Anda di halaman 1dari 34

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

FKIK Universitas Tadulako


Rumah Sakit Umum Anutapura

Palu, Maret 2015

REFARAT
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Nama
Stambuk
Pembimbing Klinik

: Rika Irena Dwiputri


: N 111 14 035
: dr. Andi Soraya, Sp.KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2015

BAB I
PENDAHULUAN

Pembangunan yang pesat di segala bidang berdampak pada tata


kehidupan masyarakat terutama di daerah perkotaan yang memerlukan penyesuai.
Namun tidak semua anggota masyarakat mampu menyesuaikan dengan perubahan
tersebut. Akibatnya adalah terjadi berbagai masalah kesehatan jiwa. Perilaku
perasaan dan pikiran yang luar biasa yang jika tidak ditatalaksana dengan baik
dapat menimbulkan ancaman bagi pasien tersebut maupun orang lain. Selain
karena masalah di atas kegawatdaruratan psikiatri juga dapat disebabkan oleh
akibat dari kondisi medik umum yang menampilkan gejala-gejala psikiatrik, atau
sebagai akibat yang merugikan dari obat/zat atau intoksikasi maupun reaksi antar
beberapa jenis obat. Krisis psikiatrik lain dapat terjadi jika pasien merupakan
korban dari trauma fisik atau emosi yang berat. Kegawatdaruratan psikiatrik dapat
terjadi di rumah, di jalan, pada ruang rawat inap atau rawat jalan, bangsal
psikiatrik, ruang bedah, maupun pada ruang gawat darurat di rumah sakit umum.1
Dalam satu dasawarsa kebutuhan pelayanan kegawatdaruratan
psikiatrik di Indonesia meningkat. Berbagai bencana akibat ulah manusia seperti
konflik horizontal masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara,
maupun berbagai kejadian bencana alam yang diakibatkan oleh manusia seperti
tanah longsor, banjir, kecelakaan pesawat dan lain-lain yang memerlukan
pertolongan psikiatrik segera.1
Tindakan bunuh diri, kekerasan dan penyalahgunaan zat merupakan
masalah serius yang perlu intervensi segera. Ketiga kondisi tersebuh merupakan
sebagian dari pelbagai kondisi kedaruratan psikiatrik. Diperlukan keterampilan
dalam asesmen dan teknik evaluasi untuk membuat diagnosis kerja. Dalam
pelaksanaannya sering diperlukan pemeriksaan fisik serta laboratorium yang
sesuai dan memadai.2
Kerjasama dalam suatu tim, adalah bentuk pelayanan yang paling
diharapkan untuk hasil optimal. Pendekatan Consultation Liaison Psychiatry

bermanfaat unuk beberapa penanganan kasus-kasus kedaruratan, seperti tindakan


bunuh diri, delirium, sindrom neuroleptik maligna, dll.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Psikiatri kegawatdaruratan (psychatric emergency) adalah cabang
psikiatri yang mempelajari tindakan segera dalam rangka upaya
penyelamatan-nyawa maupun upaya pertolongan segera untuk mencegah
terjadinya gangguan berlanjut atau yang bertambah buruk. Tindakan segera
untuk menyelamatkan nyawa, seperti pada kasus percobaan bunuh diri,
melukai diri, mengganggu lingkungan dan masyarakat sekitarnya, atau
hanya mengalami kegelisahan pribadi (personal distress). Tingkah laku
yang tidak lazim, kacau atau secara sosial tidak dapat diterima atau tidak
pantas muncul, yang tidak timbul dengan tiba-tiba dapat pula dimasukkan
kategori kegawatdaruratan psikiatrik.1
Kegawatdaruratan psikiatrik adalah suatu keadaan gangguan
dan/atau perubahan tingkah laku, alam pikiran atau alam perasaan yang
dapat dicegah (preventable) atau dapat diatasi (treatable) yang membuat
pasien sendiri, teman, keluarga, lingkungan, masyarakat atau petugas
profesional merasa perlu meminta pertolongan medik psikiatrik segera,
cepat dan tepat, karena kondisi itu dapat mengancam integritas fisik pasien,
integritas fisik orang lain, integritas psikologi pasien, integritas psikologik
keluarga atau lingkungan sosialnya. Keadaan kegawatdaruratan psikiatrik
dapat terjadi pada seseorang atau sekelompok orang bersama-sama. Selain
itu keadaan ini dapat disebabkan karena keterbatasan kapasitas orang
bersangkutan dalam usia, intelegensi, penyakit atau emosi pada saat itu.1

2.2

Epidemiologi
Ruang kegawatdaruratan psikiatrik sama-sama digunakan oleh lakilaki dan perempuan dan lebih banyak digunakan oleh lajang dibandingkan
dengan orang yang telah menikah. Kira-kira 20 persen pasien ini melakukan

bunuh diri dan kira-kira 10 persen melakukan kekerasan. Diagnosis yang


paling lazim adalah gangguan mood (termasuk gangguan depresif dan
episode manik), skizofrenia, dan ketergantungan alkohol. Kira-kira 40
persen pasien yang ditemui di ruang kegawatdaruratan psikiatrik
memerlukan perawatan di rumah sakit. Sebagian besar kunjungan terjadi di
malam hari, tetapi tidak ada perbedaan berdasarkan pada hari dalam
seminggu atau bulan-bulan dalam setahun.3
2.3 Tahap Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatri
Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi pengkajian, terapi
jangka pendek yang efektif, cepat dan tepat, evaluasi dari berbagai problem
psikiatrik yang dihadapi.1
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam kritis secara cepat dan
tepat adalah tujuan utama dalam melakukan evaluasi kedaruratan psikiatrik.
Tindakan segera dengan pendekatan yang pragmatis, yang harus dilakukan
secara tepat adalah2 :
-

Menentukan diagnosis awal


Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera

sang pasien
Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai.
Tujuan utama dalam evaluasi kedaruratan psikiatrik adalah :menilai

kondisi pasien yang secara cepat dan tepat. Dengan tugas di unit gawat
darurat yang sifatnya sering tak terduga, banyaknya pasien dengan keluhankeluhan fisik dan emosional, terbatasnya waktu dan ruang serta fasilitas
penunjang, diperlukan pendekatan yang pragmatis terhadap pasien. Kadangkadang lebih baik bagi pasien untuk tidak terlalu lama berada di unit gawat
darurat2.
Dalam waktu yang relatif singkat, harus dapat dikaji masalah dan
kebutuhan pasien, menentukan diagnosis dan mengambil tindakan yang
sebaik-baiknya. Untuk itu harus dilakukan pemeriksaan kepada pasien,
mulai dari mendapatkan informasi tentang pasien, penilaian ketika kontak
langsung dengan pasien, wawancara dan pemeriksaan psikiatrik.1
A. Informasi mengenai Pasien
4

Informasi singkat dan diprioritaskan kepada hal-hal yang sangat


dibutuhkan.1
- Identitas pasien dan keluarga atau orang yang membawanya,
bagaimana hubungan dengan pasien, siapa yang bertanggungjawab.
- Alasan dibawa ke rumah sakit dan riwayat singkat keadaan pasien.
- Apakah ada kejadian yang penting;beberapa hari sebelumnya.
- Riwayat tindakan pengobatan sebelumnya termasuk reaksi alergi
terhadap obat-obatan, baik yang disuntikkan maupun per oral.
Kepada keluarga1
- Informasikan keadaan kegawatdaruratan pasien dan tindakan-tindakan
yang mungkin diperlukan, agar keluarga mengerti dan bersedia
memberikan bantuan sepenuhnya.
- Menandatangani surat pernyataan (informed consent) bahwa mereka
menyetujui semua tindakan medik yang diperlukan untuk mengatasi
perilaku pasien dengan kekerasan yang membahayakan diri sendiri
dan orang lain.
B. Kontak pertama dengan pasien
Tentukan apakah1:
- Pasien melakukan kekerasan atau berpotensi melakukan kekerasan
- Pasien dengan problem medis yang mengancam jiwanya yang
tampilan gejalanya seperti gangguan psikiatrik.
Penilaian kegawatdaruratan psikiatrik1 :
- Sedang mengancam orang lain atau dilaporkan melakukan tindakan
kekerasan
- Berteriak-teriak, provokatif atau secara langsung maupun tidak
langsung mengganggu pasien lain.
- Orang yang telah mengenal pasien dan merasa diancam oleh tingkah
laku pasien, meskipun pada saat pemeriksaan tidak ada tindakan
kekerasan.
- Menunjukkan perubahan tingkah laku yang mencolok seperti sikap
melawan bergantian dengan diam atau berteriak-teriak bergantian
dengan mengantuk.
- Menunjukkan kehilangan pengendalian diri.
- Tidak menjawab pertanyaan pemeriksa, jalan-jalan dan meninggalkan
bagian IGD
- Terdapat tanda-tanda trauma, sakit akut atau tanda-tanda vital yang
abnormal dan disertai dengan tingkah laku bizzare.

Jika pasien membutuhkan penanggulangan kegawatdaruratan,


pertimbangkan segera1 :
- Apakah perlu untuk diamati dengan saksama dan dibatasi geraknya?
- Apakah membutuhkan bantuan medik dengan segera?
- Apakah memperlihatkan gejala-gejala vital yang abnormal atau
penyakit akut yang mengancam jiwanya?
- Apakah orang yang menemaninya dapat memberikan informasi yang
penting?
Gejala-gejala vital yang abnormal biasanya lebih banyak
menunjukkan penyakit medik dari pada psikiatrik seperti1 :
- Dosis obat yang berlebih, trauma kepala, hipoglikemi, renjatan (syok)
dan banyak lagi penyakit medik yang menyebabkan tingkah laku yang
dramatik yang mirip dengan gangguan psikiatrik.
- Tingkah laku irasional yang disebabkan oleh penyakit medik dapat
diartikan sebagai tingkah laku yang tidak kooperatif.
Tidak usah berupaya untuk memberikan pengertian atau berbicara
dengan pasien, tetapi lebih diarahkan terhadap masalah mediknya.1
C. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan sesegera mungkin untuk
menyingkirkan kegawatdaruratan yang terkait fungsi organik1. Yang
pertama dan terpenting yang harus dilakukan oleh dokter di unit gawat
darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan darah, suhu,
nadi, adalah suatu yang mudah diukur yang dapat memberikan suatu
informasi yang sangat bermakna secara cepat.2
2. Pemeriksaan psikiatrik
a. Wawancara kedaruratan psikiatrik
Wawancara dilaksanakan dengan lebih terstruktur. Secara
umum, fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan
dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak
pengantar, keluarga, teman, polisi, dapat melengkapi informasi,
terutama pada pasien mutisme, negativistik, tidak kooperatif atau
inkoheren. Seperti halnya wawancara psikiatrik yang biasa
dilakukan, hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap
informasi yang diberikan dan yang diinterpretasikan. Karenanya
diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi dan
6

melakukan interpretasi terhadap apa yang dikatakan ataupun yang


tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu cepat.2
Pasien dapat sangat termotivasi untuk membuka diri meraka
untuk mendapatkan kelegaan dari penderitaan, tetapi mereka juga
dapat secara sadar maupun tidak sadar termotivasi untuk menutupi
perasaan yang paling dalam yang mereka rasa memalukan atau
mengancam. Jika seorang pasien dibawa ke rumah sakit secara
paksa, keinginan atau kemampuan untuk bekerjasama dapat
terganggu. Bersikap jujur, terus terang, tenang dan tidak
mengancam, sangat penting, demikian juga kemampuan untuk
membawa pasien berpikiran bahwa klinisi yang memegang kendali
dan akan bertindak secara meyakinkan untuk melindungi mereka
dari menyakiti diri mereka sendiri atau orang lain.3
Potensi kesalahan terbesar di dalam psikiatri ruang
kegawatdaruratan adalah mengabaikan penyakit fisik sebagai
penyebab penyakit emosional. Trauma kepala, penyakit medis,
penyalahgunaan zat (termasuk alkohol), penyakit serebrovaskular,
kelainan metabolik, dan obat-obatan semuanya dapat menyebabkan
perilaku abnormal, dan psikiater harus membuat riwayat medis
yang berpusat pada area-area ini.3
Pada hakikatnya wawancara psikiatrik berbeda dengan
anamnesis medik yang rutin1.
- Ajukan pertanyaan yang bersifat terbuka dengan tujuan :
Untuk menentukan problem psikiatrik yang mendesak
Untuk menilai pengalaman adaptasi umum pasien terhadap

kehidupan
Untuk menentukan hubungan terapeutik sehingga pasien

dapat menerima terapi atau rekomendasi terapi.


Amati penampilan, aktivitas psikomotor, pembicaraan, alam
perasaan, proses pikir dan isi pikir pasien disamping usaha

memperoleh anamnesis.
Tunda keinginan untuk segera memulai penanganan atau
mengambil kesimpulan dengan maksud supaya segera memulai
menolong pasien berikutnya.
7

Persiapan dalam melakukan wawancara psikiatri1 :


Memulai wawancara dengan suasana yang nyaman
Posisi petugas lebih baik duduk
Mintalah anggota keluarga atau teman pasien utuk menunggu di
luar, setidak-tidaknya pada awal wawancara, bila dianggap perlu

keluarga dapat menemani.


Jangan tergesa-gesa dan

sediakan

waktu

cukup

untuk

mengevaluasi psikiatrik. Dibutuhkan lebih banyak waktu untuk


-

wawancara psikiatrik.
Pasien dalam keadaan distress akan bereaksi terhadap petugas
yang terburu-buru dengan tidak mau bicara atau memberikan
jawaban

yang

berbelit-belit,

sehingga

sebenarnya

akan

memperpanjang waktu wawancara.


Teknik yang berguna dalam wawancara dengan pasien yang
diperkirakan sulit ialah teknik dengan melihat jam sebelum
mulai dan merencanakan wawancara memberi waktu lima menit
kepada pasien. Perkenalkanlah diri kepada pasien dan berikan
kesempatan kepada pasien untuk menceritakan problemnya;

petugas berdiam diri.


Cobalah tidak menginterupasi untuk beberapa menit, amati
penampilan pasien, tingkah laku, caranya dia mengatasi situasi

dan caranya mempengaruhi perasaan petugas.


Dalam waktu lima menit petugas akan mendapatkan gambaran
tentang akut dan beratnya problem, serta kemampuan pasien
untuk memberikan respon terhadap petugas yang penuh
perhatian tersebut. Informasi ini akan menolong petugas untuk
menjurus ke suatu diagnosis dan juga berguna untuk
menentukan tindakan.
Dalam wawancara psikiatrik penting sekali menyusun

pertanyaan untuk memperoleh informasi dalam empat hal yang


berikut1:
- Apakah masalahnya? Apa yang dirasakan pasien sebagai
kesulitan utama? Apakah hal ini sudah pernah terjadi?
Bagaimana cara mengatasinya? Apakah berhasil?

Mengapa baru sekarang? Bagaimana pasien melakukan kegiatan


sehari-hari sebelum problem sekarang timbul? Mengapa pasien
dan/atau keluarga baru sekarang datang untuk mencari bantuan?
Alasan pemikiran waktu ini dapat memberikan petunjuk tentang

problem dasarnya dan bagaimana cara petugas menanganinya.


Apa yang dikehendaki pasien? Biasanya pasien mengharapkan
untuk dievaluasi dan diberikan terapi untuk kedaan daruratnya.
Kadang-kadang tidak jelas untuk petugas apakah pasien mencari
keyakinan

diirnya

kembali,

intervensi

dalam

problem

perkawinannya atau keterangan untuk bekerja kembali.


Apa yang dapat disetujui bersama oleh pasien dan petugas?
Pertimbangan lain dalam wawancara psikiatrik1 :
Informasi dapat diperoleh dari keluarga, polisi atau kenalan

yang mendampingi pasien


Bila dokter khawatir akan kemungkinan bunuh diri atau

pembunuhan, jangan ragu-ragu untuk melanggar rahasia jabatan.


Bila keadaan pasien tidak menyangkut ancaman jiwa, dokter
dapat membuka rahasia jabatan dengan petunjuk-petunjuk
sebagai berikut :
Beritahukan pasien bahwa dokter akan bicara dengan

keluarganya.
Usulkan kepada pasien untuk ikut serta dalam wawancara,
dengan keluarga atau berbicara melalui telepon dengan
anggota keluarga/orang lain. Hal ini amat penting bila pasien

seorang remaja atau bersifat paranoid.


Beritahukan kepada pasien bila dokter

mendapatkan

ketidaksesuaian antara keterangan pasien dengan apa yang


didapatkan dari sumber lain. Dokter tidak perlu kuatir bahwa
hal ini akan menghambat hubungan terapeutik.
b. Pemeriksaan status mental
- Selama pemeriksaan, evaluasi status mental pasien
- Status mental pasien dinilai dari :
1. Deskripsi umum (penampilan, perilaku dan

aktivitas

psikomotor, sikap terhadap pemeriksa).


2. Kesadaran

3. Alam perasaan
4. Cara pasien bereaksi terhadap pertanyaan
5. Cara pasien bergaul dengan petugas medik dan dengan
keluarga
6. Kemampuannya menanggapi instruksi yang diberikan.
- Status mental selengkapnya dalam instalasi kegawatdaruratan
psikiatrik, maka perlu diobservasi tingkah laku dan penampilan,
orientasi, keadaan afekti, isi dan proses berpikir, persepsi, fungsi
kognisi yang lebih tinggi.1
2.4

Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada
beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data,
misalnya penapisan toksikologi (tes urin untuk opioid, amfetamin,
benzodiazepin,

kanabis,

dsb),

pemeriksaan

radiologi,

EKG,

tes

laboratorium. Sedapat mungkin pemeriksaan dan konsultasi medik untuk


menyingkirkan kemungkinan penyebab organik dilakukan di ruang gawat
darurat. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya, informasi dari
sumber luar (alloanamnesis dari keluarga, polisi, dsb) juga dikumpulkan
sebelum kita menentukan tindakan. Prioritas utama memang keamanan,
namun hal ini jangan sampai menunda penegakan diagnosis.2
Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan
perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain kondisi
gaduh gelisah, dampak tindak kekerasan, suicide, gejala ekstra piramidal
akibat penggunaan obat.2
A. Gaduh Gelisah
Keadaan gaduh-gelisah bukanlah suatu diagnosis dalam arti kata yang
sebenarnya, akan tetapi hanya menunjuk kepada suatu keadaan tertentu,
suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu. Biasanya keadaan
gaduh-gelisah merupakan manifestasi salah satu jenis psikosis : F05
Delirium, F20.2 Skizofrenia Katatonik, F21 Gangguan Skizotipal, F23
Gangguan Psikotik akut dan sementara, F31.2 Gangguan afektif bipolar,
episode kini manik dengan gejala psikotik dan F68.8 Amok.4
Delirium : pasien dengan keadaan gaduh-gelisah karena delirium
menunjukkan kesadaran yang menurun. Istilah sindrom otak organik

10

menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena suatu penyakit


badaniah. Penyakit badaniah itu yang mengakibatkan gangguan fungsi
otak. Penyebab itu mungkin terletak di dalam tengkorak atau otak sendiri
dan karenanya menimbulkan kelainan patologis-anatomis (misalnya
meningo-ensefalitis,

gangguan

pembuluh

darah

otak,

neoplasma

intrakranial, dan sebagainya). Mungkin juga terletak di luar otak


(misalnya tifus abdominalis, pneumonia, malaria, uremia, keracunan
atropin/kecubung

atau

alkohol

dan

sebagainya)

dan

hanya

mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai


psikosis atau keadaaan gaduh gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan
patologis-anatomis pada otak sendiri.4
Skizofrenia dan Gangguan skizotipal : bila kesadaran tidak menurun,
maka biasanya keadaan gaduh-gelisah itu merupakan manifestasi suatu
psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak berhubungan atau
sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan
suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.4
Gangguan psikotik akut dan sementara : timbul mendadak tidak lama
sesudah terjadi stres psikologis yang dirasakan hebat sekali oleh individu.
Stres ini disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari dalam ataupun
dari luar individu yang mendadak dan jelas, misalnya dengan tiba-tiba
kehilangan seseorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan
bencana.4
Psikosis bipolar : termasuk dalam psikosis afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek emosi. Pada psikosis bipolar jenis mania
tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang sebenarnya, tetapi pasien
itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau melayang
(flight of ideas). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap
mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali bicara (logorea) dan
sering ia lekas tersinggung dan marah.4
Amok : keadaan gadung-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosiobudaya. Efek malu (pengaruh sosiobudaya)
memegang peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah suatu peride

11

meditasi atau suatu tindakan ritualistik, maka mendadak ia bangkit dan


mulai mengamuk. Ia menjadi sangat agresif dan destruktif, mungkin
mula-mula terhadap yang menyebabkan ia malu tetapi kemudian
terhadap siapa saj dan apa saja yang dirasakan menghalanginya.
Kesadarannya menurun atau berkabut. Sesudahnya terdapat amnesia total
atau sebagian. Amok sering berkahir karena ia melukai diri sendiri, dan
mungkin sampai menemui ajalnya.4
Keadaan gaduh-gelisah biasanya timbul akut atau subakut. Gejala
utama adalah psikomotorik yang sangat meningkat. Orang itu banyak
sekali berbicara, berjalan mondar-mandir, tidak jarang ia berlari-lari dan
meloncat-loncat bila keadaan itu berat. Gerakan tangan dan kaki serta
mimik dan suaranya cepat dan hebat. Mukanya kelihatan bingung,
marah-marah atau takut. Ekspresi ini mencerminkan gangguan afekemosi dan proses berpikir yang tidak realistik lagi. Jalan pikiran biasanya
cepat dan sering terdapat waham curiga. Tidak jarang juga timbul
halusinasi penglihatan (terutama sindrom otak organik yang akut) atau
halusinasi pendengaran (terutama pada skizofrenia).4
Bila seseorang dalam keadaan gaduh-gelisah dibawa kepada kita,
penting sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang
meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan kata-kata yang menentramkan
pasien maupun pada pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat
menguasai keadaan. Bila pasien itu masih diikat, sebaiknya ikatan itu
suruh dibuka sambil tetap berbicara dengan pasien dengan beberapa
orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi. Sedapat-dapatnya
tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh-gelisah itu dan
mengobatinya secara etiologis bila mungkin.4
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis
terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat
berguna untu mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak
terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik
rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 10 mg), atau
fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat

12

neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga,


maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 10
mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer
bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya
mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi.4
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang
mempunyai dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih
pada pasien dengan susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut
usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan
langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu
kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang).4
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar
ia jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang
lain atau merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai
kooperatif, maka pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral
(bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian makanan dan
cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya,
bila belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik
yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara
etiologis.4

Alur penaganan keadaan gaduh-gelisah4

13

S e o Mr a ne ng g h a d a p i d e n g a n t e n a n g . M e n e n a n g k a n
p a d s e i ne gn a n k a t a - k a t a s e d a p a t - d a p a t n y a , a m a n k a n
yang
gaduhg e lis a h
B. Tindak Kekerasan (Violence)
Violence atau tindak kekerasan adalah agresi fisik yang dilakukan
seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya
sendiri, disebut mutilasi diri atau tingkahlaku bunuh diri (suicidal
behavior). Tindakan kekerasan merupakan bagian dari suatu kondisi
gaduh gelisah. Kondisi gaduh gelisah dapat bermanifestasi dalam 3 hal,
yaitu2 :
- Agitasi, merupakan perilaku patologi dengan manifestasi berupa
-

aktivitas verbal atau motorik yang tak bertujuan.


Agresif, digunakan untuk binatang dan manusia. Pada manusia dapat

berbentuk agresi verbal atau fisik terhadap benda atau seseorang.


Kekerasan (violence), agresi fisik oleh seseorang yang bertujuan
melukai orang lain.

Gambaran Klinis dan Diagnosis


Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan
adalah2 :

14

Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila


penderita paranoid dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan

(commanding hallucinations),
Intoksikasi alkohol atau zat lain
Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-sedatif
Katatonik furor
Depresif agitatif
Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan

antisosial)
Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan

temporalis otak.
Faktor resiko lain2 :
- Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak
-

kekerasan
Adanya rencana spesifik
Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan
Laki-laki
Usia muda (15-24 tahun),
Status sosioekonomi rendah,
Sistem dukungan sosial yang buruk
Adanya riwayat melakukan tindak kekerasan
Tindakan antisosial lainnya
Pengendalian impuls yang buruk
Riwayat percobaan bunuh diri
Dan adanya stresor yang baru saja terjadi
Riwayat tindak kekerasan merupakan indikator terbaik.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi2
1. Bersikaplah suportik dan tidak mengancam. Meskipun demikian,
bersikaplah tegas dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau perlu
pasien dapat diikat (psysical restraints). Tentukan batasan itu dengan
memberikan pilihan (misalnya, pilih obat atau diikat), dan bukan
dengan menyuruh pasien secara provokatif : minum tablet ini
sekarang!
2. Katakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat
diterima.
3. Tenangkan pasien bahwa ia aman disini. Tunjukkan dan tularkan sikap
yang tenang serta penuh kontrol.

15

4. Tawarkan obat kepada pasien untuk membatunya menjadi lebih


tenang.
Evaluasi dan Penatalaksanaan2 :
1. Lindungi diri anda. Kita harus memperkirakan bahwa mungkin saja
terjadi suatu tindak kekerasan sehingga kita tidak akan dikejutkan oleh
suatu perilaku kekerasan yang mendadak.
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata. Pasien harus
menyerahkan senjatanya ke petugas keamanan (mis. Satpam).
Ketahuilah sebanyak mungkin tentang pasien sebelum anda
mewawancarai mereka.
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas
(violent) seorang diri atau di dalam ruang tertutup. Lepaskan hal-hal
yang bisa dijambak/ditarik pasien, seperti kalung, dasi, dsb.
Usahakan agar anda selalu terlihat oleh staf lainnya.
- Jangan melakukan pengikatan pasien sendiri, tapi serahkan urusan
itu pada anggota staf yang sudah terlatih untuk itu.
- Jangan biarkan pasien mempunyai akses terhadap ruangan yang
dapat berisi barang-barang yang dapat dijadikan senjata, misalnya
brankar atau ruang tindakan.
- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang mungkin
merasa anda mengancamnya. Duduklah dengan jarak paling tidak
sepanjang lengan.
- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
- Waspadalah terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan. Selalu
persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerang
anda. Jangan pernah membelakangi pasien.
2. Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan antara lain :

16

Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum


lama ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,

Ancaman verbal,

Agitasi psikomotor,

Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,

Waham kejar, dan

Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata


(seperti garpu, asbak)

Halusinasi yang menyeluruh.

3. Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat


pasien secara aman. Minta bantuan anggota staf lain sebelum agitasi
pasien meningkat. Seringkali, unjuk kekuatan dengan menghadirkan
banyak anggota staf yang tampak kuat sudah cukup untuk mencegah
tindak kekerasan.
4. Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih.
Biasanya setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau
antipsikotik untuk menenangkan pasien. Berikan suasan yang tenang.
5. Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi tanda-tanda vital,
pemeriksaan fisik dan wawancara pskiatrik. Evaluasi resiko bunuh
diri, dan buat rencana petalaksanaan yang meliputi penanganan tindak
kekerasan yang mungkin muncul kemudian.
6. Eksplorasi kemungkinan dilakukannya intervensi psikososial
untuk mengurangi risiko kekerasan. Jika tindak kekerasan itu
berhubungan dengan situasi atau orang tertentu, coba pisahkan pasien
dari orang atau situasu tersebut.
7. Mungkin pasien perlu dirawat untuk mencegahnya melakukan tindak
kekerasan.
8. Jika penanganan psikiatrik bukan hal yang sesuai dalam suatu kasus,
anda mungkin perlu melibatkan polisi atau aparat hukum.

17

9. Calon korban harus diperingatkan

seandainya masih ada

kemungkinan bahaya yang mengancam, misalnya bila pasien tidak


dirawat.
Terapi Psikofarmaka2 :
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenangkan
pasien diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin2:
-

Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,

Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan


dosis rata-rata per hari 13-14mg,

Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan


(dalam 2 menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan
dosis yang sama samapi dicapai kondisi tenang. Hindari pemberian
antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Untuk penderia
epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu
berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik
kronik seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian blocker seperti propanolol2.

C. Bunuh Diri (Suicide)


Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang
diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri2 atau
segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri
dalam waktu singkat4. Ada macam-macam pembagian bunuh-diri dan
percobaan bunuh-diri.
Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis,
yaitu5:
1. Bunuh diri egoistik
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini
disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang
menjadi individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan
integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka tidak

18

menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri


dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah
pedesaan mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah
perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.
2. Bunuh diri altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung
untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu
kelompok,

ia

merasa

bahwa

kelompok

tersebut

sangat

mengharapkannya. Contoh: Hara-kiri: di Jepang, puputan di Bali


beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive
yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi,
seperti misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan
kapalnya yang sedang tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara
individu dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan
norma-norma kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan
dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat memberikan
kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan
terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa
percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari
pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang
mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah
melakukan percobaan bunuh diri.
Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuhdiri sebagai berikut5:
1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (Death as retaliatory
abandonment).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang
rasa takut akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia

19

dapat mengontrol dan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana


kematian itu.
2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (Death as
retroflexed murder).
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat
mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan.
Orang ini cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat
merupakan penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan
keinginan untuk membunuh.
3. Kematian sebagai penyatuan kembali (Death as reunion).
Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu
itu akan bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni
khayalan).
4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (Death as self
punishment).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang
terjadi pada wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai,
maka keinginan menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam
rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum diri sendiri
merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan,
rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik
lagi, tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri
dari tujuan itu.

Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri3:
1. Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding
laki-laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada lakilaki. Hal ini berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-

20

laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi,
dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis obatobatan atau menggunakan racun.
2. Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada
laki-laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun
sedangkan pada perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di
atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan percobaan
bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
3. Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri
dibanding ras kulit hitam.
4. Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak
di rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko
untuk bunuh diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda
atau duda yang pasangannya telah meninggal juga memiliki angka
bunuh diri yang tinggi.
5. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi
status sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri.
Pekerjaan sebagai dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi
dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko
tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain
yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis,
dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki
pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
6. Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah
kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas

21

fisik, nyeri hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan


resiko bunuh diri.
7. Kesehatan Jiwa
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh
diri memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari
depresi 80%, skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di
antara semua pasien dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga
kepada alkohol.
8. Ketergantungan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar
80% pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki.
Sekitar 50% dari pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri
mengalami kehilangan anggota keluarga atau pasangan dalam satu
tahun terakhir.
9. Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan
kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi
untuk gangguan depresi. Selain itu juga merupakan faktor predisposisi
untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga dapat
menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.
Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri
Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila6:
-

Pasien pernah mencoba bunuh diri

Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak,


atau berupa ancaman: kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi
(sering dikatakan pada keluarga)

Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas

Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan,


harga diri, dan lain-lain)

22

Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan,


pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan
harta/barang-barang miliknya.

Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau


menarik diri.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi2

Pada waktu wawancara, pasien mungkin secara spontan menjelaskan


adanya ide bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.

Mulailah dengan menanyakan:


Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?

Tanyakan isi pikiran pasien:


Berapa sering pikiran ini muncul?
Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?

Selidiki :
Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana
bunuh dirinya?
Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan
obat?
Seberapa pesimiskah mereka?
Apakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di
tempat kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di
bagian penyakit dalam atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap lukaluka dan atau keracunan. Bila keracunan atau luka sudah dapat diatasi
maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya
gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali
dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk
pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan3.

23

Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri,


jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda
yang dapat membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi
pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri, buatlah penilaian
apakah hal itu direncanakan atau dilakukan secara impulsif.2
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien
yang depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat
mengawasi pasien secara ketat di rumah. Ide bunuh diri pada pasien
alkoholik umumnya hilang setelah sesudah menghentkan pengguanan
alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon baik bila
mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan
masalah dengan cara rasional dan bertanggung jawab.2
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan
mempunyai

kebiasaan

melukai

diri

sendiri

serta

parasuicides.

Parasuicides yaitu mereka yang berulangkali melakukan hal-hal


berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide bunuh diri.2
Terapi psikofarmaka
Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya
akan berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama
bila

tidurnya

terganggu.

Obat

pilihannya

adalah

golongan

benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1 mg per hari selama 2 minggu.


Jangan memberikan obat dalam jumlah banyak sekaligus terhdap pasien
(respkan sedikit-sedikit saja) dan pasien harus kontrol dalam beberapa
hari.2
D. Sindroma Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang
behubungan dengan penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi :
kekakuan otot, distonia, akinesia, mutisme dan agitasi. Pasien sering juga
datang ke gawat darurat karena keadaan yang disebabkan oleh efek
samping pemberian obat-obatan antipsikotik seperti parkinsonism,
distonia akut, akatisia akut, diskinesia tardif.2

24

Gambaran Klinis dan Diagnosis


Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5C), kekakuan otot
yang nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik
(takikardia, tekanan darah yang labil, keringat berlebih) dan gangguan
kesadaran. Kekakuan yang parah dapat menyebabkan rhabdomyolysis,
myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa
tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam harihari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis

mulai

ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik.


Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang
menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis
yang meningkat cepat.2
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna
ditegakkan jika terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai
dengan 2 atau lebih gejala berikut3:
-

Diaforesis

Disfagia

Tremor

Inkontinensia

Penurunan kesadaran

Mutism

Takikardia

Tekanan darah yang meningkat atau labil

Leukositosis

Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka


Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara
jelas. Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang
menghambat reseptor D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan
reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan gejala klinis yang
timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan

25

kesadaran.

Hambatan

reseptor

D2

di

jalur

nigrostriatal

dapat

menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat


menyebabkan

instabilitas

otonom,

gangguan

pelepasan

panas.

Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot3.


Faktor resiko
Jenis

kelamin

laki-laki

dua

kali

lebih

beresiko

dibanding

perempuan.Faktor predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna


adalah dehidrasi, malnutrisi, kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik,
cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol, pengunaan antipsikotik
bersama dengan litium. Gangguan ini dapat pula terjadi pada pasien yang
baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni dopaminergik seperti
carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi2
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga
perlu dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan
penyakitnya pada keluarga dan teman-temannya.
Evaluasi dan Penatalaksanaan2
-

Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien


yang mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan
otot.

Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhadap antikolinergik


biasa dan bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis
sementara sindroma neuroleptik maligna.

Hentikan pemberian antipsikotik segera.

Monitor tanda-tanda vital secara berkala.

Lakukan pmeriksaan laboratorium

Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan


menurnkan kemungkinan terjadinya gagal ginjal.

Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sembuh,


masalah kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah

26

mengganti dari kelas yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula


yang efektif.
Terapi Psikofarmaka2
-

Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi

Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dinaikkan sampai 45


mg/hari

Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus

Dantrolene 1 mg/kg/hari IV selama 8 hari, kemudian dilanjutkan PO


selama 7 hari setelah itu.

Benzodiazepin atau ECT dapat diberikan apabila obat-obatan lain tidak


berhasil.
E. Gangguan Panik
Gangguan panik merupakan gangguan yang sering dijumpai akhirakhir ini. Dari penelitian diketahui bahwa di negara-negara Barat,
gangguan panik dialami oleh lebih kurang 1,7% dari populasi orang
dewasa. Angka kejadian sepanjang hidup gangguan panik dilaporkan
1,5%-5%, sedangkan serangan panik sebanyak 3% - 5,6 %. Di Indonesia
belum dilakukan studi epidemiologi yang dapat menggambarkan berapa
jumlah individu yang mengalami gangguan panik. Namun para
profesional merasakan adanya peningkatan jumlah kasus yang datang
minta pertolongan. Sebagaimana gangguan jiwa lainnya, etiologinya
belum pasti dan terdiri atas faktor organobiologik, psikoedukatif
(termasuk psikodinamik), serta sosiokultural2 :
- Faktor biologik
Gangguan panik berhubungan dengan abnormalitas struktur dan
fungsi

otak.

Otak

pasien

dengan

gangguan

panik

beberapa

neurotransmiter mengalami gangguan fungsi, yaitu serotonin, GABA,


dan norepinefrin. Hal ini didukung oleh fakta bahwa Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRIs) efektif pada terapi pasien-pasien dengan

27

gangguan cemas, termasuk gangguan panik. Serangan panik merupakan


respons terhadap rasa takut yang terkondisi yang ditampilkan oleh fear
network yang terlalu sensitif, yaitu amigdala, korteks prefrontal dan
hipokampus, yang berperan terhadap timbulnya panik. Faktor biologi
lain yang berhubungan dengan terjadinya serangan panik adalah zat
panikogen yang digunakan terbatas pada penelitian, serta perubahan
pada tamplan pencitraan dengan MRI.
- Faktor Genetik
Pada keturunan pertama pasien dengan gangguan panik dengan
agorafobia mempunyai risiko 4-8 kali mengalami serangan yang sama.
- Faktor Psikososial
Pola ansietas akan sosialisasi saat masa kanak, hubungan dengan
orangtua yang tidak mendukung serta perasaan terperangkap atau
terjebak. Pada kebanyakan pasien, rasa marah dan agresivitas sulit
dikendalikan. Pada pasien-pasien dengan gangguan panik, terdapat
kesulitan dalam mengendalikan rasa marah dan fantasi-fantasi nirsadar
yang terkait.
Tanda & Gejala2 :
- Serangan panik yang berulang
- Terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai gejala otonomik yang
kuat terutama sistem kardiovaskular dan sistem pernafasan.
- Biasanya terjadi secara tiba-tiba, dapat meningkat hingga sangat tinggi
disertai gejala-gejala yang mirip gangguan jantung, yaitu rasa nyeri di
dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa seperti tercekik.
- serangan sering dimulai selama 10 menit.
- Abnormalitas kardiovaskular, pernafasan yang tidak stabil termasuk
sindrom hiperventilasi dan peningkatan variasi pernafasan.
- Gejala mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat dan ancaman
kematian atau bencana.
- Pasien bisa merasa bingung dan sulit berkosentrasi.

28

- Pada pemeriksaan status mental saat serangan dijumpai ruminasi,


kesulitan bicara seperti gagap dan gangguan memori. Depresi,
derealisasi dan depersonalisasi bisa dialami saat serangan panik.
- Fokus perhatian somatik pasien adalah perasaan takut mati karena
masalah jantung atau pernafasan. Sering pasien merasa seperti akan
menjadi gila.
Kriteria Diagnostik PPDGJ III2
Terjadinya beberapa serangan berat ansietas otonomik, yang terjadi
dalam periode kira-kira satu bulan :
- Pada keadaan-keadaan yang sebenarnya secara objektif tidak ada
bahaya.
- Tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat
diduga sebelumnya
- Adanya keadaan relatif bebas gejala ansietas dalam periode antara
serangan-serangan panik (meskipun lazim terjadi juga ansietas
antisipatorik).
Petalaksanaan2
Farmakoterapi :
- SSRI
Terdiri atas beberapa macam, dipilih salah satu dari sertralin, fluoksetin,
fluvoksamin, escitalopram, dll. Obat diberikan dalam 3-6 bulan atau
lebih, tergantung kondisi individu, agar kadarnya stabil dalam darah
sehingga dapat mencegah kekambuhan.
- Alprazolam
Awitan kerjanya cepat, dikonsumsi biasanya antara 4-6 minggu, setelah
ini secara perlahan-lahan diturunkan dosisnya sampai akhirnya
dihentikan. Jadi setelah itu dan seterusnya, individu hanya minum
golongan SSRI.

Psikoterapi

29

- Terapi relaksasi
Bermanfaat meredakan secara relatif cepat serangan panik dan
menenangkan individu, namun itu dapat dicapai bagi yang telah berlatih
setiap hari. Prinsipnya adalah melatih pernafasan (menarik nafas dalam
dan lambat, lalu mengeluarkannya dengan lambat pula), mengendurkan
seluruh otot tubuh dan mensugesti pikiran ke arah konstruktif atau yang
diinginkan akan dicapai. Dalam proses terapi, dokter akan membimbing
individu melakukan ini secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung
selama 20-30 menit atau lebih lama lagi. Setelah itu, individu diminta
untuk melakukannya sendiri dirumah setiap hari, sehingga bila serangan
panik muncul kembali, tubuh sudah siap untuk relaksasi.
- Terapi kognitif perilaku :
Individu diajak untuk bersama-sama melakukan restrukturisasi kognitif,
yaitu membentuk kembali pola perilaku dan pikiran yang irasional dan
menggantinya dengan yang lebih rasional. Terapi ini biasanya
berlangsung 30-45 menit.
- Psikoterapi dinamik
Individu diajak untuk lebih memahami diri dan kepribadiannya, bukan
sekedar menghilangkan gejalanya semata.
Prognosis2
Walaupun gangguan panik merupakan penyakit kronis, namun
penderita dengan fungsi premorbiid yang baik serta durasi serangan yang
singkat bertendensi untuk prognosis yang lebih baik.
2.5

Tempat Pelayanan Kedaruratan Psiakitrik


Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan tempat
pelayanan kedaruratan psikiatrik, antara lain2 :
1.

Keamanan

2.

Pemisahanan ruang secara spesifik

3.

Akses langsung dan mudah

4.

Obat-obat psikofarmaka harus lengkap tersedia

30

5.

Tim yang bertugas harus mempunyai kepakaran yang spesiik dan siap
bertindak segera pada saat yang tepat.

6.

Seluruh staf harus mengerti bahwa pasien dalam keadaan distress fisik
dan emosional yang rapuh.

7.

Sikap, perilaku staf dan pasien harus dijaga dan dipahami mulai saat
pasien masuk kedalam ruang gawat darurat.

Tempat pelayanan kedaruratan psiakiatri2 :


-

Rumah sakit umum

Rumah sakit jiwa

Klinik

Sentra primer
Penatalaksanaan kedaruratan untuk pasien psikiatri melibatkan hal-hal
dibawah ini7 :
1.

Harus ada jaminan perlindungan untuk pasien dan petugas kesehatan.

2.

Singkirkan penyakit medis yang serius yang bermanifestasi secara


psikiatris (gangguan mental organik).

3.

Singkirkan keadaan psikiatris yang mengancam jiwa.

4.

Formulasikan suatu diagnosis kerja psikiatri

5.

Pilihlah pengobatan dan disposisi yang tepat.

BAB III

31

KESIMPULAN
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa
dan Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan
yang memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri
antara lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer.
Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku
yang memerlukan intervensi terapeutik segera.
Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter umum sangat penting
dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pelayanan kedaruratan medik yang
terintegrasi. Diperlukan keterampilan dalam asesmen dan teknik evaluasi untuk
membuat diagnosis kerja. Dalam pelaksanaannya sering diperlukan pemeriksaan
fisik serta laboratorium yang sesuai dan memadai.Kerjasama dalam suatu tim,
adalah bentuk pelayanan yang paling diharapkan untuk hasil optimal.

DAFTAR PUSTAKA

32

1.

Kemenkes RI, 2010. KMK No. 1627 tentang Pedoman Pelayanan


Kegawatdaruratan Psikiatri. Jakarta.

2.

Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI

3.

Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Jakarta : EGC.

4.

Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.

5.

Marliana, S. 2012. Bunuh Diri Sebagai Pilihan Sadar Individu. Jakarta :


Universitas Indonesia.

6.

Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC

7.

Eliastam, M, George, LS, Michael J. 2005. Penuntun Kedaruratan Medis


Edisi 5. Jakarta : EGC.

33

Anda mungkin juga menyukai