm pusing, tinnitus, gejala gastrointestinal, penambahan berat badan, dan peningkatan tekanan intaokuler pada penderita glaukoma sudut sempit (Casale et al., 2003). Status farmakoterapi untuk insomnia The National Institutes of Health State of the Science Conference on Manifestations and Management of Chronic Insomnia in Adults diadakan pada tahun 2005 (http://consensus.nih.gov/2005/2005InsomniaSOS026html.htm).

Dalam review tersebut dibahas berbagai terapi insomnia yang tersedia dan menghasilkan beberapa simpulan terkait farmakoterapi insomnia. BzRA. Agen-agen BzRA, termasuk golongan benzodiazepin dan nonbenzodiazepin, berperan efektif sebagai terapi jangka pendek insomnia, dimana penggunaan jangka panjangnya belum dipelajari dalam sebuah RCT yang layak, penggunaan eszopliclone menunjukkan berlangsungnya efikasi selama 6 bulan pada pasien insomnia primer. Efek samping yang ditimbulkan oleh penggunaan BzRA, antara lain: sedasi residual saat siang hari, gangguan koordinasi motorik dan kognitif, dependensi, dan rebound insomnia. Berbagai efek samping tersebut terjadi dalam intensitas yang lebih besar pada pasien-pasien lansia. Terjadinyua efek samping yang diakibatkan oleh penggunaan golongan agonis reseptor benzodiazepin yang lebih baru cenderung rendah, akibat waktu paruh yang lebih singkat yang dimilikinya. Isu terkait penyalahgunaan BzRA bukan merupakan permasalahan yang masif, tetapi data terkait penggunaan jangka panjangnya untuk terapi insomnia memerlukan suatu penelitian yang lebih lanjut. Antidepresan sedatif. Trazodone merupakan jenis medikasi yang paling sering diresepkan untuk terapi insomnia. Trazodone dapat memberikan efek sedatif dan meningkatkan beberapa parameter tidur yang ada, meskipun belum terdapat sejumlah studi yang meneliti penggunaan jangka panjangnya dalam terapi insomnia kronis. Penggunaan doxepin dapat memberikan manfaat bagi terapi insomnia selama 4 minggu, akan tetapi data terkait berbagai jenis antidepresan

lain belum mencukupi, seperti; amitriptyline dan mirtazapine, guna menatalaksana insomnia; semua jenis antidepresan memiliki berbagai efek samping. Agen-agen lain. Tidak terdapat data yang sufisien terkait penggunaan antipsikotiik dalam tatalaksanan insomnia. Penggunaan agen-agen tersebut memiliki risiko yang signifikan, dan tidak direkomendasikan penggunaannya dalam tatalaksana insomnia. Antihistamin juga seing digunakan, tetapi tidak terdapat data terkait efikasinya bagi insomnia dan memiliki berbagai efek samping. Penggunaan melatonin tidak diregulasi oleh FDA dan terdapat berbagai jenis sediaan dari melatonin itu sendiri. Penggunaan melatonin nampaknya bersifat efektif bagi gangguan ritme sirkadian, akan tetapi hanya terdapat sejumlah kecil bukti yang menyokong efikasi penggunaannya bagi terapi insomnia dan keamanan penggunaan jangka panjangnya (National Institutes of Health, 2005). IKHTISAR DAN KESIMPULAN Insomnia merupakan salah satu keluhan terkait kesehatan yang dapat termanifestasi baik sebagai gangguan primer maupun sebagai kondisi komorbid yang ditimbulkan oleh permasalahan medis atau psikiatri tertentu. Insomnia persisten diasosiasikan dengan terjadinya morbiditas yang signifikan dan anggaran dana kesehatan yang besar. Berbagai progres telah dibuat guna menstandarkan kriteria diagnostik, walaupun hingga sekarang ini hanya terdapat sejumlah kecil informasi terkait dasar psikologis dan biologis dari insomnia, dan juga riwayat alamiah serta prognosis jangka panjang insomnia. Perkembangan yang signifikan juga terjadi dalam bidang pengembangan dan validasi berbagai pendekatan terapeutik baik yang ditujukan untuk terapi insomnia akut maupun kronis. Meskipun demikian, masih terdapat banyak kasus insomnia dalam yang masih tidak terkenali dan tertatalaksanan dengan baik pada tatanan klinis praktis. Diperlukan adanya beberapa riset tambahan yang ditujukan untuk meneliti dan mendokementasikan etiologis insomnia dan perjalanan alamiahnya dan guna mengoptimalkan keluaran (outcome) terapi, tidak hanya dalam mereduksi gejala dan tanda insomnia, tetapi juga pengaruh berbagai indikator morbiditas dan cost

effectiveness. Tantangan ke depannya adalah berupa menyebarkan dan mmperluas penggunaan berbagai terapi yang telah tervalidasi dan panduan terkait terapi penatalaksanaan insomnia secara efisien, dan meningkatkan kegunaan praktisnya. UCAPAN TERIMAKASIH Penulisan bab ini difasilitasi oleh hibah danan riset dari the National Institute of Mental Health (MH60413) dan the Canadian Institutes for Health Research (MT42504).

Anda mungkin juga menyukai