Anda di halaman 1dari 7

TUGAS INDIVIDU

ULASAN TENTANG PENYAKIT BIPOLAR DISORDER

(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Penyakit Tidak


Menular Kelas D Semester 5 Tahun Ajaran 2021)

Dosen Pengampu :

Arina Mufida Ersanti SKM., M.Epid

Disusun Oleh :

Rara Faridila Ginting 212110101150

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS JEMBER

2021
A. Pengertian Bipolar Disorder

Gangguan Bipolar adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan perubahan


mood, pikiran, energi dan perilaku yang dramatis dari suasana perasaan serta
energi dan aktivitas yang meningkat (mania atau hipomania) di suatu waktu,
menjadi penurunan mood serta pengurangan energi dan aktivitas (depresi) di
waktu yang lain. Dari mood senang luar biasa atau uring-uringan menjadi mood
sedih disertai rasa putus asa (Amir, 2011).

B. Gejala Bipolar Disorder

Penderita bipolar dapat seketika merasa senang luar biasa dan kemudian
secara tiba-tiba merasa depresif, bertolak belakang dari apa yang dirasa
sebelumnya, tanpa ada sebab yang jelas. Bipolar disorder merusak sistem kerja
emosi seseorang. Hal ini dapat merusak keberfungsian sosial dan hubungan
sosialnya di masyarakat sebagaimana penderita tidak memiliki keadaan emosi
yang tidak jelas dan bisa saja tiba-tiba melakukan sesuatu yang merugikan orang
lain. Bipolar disorder memiliki dua fase yaitu Manic dan Depressive. Gejala yang
muncul ketika penderita ada dalam fase manic antara lain: Euforia, Rasa percaya
diri yang tinggi, Agresif, berdelusi, kehilangan rasa takut dan berani mengambil
resiko dalam batas yang tidak normal. Sementara dalam fase depresif: Penderita
mengalami kesedihan, putus asa, rasa takut, menyesal, kelelahan, rasa sakit tanpa
ada sebab dan memiliki keinginan untuk bunuh diri. Penderita bipolar seringkali
mengalami kedua fase tersebut secara berubah-ubah tanpa ada sebab yang jelas
dan gejala ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa atau remaja, tapi juga bisa
terjadi pada anak-anak dan inilah yang seringkali tidak disadari oleh para orang
tua sehingga anak yang menderita bipolar tidak mendapat penanganan yang tepat.

C. Prevalensi Bipolar Disorder

Bipolar merupakan masalah yang serius dengan prevalensi 3%, yang


ditandai dengan angka kekambuhan tinggi dan seringkali komorbid dengan
gangguan psikiatri (seperti: gangguan cemas, penyalahgunaan/ketergantungan zat,
gangguan makan) dan gangguan somatik (seperti: sakit kepala, hipertensi,
obesitas, diabetes) lainnya. Kecenderungan untuk bunuh diri juga banyak
dijumpai dan gangguan ini mempunyai konsekuensi yang cukup besar baik bagi
individu maupun bagi instansi pemberi layanan kesehatan (Pfennig A, 2013). Saat
ini prevalensi gangguan bipolar dalam populasi cukup tinggi, mencapai 1,3-3%.
Bahkan prevalensi untuk seluruh spektrum bipolar mencapai 2,6-6,5%. Tujuh dari
sepuluh pasien pada awalnya misdiagnosis. Prevalensi antara laki-laki dan
perempuan sama besarnya terutama pada gangguan bipolar I, sedangkan pada
gangguan bipolar II, prevalensi pada perempuan lebih besar. Depresi atau distimia
yang terjadi pertama kali pada prapubertas memiliki risiko untuk menjadi
gangguan bipolar. (Kusumawardhani 2012).

D. Epidemiologi Bipolar Disorder

Gangguan Bipolar merupakan masalah yang serius dengan prevalensi 3%,


yang ditandai dengan angka kekambuhan tinggi dan seringkali komorbid dengan
gangguan psikiatri (seperti: gangguan cemas, penyalahgunaan/ketergantungan zat,
gangguan makan) dan gangguan somatik (seperti: sakit kepala, hipertensi,
obesitas, diabetes) lainnya. Kecenderungan untuk bunuh diri juga banyak
dijumpai dan gangguan ini mempunyai konsekuensi yang cukup besar baik bagi
individu maupun bagi instansi pemberi layanan kesehatan (Pfennig A, 2013)

Perubahan proporsi gangguan “mood” dari 86% gangguan Depresi Mayor


berkurang ke 50%. Proporsi gangguan bipolar I sebesar 2% dan gangguan bipolar
II sebesar 2%, meningkat menjadi 15 % untuk gangguan bipolar II. Hal tersebut
dikarenakan perkembangan pengenalan gangguan ‘mood’ yang ternyata pada
pasien didiagnosis gangguan depresi mayor, sesungguhnya adalah gangguan
bipolar (Stahl, 2008).

