Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap individu memiliki perannya masing-masing dalam menjalani kehidupan sehari-
hari. Individu yang dapat menjalani perannya dengan baik serta memiliki perilaku yang sesuai
dan adaptif digolongkan sebagai sesorang dengan kesehatan jiwa yang baik, sebaliknya individu
yang gagal memenuhi perannya serta berperilaku yang tidak sesuai dapat digolongkan sebagai
seseorang dengan gangguan jiwa (Videbeck, 2011). Gangguan jiwa merupakan pola dari
perilaku yang bermakna secara klinis dan berhubungan dengan penderitaan atau distress yang
menimbulkan gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia (Keliath, 2011).
Peningkatan fenomena gangguan jiwa pada saat ini terjadi dengan sangat signifikan
dimana jumlah penderita gangguan jiwa di seluruh belahan dunia terus bertambah setiap
tahunnya. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa ada sekitar 450 juta orang
yang mengalami gangguan jiwa dan satu diantara empat orang tersebut mengalami masalah
mental (Yosep, 2013).
Berdasarkan hasil survey kesehatan rumah tangga (SKTR) (2007) diketahui bahwa
prevalensi gangguan jiwa per 1000 anggota rumah tangga terdapat 140/1000 penduduk dengan
usia 15 tahun ke atas dan diperkirakan sejak awal 2009 jumlah penduduk yang mengalami
gangguan jiwa mencapai 25% dari populasi penduduk di Indonesia. Sedangkan Data Profil
Kesehatan Indonesia (2008) menunjukkan bahwa dari 1000 penduduk terdapat 185 orang yang
mengalamin gangguan jiwa. Sedangkan jumlah penderita gangguan jiwa pada tahun 2013
mencapai 1,7 juta jiwa dimana terjadi penurunan dari jumlah pada tahun 2007 sebesar 11,6%
(Riskesdas, 2013).
Penanganan pasien dengan gangguan jiwa harus dilakukan secara menyeluruh dan
komprehensif melalui multi pendekatan, baik dengan pendekatan keluarga maupun dari petugas
kesehatan dan spesialis yang secara langsung berhadapan dengan penderita gangguan jiwa dan
harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing penderita. Penderita gangguan jiwa akan
melewati fase akut yang juga dianggap darurat sebagai fase awalnya dimana penderita
mengalami perubahan terutama perilaku agresif yang dapat membahayakan dirinya maupun
lingkungan sekitarnya yang harus ditangani dengan segera. Yusuf, dkk (2015) mengemukakan
bahwa terjadinya gangguan alam pikiran, perasaan, ataupun perilaku yang membutuhkan
intervensi terapeutik segera disebut kegawatan psikiatri. Keluarga yang tidak memiliki keahlian
maupun keterampilan dalam menangani pasien yang berada pada fase ini sangat membutuhkan
peran dari perawat.
Penanganan segera pada kondisi krisis ini dapat dilakukan di rumah sakit jiwa maupun di
rumah sakit umum yang memiliki tempat khusus yang disebut Psychiatric Intensif Care Unit
(PICU). PICU merupakan pelayanan pada pasien gangguan jiwa dengan kondisi krisis psikiatri.
PICU dapat diselenggarakan di rumah sakit jiwa ataupun unit psikiatri rumah sakit umum
dimana pelayanan yang dilakukan merupakan gabungan dari gawat darurat psikiatri dan
