Disusun Oleh:
Sururoh Mujahadah
5120021047
Pembimbing:
Nur Azizah, dr., Sp.KJ
Penguji:
Hafid Algristian, dr., Sp. KJ
2022
A. Pendahuluan
Gangguan mental adalah suatu sindroma yang dicirikan dengan adanya gangguan
klinis yang signifikan pada kognisi, regulasi emosi, atau perilaku suatu individu
yang menggambarkan adanya disfungsi psikologis, biologis, atau proses
perkembangan yang mendasari fungsi mental seseorang. Biasanya diasosiasikan
dengan distress yang signifikan atau ketidakmampuan sosial, okupasional, dan
aktivitas penting lainnya. Salah satu gangguan mental yang sering ditemui adalah
gangguan depresi yang merupakan bagian dari gangguan mood dan
menyebabkan individu mempunyai mood yang depresif dan kehilangan minat
dalam menjalani kehidupan. Menurut Riskesdas (2018), prevalensi depresi
didapatkan sebesar 6.1% di Indonesia. Gangguan depresi di Nusa Tenggara Barat,
melebihi prevalensi nasional dengan angka urutan kelima tertinggi sebesar
8.79%. Dari seluruh penderita depresi di Indonesia, hanya 9% yang kemudian
menjalani pengobatan yang sesuai, sisanya sebanyak 91% tidak menjalani
pengobatan, hal ini dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Atmaja
et all, 2020).
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada episode depresif berupa gejala
utama dan gejala lainnya. Dimana gejala utama adalah: afek depresif, kehilangan
minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya
keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas. Gejala lainnya adalah:
konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri
berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan
yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau
bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan berkurang. Penanganan yang dapat
diberikan pada pasien dengan gangguan depresi dapat berupa pemberian
obat-obatan (farmakoterapi) dan pemberian terapi non-farmakologi seperti
psikoterapi suportif, cognitive behavioural therapy, dan edukasi kepada pasien dan
keluarga dari pasien tersebut (Atmaja et all, 2020).
Seiring bertambahnya usia, penuaan tidak dapat dihindarkan dan terjadi
perubahan keadaan fisik, selain itu para lansia mulai kehilangan pekerjaan, kehilangan
tujuan hidup, kehilangan teman, risiko terkena penyakit, terisolasi dari lingkungan, dan
kesepian. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan mental. Depresi merupakan
salah satu gangguan mental yang banyak dijumpai pada lansia akibat proses penuaan
(Irawan, 2013).
Depresi menurut WHO merupakan suatu gangguan mental umum yang ditandai
dengan mood tertekan, kehilangan kesenangan atau minat, perasaan bersalah atau harga
diri rendah, gangguan makan atau tidur, kurang energi, dan konsentrasi yang rendah.
Masalah ini dapat akut atau kronik dan menyebabkan gangguan kemampuan individu
untuk beraktivitas sehari-hari. Pada kasus parah, depresi dapat menyebabkan bunuh
diri. Sekitar 80% lansia depresi yang menjalani pengobatan dapat sembuh sempurna
dan menikmati hidup mereka, akan tetapi 90% mereka yang depresi mengabaikan dan
menolak pengobatan gangguan mental tersebut (Irawan, 2013).
Oleh karena itu para lansia perlu mendapat perhatian dan dukungan dari
lingkungan dan keluarga agar dapat mengatasi perubahan yang terjadi, selain perubahan
keadaan fisik dan keadaan mental yang makin rentan (Irawan, 2013).
B. Metode
Desain penelitian ini adalah literature review atau tinjauan pustaka. Studi
literature review adalah metode yang sistematis, eksplisit dan reprodusibel untuk
melakukan identifikasi, evaluasi dan sintesis terhadap karya hasil penelitian dan
pemikiran yang sudah dihasilkan oleh para peneliti. Cara yang dipakai untuk
mengumpulkan data atau sumber yang berhubungan pada sebuah topik tertentu
(Notoatmodjo, 2012).
Pada penelitian ini penulis mencari literatur dengan kata kunci farmakoterapi
Gangguan Depresi, untuk mendapatkan sumber literatur di website jurnal, serta
ditunjang berbagai sumber seperti text book dan pustaka lain. Kemudian literatur
tersebut dikumpulkan di perangkat manajemen referensi, seperti mendeley. Adapun
rujukan sumber jurnal yang penulis gunakan yaitu pubmed, NCBI, dan google scholar.
C. Pembahasan
1. Epidemiologi
Prevalensi depresi pada populasi lansia diperkirakan 1-2%, prevalensi
perempuan 1,4% dan laki-laki 0,4%. Suatu penelitian menunjukkan variasi
prevalensi depresi pada lansia antara 0,4-35%. rata-rata prevalensi depresi
mayor 1,85%, depresi minor 9,8%, dan gejala klinis depresi nyata 13,5%.
Sekitar 15% lansia tidak menunjukkan gejala depresi yang jelas dan depresi
terjadi lebih banyak pada lansia yang mempunyai penyakit medis (Irawan,
2013).
Beberapa kondisi lingkungan juga berkaitan dengan tingkat depresi
lebih besar, orang yang tinggal dikota 2 kali lebih depresi dibanding didesa,
orang yang tinggal sendiri, orang yang bercerai, kondisi ekonomi miskin, tidak
punya tempat tinggal, dan tidak bekerja selama 6 bulan atau lebih dari 3 kali
lebih sering depresi dibanding populasi umum (Irawan, 2013).
2. Etiologi
Saat ini telah diketahui beberapa faktor penyebab depresi, seperti
faktor genetik, biokimia, lingkungan, dan psikologis. Pada beberapa kasus,
depresi murni berasal dari faktor genetik, orang yang memiliki keluarga
depresi lebih cenderung menderita depresi; riwayat keluarga gangguan bipolar,
pengguna alkohol, skizofrenia, atau gangguan mental lainnya juga
meningkatkan risiko terjadinya depresi. Kasus trauma, kematian orang yang
dicintai, keadaan yang sulit, atau kondisi stres memicu terjadinya episode
depresi, tetapi terdapat pula kondisi tidak jelas yang dapat memicu depresi
(Irawan, 2013).
Saat ini penyebab depresi yang banyak diteliti dan dijadikan dasar
pengobatan adalah abnormalitas monoamin yang merupakan neurotransmitter
otak. Sekitar tiga puluh neurotransmiter telah diketahui dan tiga di antaranya
mempengaruhi terjadinya depresi, yaitu serotonin, norepinefrin, dan dopamin.
Ketiga monoamin tersebut cepat dimetabolisme sehingga pengukuran yang
dapat dilakukan pada penderita depresi dengan mengukur metabolit utama di
cairan serebrospinal, yaitu 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) dari
serotonin, 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) dari norepinefrin, dan
homovanillic acid (HVA) dari dopamin. Pada penderita depresi kadar
metabolit tersebut lebih rendah bermakna dibandingkan yang tidak depresi
(Irawan, 2013).
Secara umum ketiga neurotransmiter berperan dalam mengatur emosi,
reaksi terhadap stres, tidur, dan nafsu makan. Jumlah serotonin yang tinggi
menyebabkan agresivitas dan gangguan tidur, sedangkan jumlah rendah
menyebabkan iritabilitas, ansietas, letargi, dan tindakan atau pemikiran bunuh
diri. Pada keadaan depresi, norepinefrin yang berperan dalam regulasi respons
“fight or flight” terganggu. Fungsi dopamin untuk mengatur emosi, pergerakan
motor, pembelajaran, berpikir, memori, dan perhatian. Jumlah dopamin rendah
akan mempengaruhi fungsi tersebut yang dapat menyebabkan depresi (Irawan,
2013).
Hipotesis terbanyak etiologi depresi disebabkan oleh gangguan
regulasi serotonin. Pada percobaan hewan dan pemeriksaan jaringan otak
setelah kematian menunjukkan bahwa pada keadaan depresi terjadi gangguan
serotonergik termasuk jumlah metabolit, jumlah reseptor, dan respons
neuroendokrin. Selain itu, pada lansia depresi terjadi perubahan struktur otak
seperti abnormalitas jalur frontostriatal yang menyebabkan gangguan fungsi
eksekutif, psikomotor, perasaan apatis; volume struktur frontostriatal yang
rendah; hiperintensitas struktur subkortikal; abnormalitas makromolekul di
korpus kalosum genu dan splenium, nukleus kaudatus, dan putamen;
penurunan jumlah glia di korteks singulata anterior subgenual; abnormalitas
neuron di korteks dorsolateral; atrofi kortikal; gangguan substansia alba;
abnormalitas struktur subkortikal; peningkatan aktivitas dan perubahan
volume amigdala yang berperan dalam emosi negatif dan gangguan
mekanisme koping; dan penurunan volume hipokampus dan striatum ventral.
Perubahan tersebut berdampak pada perubahan neurotransmitter yang
menyebabkan lansia depresi (Irawan, 2013).
3. Gambaran Klinis
Pada umumnya lansia mengalami depresi ditandai oleh mood depresi
menetap yang tidak naik, gangguan nyata fungsi atau aktivitas sehari-hari, dan
dapat berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri. Pada lansia gejala
depresi lebih banyak terjadi pada orang dengan penyakit kronik, gangguan
kognitif, dan disabilitas. Kesulitan konsentrasi dan fungsi eksekutif lansia
depresi akan membaik setelah depresi teratasi. Gangguan depresi lansia dapat
menyerupai gangguan kognitif seperti demensia, sehingga dua hal tersebut
perlu dibedakan (Tabel 1) (Irawan, 2013).
DEPRESI DEMENSIA
Perubahan Fisik
● Perubahan nafsu makan sehingga berat badan turun (lebih dari 5%
dari berat badan bulan terakhir)
● Gangguan tidur berupa gangguan untuk memulai tidur, tetap tertidur,
atau tidur terlalu lama
● Jika tidur, merasa tidak segar dan lebih buruk di pagi hari
● Penurunan energi dengan perasaan lemah dan kelelahan fisik
● Beberapa orang mengalami agitasi dengan kegelisahan dan bergerak
terus
● Nyeri, nyeri kepala, dan nyeri otot dengan penyebab fisik yang tidak
diketahui
● Gangguan perut, konstipasi
Perubahan Pemikiran
● Pikiran kacau, lambat dalam berpikir, berkonsentrasi, atau sulit
mengingat informasi
● Sulit dan sering menghindari mengambil keputusan
● Pemikiran obsesif akan terjadi bencana atau malapetaka
● Preokupasi atas kegagalan atau kekurangan diri menyebabkan
kehilangan kepercayaan diri
● Menjadi tidak adil dalam mengambil keputusan
● Hilang kontak dengan realitas, dapat menjadi halusinasi (auditorik)
atau delusi
● Pikiran menetap tentang kematian, bunuh diri, atau mencoba
melukai diri sendiri
Perubahan Perasaan
● Kehilangan minat dalam kegiatan yang dulu merupakan sumber
kesenangan
● Penurunan minat dan kesenangan seks
● Perasaan tidak berguna, putus asa, dan perasaan bersalah yang besar
● Tidak ada perasaan
● Perasaan akan terjadi malapetaka
● Kehilangan percaya diri
● Perasaan sedih dan murung yang lebih buruk di pagi hari
● Menangis tiba-tiba, tanpa alasan jelas
● Iritabel, tidak sabar, marah, dan perasaan agresif
Perubahan Perilaku
● Menarik diri dari lingkungan sosial, kerja, atau kegiatan santai
● Menghindari mengambil keputusan
● Mengabaikan kewajiban seperti pekerjaan rumah, berkebun, atau
membayar tagihan
● Penurunan aktivitas fisik dan olahraga
● Pengurangan perawatan diri seperti perawatan diri dan makan
● Peningkatan penggunaan alkohol atau obat-obatan
4. Kriteria Diagnosis
Menurut PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia), DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual), dan ICD-10
(International Classification of Diseases) individu depresi sering mengalami
suasana perasaan (mood) depresif, kehilangan minat dan kegembiraan,
berkurangnya energi, mudah lelah, dan berkurangnya aktivitas (PPDGJ-III,
2013).
Depresi pada lansia sering tidak terdeteksi, dalam populasi lansia
depresi bervariasi sekitar 19-94%, tergantung kemampuan diagnosis dokter.
Klasifikasi dan diagnosis gangguan depresi pada lansia berdasarkan diagnosis
depresi pada populasi umum dan lebih difokuskan pada kriteria yang sesuai
dengan populasi lansia (Tabel 3) (Irawan, 2013).
Gangguan Distimik
● Mood sedih yang menetap yang terdapat dua atau lebih gejala seperti
peningkatan atau penurunan nafsu makan, peningkatan atau
penurunan tidur, lelah atau kehilangan energi, penurunan
kepercayaan diri, penurunan konsentrasi atau kesulitan memutuskan
sesuatu, dan perasaan tidak ada harapan.
● Mood sedih dan dua gejala tersebut tidak hilang selama dua bulan
atau lebih dalam dua tahun
● Tidak ada episode depresi mayor selama dua tahun pertama
Tabel.6
Pengobatan monoterapi dengan dosis minimal digunakan pada awal
terapi, dievaluasi apabila tidak ada perubahan bermakna dalam 6-12 minggu.
Lansia yang tidak berespons pada pengobatan awal perlu mendapatkan obat
antidepresan golongan lain dan dapat dipertimbangkan penggunaan dua
golongan antidepresan. Pada lansia yang responsif dengan obat antidepresan,
obat harus digunakan dengan dosis penuh (full dose maintenance therapy)
selama 6-9 bulan sejak pertama kali hilangnya gejala depresi. Apabila
kambuh, pengobatan dilanjutkan sampai satu tahun. Strategi pengobatan
tersebut telah berhasil menurunkan risiko kekambuhan hingga 80%.
Penghentian antidepresan harus dilakukan secara bertahap agar tidak
menimbulkan gejala withdrawal seperti ansietas, nyeri kepala, mialgia, dan
gejala mirip flu (flu-like symptoms). Lansia yang sering kambuh memerlukan
terapi perawatan dosis penuh terapi selama hidupnya (Irawan, 2013).
Selain farmakoterapi dengan obat antidepresan, psikoterapi (talk
therapy) memiliki peranan penting dalam mengobati berbagai jenis depresi.
Psikoterapi dilakukan oleh psikiater, psikolog terlatih, pekerja sosial, atau
konselor. Pendekatan psikoterapi dibagi dua, yaitu cognitive-behavioral
therapy (CBT) dan interpersonal therapy. CBT terfokus pada cara baru
berpikir untuk mengubah perilaku, terapis membantu penderita mengubah
pola negatif atau pola tidak produktif yang mungkin berperan dalam terjadinya
depresi. Interpersonal therapy membantu penderita mengerti dan dapat
menghadapi keadaan dan hubungan sulit yang mungkin berperan
menyebabkan depresi. Banyak penderita mendapat manfaat psikoterapi untuk
membantu mengerti dan memahami cara menangani faktor penyebab depresi,
terutama pada depresi ringan; jika depresi berat, psikoterapi saja tidak cukup,
karena akan menimbulkan depresi berulang (Irawan, 2013).
D. Kesimpulan
Depresi merupakan gangguan psikiatri umum pada lansia. Diagnosis terlambat
dan pengobatan yang tidak tepat menghambat hasil pengobatan yang maksimal.
Tenaga kesehatan perlu membuat strategi pengobatan yang komprehensif untuk
mengatasi depresi pada lansia, termasuk metode penapisan depresi, intervensi
psikologis, dan farmakoterapi yang tepat
Referensi
Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ III) Cetakan kedua, Direktorat
Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta; 2013.
Irawan, Hendry. Gangguan Depresi Pada Lanjut Usia. RSUD Datu Sampul. Vol 3.
Kalimantan Selatan : 2013.
Atmaja, Putu Diah. Wijayanti, Lusiana Wahyu. Islamiyati, Qomarul. Diatmika, I Putu.
Episode Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik. Jurnal Kedokteran UNRAM. Mataram :
2020.