REFARAT
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
Nama
Stambuk
Pembimbing Klinik
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Psikiatri kegawatdaruratan (psychatric emergency) adalah cabang
psikiatri yang mempelajari tindakan segera dalam rangka upaya
penyelamatan-nyawa maupun upaya pertolongan segera untuk mencegah
terjadinya gangguan berlanjut atau yang bertambah buruk. Tindakan segera
untuk menyelamatkan nyawa, seperti pada kasus percobaan bunuh diri,
melukai diri, mengganggu lingkungan dan masyarakat sekitarnya, atau
hanya mengalami kegelisahan pribadi (personal distress). Tingkah laku
yang tidak lazim, kacau atau secara sosial tidak dapat diterima atau tidak
pantas muncul, yang tidak timbul dengan tiba-tiba dapat pula dimasukkan
kategori kegawatdaruratan psikiatrik.1
Kegawatdaruratan psikiatrik adalah suatu keadaan gangguan
dan/atau perubahan tingkah laku, alam pikiran atau alam perasaan yang
dapat dicegah (preventable) atau dapat diatasi (treatable) yang membuat
pasien sendiri, teman, keluarga, lingkungan, masyarakat atau petugas
profesional merasa perlu meminta pertolongan medik psikiatrik segera,
cepat dan tepat, karena kondisi itu dapat mengancam integritas fisik pasien,
integritas fisik orang lain, integritas psikologi pasien, integritas psikologik
keluarga atau lingkungan sosialnya. Keadaan kegawatdaruratan psikiatrik
dapat terjadi pada seseorang atau sekelompok orang bersama-sama. Selain
itu keadaan ini dapat disebabkan karena keterbatasan kapasitas orang
bersangkutan dalam usia, intelegensi, penyakit atau emosi pada saat itu.1
2.2
Epidemiologi
Ruang kegawatdaruratan psikiatrik sama-sama digunakan oleh lakilaki dan perempuan dan lebih banyak digunakan oleh lajang dibandingkan
dengan orang yang telah menikah. Kira-kira 20 persen pasien ini melakukan
sang pasien
Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai.
Tujuan utama dalam evaluasi kedaruratan psikiatrik adalah :menilai
kondisi pasien yang secara cepat dan tepat. Dengan tugas di unit gawat
darurat yang sifatnya sering tak terduga, banyaknya pasien dengan keluhankeluhan fisik dan emosional, terbatasnya waktu dan ruang serta fasilitas
penunjang, diperlukan pendekatan yang pragmatis terhadap pasien. Kadangkadang lebih baik bagi pasien untuk tidak terlalu lama berada di unit gawat
darurat2.
Dalam waktu yang relatif singkat, harus dapat dikaji masalah dan
kebutuhan pasien, menentukan diagnosis dan mengambil tindakan yang
sebaik-baiknya. Untuk itu harus dilakukan pemeriksaan kepada pasien,
mulai dari mendapatkan informasi tentang pasien, penilaian ketika kontak
langsung dengan pasien, wawancara dan pemeriksaan psikiatrik.1
A. Informasi mengenai Pasien
4
kehidupan
Untuk menentukan hubungan terapeutik sehingga pasien
memperoleh anamnesis.
Tunda keinginan untuk segera memulai penanganan atau
mengambil kesimpulan dengan maksud supaya segera memulai
menolong pasien berikutnya.
7
sediakan
waktu
cukup
untuk
wawancara psikiatrik.
Pasien dalam keadaan distress akan bereaksi terhadap petugas
yang terburu-buru dengan tidak mau bicara atau memberikan
jawaban
yang
berbelit-belit,
sehingga
sebenarnya
akan
diirnya
kembali,
intervensi
dalam
problem
keluarganya.
Usulkan kepada pasien untuk ikut serta dalam wawancara,
dengan keluarga atau berbicara melalui telepon dengan
anggota keluarga/orang lain. Hal ini amat penting bila pasien
mendapatkan
aktivitas
3. Alam perasaan
4. Cara pasien bereaksi terhadap pertanyaan
5. Cara pasien bergaul dengan petugas medik dan dengan
keluarga
6. Kemampuannya menanggapi instruksi yang diberikan.
- Status mental selengkapnya dalam instalasi kegawatdaruratan
psikiatrik, maka perlu diobservasi tingkah laku dan penampilan,
orientasi, keadaan afekti, isi dan proses berpikir, persepsi, fungsi
kognisi yang lebih tinggi.1
2.4
Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada
beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data,
misalnya penapisan toksikologi (tes urin untuk opioid, amfetamin,
benzodiazepin,
kanabis,
dsb),
pemeriksaan
radiologi,
EKG,
tes
10
gangguan
pembuluh
darah
otak,
neoplasma
atau
alkohol
dan
sebagainya)
dan
hanya
11
12
13
S e o Mr a ne ng g h a d a p i d e n g a n t e n a n g . M e n e n a n g k a n
p a d s e i ne gn a n k a t a - k a t a s e d a p a t - d a p a t n y a , a m a n k a n
yang
gaduhg e lis a h
B. Tindak Kekerasan (Violence)
Violence atau tindak kekerasan adalah agresi fisik yang dilakukan
seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya
sendiri, disebut mutilasi diri atau tingkahlaku bunuh diri (suicidal
behavior). Tindakan kekerasan merupakan bagian dari suatu kondisi
gaduh gelisah. Kondisi gaduh gelisah dapat bermanifestasi dalam 3 hal,
yaitu2 :
- Agitasi, merupakan perilaku patologi dengan manifestasi berupa
-
14
(commanding hallucinations),
Intoksikasi alkohol atau zat lain
Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-sedatif
Katatonik furor
Depresif agitatif
Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan
antisosial)
Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan
temporalis otak.
Faktor resiko lain2 :
- Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak
-
kekerasan
Adanya rencana spesifik
Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan
Laki-laki
Usia muda (15-24 tahun),
Status sosioekonomi rendah,
Sistem dukungan sosial yang buruk
Adanya riwayat melakukan tindak kekerasan
Tindakan antisosial lainnya
Pengendalian impuls yang buruk
Riwayat percobaan bunuh diri
Dan adanya stresor yang baru saja terjadi
Riwayat tindak kekerasan merupakan indikator terbaik.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi2
1. Bersikaplah suportik dan tidak mengancam. Meskipun demikian,
bersikaplah tegas dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau perlu
pasien dapat diikat (psysical restraints). Tentukan batasan itu dengan
memberikan pilihan (misalnya, pilih obat atau diikat), dan bukan
dengan menyuruh pasien secara provokatif : minum tablet ini
sekarang!
2. Katakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat
diterima.
3. Tenangkan pasien bahwa ia aman disini. Tunjukkan dan tularkan sikap
yang tenang serta penuh kontrol.
15
16
Ancaman verbal,
Agitasi psikomotor,
17
18
ia
merasa
bahwa
kelompok
tersebut
sangat
19
Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri3:
1. Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding
laki-laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada lakilaki. Hal ini berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-
20
laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi,
dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis obatobatan atau menggunakan racun.
2. Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada
laki-laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun
sedangkan pada perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di
atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan percobaan
bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.
3. Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri
dibanding ras kulit hitam.
4. Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak
di rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko
untuk bunuh diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda
atau duda yang pasangannya telah meninggal juga memiliki angka
bunuh diri yang tinggi.
5. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi
status sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri.
Pekerjaan sebagai dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi
dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko
tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain
yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis,
dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki
pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
6. Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah
kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas
21
22
Selidiki :
Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana
bunuh dirinya?
Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan
obat?
Seberapa pesimiskah mereka?
Apakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di
tempat kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di
bagian penyakit dalam atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap lukaluka dan atau keracunan. Bila keracunan atau luka sudah dapat diatasi
maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya
gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali
dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk
pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan3.
23
kebiasaan
melukai
diri
sendiri
serta
parasuicides.
tidurnya
terganggu.
Obat
pilihannya
adalah
golongan
24
mulai
Diaforesis
Disfagia
Tremor
Inkontinensia
Penurunan kesadaran
Mutism
Takikardia
Leukositosis
25
kesadaran.
Hambatan
reseptor
D2
di
jalur
nigrostriatal
dapat
instabilitas
otonom,
gangguan
pelepasan
panas.
kelamin
laki-laki
dua
kali
lebih
beresiko
dibanding
26
otak.
Otak
pasien
dengan
gangguan
panik
beberapa
27
28
Psikoterapi
29
- Terapi relaksasi
Bermanfaat meredakan secara relatif cepat serangan panik dan
menenangkan individu, namun itu dapat dicapai bagi yang telah berlatih
setiap hari. Prinsipnya adalah melatih pernafasan (menarik nafas dalam
dan lambat, lalu mengeluarkannya dengan lambat pula), mengendurkan
seluruh otot tubuh dan mensugesti pikiran ke arah konstruktif atau yang
diinginkan akan dicapai. Dalam proses terapi, dokter akan membimbing
individu melakukan ini secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung
selama 20-30 menit atau lebih lama lagi. Setelah itu, individu diminta
untuk melakukannya sendiri dirumah setiap hari, sehingga bila serangan
panik muncul kembali, tubuh sudah siap untuk relaksasi.
- Terapi kognitif perilaku :
Individu diajak untuk bersama-sama melakukan restrukturisasi kognitif,
yaitu membentuk kembali pola perilaku dan pikiran yang irasional dan
menggantinya dengan yang lebih rasional. Terapi ini biasanya
berlangsung 30-45 menit.
- Psikoterapi dinamik
Individu diajak untuk lebih memahami diri dan kepribadiannya, bukan
sekedar menghilangkan gejalanya semata.
Prognosis2
Walaupun gangguan panik merupakan penyakit kronis, namun
penderita dengan fungsi premorbiid yang baik serta durasi serangan yang
singkat bertendensi untuk prognosis yang lebih baik.
2.5
Keamanan
2.
3.
4.
30
5.
Tim yang bertugas harus mempunyai kepakaran yang spesiik dan siap
bertindak segera pada saat yang tepat.
6.
Seluruh staf harus mengerti bahwa pasien dalam keadaan distress fisik
dan emosional yang rapuh.
7.
Sikap, perilaku staf dan pasien harus dijaga dan dipahami mulai saat
pasien masuk kedalam ruang gawat darurat.
Klinik
Sentra primer
Penatalaksanaan kedaruratan untuk pasien psikiatri melibatkan hal-hal
dibawah ini7 :
1.
2.
3.
4.
5.
BAB III
31
KESIMPULAN
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa
dan Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan
yang memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri
antara lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer.
Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku
yang memerlukan intervensi terapeutik segera.
Sebagai ujung tombak di lapangan, peran dokter umum sangat penting
dalam hal ini adalah sebagai bagian dari pelayanan kedaruratan medik yang
terintegrasi. Diperlukan keterampilan dalam asesmen dan teknik evaluasi untuk
membuat diagnosis kerja. Dalam pelaksanaannya sering diperlukan pemeriksaan
fisik serta laboratorium yang sesuai dan memadai.Kerjasama dalam suatu tim,
adalah bentuk pelayanan yang paling diharapkan untuk hasil optimal.
DAFTAR PUSTAKA
32
1.
2.
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI
3.
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Jakarta : EGC.
4.
Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.
Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.
5.
6.
7.
33