pelayanan intensif (Keliat, dkk, 2009). PICU secara khusus memberikan perawatan kepada klien
psikiatri yang berada dalam kondisi membutuhkan pengawasan ketat. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Setiawan (2015) dijelaskan bahwa perilaku agresif yang dilakukan oleh
penderita dengan gangguan jiwa di ruang PICU rumah sakit jiwa Surakarta mencapai 75 angka
kejadian dalam setiap bulannya dan membutuhkan penanganan segera dari perawat. Perawatan
yang dilakukan di ruang PICU terlaksana sampai penderita berada dalam kondisi non akut
sehingga bisa dipindahkan ke ruang sub akut atau ruang perawatan.
Ruang PICU memiliki standarisasi dalam penatalaksanaannya dan memiliki instrumen
dalam mengukur tingkat kedaruratan pada penderita gangguan jiwa. Berbagai instrumen bisa
digunakan dalam mengklasifikasikan klien dengan gangguan jiwa masuk dalam kategori krisis
dan membutuhkan perawatan intensif, diantaranya menggunakan skala GAF (General Adaptive
Function), PANSS-EC (Positive and Negative Syndrome Scale-ExcitedComponent), dan
mengunakan skala RUFA (Respon Umum Fungsi Adaptif).
Kondisi manusia selalu bergerak pada rentang adaptif dan maladaptif, dimana kondisi ini
dapat diukur dari respon yang ditunjukkan atau yang dihasilkan. Berdasarkan respon tersebut
lalu terjadi perumusan diagnosa skala RUFA berlandaskan diagnosa keparawatan. Skala RUFA
merupakan instrumen yang cocok digunakan perawat di ruang PICU karena setiap diagnosa
keperawatan memiliki kriteria skor sendiri. RUFA memodifikasi skala GAF agar sesuai dengan
penggunaan keperawatan karena dalam pemberian asuhan keperawatan, respon manusia
merupakan pendekatan yang digunakan oleh perawat sesuai dengan fungsi respon yang adaptif
(Stuart & Laraia, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Obermeier, et. al (2011) mengatakan
bahwa PANSS-EC merupakan salah satu instrumen penilaian yang paling penting dan
merupakan skala yang paling mapan untuk pasien dengan gangguan jiwa berat atau skizofrenia.
Berdasarkan latar belakang di atas kelompok tertarik untuk mengetahui lebih detail terkait
dengan instrumen tersebut di atas dalam menilai tingkat kedaruratan pasien degan gangguan jiwa
khususnya menggunakan skala PANSS-ES dan RUFA serta bagaimana aplikasinya di ruang
Psychiatric Intensif Care Unit (PICU).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Aplikasi dari Instrumen Krisis yang digunakan dalam
Kegawatdaruratan psikiatri di Psychiatric Intensif Care Unit (PICU)
1.2.2 Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui jenis-jenis instrumen yang digunakan dalam penilaian fase krisis di
Psychiatric Intensif Care Unit (PICU)
 Untuk mengetahui penggunaan skala RUFA (Respon Umum Fungsi Adaptif) sebagai
instrumen dalam penilaian fase krisis di Psychiatric Intensif Care Unit (PICU)
 Untuk mengetahui penggunaan skala PANSS-EC (Positive and Negative Syndrome
Scale-ExcitedComponent) sebagai instrumen dalam penilaian fase krisis di Psychiatric
Intensif Care Unit (PICU)

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teorotis
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi wawasan dan menambah ilmu
keperawatan jiwa khususnya dalam kegawatdaruratan psikiatri serta dapat menemukan
dan memecahkan permasalahan yang dihadapi khususnya dalam kegawatdaruratan
psikiatri. Selain itu dapat digunakan sebagai sumber dan literatur dalam pengembangan
ilmu pengetahuan selanjutnya.
1.3.2 Manfaat Praktis
Penulisan makalah ini dapat digunakan oleh perawat di Psychiatric Intensif Care
Unit (PICU) sebagai panduan dalam membandingkan efektivitas dan kemudahan
penggunaan instrumen untuk mengukur tingkat kedaruratan penderita gangguan jiwa,
sehingga perawat dapat menggunakan pilihan yang tepat dalam mengklasifikasikan klien.
Selain itu dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan evaluasi dalam pengembangan
aplikasi instrumen untuk penilaian fase krisis penderita dengan gangguan jiwa.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Psikiatri
Psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari segala tentang gangguan jiwa,
mulai dari pengenalan, pencegahan, pengobatan, rehabilitasi serta pembinaan dan peningkatan
kondisi kesehatan jiwa (Maramis, 2009).
Menurut Maramis (2009) Beberapa hal yang dipelajari dalam cabang-cabang ilmu lain
membantu perkembangan Ilmu Kedokteran Jiwa, misalnya :
1. Neuroanatomi : hubungan bagian otak tertentu dengan kehidupan dan gangguan
mental.
2. Neurofisiologi : cara kerja substrat anatomi sampai terjadi proses mental dan
gangguannya : penyelidikan hal belajar dan ingatan.
3. Neurokimia : peran zat-zat kimia terhadap hal-hal kejiwaan dan gangguannya.
4. Psikofarmakologi : obat-obatan yang dapat mempengaruhi proses mental, baik dalam
keadaan sehat, maupun dalam keadaan terganggu.
5. Genetika : menyelidiki segala faktor keturunan dalam hal gangguan jiwa
6. Ilmu jiwa atau psikologi : menambah pengertian tentang persepsi, kognisi, ingatan,
berbagai teori tentang belajar, motivasi, dan komunikasi antar manusia serta
kepribadian.
7. Sosiologi : pengaruh faktor-faktor sosial terhadap kesehatan dan gangguan jiwa,
seperti struktur dan fungsi sosial, perubahan sosial, interaksi individu dan kelompok,
serta interaksi antar kelompok.
8. Antropologi : pengaruh norma, nilai dan kepercayaan pada kesehatan jiwa; pengaruh
keluarga : pernikahan, perceraian, struktur keluarga, dan fungsi keluarga.
9. Epidemiologi : sangat membantu penyelidikan tentang keadaan kesehatan jiwa dalam
masyarakat dan segala faktor yang mempengaruhinya.

2.2 Psychiatric Intensive Care Unit (PICU)


Psychiatric Intensive Care Unit (PICU) merupakan pelayanan kesehatan intensif yang
ditujukan untuk klien gangguan jiwa dalam kondisi krisis psikiatri yang diselenggarakan di
rumah sakit jiwa atau unit psikiatri rumah sakit umum (Keliat, dkk, 2009). Menurut Yusuf
(2015) adapun kriteria kedaruratan memiliki kriteria adalah sebagai berikut.
1. Ancaman segera terhadap kehidupan, kesehatan, harta benda, atau lingkungan.
2. Telah menyebabkan kehilangan kehidupan, gangguan kesehatan, serta harta benda dan
lingkungan.
3. Memiliki kecenderungan peningkatan bahaya yang tinggi dan segera terhadap kehidupan,
kesehatan, harta benda, atau lingkungan.
Berdasarkan prinsip penanganan kedaruratan psikiatri dibagi dalam fase intensif I (24
jam pertama), fase intensif II (24–72 jam pertama), dan fase intensif III (72 jam–10 hari). Fase
intensif I adalah fase 24 jam pertama pasien dirawat dengan observasi, diagnosis, perawatan, dan
evaluasi yang ketat. Berdasarkan hasil evaluasi pasien, maka pasien memiliki tiga kemungkinan
yaitu dipulangkan, dilanjutkan ke fase intensif II, atau dirujuk ke rumah sakit jiwa. Fase intensif
II fase perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai dengan 72 jam. Berdasarkan hasil
evaluasi, maka pasien pada fase ini memiliki empat kemungkinan yaitu dipulangkan,
dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau kembali ke ruang fase intensif I. Pada fase intensif
III, pasien dikondisikan sudah mulai stabil, sehingga observasi menjadi lebih berkurang dan
tindakan-tindakan keperawatan lebih diarahkan kepada tindakan rehabilitasi. Fase ini
berlangsung sampai dengan maksimal 10 hari. Merujuk kepada hasil evaluasi maka pasien pada
fase ini dapat dipulangkan, dirujuk ke rumah sakit jiwa atau unit psikiatri di rumah sakit umum,
ataupun kembali ke ruang fase intensif I atau II. Adapun skala yang digunakan untuk mengukur
tingkat kedaruratan pasien adalah skala General Adaptive Function (GAF) dengan rentang skor
1–30 skala GAF. Keperawatan memberikan intervensi kepada pasien berfokus pada respons,
sehingga kategori pasien dibuat dengan skor Respons Umum Fungsi Adaptif (RUFA) atau
General Adaptive Function Response (GAFR) yang merupakan modifikasi dari skor GAF
(Yusuf, 2015)
Secara umum, pasien yang dirawat di Psychiatric Intensive Care Unit (PICU) adalah
pasien dengan kriteria berikut.
1. Risiko bunuh diri yang berhubungan dengan kejadian akut.
2. Penyalahgunaan napza atau kedaruratan yang terjadi akibat napza.
3. Kondisi lain yang akan mengalami peningkatan yang bermakna dalam waktu singkat.
Sementara itu, berdasarkan masalah keperawatan maka pasien yang perlu dirawat di unit
perawatan intensif psikiatri adalah pasien dengan masalah keperawatan sebagai berikut.
1. Perilaku kekerasan.
2. Perilaku bunuh diri.
3. Perubahan sensori persepsi: halusinasi (fase IV).
4. Perubahan proses pikir: waham curiga.
5. Masalah-masalah keperawatan yang berkaitan dengan kondisi pasien putus zat dan
overdosis, seperti perubahan kenyamanan berupa nyeri, gangguan pola tidur, gangguan
pemenuhan nutrisi, gangguan eliminasi bowel, dan defisit perawatan diri.
Menurut Yusuf (2015) pasien baru yang masuk PICU dilakukan triase dengan mengkaji
keluhan utama pasien menggunakan skor RUFA (1–30) dan tanda vital. Berikut kategori pasien
menurut skor RUFA adalah sebagai berikut.
 Skor 1–10 masuk ruang intensif I
1. Prinsip tindakan
a. Penyelamatan hidup (life saving).
b. Mencegah cedera pada pasien, orang lain, dan lingkungan.
2. Indikasi
Pasien dengan skor 1–10 skala RUFA.
3. Pengkajian
Hal-hal yang harus dikaji adalah sebagai berikut:
a. Riwayat perawatan yang lalu.
b. Psikiater/perawat jiwa yang baru-baru ini menangani pasien (bila memungkinkan).
c. Diagnosis gangguan jiwa di waktu yang lalu yang mirip dengan tanda dan gejala
yang dialami pasien saat ini.
d. Stresor sosial, lingkungan, dan kultural yang menimbulkan masalah pasien saat ini.
e. Kemampuan dan keinginan pasien untuk bekerja sama dalam proses perawatan.
f. Riwayat pengobatan dan respons terhadap terapi, yang mencakup jenis obat yang
didapat, dosis, respons terhadap obat, efek samping dan kepatuhan minum obat, serta
daftar obat terakhir yang diresepkan dan nama dokter yang meresepkan.
g. Pemeriksaan kognitif untuk mendeteksi kerusakan kognitif atau neuropsikiatrik.
h. Tes kehamilan untuk semua pasien perempuan usia subur.
Pengkajian lengkap harus dilakukan dalam 3 jam pertama. Selain itu, pasien harus
sudah diperiksa dalam 8 jam pertama. Pasien yang berada dalam kondisi yang sangat
membutuhkan penanganan harus segera dikaji dan bertemu dengan psikiater/petugas
kesehatan jiwa dalam 15 menit pertama.
4. Intervensi
Intervensi untuk fase ini adalah observasi ketat, yakni sebagai berikut:
a. Bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, perawatan diri).
b. Manajemen pengamanan pasien yang efektif (jika dibutuhkan).
c. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik.
5. Evaluasi
a. Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien
memungkinkan untuk dipindahkan ke ruang intensif II.
b. Bila kondisi pasien di atas 10 skala RUFA maka pasien dapat dipindahkan ke
intensif II.
 Skor 11–20 masuk ruang intensif II.
1. Prinsip tindakan
a. Observasi lanjutan dari fase krisis (intensif I).
b. Mempertahankan pencegahan cedera pada pasien, orang lain, dan lingkungan.
2. Indikasi
Pasien dengan skor 11–20 skala RUFA
3. Intervensi
Intervensi untuk fase ini adalah observasi frekuensi dan intensitas yang lebih rendah
dari fase intensif I. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi
musik dan terapi olahraga.
4. Evaluasi
a. Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien
memungkinkan untuk dipindahkan ke ruang intensif III.
b. Bila kondisi pasien di atas skor 20 skala RUFA, maka pasien dapat dipindahkan ke
intensif III. Bila di bawah skor 11 skala RUFA, maka pasien dikembalikan ke fase
intensif I.
 Skor 21–30 masuk ruang intensif III.
1. Prinsip tindakan
a. Observasi lanjutan dari fase akut (intensif II).
b. Memfasilitasi perawatan mandiri pasien.
2. Indikasi
Pasien dengan skor 21–30 skala RUFA.
3. Intervensi
Intervensi untuk fase ini adalah sebagai berikut.
a. Observasi dilakukan secara minimal.
b. Pasien lebih banyak melakukan aktivitas secara mandiri.
c. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik, terapi
olahraga, dan terapi keterampilan hidup (life skill therapy).
4. Evaluasi
a. Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien
memungkinkan untuk dipulangkan.
b. Bila kondisi pasien diatas skor 30 skala RUFA, maka pasien dapat dipulangkan dengan
mengontak perawat CMHN terlebih dahulu. Bila di bawah skor 20 skala RUFA, maka
pasien dikembalikan ke fase intensif II, serta jika di bawah skor 11 skala RUFA, maka
pasien dikembalikan ke fase intensif I.
Intrumen penilaian atau skala untuk mengukur kedaruratan psikiatri selain menggunakan
GAF dan RUFA dapat juga menggunakan PANSS EC. PANSS (Positive and Negative
Syndrome Scale) ialah salah satu instrumen penilaian yang paling penting untuk pasien dengan
gangguan jiwa berat/skizofrenia (Obermeier et al, 2011).
PANSS merupakan 30 item penilaian yang masingmasing dibagi dalam sub skala positif,
negatif, dan juga psikopatologi secara umum. Adapun skala ini biasanya digunakan oleh dokter
yang telah terlatih untuk menilai beratnya masing-masing item dengan memberikan poin sebesar
1-7 pilihan untuk beratnya gejala. PANSS dapat menunjukkan reliabilitas internal yang tinggi,
validitas yang disusun dengan baik, dan sensitivitas yang baik untuk perubahan gejala dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. PANSS merupakan pengukuran yang sensitif dan
spesifik dari manipulasi farmakologik pada gejala-gejala positif dan juga negatif dari skizofrenia.
Validitas dari masing-masing sub skala dikonfirmasi dengan eksplorasi dari klasifikasi pasien
berdasarkan kelas gejala predominan. Salah satu kekuatan PANSS adalah konsistensinya dalam
skoring pasien secara individual sejalan dengan waktu dan juga perjalanan penyakit (Pridmore,
2008).
PANSS-EC (The Positive and Negative Syndrome Scale -Excited Component) atau
PANSS komponen gaduh gelisah merupakan sub skala yang telah divalidasi dari PANSS yang
digunakan untuk mengukur gejala-gejala agitasi, dan menilai 5 (lima) gejala, yaitu : buruknya
kontrol terhadap impuls, ketegangan, permusuhan, ketidakkooperatifan dan gaduh gelisah.
Masing-masing gejala dinilai oleh dokter pada skala 1-7 (Kay SR, 1986., dalam Khalimah,
2009). Dari perspektif klinis, PANSS-EC adalah salah satu skala yang paling sederhana tetapi
paling intuitif yang digunakan untuk menilai pasien gaduh gelisah (Lindenmayer et al, 2008)
Skala penilaian PANSS-EC yang dinilai ialah dari 1 (tidak ada) sampai dengan 7 (sangat
parah) dan skor berkisar antara 5-35. Adapun nilai rata-rata ≥ 20 klinis menunjukkan adanya
agitasi akut (Baker RW, et al., 2003 dalam Montoya, et al. 2011). Apabila ditemukan hasil total
skor 25-35 pada pengukuran PANSS gaduh gelisah pasien, maka pasien tersebut dapat
dikategorikan dalam indikasi untuk dilakukan perawatan di rumah sakit (Kay SR, 1986., dalam
Khalimah 2009)

POSITIVE AND NEGATIVE SYNDROM SCALE - EXCITEMENT COMPONENT (PANSS-EC)


Tidak Agak Sangat
Kategori Minimal Ringan Sedang Berat
Ada Berat Berat
SIMPTOM POSITIVE
Waham P1 1 2 3 4 5 6 7
Kekacauan proses pikir P2 1 2 3 4 5 6 7
Halusinasi P3 1 2 3 4 5 6 7
Gaduh gelisah P4 1 2 3 4 5 6 7
Waham kebesaran P5 1 2 3 4 5 6 7
Kecurigaan P6 1 2 3 4 5 6 7
Permusuhan P7 1 2 3 4 5 6 7

SIMPTOM NEGATIVE
Afek Tumpul N1 1 2 3 4 5 6 7
Penarikan emosional N2 1 2 3 4 5 6 7
Kemiskinan raport N3 1 2 3 4 5 6 7
Apatis N4 1 2 3 4 5 6 7
Kesulitan berfikir N5 1 2 3 4 5 6 7
Kurangnya spontanitas
N6 1 2 3 4 5 6 7
dan arus percakapan
Pemikiran stereotipik N7 1 2 3 4 5 6 7
SKALA PSIKOPATOLOGI UMUM
Kekhawatiran somatic G1 1 2 3 4 5 6 7
Anxietas G2 1 2 3 4 5 6 7
Rasa bersalah G3 1 2 3 4 5 6 7
Ketegangan G4 1 2 3 4 5 6 7
Mannarisme dan posturing G5 1 2 3 4 5 6 7
Depresi G6 1 2 3 4 5 6 7
Retardasi motorik G7 1 2 3 4 5 6 7
Ketidak kooperatifan G8 1 2 3 4 5 6 7
Isi pikiran tidak biasa G9 1 2 3 4 5 6 7
Disorientasi G10 1 2 3 4 5 6 7
Perhatian yang buruk G11 1 2 3 4 5 6 7
Kurangnya daya nilai dan
G12 1 2 3 4 5 6 7
tilikan
Gangguan dorongan
G13 1 2 3 4 5 6 7
kehendak
Pengendalian impuls yang
G14 1 2 3 4 5 6 7
buruk
Preokupasi G15 1 2 3 4 5 6 7
penghindaran social secara
G16 1 2 3 4 5 6 7
aktif

Petunjuk:
1. Tidak ada gejala
2. Minimal: menunjukan keadaan patologis yang lemah, dicurigai atau bisa merupakan
ujung ekstrim dari batas normal.
3. Ringan: sedikit mengganggu fungsi sehari-hari.
4. Sedang: mempunyai gejala yang karakteristik, adanya masalah yang serius namun
kadang-kadang hanya mengganggu kehidupan sehari-hari pada tingkat yang sederhana.
5. Agak berat: menandakan gejala yang jelas-jelas telah mengganggu sebagian fungsi
seseorang.
6. Berat: gejala timbul sangat sering dan telah menyebabkan kehancuran terhadap
kehidupan seseorang dan memerlukan bantuan orang lain.
7. Sangat berat: merujuk pada psikopatologi yang serius, dimana gejala telah mengganggu
hampir seluruh fungsi kehidupan dan biasanya memerlukan pengawasan dan bantuan
beberapa keadaan.
DAFTAR PUSTAKA

Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI

Depkes RI. 2007. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Jakarta

Keliat, B. A. (2009). Proses Keperawatan Jiwa.Jakarta: ECG

Keliat, B.A dan Akemat. (2011). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC

Khalimah, S (2009). Perbaikan Gejala Agitasi Akut dengan Terapi Medikamentosa pada Pasien
Skizofrenia dalam Tujuh Hari Pertama Perawatan. Jakarta: FKUI

Lindenmayer et al (2008). Dimensions of psychosis in patients with bipolar mania as measured


by the positive and negative syndrome scale. Psychopathology, 4:264-270

Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga

Montoya et al (2011). Validation of the Excited Component of the Positive and Negative
Syndrome Scale (PANSSEC) in a naturalistic sample of 278 patients with acute psychosis
and agitation in a psychiatric emergency room. Health and Quality of Life Outcomes, 9:18

Obermeier, M et al (2011). Is the PANSS used correctly? A Systematic Review. Research


Article. Biomed Central. BMC Psychiatry. 11:113

Pridmore, S (2008). Echopraxia in Schizophrenia: Possible Mechanisms. Australian and New


Zealand Journal of Psychiatry

Setiawan, Sunu Narendra. (2015). Hubungan Perilaku Agresif Pasien dengan Stress perawat di
psychiatric intensive care unit (PICU) RSJD Surakarta. Surakarta : Stikes Kusuma Husada.
Tidak dipublikasikan

Stuart, G. W, Laraia, M. T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (8thed).


Philadelphia: Elsevier Mosby

Videbeck,S.L. (2011). Psychiatric mental health nursing.(3 edition). Philadhelpia: Lippincott


William & Wilkin.

Yosep Iyus. 2013. Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama

Yusuf, Ah. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai