Anda di halaman 1dari 5

Referat

Literature Review

KOLABORASI KELUARGA, PENGGUNAAN


PENGOBATAN YANG TEPAT PADA PASIEN
SKIZOFRENIA PARANOID

Disusun Oleh:
Dian Safira Devi, S.Ked
NIM. 5120021043

Pembimbing:

Penguji:

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
A. Introduction
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizein yang berarti terpisah atau pecah dan
phren yang berarti jiwa. Terjadi pecahnya/ketidakserasian antara afek, kognitif, dan perilaku
(Hendarsyah, 2016). Skizofrenia timbul akibat ketidakseimbangan neurotransmiter yang
mengacaukan kerja otak, sehingga pasien membutuhkan obat-obatan yang dapat
menyeimbangkan kadar neurotransmiter. Mengonsumsi obat secara rutin akan menurunkan
risiko munculnya kembali gejala, meningkatkan fungsi kognitif dan mengurangi risiko
kematian (Sari, 2019). Saat ini kesehatan mental telah menjadi salah satu isu yang wajib
ditangani, hanya saja masyarakat Indonesia masih sering mengesampingkan pentingnya
kesehatan mental. Salah satu gangguan mental yang sering dijumpai adalah gangguan
skizofrenia (Sari, 2019).

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering, di Indonesia sekitar 1%


hingga 2% dari total penduduk (Septi, 2013). Skizofrenia merupakan gangguan psikiatri yang
menimbulkan disabilitas yang cukup luas, serta dicirikan oleh suatu siklus kekambuhan dan
remisi. Sampai saat ini para ahli belum mendapatkan kesepakatan tentang definisi baku dari
kekambuhan skizofrenia. Insiden kambuh pasien skizofrenia sangat tinggi, yaitu berkisar
60%-75% setelah suatu episode psikotik jika tidak diterapi (Hendarsyah, 2016). Menurut
Riskesdas tahun 2013 prevalensi gangguan skizofrenia pada masyarakat Indonesia di tahun
2016 mencapai sekitar 400.000 orang/ sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk (Sari, 2019).
Skizofrenia merupakan gangguan psikiatri yang menimbulkan disabilitas yang cukup
luas, serta dicirikan oleh suatu siklus kekambuhan dan remisi. Sampai saat ini para ahli belum
mendapatkan kesepakatan tentang definisi baku dari kekambuhan skizofrenia. Insiden
kambuh pasien skizofrenia sangat tinggi, yaitu berkisar 60%-75% setelah suatu episode
psikotik jika tidak diterapi (Hendarsyah, 2016). Pasien skizofrenia yang tidak teratur minum
obat mengalami kekambuhan sebesar 74%, di antaranya memerlukan rehospitalisasi sebasar
71%. Kekambuhan adalah suatu keadaan dimana timbulnya kembali suatu penyakit yang
sudah sembuh dan disebabkan oleh berbagai macam faktor penyebab (Hendarsyah, 2016).
Pasien skizofrenia yang tidak teratur minum obat mengalami kekambuhan sebesar 74%,
di antaranya memerlukan rehospitalisasi sebasar 71%. Kekambuhan adalah suatu keadaan
dimana timbulnya kembali suatu penyakit yang sudah sembuh dan disebabkan oleh berbagai
macam faktor penyebab. Pasien yang kambuh membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
kembali pada kondisi semula dan dengan kekambuhan yang berulang, kondisi penderita bisa
semakin memburuk dan sulit untuk kembali ke keadaan semula. Hasil studi pendahuluan yang
dilakukan di RSJD Dr Amino Gondohutomo didapatkan bahwa 8 dari 10 pasien yang kambuh
mengalami putus obat. (Hendarsyah, 2016).
B. Method
Desain penelitian yang digunakan adalah literature review atau tinjauan pustaka.
Studi literature review adalah metode yang sistematis, eksplisit dan reprodusibel untuk
melakukan identifikasi, evaluasi dan sintesis terhadap karya hasil penelitian dan pemikiran
yang sudah dihasilkan oleh para peneliti. Cara ini dipakai untuk megumpulkan data atau
sumber yang berhubungan pada sebuah topik tertentu (Notoatmpdjo, 2012).
Pada penelitian ini penulis mencari literatur dengan kata kunci “Kolaborasi
Keluarga”, “Kekambuhan”, dan “Skizofrenia Paranoid” untuk mendapatkan sumber
literatur yang diinginkan, serta didukung dari berbagai sumber dan pustaka lain. Jurnal
yang digunakan adalah jurnal 10 tahun terakhir dan membahas mengenai terapi dan
kolaborasi keluarga pada kekambuhan gangguan skizofrenia paranoid yang selanjutnya
ditelaah sehingga sesuai dengan topik yang peneliti harapkan. Adapun rujukan sumber
jurnal yang penulis gunakan yaitu google scholar. Kemudian literatur tersebut
dikumpulkan dan diringkas dalam satu tabel dan perangkat manajemen referensi, yakni
Mendeley.
C. Result
Kriteria utama skizofrenia paranoid, yaitu adanya halusinasi yang mengancam dan
keyakinan bahwa dirinya sedang dikendalikan. Gejala-gejala yang ada turut disertai pula
perilaku agresi seperti marah-marah dan membanting barang saat mengalami kekambuhan.
Gangguan skizofrenia tipe ini harus memenuhi kriteria yaitu adanya delusi atau halusinasi
pendengaran sering muncul atau sangat menonjol dan tidak ada satupun dari keriteria yang
menonjol: Bicara dan perilaku yang tidak beraturan, katatonik dan emosi datar atau tidak
sesuai (Sari, 2019). Skizofrenia dapat dikenali berdasarkan 4 ciri gejala utama/4A: (1)
Asosiasi, yaitu hubungan antara pikiran-pikiran menjadi terganggu atau biasa disebut
dengan gangguan pikiran dan asosiasi longgar. (2) Afek, yaitu respon emosional menjadi
datar atau tidak sesuai. (3) Ambivalensi, yaitu individu memiliki perasaan ambivalen
terhadap orang lain seperti benci sekaligus cinta terhadap pasangan. (4) Autisme, yaitu
penarikan diri ke dunia fantasi pribadi yang tidak terikat oleh prinsip-prinsip logika (Sari,
2019).
Kekambuhan adalah suatu keadaan dimana timbulnya kembali suatu penyakit yang
sudah sembuh dan disebabkan oleh berbagai macam faktor penyebab. Pasien yang kambuh
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kembali pada kondisi semula dan dengan
kekambuhan yang berulang, kondisi penderita bisa semakin memburuk dan sulit untuk
kembali ke keadaan semula (Hendarsyah, 2016). Referensi lain mengatakan
Relapse/kekambuhan adalah munculnya kembali gejala-gejala gangguan setelah pasien
menjalani rawat inap di rumah sakit. Pasien yang kambuh berpotensi membahayakan diri
sendiri maupun orang-orang di sekitarnya sehingga harus kembali menjalani rawat inap di
rumah sakit (Sari, 2019).
Beberapa faktor penyebab terjadinya kekambuhan dari hasil studi literatur peneliti
pada pasien skizofrenia dapat di golongkan menjadi dua hal yaitu; faktor pasien dan faktor
lingkungan. Faktor yang bersumber dari pasien skizofrenia adalah; depresi mood,
kepatuhan pengobatan dan efek samping obat. Faktor yang bersumber dari lingungan
adalah: dukungan keluarga, expresi emosi keluarga, beban keluarga,dan stigma (Mubin,
2018). Faktor keluarga juga menjadi perhatian dalam beberapa penelitian. Menurut
(Sariah, 2012) Hasil survei internasional sebanyak 838 responden yang dilakukan untuk
menjelaskan pengalaman dan wawasan keluarga dengan salah satu anggota keluarga
menderita skizofrenia di Australia, Kanada, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol, Inggris dan
Amerika Serikat, 85,34% keluarga mengatakan anggota keluarga tidak memberi dukungan
dan 69% yang disebabkan oleh keluarga yang sibuk terhadap pekerjaannya (Afconneri et
al, 2020).
Dukungan keluarga yang kurang dapat menjadi faktor penyebab kekambuhan pada
pasien skizofrenia, cara penanganan yang kurang baik dalam merawat pasien skizofrenia
dan kurangnya penerimaan keluarga dengan adanya anggota keluarga yang menderita
penyakit skizofrenia, sehingga pasien merasa terasingkan dan tidak mempunyai semangat
untuk sembuh (Fajriah, 2021). Kekambuhan ditandai dengan munculnya kembali
halusinasi, waham dan perilaku kekerasan disebabkan ketidakpatuhan ODS dalam minum
obat, stres ODS dan permasalahan yang muncul akibat ketidakmampuan keluarga dalam
merawat (Mubin, 2019).
D. Discussion
Kepatuhan minum obat pada pasien skizofrenia merupakan faktor untuk
menghindari adanya kekambuhan (Tri et al., 2020). Kepatuhan dalam mengkonsumsi obat
juga perlu didukung dengan adanya peranan keluarga sebagaimana penelitian yang
dilakukan Kaunang et al. (2015) Kepatuhan minum obat dari pasien skizofrenia tidak lepas
dari peranan penting dari keluarga, sehingga pasien yang patuh pada pengobatan prevalensi
kekambuhannya berkurang, maka pasien tidak akan dirawat lagi di rumah sakit, dan hanya
perlu melakukan rawat jalan di poliklinik. Pasien dengan skizofrenia membutuhkan terapi
farmakologi serta perlu psikoterapi dan psikoedukasi agar pasien mendapat dukungan oleh
keluarga serta mempercepat penyembuhan pasien (Hendarsyah, 2016).
Terapi farmakologi masih merupakan pilihan utama pada skizofrenia. Pengobatan
skizofrenia yang berkelanjutan diperlukan untuk mengendalikan gejala dan mencegah
kekambuhan. Penghentian dini dan pengobatan yang tidak teratur mengakibatkan
kekambuhan, intoleransi obat, dan resistensi obat (Krzystanek et al., 2017). Rencana terapi
yang diberikan adalah antipsikosis atipikal golongan benzixosazole yaitu Risperidon 2x2
mg selama 5 hari sebagai dosis inisial. Risperidon merupakan antipsikosis atipikal atau
antipsikosis golongan II. Antipsikosis golongan II merupakan golongan obat yang
memiliki efek untuk mengurangi gejala negatif maupun positif (Hendarsyah, 2016).
Kemampuan keluarga dalam mengawal minum obat pasien membuat keluarga lebih
disiplin dalam mengingatkan, menyiapkan dan memberikan obat ke ODS paranoid. Minum
obat yang teratur menjadikan ODS paranoid lebih terkontrol dalam menekan gejala positif
skizofrenia paranoid (Mubin, 2019)
E. Conclusion
Setiap penderita skizofrenia paranoid memiliki peluang untuk mengalami kekambuhan,
terutama pada pasien yang kronis. Terapi utama pasien skizofrenia paranoid adalah terapi
farmaka, namun juga diimbangi dengan psikoedukasi lingkungan sekitar pasien salah
satunya keluarga. Terapi psikoedukasi keluarga skizofrenia paranoid pada pasien
skizofrenia paranoid mampu meningkatkan kepatuhan obat, menurunkan kekambuhan, dan
mampu meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien.
F. References
Afconneri, Y., Khatijah, L. And Erwina, I. (2020) ‘Faktor-Faktor Kekambuhan Pada Klien
Skizofrenia’, Jurnal Endurance :Kajian Ilmiah Problema Kesehatan, 5(2), Pp.
321–330.
Fajriah, E. F. (2021) ‘Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia: Literature Review’, (63), Pp.
2020–2021.
Hendarsyah, F. (2016) ‘Diagnosis Dan Tatalaksana Skizofrenia Paranoid Dengan Gejala-
Gejala Positif Dan Negatif’, J Medula Unila, 4(3), P. 57;60. Available At:
Https://Juke.Kedokteran.Unila.Ac.Id/Index.Php/Medula/Article/View/1587.
Krzystanek, M., Krysta, K. And Skałacka, K. (2017) ‘Treatment Compliance In The Long-
Term Paranoid Schizophrenia Telemedicine Study’, Journal Of Technology In
Behavioral Science, 2(2), Pp. 84–87. Doi: 10.1007/S41347-017-0016-4.
Mubin, D. (2019) ‘Pengaruh Terapi Psikoedukasi Keluarga Skizofrenia Paranoid Informasi
Artikel Riwayat Artikel Influence Of Family Psychoeducation Therapy Skizofrenia
Paranoid Against Compliance Of Drug Patients’, 11(2).
Mubin, M. F. (2018) ‘Faktor Risiko Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia Paranoid’,
Fakultas Ilmu Keperawatan Dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah
Semarang, Pp. 137–140.
Notoatmpdjo, S. (2012) Metodologi Penelitian Kesehatan (2nd Ed.). Pt. Rineka Cipta.
Sari, P. (2019) ‘Dinamika Psikologi Penderita Skizofrenia Paranoid Yang Sering
Mengalami Relapse’, Psikoislamedia : Jurnal Psikologi, 4(Vol 4, No 2 (2019):
Psikoislamedia : Jurnal Psikologi), Pp. 124–136. Available At: Https://Jurnal.Ar-
Raniry.Ac.Id/Index.Php/Psikoislam/Article/View/5751.

Anda mungkin juga menyukai