E. Etiologi

Penyebab gangguan bipolar sampai saat ini belum dapat diketahui dengan
pasti. Banyak faktor yang mempengaruhi dalam gangguan bipolar yaitu
 faktor genetik: Risiko keluarga dengan pasien gangguan mood bipolar
adalah 25%, dan berulang pasien gangguan depresi adalah 20%. (Ahuja,
2011).
 faktor biokimia: Asetilkolin dan GABA juga diduga terlibat (Ahuja, 2011).
Dua neurotransmiter yang sering terlibat dalam patofisiologi gangguan
mood adalah norepinefrin dan serotonin (Kaplan & Sadock’s, 2015).
 faktor kognitif: Dalam teori kognitif, pikiran dan kepercayaan negatif
dipandang sebagai penyebab utama depresi. Pikiran pesimis dan self-
critical bisa menyiksa orang dengan depresi. Teori ruminasi menekankan
kecenderungan untuk memikirkan suasana hati dan pikiran negatif (Kring
et al., 2012).
 faktor psikodinamik: Pandangan dari Sigmund Freud dan diperluas oleh
Karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik tentang depresi. Teori
tersebut berkaitan erat dengan 4 hal penting: gangguan pada hubungan
bayi-ibu selama fase awal (10 sampai 18 bulan pertama kehidupan)
menjadi predisposisi kerentanan depresi selanjutnya, depresi yang dapat
dikaitkan dengan objek yang nyata atau yang dibayangkan, introjeksi
yang berasal dari objek merupakan mekanisme pertahanan yang diajukan
untuk mengatasi kesusahan menyikapi kehilangan objek dan,
membayangkan benda yang hilang dianggap sebagai campuran cinta dan
benci, perasaan marah diarahkan ke dalam dirinya sendiri (Kaplan &
Sadock’s, 2015).
 faktor lingkungan: Hubungan antara kehidupan yang penuh stress dengan
episode suasana hati yang pertama telah dilaporkan untuk kedua pasien
dengan gangguan depresi mayor dan pasien dengan gangguan bipolar I.
Sebuah teori yang diusulkan untuk menjelaskan pengamatan ini adalah
stres yang menyertai episode pertama menghasilkan perubahan jangka
panjang di otak. Perubahan-perubahan yang 13 berlangsung lama ini dapat
mengubah berbagai keadaan fungsional Neurotransmiter dan sistem
pensinyalan intraneuronal, perubahan yang mungkin termasuk kehilangan
neuron dan pengurangan berlebihan dalam portal sinaptik. Akibatnya,
seseorang memiliki risiko lebih tinggi mengalami episode gangguan
mood berikutnya (Kaplan & Sadock’s, 2015).

F. Faktor Risiko Bipolar Disorder


 Faktor risiko 1, usia dimana manik seringkali terjadi pada usia kurang dari
19 tahun (Videbeck, 2011).
 Faktor risiko 2, yaitu genetik. Penelitian Chen et al., (2014) diperoleh hasil
bahwa psikopatologi orangtua atau genetik mempengaruhi risiko
gangguan bipolar.
 Faktor risiko 3, yaitu psikologis. Penelitian Zimmerman, et, al (2011),
menyimpulkan bahwa regulasi konsep diri, emosi dan motivasi yang
terganggu mempengaruhi terjadinya gangguan bipolar.
 Faktor risiko 4, lingkungan. Faktor lingkungan yang memicu risiko
gangguan bipolar yaitu stress traumatik dan karakteristik keluarga (pola
asuh).
 Faktor 5, yang mempengaruhi risiko gangguan bipolar yaitu
penyalahgunaan zat atau alkohol. Prevalensi gangguan bipolar dengan
penyalahgunaan zat selama kehidupan berkisar 40%-60% (Anna, 2017).

G. Pencegahan Bipolar Disorder

Pencegahan primer dapat dilakukan apabila diketahui bahwa dalam


keluarga terdapat yang mengalami gangguan ini, maka diharapkan pasien dan atau
keluarganya melakukan antisipasi.Pencegahan sekunder yaitu bila telah
mengalami gangguan ini, diharapkan tetap berkonsultasi dengan dokter yang
merawat, mengikuti anjuran unruk mengkonsumsi obat sesuai anjuran.

H. Pengobatan

Masalah dalam menangani gangguan bipolar depresi adalah pada praktek


klinis strategi penanganan sering dibawa ke arah unipolar depresi. Medikasi
depresi jangka panjang belum dianjurkan, namun dalam pertimbangan terdapat
indikasi, pemberiannya harus dimulai secepatnya, selama episode depresi akut.
Farmakoterapi yang spesifik untuk depresi adalah pilihan yang direkomendasikan
untuk menangani episode depresi moderate-berat. Carbamazepine, dan
lamotrigine, begitu juga olanzapine, dapat diresepkan, atau sebagai alternatif
serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Pasien juga harus mendapat psikoterapi
(family-focused therapy,FFT), cognitive behavioral therapy (CBT), terapi
interpersonal dan ritme sosial (interpersonal and social rhythm therapy, IPSRT),
dan/atau terapi untuk mengatur waktu tidur (sleep deprivation treatment). ECT
dapat dipertimbangkan khususnya pada kasus yang resisten terhadap pengobatan
dan kasus berat atau sampai mengancam nyawa.(Pfennig, 2013). Prinsip
pengobatan gangguan bipolar antara lain 1) sesuai pengobatan lini terbukti, 2)
pilih obat yang aman dan ditoleransi, paling mudah digunakan oleh pasien dan
mudah dikelola oleh dokter, 3) bertujuan untuk mencegah remisi, 4) mengukur
hasil gejala dengan pemeriksaan penunjang (Ketter TA, 2010).

I. Patofisiologi Bipolar Disorder

Gangguan bipolar merupakan kondisi yang relatif terabaikan (Goodwin et


al., 2015). Patofisiologi dari gangguan bipolar akibat disregulasi sirkuit neural
yang di pengaruhi oleh perubahan fungsional dan perubahan struktural. Hal
tersebut dapat terjadi akibat ketidakseimbangan volume otak. Pada studi
pencitraan struktural menunjukkan bahwa depresi berat dihubungkan dengan
penurunan volume 5-10% di hipokampus (Kring et al., 2012). Eksositosis,
merupakan proses peng-ekskresian neurotransmiter ke celah sinaptik. Di mana
selaput vesikula menyatu dengan tombol presinaptik. Sinapsis adalah titik
persimpangan antara dua neuron. Di sela celah, neurotransmiter mengikat reseptor
membran: protein besar menempati di membran sel neuron pasca sinaptik.
Neurotransmiter ini melintasi celah Sinaps yang mana merupakan ruang antara
akson satu neuron dan dendrit neuron berikutnya ke jalur saraf (Ayano, 2016).
Daftar pustaka

Amir, N (2011). Mengenal lebih dekat gangguan bipolar; In Medical Update


Indonesia. Edisi Desember. Jakarta: p34-37

Pfennig A, Bschor T, Falkai P, Bauer M (2013): Clinical practice guideline: The


Diagnosis and Treatment of Bipolar Disorder. Deutsches Arzteblatt International;
110(6): 92–100

Kusumawardhani A.A.A.A., 2012. Diagnosis Banding Gangguan Bipolar. Dalam:


Kumpulan Makalah Konas I Gangguan Bipolar. Surabaya: Airlangga University
Press. Hal 29-36.

Stahl, S.M (2008). Stahls Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basic


and Practical Application. 3rd ed. Cambridge University Press: p.453-510

American Psychiatric Association 2000, Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder, 4th Edition, Text Revision, Washington DC, American
Psychiatric Association

Amir N, 2010. Gangguan Mood Bipolar: Kriteria Diagnostik dan Tatalaksana


dengan Obat Antipsikotika Atipik. Badan Penerbit FKUI, Jakarta

Sarris J, et al. Bipolar disorder and complementary medicine: Current evidence,


safety issues, and clinical considerations. The Journal of Alternative and
Complementary Medicine. 2011;17:881.

Hall-Flavin DK (expert opinion). Mayo Clinic, Rochester, Minn. Nov. 8, 2011.

Yatham LN, et.al., Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments
(CANMAT) guidelines for the management of patients with bipolar disorder:

Ketter Terence A (2010). Handbook of Diagnosis and Treatment of Bipolar


Disorders. Fisrt Edition. American Psychiatric Publisihing, Inc

(Goodwin et al., 2015), (Kring et al., 2012), (Ayano, 2016).

Anda mungkin juga menyukai