KEDARURATAN PSIKIATRIK
Oleh:
SUYANTA
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-
Nya yang telah diberikan, maka penulis dapat menyusun makalah ini sesuai dengan waktu
yang ditentukan. Makalah ini disusun dengan tujuan menjadikan proses pembelajaran agar lebih
dipahami serta menambah pengkayaan pengetahuan mahasiswa.
Makalah ini tidak akan terselesaiakan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan, baik secara moril maupun materiil, untuk itu melalui tulisan ini
penulis mengucapan terima kasih kepada berbagai pihak.
Kesadaran akan masih jauhnya makalah ini dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran
dari pembaca sangatlah diharapkan demi perbaikan pada makalah selanjutnya. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Makalah ini akan menguraikan atau menjelaskan tentang konsep kedaruratan psikiatrik yang
meliputi:
a. Pengertian
b. Fungsi pelayanan
c. Dasar hukum
d. Macam-macam kasus kegawatdaruratan
e. Penatalaksanaan
BAB II
ISI MAKALAH
Dipandang dan segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda
dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu
khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan
akan menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat adalah UU
No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang
Rumah Sakit.
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur
dalam pasal 5l UUNo.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib
melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam
UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun
secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenamya merupakan hak setiap
orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4) Selanjutnya pasal 7
mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata
dan terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu.
Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam
pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai
persyaratan pemberian pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal
pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat
untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988
tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari.
Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum
ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992
tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk
pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah
peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan.
Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992 tentang
Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan”. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan
memerlukan kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan
mengandung risiko yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan
dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa “pelaksanaan pengobatan dan
atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu “. Ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga
akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat
dihindari, khususnya tindakan medis yang memelakukanngandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur
dalam pasal 50 UUNo.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa “tenaga
kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan
bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”. Pengaturan di
atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya
setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk
tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan
oleh tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus menemelakukanrapkan standar
profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) saat itu.
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan pertolongan
pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih maupun yang teriatih di
bidang medis. Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untuk melakukan tindakan
medis dalam undang-undang kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan, karena
masyarakat melakukan hal itu dengan sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu
mereka tidak dapat disebut sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di
bidang kesehatan.
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil yang telah
mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan yang memang
tugasnya di bidang ini (misainya petugas 118), maka tanggungjawab hukumnya tidak
berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian
dilakukan dengan membandingkan keterampilan tindakannya dengan tenaga yang serupa.
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi
hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat
Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu
bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut The
American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah “An emergency is
any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes the
responsibility of bringing the patient to the hospital-remelakukanquires immediate medical
attention. This condition continues until a determination has been made by a health care
professional that the patient’s life or well-being is not threatened”.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed
consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan
pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan
medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan
dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan
tersebut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus
disimpan dalam berkas rekam medis. Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak
pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan
diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya
kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause).
B. Prevalensi
Pada laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri daripada wanita,
karena laki-laki lebih sering menggunakan alat yang lebih efektif untuk bunuh
diri, antara lain dengan pistol, menggantung diri, atau lompat dari gedung yang
tinggi, sedangkan wanita lebih sering menggunakan zat psikoaktif overdosis atau
racun, namun sekarang mereka lebih sering menggunakan pistol. Selain itu
wanita lebih sering memilih cara menyelamatkan dirinya sendiri atau
diselamatkan orang lain. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun
2003 mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya
atau setiap 40 detik, bunuh diri juga satu dari tiga penyebab utama kematian pada
usia 15-34 tahun, selain karena factor kecelakaan.
Menurut Prayitno, pendataan mengenai kasus bunuh diri di Indonesia masih
jelek. Dari data yang diambil di kamar mayat Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, misalnya, terdapar 1.119 kasus bunuh diri dari tahun 2004-
2005. Dari jumlah tersebut 41% bunuh diri dengan cara gantung diri dan 23%
menggunakan racun serangga, sisanya lagi karena overdosis.
Respon Respon
Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu
dari remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya
ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.
Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman
sebaya, misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun.
Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman temannya.
Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan
bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan
diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat
pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan frustasi.
Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai
digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan
perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan
pekerjaan.
Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi
ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan
adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang
biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu menurunkan
jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan
kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi
adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah
zat), untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkannya.
C. Jenis-Jenis NAPZA
NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:
1. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang
dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi
hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan
ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika
yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan
lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat
berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:
a. Narkotika alami
Yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai narkotik tanpa
perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih
dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana.
Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi
pengobatan secara langsung karena terlalu berisiko. Contoh narkotika
alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
b. Narkotika sintetis
Yaitu adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat
sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa
sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon,
dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.Narkotika sintetis
dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:
1) Depresan = membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
2) Stimulan = membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja
dan merasa badan lebih segar.
3) Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang
mengubah perasaan serta pikiran.
c. Narkotika semi sintetis
Yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain
sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.
2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002,
psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat
yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang
membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf
simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy
(metamfetamin), dan fenfluramin.
Amphetamine sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan
sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah
perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu. Sedative dan
hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan golongan
stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran,
ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu
lama.
2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang
menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma
Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat
beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat
penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami
ketergantungan narkoba.
2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan
aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah
bilang ya, ibu bilang tidak).
3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya
penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik
dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun
antar saudara.
4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua
sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa
kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi
kemajuan dan masa depan anak itu sendiri – tanpa diberi kesempatan
untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.
5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya
mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam
banyak hal.
6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan
alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan
dalam menanggapi sesuatu.
c. Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut
sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi
tujuan pasar narkoba internasional, menyebabkan obat-obatan ini mudah
diperoleh. Bahkan beberapa media massa melaporkan bahwa para penjual
narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk di
Sekolah Dasar. Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin
memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya
menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi pecandu karena disebabkan oleh
beberapa faktor sekaligus atau secara bersamaan. Karena ada juga faktor
yang muncul secara beruntun akibat dari satu faktor tertentu.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut NANDA (The American Nursing Diagnosa
Association):
1. Gangguan persepsi sensori pada penggunaan halusinogen sehubungan
dengan tekanan teman sebaya, dimanifestasikan dengan berteriak dan
menutup telinga bila di tinggal sendriian dikamar.
2. Gangguan proses berpikir pada pengguna alcohol sehubungan dengan
tekanan diri hokum dan tunntutan dari keluarga dimanifestasikan
dengan bingung dan kurang sadar.
3. Gangguan persepsi sensori visual pada pengguna alcohol sehubungan
dengan hilangnya pekerjaan dan di tolak oleh kelurga.
4. Gangguan hubungan social, manipulative sehubungan dengan kondisi
putus zat adiktif,
5. Tidak efektifnya koping individu sehubungan dengan terus-menerus
menggunakan zat adiktif.
6. Gangguan konsep diri: harga diri yang rendah sehubungan dengan
ketidak mampuan mengatasi masalah.
7. Gangguan konsep diri sehubungan dengan menggunakan mekanis
mepertahan diri: denial agar tetep menggunakan obat.
8. Gangguan konsep diri: hargadiri rendah sehubungan dengan tidak
mampu mengenalkualitas yang positif dar diri sendiri.
9. Gaangguan pemusatan perhatian berhubungan dengan dampak pengguna
zat adiktif.
10.Gangguan aktifitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan
dengan dampak penggunanaan zat adiktif.
11. Partisipasi kelurga yang kurang dalam pengobatan klien berhubungan
dengan kurangnya pengetahuan.
12. Menolak mengikut iaktifitas program berhubungan dengan kurangnya
motifasi untuk sembuh.
13. Potensia luntuk melarikan diri berhubungan dengan ketergantungan
psikologis terhadap zat adiktif.
14. Potensial mengancam keamanan diri sehubungan dengan kondisi
pemutusan zat sedative hipnotik.
15. Potensial memburuknya kesadaran :koma berhubungan dengan
overdosis penggunans adatif hipnotik.
16. Potensial gangguan kardioveskuler: postural hipotesis berhubungan
dengan intoksikasi sedative hipnotik.
17. Gangguan gastrointestinal: mual, muntah, diare. Berhubungan dengan
kondisi pemutusan zat adektif.
18. Mekanisme koping destruktif: mengantuk berhubungan dengan
perasaan ditolak kelurga.
3. Penatalaksanaan
a. Prinsip Biopsikososiospiritual
1) Biologis
Tindakan biologis dikenal dengan detoksifikasi yang bertujuan untuk
a) Memberikan asuhan yang aman dalam “withdrawl”(prosing
penghentian) bagi klien pengguna NAPZA.
b) Memberikan asuhan yang humanistic dan memelihara martabat klien.
c) Memberikan terapi yang sesuai.
Setelah detoksifikasi tercapai, mempertahankan kondisi yang bebas
dari zat adiktif, dimana terapi farmakologis harus ditunjang oleh terapi
yang lain.
2) Psikologis
Bersama klien mengevaluasi pengalaman yang lalu mengidentifikasi
aspek positifnya untuk dipakaimengatasi kegagalan.
3) Sosial
Konseling keluarga
Kelurga sering frustasi menghadapi klien dan tidak mengerti sifat
dan proses adukasi sehingga seringkali melakukan hal yang tidak
terapeutik terhadap klien. Kelurga sering melindungi klien dari
dampak adiksi, meminta kluarga lain untuk memanfaatkan klien.
Menyalah diri sendiri, menghindari konfrontasi yang semuanya
menyebabkan klien meneruskan pemakaian zat adiktif. masalah
yang dihadap klien menimbulkan dampak kelurga seperti rasa tidaak
aman, malu, rasa bersalah, masalah keuangan, takut dan merasa
diisolasi. Oleh karena itu perawat perlu mendorong kelurga untuk
mengikuti pendidikan kesehatan tentang proses penggunaan dan
ketrgantungan, gejala putus zat, gejala relapse, tindakan
keperawatan. Lingkungan terapeotik, dan semua hal yang terkait
dengan pencegahan relapse dirumah.
Terapikelompok
Terdiri dari 7-10 orang yang difasilitasi oleh therapist. Kegitan yang
dilakukan tiap anggota bebas menyampaikan riwayat sampai
terjadinya idikasi, uapaya yang dilakukan untuk berhenti memakai
zat, kesulitan yang dihadapi dalam melakukan program perawatan,
terapi dan anggota kelompok memberikan umpan balik dengan jujur
dan dapat menambah pengalaman masing-masing.
Self help group
Self help group adalah kelompok yang anggotanya terdiri dari klien
yang berkeinginan bebes dari zat adiktif, dukungan antara anggota
akan memberi kekuatan dan motivasi untuk bebes dari zat adiktif.
b. Prinsip Community Therapeutik
Pada tempat ini klien dilatih untuk merubah perilaku kearah positif,
sehingga mampu menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat. Hal ini
dpat dilakukan bila klien diberi kesempatan mengungkapkan masalah
pribadi dan lingkungan. Community terapeutik melakukan intervensi
untuk mengatasinya.
Beberapa metode yang dilakukan.
Slogan yang berisi norma atau nilai kearah positif.
Pertemuan pagi (moorning meeting) yang diikuti oleh seluruh staf dan
klien untuk membahas masalah individu, interaksi antara klien dan
kelompok.
Talking to: metode yang digunakan untuk saling memperingati
dengan cara yang ramah sampai yang keras.
Learning experience yaitu memberikan tugas yang bersifat
membangun untuk merubah perilaku negatif.
Pertemuan kelompok
Pertemua numum (general meeting)
Plan services
Training
Commission and evaluate programs for perpetratorsEstablish integrated care pathways and information s
Identify, and when necessary, refer children and young people at risk
4. Perkosaan
Pemeriksaan hendaknya dilakukan oleh staf profesional yang telah
memiliki kemampuan untuk tidak hanya melakukan pemeriksaan
menyeluruh namun juga mampu mengumpulkan bukti-bukti yang
ada pada pasien. Pasien juga sebaiknya juga didampingi oleh
konselor krisis atau advokat selama proses pemeriksaan evaluasi.
Sesi awal intervensi psikoterapi mencakup unsur-unsur exposure
therapy dan cognitive restructuring, membantu pasien mengenai
respon stres, meminimalkan pasien menghindari kenangan yang
menyakitkan, dan memaksimalkan reintegrasi ke dalam rutinitas
kehidupan. Krisis intervensi pada pasien korban perkosaan menjadi
intervensi yang bersifat cepat, singkat, dan fokus, serta dirancang
untuk menstabilkan individu dan membantu mereka mengatasi
situasi. Terapi segera diperlukan untuk membantu pasien dalam
memperbaiki distorsi persepsi, mengurangi rasa bersalah,
menggunakan koping yang efektif, dan memfasilitasi korban untuk
hubungan sosial yang lebih luas serta dukungan dari keluarga. (Riba
et.al 2010; Mezey, 1997).
5. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)
Evaluasi dilakukan secara komprehensif dan penatalaksaan awal atau
melakukan perujukan yang sesuai pada anak yang mengalami
kekerasan untuk meminimalisir konsekuensi jangka panjang akibat
kekerasan yang dialaminya. Anak yang mengalami kekerasan
seksual beserta keluarganya memerlukan penatalaksanaan yang
profesional. Psikiater dapat membantu mengembalikan rasa harga
diri anak, menghadapi perasaan bersalah karena kekerasan yang
dialaminya, dan memulai proses untuk mengatasi trauma anak.
Penatalaksanaan yang baik dapat mengurangi risiko masalah pada
anak berkembang menjadi lebih serius pada saat telah dewasa. Untuk
orang tua anak dapat dilakukan terapi yang bersifat mendukung,
dilakukan pelatihan orang tua, dan manajemen marah. Dukungan
dari orang tua, sekolah, dan teman sebaya merupakan hal yang
sangat penting untuk menciptakan perasaan aman pada anak.
(Khouzam et al., 2007; Guerrero dan Piasecki, 2008)
6. Kekerasan Pada Lansia (Elder Abuse)
Penatalaksanaan segera difokuskan pada penanganan manifestasi
fisik akibat kekerasan yang dialami lansia dan menjamin keamanan
pasien. Tujuan intervensi adalah agar lansia tersebut mampu
mempertahankan kemandiriannya seaman mungkin. Harus dilakukan
evaluasi terhadap kelangsungan program, terapi fisik, bantuan
kesehatan di rumah, dan alat bantu seperti kursi roda, alat bantu
dengar, dan kacamata. Klinisi di IRD juga hendaknya berkonsultasi
dengan tim multidisipliner dari pekerja sosial yang ada, klinisi lain,
perawat, dan administrator untuk penanganan kasus ini. Tujuan akhir
penatalaksanaan adalah agar para lansia dapat memuaskan dan
menikmati hidupnya. Melaporkan kekerasan tergantung pada hukum
lokal yang berlaku, status klinis, dan derajat kemandirian atau
disfungsi korban kekerasan. (Khouzam et al., 2007).
BAB III
KESIMPULAN
Allen H, et al., 2002, Emergency Psychiatry (Review of Psychiatry Series, Vol 21, Number 3,
American Psychiatric Publishing, Inc., Washington DC.
Duckworth K. dan Freedman J., 2012, Psychosocial Treatments, Review article, National
Alliance on Mental Illness, www.nami.org
Elvira S. D., 2005, Kumpulan Makalah Psikoterapi, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia, Jakarta.
Guerrero Anthony dan Piasecki Melissa (ed), 2008, Problem-Based Behavioral Science and
Psychiatry, Springer Science and Business Media, New York.
Heriani, Kusumadewi Irmia, Siste Kristiani, 2010, Kedaruratan Psikiatri dalam Buku Ajar
Psikiatri, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Jacobs D and Brewer M, 2004, APA Practice Guideline Provides Recommendations for
Assesing and Treating Patients With Suicidal Behaviours, Psychiatric Annals 34:5
halaman 373-380.
Jacobs D. G., Baldessarini R. J., Conwell Y., Fauwcett J. A., Horton L., Meltzer H., Pfefer C.
A., Simon R. I., 2003, Practice Guideline for The Assesment and Treatment of Patients
With Suicidal Behaviors, Psychiatry Online.
Khouzam H.R., Gill T.S., Tan D.T., 2007. Handbook of Emergency Psychiatry. Elsevier’s
Health Science, Philadelphia.
Knox D.K. dan Holloman G.H., 2011, Use and Voidance of Seclusion and Restraint:
Consensus Statement of The American Association for Emergency Psychiatry Project
BETA Seclusion and Restraint Workgroup, West J Emerg Med Vol 13 Issue 1.
Mezey G. C., 1997, Treatment of Rape Victims, Advances in Psychiatric Treatment vol. 3
halaman 197-203.
National Institute for Health and Care Exellence, 2014, Violence Overview, www.
pathways.nice.org.uk
Petit JR, 2004, Handbook of Emergency Psychiatry, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia. Riba M.B, Ravindranath D., 2010, Clinical Manual of Emergency
Psychiatry 1st ed. American Psychiatric Publishing Inc., Washington DC.
Sadock B.J & Sadock V.A, 2010, Kapla n & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Science / Clinical Psychiatry, 10 th Eition, Lippincott Williams & Wilkins, New York.
Sadock BJ, Kaplan HI, Sadock VA, 2009, Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry: Other Psychiatric Emergencies. 9th ed., Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia.