Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

KEDARURATAN PSIKIATRIK

Oleh:

SUYANTA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-
Nya yang telah diberikan, maka penulis dapat menyusun makalah ini sesuai dengan waktu
yang ditentukan. Makalah ini disusun dengan tujuan menjadikan proses pembelajaran agar lebih
dipahami serta menambah pengkayaan pengetahuan mahasiswa.

Makalah ini tidak akan terselesaiakan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan, baik secara moril maupun materiil, untuk itu melalui tulisan ini
penulis mengucapan terima kasih kepada berbagai pihak.

Kesadaran akan masih jauhnya makalah ini dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran
dari pembaca sangatlah diharapkan demi perbaikan pada makalah selanjutnya. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat.

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi
darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatriks seperti percobaan bunuh diri,
penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada
perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang
kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk layanan
kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an,
terutama di perkotaan.
Kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang tak terduga dengan potensi
katastrophic. Banyak penyakit medis umum yang memberikan gejala gangguan perilaku dan
dapat menyebabkan perubahan dalam berpikir dan mood. Berbagai gejala tersebut
menyebabkan peningkatan keterlibatan psikiatri dalam pelayanan kedaruratan. Kedaruratan
psikiatri mencakup kondisi agitasi dan agresif, bunuh diri, kondisi lepas zat atau intoksikasi
zat, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak dan lansia, serta pemerkosaan.
Dalam semua situasi ini, peran psikiater sebagai konsultan dan penghubung dapat menjadi
sangat penting dalam memfasilitasi perawatan yang tepat.
Kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang tak terduga dengan potensi
katastrophic, dengan demikian diharapkan praktisi kesehatan mental harus siap untuk
mengatasi krisis seperti keinginan bunuh diri, agitasi dan agresi, serta keadaan confusional
state. Berdasarkan data yang dikumpulkan pada tahun 2001, didapatkan 30% pasien dengan
depresi unipolar, 26% psikosis, 20% dengan penyalahgunaan zat, 14% bipolar, 4%
gangguan penyesuaian, 3% gangguan cemas, dan 2% dengan demensia. Sekitar 40 persen
dari semua pasien terlihat di ruang gawat darurat psikiatri memerlukan rawat inap.
Sebagian besar kunjungan terjadi selama jam malam, dan tidak ada perbedaan antara hari,
minggu, bulan, atau tahun. (Allen et al., 2002; Sadock and Sadock, 2010)
Banyak penyakit medis umum yang memberikan gejala gangguan perilaku dan
dapat menyebabkan perubahan dalam berpikir dan mood. Berbagai gejala tersebut
menyebabkan peningkatan keterlibatan psikiatri dalam pelayanan kedaruratan. Saat ini juga
telah banyak pasien dengan alasan medis yang datang dengan ciri-ciri kepribadian dan
mekanisme koping yang maladaptif yang dapat mempersulit penatalaksanaan medisnya.
Dalam semua situasi ini, peran psikiater sebagai konsultan dan penghubung dapat menjadi
sangat penting dalam memfasilitasi perawatan yang tepat. Psikiater hendaknya mampu
dalam mengelola pasien yang mengalami kegawatdaruratan, mengelola masalah sistem
rumah sakit, informasi tentang penyakit medis dan psikiatris, terampil dalam konflik
resolusi, etis dan legal tentang tanggung jawab untuk keamanan pasien, dan mampu
melayani sebagai pemimpin tim yang bisa terjun langsung dalam krisis. (Riba, et al., 2010)
Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para
profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko
tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien biasanya datang
atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas kesehatan lainnya, atau tanpa
disengaja. Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya
meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan
mental baik sifatnya kronis ataupun akut.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana penjelasan mengenai kegawatdaruraratan psikiatrik berikut penatalaksanaannya
secara klinis.

1.3 Tujuan
Makalah ini akan menguraikan atau menjelaskan tentang konsep kedaruratan psikiatrik yang
meliputi:
a. Pengertian
b. Fungsi pelayanan
c. Dasar hukum
d. Macam-macam kasus kegawatdaruratan
e. Penatalaksanaan
BAB II
ISI MAKALAH

2.1 Definisi Kedaruratan Psikiatri


Kegawatdaruratan adalah rangkaian kegiatan praktik keperawatan kegawatdaruratan
yang diberikan oleh perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di
ruang gawat darurat. Keperawatan Kegawatdaruratan (emergency Nursing) adalah bagian
dari keperawatan dimana perawat memberikan asuhan kepada klien yang sedang mengalami
keadaan yang mengancam kehidupan karena sakit atau kecelakaan. Unit Gawat Darurat
Adalah tempat/unit di RS yang memiliki tim kerja dengan kemampuan khusus & peralatan
yang memberikan pelayan pasien gawat darurat, merupakan rangkaian dari upaya
penanggulangan pasien dengan gawat darurat yang terorganisir

Berdasarkan konsensus yang dikembangkan oleh American Psychiatric Association (APA)


menyebutkan bahwa kedaruratan psikiatri adalah gangguan yang bersifat akut, baik pada pikiran,
perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan intervensi segera yang didefinisikan oleh
pasien, keluarga pasien, atau masyarakat (Trent, 2013). Kondisi pada keadaan
kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri, ketergantungan obat,
intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan, serangan panik, dan perubahan
tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang
mematikan dan muncul dengan gejala psikiatriks umum. Kegawatdaruratan psikiatrik ada
untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini. Kemampuan dokter untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah penting.
Keperawatan Gawat Darurat adalah pelayanan profesional yg didasarkan pada ilmu
keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat darurat berbentuk pelayanan bio-
psiko-sosio- spiritual yang komprehensif ditujukan pada semua kelompok usia yang sedang
mengalami masalah kesehatan yang bersifat urgen , akut dan kritis akibat trauma, proses
kehidupan ataupun bencana.

2.2 Fungsi Pelayanan Kedaruratan Psikiatri


Fungsi pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik adalah menilai permasalahan pasien,
memberikan perawatan jangka pendek, memberikan pengawasan selama 24 jam ,
mengerahkan tim untuk menyelesaikan intervensi pada tempat kediaman pasien,
menggunakan layanan manajemen keadaan darurat untuk mencegah krisis lebih lanjut,
memberikan peringatan pada pasien rawat inap dan pasien rawat jalan, dan menyediakan
pelayanan konseling lewat telepon.
Tempat rujukan layanan kegawatdaruratan psikiatrik biasanya dikenal sebagai
Psychiatric Emergency Service, Psychiatric Emergency Care Centres, atau Comprehensive
Psychiatric Emergency Programs. Tenaga kesehatan terdiri dari berbagai disiplin,
mencakup kedokteran, ilmu perawatan, psikologi, dan karya sosial di samping psikiater.
Untuk fasilitas, kadang dirawat inap di rumah sakit jiwa, bangsal jiwa, atau unit gawat
darurat, yang menyediakan perawatan segera bagi pasien selama 24 jam. Di dalam
lingkungan yang terlindungi, pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik diberikan untuk
memperoleh suatu kejelasan diagnostik, menemukan solusi alternatif yang sesuai untuk
pasien, dan untuk memberikan penanganan pada pasien dalam jangka waktu tertentu.
Bahkan diagnosis tepatnya merupakan suatu prioritas sekunder dibandingkan dengan
intervensi pada keadaan kritis.
Kondisi Kedaruratan adalah suatu kondisi dimana terjadi gangguan integritas
fisiologis atau psikologis secara mendadak. Semua masyarakat berhak mendapat perawatan
kesehatan gawat darurat, pencegahan primer, spesialistik serta kronik. Perawatan GD harus
dilakukan tanpa memikirkan kemampuan pasien untuk membayar. Semua petugas medis
harus diberi kompensasi yang adekuat, adil dan tulus atas pelayanan kesehatan yang
diberikannya. Diperlukan mekanisme pembayaran penggantian atas pelayanan gratis,
hingga tenaga dan sarana tetap tejaga untuk setiap pelayanan. Hal ini termasuk mekanisme
kompensasi atas penderita yang tidak memiliki asuransi, bukan penduduk setempat atau
orang asing. Semua pasien harus mendapat pengobatan, tindakan medis dan pelayanan
memadai yang diperlukan agar didapat pemulihan yang baik dari penyakit atau cedera akut
yang ditindak secara gawat darurat.

2.3 Dasar Hukum Pelayanan Kedaruratan Psikiatri

Dipandang dan segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda
dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu
khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan
akan menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat adalah UU
No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang
Rumah Sakit.
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur
dalam pasal 5l UUNo.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib
melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam
UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun
secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenamya merupakan hak setiap
orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4) Selanjutnya pasal 7
mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata
dan terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu.
Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam
pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai
persyaratan pemberian pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal
pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat
untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988
tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari.
Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum
ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992
tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk
pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah
peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan.
Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992 tentang
Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan”. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan
memerlukan kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan
mengandung risiko yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan
dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa “pelaksanaan pengobatan dan
atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu “. Ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga
akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat
dihindari, khususnya tindakan medis yang memelakukanngandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur
dalam pasal 50 UUNo.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa “tenaga
kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan
bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”. Pengaturan di
atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya
setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk
tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan
oleh tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus menemelakukanrapkan standar
profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) saat itu.
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan pertolongan
pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih maupun yang teriatih di
bidang medis. Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untuk melakukan tindakan
medis dalam undang-undang kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan, karena
masyarakat melakukan hal itu dengan sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu
mereka tidak dapat disebut sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di
bidang kesehatan.
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil yang telah
mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan yang memang
tugasnya di bidang ini (misainya petugas 118), maka tanggungjawab hukumnya tidak
berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian
dilakukan dengan membandingkan keterampilan tindakannya dengan tenaga yang serupa.
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi
hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat
Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu
bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut The
American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah “An emergency is
any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes the
responsibility of bringing the patient to the hospital-remelakukanquires immediate medical
attention. This condition continues until a determination has been made by a health care
professional that the patient’s life or well-being is not threatened”.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed
consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan
pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan
medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan
dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan
tersebut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus
disimpan dalam berkas rekam medis. Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak
pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan
diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya
kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause).

2.4 Macam-Macam Kasus Kegawatdaruratan Psikiatri


2.4.1 Gaduh Gelisah
A. Definisi
Definisi dari gaduh gelisah adalah suatu keadaan yang menimbulkan tanda gejala
Psikomotor meningkat,yaitu:
Banyak bicara
Mondar-mandir
Lari-lari
Loncat-loncat
Destruktif
Bingung
Afek/emosi excitement, yaitu :
Marah-marah
Mengancam
Agresif
Ketakutan
Euphoria
B. Penyebab Keadaan Gaduh Gelisah :
1. Gangguan mental organik (delirium)
2. Psikosis fungsional
Gangguan psikotik akut
Skizofrenia
Keadaan mania
3. Amok
4. Gangguan panic
5. Kebingungan post konvulsi
6. Reaksi disosiatif
7. Ledakan amarah (temper tantrum)
C. Strategi Umum Pemeriksaan Pasien
1. Ketahui sebanyak mungkin mengenai pasien sebelum menjumpai
2. Waspada mengenai ancaman kekerasan
3. Perhatikan posisi diri jika berada di ruang tertutup
4. Pastikan ada orang lain pada saat pemeriksaan
5. Usahakan untuk mengadakan relasi sebaik mungkin dengan pasien
6. Cegah pasien menciderai diri
7. Cegah pasien menciderai orang lain
8. Pendekatan pasien dengan sikap tidak mengancam
9. Beri keyakinan pada pasien
10. Tawarkan pengobatan
11. Informasikan pasien bahwa pengikatan atau pengurungan mungkin diperlukan
12. Serahkan prosedur pengikatan kepada mereka yang menguasai
13. Pastikan tim selalu siap menahan pasien
D. Pemeriksaan
1. Diagnosis awal
pemeriksaan fisik
wawancara psikiatrik
pemeriksaan status mental
2. Mengidentifikasi faktor pencetus
3. Mengidentifikasi kebutuhan segera
untuk segera mendapat penanganan psikiatrik
untuk segera rujuk ke tempat yang paling berkompeten
4. Pemeriksaan laboratorium yang relevan
E. Penatalaksanaan pengikatan Fisik
1. Berbicara secara meyakinkan kepada pasien untuk menghentikan perilakunya.
2. Ulangi penjelasan jika tidak menghentikan perilakunya akan dilakukan
pengikatan.
3. Tawarkan untuk menggunakan medikasi dari pada dilakukan pengikatan 
Jangan tawar-menawar dengan pasien.
4. Jangan membiarkan pasien berpikir tentang keraguan kita untuk melakukan
pengikatan.
5. Lakukan pengikatan
Tiap anggota gerak satu ikatan
Ikatan pada posisi sedemikian agar tidak mengganggu aliran cairan IV jika
diperlukan
Posisi kepala lebih tinggi untuk menghindari aspirasi
Lakukakan pemeriksaan vital sign tiap setiap ½ jam
Tempatkan pasien pada tempat yang mudah dilihat oleh staf
6. Lanjutkan dengan medikasi
7. Setelah pasien dapat dikendalikan dengan medikasi, mulai dengan melepaskan
satu ikatan
8. Dua ikatan terakhir harus dilakukan bersama-sama (tidak menganjurkan
mengikat pasien dengan hanya satu ikatan pada anggota gerak
9. Buat catatan mengapa pasien harus diikat
F. Farmakoterapi
1. Golongan benzodiazepine
Diazepam
Lorazepam
Clonazepam
2. Golongan antipsikotik
Chlorpromazine
Haloperidol
Olanzapine
Fluphenazine
Untuk pasien non psikotik :
Golongan benzodiazepine
Untuk pasien psikotik :
Golongan benzodiazepine
Diazepam ampul 10 mg/2cc
Pemberian inj. IM atau IV
Pemberian IV hati-hati dengan depresi sistim pernafasan, berikan secara
perlahan 1 ampul dalam 10 menit, apat diulang tiap ½ jam.
Golongan antipsikotik
Chlorpromazine ampul 25mg/cc
Pemberian 25-100 mg inj. IM
Hati-hati hipotensi ortostatik
Dapat diulang tiap ½ jam
Haloperidol ampul 5 mg/cc
Pemberian inj. IM atau IV
D of Ch untuk kecurigaan etiologi organic
Dapat diulang tiap ½ jam
Olanzapine vial 10 mg
Pemberian 5 – 10 mg inj. IM
Dapat diulang 2 jam kemudian
Maksimal dosis 20 mg/hr
Maksimal u 3 hari dilanjutkan dengan p.o.
G. Perhatian
1. Medikasi hanya bertujuan untuk mengontrol target simptom
2. Pasien eksaserbasi akut sebaiknya diketahui obat yang sedang/terakhir dipakai,
kemudian berikan obat yang sama dengan meningkatkan dosisnya
3. Pemberian golongan benzodiazepin dengan antipsikotik akan menurunkan
kebutuhan dosis antipsikotik dan mengurangi efek EPS
4. Pemberian obat p.o. harus segera dimulai pada hari itu juga
2.4.2 Bunuh Diri
A. Pengertian
Bunuh diri adalah segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri
hidupnya sendiri dalam waktu singkat. Selama tahun 1950 sampai dengan 1988
rata – rata bunuh diri pada remaja yaitu usia antara 15 dan 19 tahun (Attempt
suicide, 1991). Menurut Keliat (2005) bunuh diri adalah tindakan agresif yang
merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Keadaan ini didahului oleh
respons maladaptive. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Sedangkan menurut Stuart (2007)
bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada
kematian.

B. Prevalensi
Pada laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri daripada wanita,
karena laki-laki lebih sering menggunakan alat yang lebih efektif untuk bunuh
diri, antara lain dengan pistol, menggantung diri, atau lompat dari gedung yang
tinggi, sedangkan wanita lebih sering menggunakan zat psikoaktif overdosis atau
racun, namun sekarang mereka lebih sering menggunakan pistol. Selain itu
wanita lebih sering memilih cara menyelamatkan dirinya sendiri atau
diselamatkan orang lain. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun
2003 mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya
atau setiap 40 detik, bunuh diri juga satu dari tiga penyebab utama kematian pada
usia 15-34 tahun, selain karena factor kecelakaan.
Menurut Prayitno, pendataan mengenai kasus bunuh diri di Indonesia masih
jelek. Dari data yang diambil di kamar mayat Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, misalnya, terdapar 1.119 kasus bunuh diri dari tahun 2004-
2005. Dari jumlah tersebut 41% bunuh diri dengan cara gantung diri dan 23%
menggunakan racun serangga, sisanya lagi karena overdosis.

C. Jenis bunuh diri


Clasification by Emule Durkheim :
1. Egoistic suicide
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat karena kondisi
kebudayaan yang menjadikan individu itu seolah-olah tidak berkepribadian
2. Altruistic suicide
Individu ini terikat pada tuntutan tradisi khusus.
Contoh: hara-kiri di jepang (menikam atau menusuk perut)
3. Anomic suicide
Individu kehilangan pegangan dan tujuan karena gangguan keseimbangan
integrasi antara individu dengan masyarakat

D. Perilaku bunuh diri


Perilaku bunuh diri dibagi menjadi 3 kategori :
1. Ancaman Bunuh Diri (suicide threat)
- Ada peringatan verbal dan non verbal
- Ancaman ini menunjukkan ambivalensi seseorang terhadap kematian
- Jika tidak mendapat respon maka akan ditafsirkan sebagai dukungan
untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Upaya Bunuh Diri (suicide attempt)
Semua tindakan dengan sengaja yang dilakukan individu terhadap diri sendiri
yang dapat menyebabkan kematian jika kegiatan tersebut sampai tuntas tidak
dicegah.
3. Isyarat Bunuh Diri (suicide gesture)
Bunuh diri yang direncanakan untuk usaha mempengaruhi perilaku orang
lain.

E. Metode bunuh diri.


Metode bunuh diri pada umumnya adalah:
- Over dosis obat dan melukai pergelangan tangan pada perempuan
- Menggunakan pisau, senjata dan automobile pada laki-laki
- Selain itu ada juga yang lompat dari ketinggian atau kereta api.

F. Faktor yang Mempengaruhi Bunuh Diri


1. Faktor Mood dan Biokimia Otak
Ternyata semua kasus “horror” tersebut dilandasi pada mood atau suasana
hati seseorang. Ghanshyam Pandey bserta timnya dari university of Illinois,
Chicago, menemukan bahwa aktivitas enzim didalam pikiran manusia
mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri.
Pandey, ditemukan bahwa tingkat aktivitas protein kinase C (PKC).
2. Faktor riwayat gangguan mental
Pandey dan timnya sangat tertarik untuk mengetahui kaitan lain antara kasus
bunuh diri pada remaja yang meninggal. Dari 17 remaja yang meninggal
akibat bunuh diri, 9 diantaranya memiliki sejarah gangguan mental. 8 yang
lain tidak mempunyai riwayat gangguan psikis, namun 2 diantaranya
mempunyai sejarah kecanduan alcohol dan obat terlarang.
3. Factor meniru, imitasi, dan pembelajaran
Dalam kasus bunuh diri, dikatakan ada proses pembelajaran. Para korban
memilki pengalaman dari salah satu keluarganya yang pernah melakukan
percobaan bunuh diri atau meninggal karena bunuh diri. Proses pembelajaran
disini merupakan asupan yang masuk kedalam memori seseorang.
4. Faktor isolasi sosial dan human relations
Menurut Rohana secara kualitatif mendapati pelajar bermasalah yang
cenderung membunuh diri sendiri daripada mereka yang mempunyai tingkah
laku terpinggir. Menurutnya, tingkah laku itu menyebabkan pelajar merasa
terasing karena tidak mempuyai kumpulan sendiri di sekolah. Tambahnya,
tingkah laku pelajar terpinggir akan menjadi lebih buruk apabila berasa diri
mereka juga tidak dipedulikan oleh keluarga.
5. Faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar
Dijelaskan bahwa rasa merupakan penyebab terjadinya banyak kasus bunuh
diri di Jakarta dan sekitarnya, akhir-akhir ini. Tidak adanya rasa aman untuk
menjalankan usaha bagi warga serta ancaman terhadap tempat tinggal mereka
berpotensi kuat memunculkan gangguan kejiwaan seseorang hingga tahap
bunuh diri.
6. Faktor religiusitas
Menurut Antasari dan Khairi, bunuh diri sebagai gejala tipisnya iman dan
kurang bgitu memahami ilmu agama. Dalam ajaran islam, bunuh diri
termasuk perbuatan haram dan dianggap mendahului ketentuan tuhan.
Memperkuat keimanan dan pendalaman masalah keagamaan, salah satu jalan
keluarnya.
2.4.3 Penyalahgunaan NAPZA
A. Pengertian
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai
setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan
sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi mumnya merujuk pada perilaku
psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat
terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan
jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan
toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).
B. Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZA dan zat zat yang dapat
membuat ketergantungan
Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi darikondisi yang
ringan sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan
oleh pengguna NAPZA. dan zat zat yang dapat membuat ketergantungan

Respon Respon

Eksperimental rekreasional situasional penyalahgunaan ketergantungan


Gambar 1.2.2 (rentan respon gangguan penyalahgunaan zat Sumber: Yosep, 2007)

Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu
dari remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya
ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.
Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman
sebaya, misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun.
Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman temannya.
Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan
bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan
diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat
pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan frustasi.
Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai
digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan
perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan
pekerjaan.
Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi
ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan
adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang
biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu menurunkan
jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan
kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi
adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah
zat), untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkannya.
C. Jenis-Jenis NAPZA
NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:
1. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang
dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi
hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan
ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika
yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan
lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat
berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis
maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:
a. Narkotika alami
Yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai narkotik tanpa
perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih
dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana.
Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi
pengobatan secara langsung karena terlalu berisiko. Contoh narkotika
alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
b. Narkotika sintetis
Yaitu adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat
sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa
sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon,
dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.Narkotika sintetis
dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:
1) Depresan = membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
2) Stimulan = membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja
dan merasa badan lebih segar.
3) Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang
mengubah perasaan serta pikiran.
c. Narkotika semi sintetis
Yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain
sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.

2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002,
psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat
yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang
membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf
simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy
(metamfetamin), dan fenfluramin.
Amphetamine sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan
sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah
perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu. Sedative dan
hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan golongan
stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran,
ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu
lama.

3. Zat Adiktif Lainnya


Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk
tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan
lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai
sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahan-bahan
berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika
dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik
seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang
termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol)
yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%)
seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari
5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C
(kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky.
Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya
dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan
koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk. 2000). Zat
adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.

D. Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA


Harboenangin (dalam Yatim, 1986) mengemukakan ada beberapa faktor
yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor eksternal
dan faktor internal.
1. Faktor Internal
a. Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih
cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu
biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah.
Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh
ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas,
pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain itu,
kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat berpengaruh
terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan cara
melarikan diri.
b. Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang
untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada
pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya.
c. Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan
narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan,
dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua,
narkoba digunakan sebagai obat penenang.
d. Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya
merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin
merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama
kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama.
e. Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk
menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba
dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada
permasalahan yang ada.

2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang
menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma
Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat
beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat
penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami
ketergantungan narkoba.
2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan
aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah
bilang ya, ibu bilang tidak).
3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya
penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik
dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun
antar saudara.
4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua
sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa
kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi
kemajuan dan masa depan anak itu sendiri – tanpa diberi kesempatan
untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.
5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya
mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam
banyak hal.
6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan
alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan
dalam menanggapi sesuatu.

b. Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)


Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara
teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar
berperilaku seperti kelompok itu. Peer group terlibat lebih banyak dalam
delinquent dan penggunaan obat-obatan. Dapat dikatakan bahwa faktor-
faktor sosial tersebut memiliki dampak yang berarti kepada keasyikan
seseorang dalam menggunakan obat-obatan, yang kemudian mengakibatkan
timbulnya ketergantungan fisik dan psikologis. Sinaga (2007) melaporkan
bahwa faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah teman
sebaya (78,1%). Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh teman
kelompoknya sehingga remaja menggunakan narkoba. Hasil penelitian ini
relevan dengan studi yang dilakukan oleh Hawari (1990) yang
memperlihatkan bahwa teman kelompok yang menyebabkan remaja
memakai NAPZA mulai dari tahap coba-coba sampai ketagihan.

c. Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut
sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi
tujuan pasar narkoba internasional, menyebabkan obat-obatan ini mudah
diperoleh. Bahkan beberapa media massa melaporkan bahwa para penjual
narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk di
Sekolah Dasar. Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin
memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya
menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi pecandu karena disebabkan oleh
beberapa faktor sekaligus atau secara bersamaan. Karena ada juga faktor
yang muncul secara beruntun akibat dari satu faktor tertentu.

E. Tanda dan Gejala


Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada
juga sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan
zat yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat
berbeda pada jenis zat yang berbeda.

Tanda dan Gejala Intoksikasi


Opiat Ganja Sedatif- Alkohol amfetamine
Hipnotik
* eforia * eforia * pengendalian * mata merah * selalu
* mengantuk * mata merah diri berkurang * bicara cadel terdorong
* bicara * mulut kering * jalan * jalan untuk
cadel * banyak bicara sempoyongan sempoyongan bergerak
* konstipasi dan tertawa * mengantuk * perubahan * berkeringat
* penurunan * nafsu makan * memperpanjang persepsi * gemetar
kesadaran meningkat tidur * penurunan * cemas
* gangguan * hilang kemampuan * depresi
Persepsi kesadaran menilai * paranoid

Tanda dan Gejala Putus Zat


Opiat Ganja Sedatif- Alkohol amfetamine
Hipnotik
* nyeri * jarang * cemas * cemas * cemas
* mata dan ditemukan * tangan gemetar * depresi * depresi
hidung berair * perubahan * muka merah * kelelahan
* perasaan persepsi * mudah marah * energi
panas dingin * gangguan * tangan gemetar berkurang
* diare daya ingat * mual muntah * kebutuhan
* gelisah * tidak bisa tidur * tidak bisa tidur
* tidak bisa Tidur meningkat
Tidur

F. Dampak Penyalahgunaan NAPZA


Martono (2006) menjelaskan bahwa penyalahgunaan NAPZA mempunyai
dampak yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah
(pendidikan), serta masyarakat, bangsa, dan negara.
1. Bagi diri sendiri
Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan
perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD),
yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan
perdarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan
kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum.
Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para
pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis:
1) Upper yaitu jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti
sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin,
2) Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang
yang memakai jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang
menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa
cemas, dan
3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat
racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis.
2. Bagi keluarga
Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana
nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Orang tua akan merasa malu
karena memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi
perbuatan anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena
pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak
yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah
tahanan.
3. Bagi pendidikan atau sekolah
NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi untuk proses belajar.
Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial
lain yang menganggu suasana tertib dan aman.
4. Bagi masyarakat, bangsa, dan negara
Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar
narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan
NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan
narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan
terancam. Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak
produktif, kejahatan meningkat serta sarana dan prasarana yang harus
disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.
G. Penanggulangan Masalah NAPZA
Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan,
pengobatan sampai pemulihan (rehabilitasi).
1) Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a) Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA
b) Deteksi dini perubahan perilaku
c) Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak
pada narkoba”
2) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus
zat, dengan dua cara yaitu:
a) Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang
mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala
putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat
tersebut berhenti sendiri.
b) Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat
misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna
sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya
diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara
bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat
juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat
penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala
yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
3) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu
melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna
NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai
kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan
pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana
rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan (Depkes, 2001).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program
terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan
dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua)
minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya
yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003). Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap
rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan
sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah
sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan
selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan
pemantapanterapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit
rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan.
Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh
menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2
tahun. Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di
ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang
detoksifikasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani
detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan
NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi
(DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan penggunaNAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan
dengan lingkungannya.

H. Jenis program rehabilitasi:


a) Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke
masyarakat (reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan
pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai
latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila
klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali
sekolah/kuliah atau bekerja.
b) Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua
berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap
dan tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat
bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing
dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi,
seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk
menggunakan NAPZA kembali atau craving masih sering muncul, juga
keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia)
merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi
dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih dapat
dilanjutkan, dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak
bersifat adiktif (menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan
ketergantungan.
Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi baik secara
individual maupun secara kelompok. Untuk mencapai tujuan psikoterapi,
waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak cukup; oleh
karena itu, perlu dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan (program
rehabilitasi). Dengan demikian dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang
tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi. Yang termasuk rehabilitasi
kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap
sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983
dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu
dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya
yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.
c) Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu
tempat. Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat
sebagai koselor, setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga
profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan
mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-
hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih
(craving) dan mencegah relaps. Dalam program ini semua klien ikut aktif
dalam proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh
tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap
perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan hukuman bagi
yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.
d) Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi
tidaklah cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai
dengan keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan
pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian
(spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko
seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila
taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila
kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama
sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.

I. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Penyalahgunaan NAPZA


1. Pengkajian
A.Fisik
Data fisik yang mungkin yang ditemukan oleh klien dengan menggunakan
NAPZA pada saat pengkajian adalah sebgai berikut: nyeri, gangguan pola
tidur, menurunnya seleramakan, konstipasi, diare, perilaku seks melanggar
norma, kemunduran dalam kebersihandiri, potensial kompikasi, jantung,
hati, dll. Infeksi pada paru-paru sedangkan sarannya yang ingin dicapai
adalah agar klienmampu untuk teratur dalam pola hidupnya.
B.Emosional
Perasaan gelisah (takutklodiketahui), tidak percaya diri, curiga dan tidak
berdaya. Sasaran yang ingin di capai agar klien mampu untuk mengontrol
dan mengendalikan diri sendiri.
C.Sosial
Lingkingan sosoal yang bias akrab dengan klien biasanya adalah teman
pengguna zat, anggota, keluarga lain pengguna zat lingkungan sekolah atau
kampus yang di gunakan oleh para pengedar.
D.Intelektual.
Pikiran yang selalu ingin menggunakan zat adiptif, perasaan ragu untuk
berhenti, aktivitas sekolah atau kuliah menurun sampai berhenti, pekerjaan
berhenti. Sasaran yang ingin dicapai adalah agar klien mampu untuk
konsentrasi daya meningkatkan daya piker ke hal-hal yang positif.
E. Spiritual.
Kegiatan keagamaan tidak ada. Nilai-nilai kebaikan ditinggalakan karena
perubahan perilaku (tidak jujur, mencuri, mengancam dan lain-lain) saran
yang ingin dicapai adalah mampu meningkatkan ibadaah, pelaksaan nilai-
kebaikan.
F. Kelurga
Ketakutan akan perilaku klien. Malu pada masyarakat, penghamburan dan
pengurasan secara ekonomi oleh klien, komunikasi dan pola asuh tidak
efektif, dukungan moril terhadap klien terpenuhi. Sasaran yang hendak
dicapa iadalah keluarga mampun merawat klien yang pada akhirnya
mencapai tujuan utamaya itu mengantisipasi terjadinya kekambuhan
(relapse).

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut NANDA (The American Nursing Diagnosa
Association):
1. Gangguan persepsi sensori pada penggunaan halusinogen sehubungan
dengan tekanan teman sebaya, dimanifestasikan dengan berteriak dan
menutup telinga bila di tinggal sendriian dikamar.
2. Gangguan proses berpikir pada pengguna alcohol sehubungan dengan
tekanan diri hokum dan tunntutan dari keluarga dimanifestasikan
dengan bingung dan kurang sadar.
3. Gangguan persepsi sensori visual pada pengguna alcohol sehubungan
dengan hilangnya pekerjaan dan di tolak oleh kelurga.
4. Gangguan hubungan social, manipulative sehubungan dengan kondisi
putus zat adiktif,
5. Tidak efektifnya koping individu sehubungan dengan terus-menerus
menggunakan zat adiktif.
6. Gangguan konsep diri: harga diri yang rendah sehubungan dengan
ketidak mampuan mengatasi masalah.
7. Gangguan konsep diri sehubungan dengan menggunakan mekanis
mepertahan diri: denial agar tetep menggunakan obat.
8. Gangguan konsep diri: hargadiri rendah sehubungan dengan tidak
mampu mengenalkualitas yang positif dar diri sendiri.
9. Gaangguan pemusatan perhatian berhubungan dengan dampak pengguna
zat adiktif.
10.Gangguan aktifitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan
dengan dampak penggunanaan zat adiktif.
11. Partisipasi kelurga yang kurang dalam pengobatan klien berhubungan
dengan kurangnya pengetahuan.
12. Menolak mengikut iaktifitas program berhubungan dengan kurangnya
motifasi untuk sembuh.
13. Potensia luntuk melarikan diri berhubungan dengan ketergantungan
psikologis terhadap zat adiktif.
14. Potensial mengancam keamanan diri sehubungan dengan kondisi
pemutusan zat sedative hipnotik.
15. Potensial memburuknya kesadaran :koma berhubungan dengan
overdosis penggunans adatif hipnotik.
16. Potensial gangguan kardioveskuler: postural hipotesis berhubungan
dengan intoksikasi sedative hipnotik.
17. Gangguan gastrointestinal: mual, muntah, diare. Berhubungan dengan
kondisi pemutusan zat adektif.
18. Mekanisme koping destruktif: mengantuk berhubungan dengan
perasaan ditolak kelurga.

3. Penatalaksanaan
a. Prinsip Biopsikososiospiritual
1) Biologis
Tindakan biologis dikenal dengan detoksifikasi yang bertujuan untuk
a) Memberikan asuhan yang aman dalam “withdrawl”(prosing
penghentian) bagi klien pengguna NAPZA.
b) Memberikan asuhan yang humanistic dan memelihara martabat klien.
c) Memberikan terapi yang sesuai.
Setelah detoksifikasi tercapai, mempertahankan kondisi yang bebas
dari zat adiktif, dimana terapi farmakologis harus ditunjang oleh terapi
yang lain.
2) Psikologis
Bersama klien mengevaluasi pengalaman yang lalu mengidentifikasi
aspek positifnya untuk dipakaimengatasi kegagalan.
3) Sosial
 Konseling keluarga
Kelurga sering frustasi menghadapi klien dan tidak mengerti sifat
dan proses adukasi sehingga seringkali melakukan hal yang tidak
terapeutik terhadap klien. Kelurga sering melindungi klien dari
dampak adiksi, meminta kluarga lain untuk memanfaatkan klien.
Menyalah diri sendiri, menghindari konfrontasi yang semuanya
menyebabkan klien meneruskan pemakaian zat adiktif. masalah
yang dihadap klien menimbulkan dampak kelurga seperti rasa tidaak
aman, malu, rasa bersalah, masalah keuangan, takut dan merasa
diisolasi. Oleh karena itu perawat perlu mendorong kelurga untuk
mengikuti pendidikan kesehatan tentang proses penggunaan dan
ketrgantungan, gejala putus zat, gejala relapse, tindakan
keperawatan. Lingkungan terapeotik, dan semua hal yang terkait
dengan pencegahan relapse dirumah.
 Terapikelompok
Terdiri dari 7-10 orang yang difasilitasi oleh therapist. Kegitan yang
dilakukan tiap anggota bebas menyampaikan riwayat sampai
terjadinya idikasi, uapaya yang dilakukan untuk berhenti memakai
zat, kesulitan yang dihadapi dalam melakukan program perawatan,
terapi dan anggota kelompok memberikan umpan balik dengan jujur
dan dapat menambah pengalaman masing-masing.
 Self help group
Self help group adalah kelompok yang anggotanya terdiri dari klien
yang berkeinginan bebes dari zat adiktif, dukungan antara anggota
akan memberi kekuatan dan motivasi untuk bebes dari zat adiktif.
b. Prinsip Community Therapeutik
Pada tempat ini klien dilatih untuk merubah perilaku kearah positif,
sehingga mampu menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat. Hal ini
dpat dilakukan bila klien diberi kesempatan mengungkapkan masalah
pribadi dan lingkungan. Community terapeutik melakukan intervensi
untuk mengatasinya.
Beberapa metode yang dilakukan.
 Slogan yang berisi norma atau nilai kearah positif.
 Pertemuan pagi (moorning meeting) yang diikuti oleh seluruh staf dan
klien untuk membahas masalah individu, interaksi antara klien dan
kelompok.
 Talking to: metode yang digunakan untuk saling memperingati
dengan cara yang ramah sampai yang keras.
 Learning experience yaitu memberikan tugas yang bersifat
membangun untuk merubah perilaku negatif.
 Pertemuan kelompok
 Pertemua numum (general meeting)

4. Intervensi Psikososial Pada Kedaruratan Psikiatri

Kedaruratan psikiatri memerlukan penatalaksanaan dalam waktu


yang tepat dan keahlian interpersonal. Suatu krisis merupakan kesempatan
untuk membantu dan jika memungkinkan melakukan perubahan, sehingga
suatu pelayanan krisis tidak hanya sesederhana mengumpulkan data dan
mengirim pasien ke tempat lain, namun diperlukan suatu proses
interpersonal yang terjadi antara pasien dan staf di kedaruratan. (Allen et al.,
2002).

Intervensi psikososial secara umum berupa beberapa bentuk


psikoterapi, pelatihan sosial, dan pelatihan vokasional. Penatalaksanaan ini
sangat bermanfaat untuk menyediakan dukungan, edukasi, dan panduan
kepada orang-orang yang mengalami gangguan mental beserta keluarganya.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa salah satu manfaat dari terapi ini
adalah dapat membantu individu mengurangi efek negatif dari gangguan
yang dideritanya dan meningkatkan fungsi hidupnya (tampak melalui
sedikitnya waktu hospitalisasi, dan kurangnya kesulitan dalam mengerjakan
kegiatan di rumah, sekolah, atau pekerjaannya). (Duckworth K. dan
Freedman J., 2012)
Pada seting kedaruratan, tujuan intervensi psikososial adalah untuk
keamanan pasien, melakukan penilaian, jika memungkinkan untuk
dilakukan fasilitasi terhadap perubahan meski sedikit namun bermakna pada
kondisi diri pasien. (Allen et al., 2002). Komponen atau fase intervensi
psikososial di kedaruratan psikiatri yaitu:
a. Membangun Hubungan (Building an Alliance)
Berartinya suatu wawancara tergantung dari sifat hubungan terapis
dengan pasien. Agar wawancara dapat menghasilkan data yang dapat
diandalkan (reliable), hendaknya senantiasa diusahakan menciptakan dan
memelihara hubungan yang optimal antara dokter dengan pasien.
Wawancara tidak dapat dipisahkan antara sifat terapeutik dan penegakan
diagnosis. Meski beberapa staf profesional telah memiliki intuisi
bagaimana membangun suatu hubungan dengan pasien, beberapa teknik
berikut ini dapat bermanfaat yaitu: memenuhi kebutuhan pasien, gunakan
pertanyaan alliance-building pada fase awal penilaian dan tunda
pertanyaan yang bersifat alliance-deflecting, menunjukkan empati, bantu
pasien mengungkapkan aspek emosional yang tidak menyenangkan pada
saat perujukan atau saat terapi sebelumnya, dan secara langsung atau
tidak langsung menanyakan perasaan pasien mengenai terapi atau sakit
yang dialaminya (Allen et al., 2002; Elvira, 2005).

b. Menghadapi Krisis Melalui Proses Stabilisasi dan Intervensi

Intervensi krisis adalah suatu metode yang diberikan segera pada


seseorang yang mengalami suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan
gangguan pada mental dan fisik. Secara ringkas tujuan dari intervensi
krisis adalah (1) stabilisasi, (2) meredakan tanda dan gejala akut dari
distres, dan (3) restorasi dari fungsi adaptasi independen jika mungkin
atau fasilitasi akses menuju ke perawatan lebih lanjut. (Dass- Brailsford,
2007; Roberts, 2005).
Prinsip intervensi krisis menggunakan model ABC, yang dimulai dari
mengidentifikasi persepsi pasien terhadap kejadian yang memicu krisis.
Intervensi ini baik jika dimulai dalam 4-6 minggu terjadinya krisis.
Model ABC merupakan proses intervensi 3 tahap, terdiri dari
A=Achieving Rapport (membangun hubungan), B=Beginning of
Problem Identification (mulai mengidentifikasi problem yang terjadi),
dan C=Coping. Model ini digunakan dengan tujuan mengembalikan
individu kepada level fungsinya sebelum krisis. (Khouzam et al., 2007).

c. Melakukan Psikoterapi (Therapy Work)

Fase ketiga pada intervensi psikososial adalah pengenalan psikoterapi


dan kemudian memulai melakukan psikoterapi tersebut. Tantangan
dalam mengenalkan elemen psikoterapi di seting kedaruratan adalah
banyak karakteristik terapi yang biasanya dilakukan di klinik tidak dapat
dilakukan di seting kedaruratan, hal ini karena lingkungan kedaruratan
yang berisik, privacy minimal, tuntutan kerja staf profesional IRD yang
bertumpang tindih sehingga membingungkan pasien, dan dibutuhkan
waktu yang cepat untuk membangun hubungan terapeutik. (Allen et al.,
2002).
Secara umum terdapat tiga karakteristik terapi yang dapat diaplikasikan
di seting kedaruratan psikiatri, yaitu perilaku (behavioral), kognitif, dan
dinamik. Psikoedukasi, pendekatan keluarga dan kultur juga penting,
namun hanya dipandang sebagai modifikasi pada awal wawancara.
Mayoritas pasien akan mendapatkan medikasi, yang dapat meningkatkan
efisiensi dan keamanan intervensi psikoteraputik, serta diperlukan pasien
dalam kondisi tidak tersedasi atau terganggu karena efek samping obat.
(Allen et al., 2002).
Berikut ini adalah penatalaksanaan intervensi psikososial pada
kedaruratan psikiatri tertentu, yaitu:
1. Agitasi
Strategi klinis inti untuk mengelola agitasi adalah penggunaan
strategi interpersonal yang menekankan teknik intervensi verbal atau
perilaku. Terdapat metode untuk intervensi verbal yang disebut
“verbal deescalation”. Pendekatan ini merupakan langkah awal untuk
mengatasi pasien agitasi, mencakup respon verbal dan non verbal
yang digunakan untuk meredakan atau mengurangi situasi yang
potensial terjadi kekerasan. (Trent, 2013; Velayudhan & Mohandas,
2009)
2. Bunuh Diri
Pilihan terapi yang akan dilakukan berdasarkan penilaian risiko
bunuh diri yang didapatkan melalui evaluasi psikiatrik. Tujuan
intervensi psikososial termasuk mencapai perbaikan dalam hubungan
interpersonal, keterampilan coping, fungsi psikososial, dan
manajemen afek. beberapa konsensus klinis yang menunjukkan
bahwa intervensi psikososial dan psikoterapeutik spesifik memiliki
manfaat untuk mengurangi risiko bunuh diri. (Jacobs dan Brewer,
2004; Jacobs et al., 2003)
Klinisi hendaknya memperhatikan isu-isu di bawah ini untuk
perencanaan penatalaksanaan segera, yaitu 1) Do no harm. Jangan
berikan medikasi kepada pasien yang mempunyai potensi toksik dan
overdosis. 2) Hindarkan pasien dari hal-hal dan benda-benda
berbahaya yang bisa menyebabkan bunuh diri berulang. 3) Berikan
harapan kepada pasien.

Klinisi hendaknya mencoba untuk membantu pasien memahami


problemnya dan membantu untuk penyelesaiannya. (Allen et al,
2002; Riba et al., 2010).
3. Kekerasan Domestik
Intervensi terhadap pasien yang mengalami kekerasan domestik yang
dibawa ke IRD adalah memfasilitasi secara independen,
melakukan formulasi untuk „exit-plan‟, edukasi pasien, serta
konseling dan kelompok pendukung. (Khouzam et al., 2007)
Gambar 1: Domestic Violence and Abuse Overview (NICE, 2014)

Identifying, preventing, and reducing


domestic violence and abuse

Plan services

Training

Health and Training


social care
andprofessionals
referral pathway for GP practices and other agencies
Work in partnership to prevent
domestic violence and
Develop an integrated commissioning strategy

Commission and evaluate programs for perpetratorsEstablish integrated care pathways and information s

Remove obstacles to people disclosing domestic violence and abuse


Ask about domestic violence and ensure formal referral pathways are in place

Identify, and when necessary, refer children and young people at risk

Provide tailored support and advocacy

Provide children and young people at


risk with specialist services
Support people with mental
health conditions

4. Perkosaan
Pemeriksaan hendaknya dilakukan oleh staf profesional yang telah
memiliki kemampuan untuk tidak hanya melakukan pemeriksaan
menyeluruh namun juga mampu mengumpulkan bukti-bukti yang
ada pada pasien. Pasien juga sebaiknya juga didampingi oleh
konselor krisis atau advokat selama proses pemeriksaan evaluasi.
Sesi awal intervensi psikoterapi mencakup unsur-unsur exposure
therapy dan cognitive restructuring, membantu pasien mengenai
respon stres, meminimalkan pasien menghindari kenangan yang
menyakitkan, dan memaksimalkan reintegrasi ke dalam rutinitas
kehidupan. Krisis intervensi pada pasien korban perkosaan menjadi
intervensi yang bersifat cepat, singkat, dan fokus, serta dirancang
untuk menstabilkan individu dan membantu mereka mengatasi
situasi. Terapi segera diperlukan untuk membantu pasien dalam
memperbaiki distorsi persepsi, mengurangi rasa bersalah,
menggunakan koping yang efektif, dan memfasilitasi korban untuk
hubungan sosial yang lebih luas serta dukungan dari keluarga. (Riba
et.al 2010; Mezey, 1997).
5. Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)
Evaluasi dilakukan secara komprehensif dan penatalaksaan awal atau
melakukan perujukan yang sesuai pada anak yang mengalami
kekerasan untuk meminimalisir konsekuensi jangka panjang akibat
kekerasan yang dialaminya. Anak yang mengalami kekerasan
seksual beserta keluarganya memerlukan penatalaksanaan yang
profesional. Psikiater dapat membantu mengembalikan rasa harga
diri anak, menghadapi perasaan bersalah karena kekerasan yang
dialaminya, dan memulai proses untuk mengatasi trauma anak.
Penatalaksanaan yang baik dapat mengurangi risiko masalah pada
anak berkembang menjadi lebih serius pada saat telah dewasa. Untuk
orang tua anak dapat dilakukan terapi yang bersifat mendukung,
dilakukan pelatihan orang tua, dan manajemen marah. Dukungan
dari orang tua, sekolah, dan teman sebaya merupakan hal yang
sangat penting untuk menciptakan perasaan aman pada anak.
(Khouzam et al., 2007; Guerrero dan Piasecki, 2008)
6. Kekerasan Pada Lansia (Elder Abuse)
Penatalaksanaan segera difokuskan pada penanganan manifestasi
fisik akibat kekerasan yang dialami lansia dan menjamin keamanan
pasien. Tujuan intervensi adalah agar lansia tersebut mampu
mempertahankan kemandiriannya seaman mungkin. Harus dilakukan
evaluasi terhadap kelangsungan program, terapi fisik, bantuan
kesehatan di rumah, dan alat bantu seperti kursi roda, alat bantu
dengar, dan kacamata. Klinisi di IRD juga hendaknya berkonsultasi
dengan tim multidisipliner dari pekerja sosial yang ada, klinisi lain,
perawat, dan administrator untuk penanganan kasus ini. Tujuan akhir
penatalaksanaan adalah agar para lansia dapat memuaskan dan
menikmati hidupnya. Melaporkan kekerasan tergantung pada hukum
lokal yang berlaku, status klinis, dan derajat kemandirian atau
disfungsi korban kekerasan. (Khouzam et al., 2007).
BAB III

KESIMPULAN

Kedaruratan psikiatri merupakan keadaan yang tak terduga dengan potensi


katastrophic. Berdasarkan konsensus yang dikembangkan oleh American Psychiatric
Association (APA) menyebutkan bahwa kedaruratan psikiatri adalah gangguan yang bersifat
akut, baik pada pikiran, perilaku, atau hubungan sosial yang membutuhkan intervensi segera
yang didefinisikan oleh pasien, keluarga pasien, atau masyarakat. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan pada pasien kedaruratan psikiatri yaitu tindakan kekerasan atau agitasi,
withdrawal dan intoksikasi zat, bunuh diri, kekerasan domestik, kekerasan terhadap anak dan
lansia, serta perkosaan.
Perawatan di kedaruratan psikiatri biasanya berfokus pada manajemen perilaku dan
gejala. Penatalaksanan kedaruratan psikiatri bersifat holistik berupa farmakoterapi dan
psikoterapi dalam hal ini adalah melalui intervensi psikososial. Tujuan dilakukan intervensi
psikososial di seting kedaruratan antara lain keamanan (safety), penilaian (assessment), dan
adalah jika memungkinkan untuk dilakukan fasilitasi terhadap perubahan meski sedikit namun
bermakna pada kondisi diri pasien. Terdapat tiga fase atau komponen dari intervensi
psikososial yaitu membangun hubungan (building an alliance), menghadapi krisis melalui
proses stabilisasi dan intervensi (dealing with the crisis driving the presentation through some
form of stabilization or intervention), dan yang terakhir adalah melakukan psikoterapi (therapy
work). Terdapat perbedaan penanganan pasien dengan intervensi psikososial pada berbagai
macam gambaran jenis kedaruratan psikiatri.
DAFTAR PUSTAKA

Allen H, et al., 2002, Emergency Psychiatry (Review of Psychiatry Series, Vol 21, Number 3,
American Psychiatric Publishing, Inc., Washington DC.

Dass-Brailsford, P 2007, ‘Crisis interventions’, in A practical approach to trauma:


empowering interventions, Sage Publication, California, pp 93-109.

Duckworth K. dan Freedman J., 2012, Psychosocial Treatments, Review article, National
Alliance on Mental Illness, www.nami.org

Elvira S. D., 2005, Kumpulan Makalah Psikoterapi, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia, Jakarta.

Guerrero Anthony dan Piasecki Melissa (ed), 2008, Problem-Based Behavioral Science and
Psychiatry, Springer Science and Business Media, New York.

Heriani, Kusumadewi Irmia, Siste Kristiani, 2010, Kedaruratan Psikiatri dalam Buku Ajar
Psikiatri, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Jacobs D and Brewer M, 2004, APA Practice Guideline Provides Recommendations for
Assesing and Treating Patients With Suicidal Behaviours, Psychiatric Annals 34:5
halaman 373-380.

Jacobs D. G., Baldessarini R. J., Conwell Y., Fauwcett J. A., Horton L., Meltzer H., Pfefer C.
A., Simon R. I., 2003, Practice Guideline for The Assesment and Treatment of Patients
With Suicidal Behaviors, Psychiatry Online.

Khouzam H.R., Gill T.S., Tan D.T., 2007. Handbook of Emergency Psychiatry. Elsevier’s
Health Science, Philadelphia.

Knox D.K. dan Holloman G.H., 2011, Use and Voidance of Seclusion and Restraint:
Consensus Statement of The American Association for Emergency Psychiatry Project
BETA Seclusion and Restraint Workgroup, West J Emerg Med Vol 13 Issue 1.

Mezey G. C., 1997, Treatment of Rape Victims, Advances in Psychiatric Treatment vol. 3
halaman 197-203.

National Institute for Health and Care Exellence, 2014, Violence Overview, www.
pathways.nice.org.uk

Petit JR, 2004, Handbook of Emergency Psychiatry, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia. Riba M.B, Ravindranath D., 2010, Clinical Manual of Emergency
Psychiatry 1st ed. American Psychiatric Publishing Inc., Washington DC.

Sadock B.J & Sadock V.A, 2010, Kapla n & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Science / Clinical Psychiatry, 10 th Eition, Lippincott Williams & Wilkins, New York.
Sadock BJ, Kaplan HI, Sadock VA, 2009, Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry: Other Psychiatric Emergencies. 9th ed., Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia.

Trent James, 2013, „A Review of Psychiatric Emergencies‟, CME Resource, Sacramento,


California.

Velayudhan R dan Mohandas E, 2009, Emergencies in Psychatry, Calicut Medical Journal


2009;7(4):e3.

Anda mungkin juga menyukai