Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Stase Praktik Profesi Keperawatan Jiwa(PPKJ)

Disusun Oleh :
Zakaria Surya, S.Kep
2314901210226

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
TAHUN AKADEMIK 2023/2024

LAPORAN PENDAHULUAN KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

1
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang
memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain
di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan
psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan
intervensi terapeutik segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto,
2010)
a. Kondisi gaduh gelisah
b. Tindak kekerasan (violence)
c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri
d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
e. Delirium

Evaluasi
Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah
tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang
harus dilakukan secara tepat adalah:
a. Menentukan diagnosis awal
b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien
c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai
Dalam proses evaluasi, dilakukan:
1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik
Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara
ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat.
Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat
melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif,
negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh
terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan
mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa
yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan
dalam waktu yang cepat.

2. Pemeriksaan Fisik

2
Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu
pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan
oeh seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital
pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan
dapat memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah
dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan
darah meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan
dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus ditentukan sebelum
menangani pasien selanjutnya:
a. Keamanan pasien
Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa
situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien.
Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu
dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.
b. Medik atau psikiatrik?
Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik
atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda.
Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan
demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat
seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai
gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus
menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental
yang tampak.
c. Psikosis
Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh
ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal
ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita
berikan serta kepatuhannya dalam berobat.
d. Suicidal atau homicidal
Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi
secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak
kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada
pasien.
e. Kemampuan merawat diri sendiri

3
Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien
mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang
dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk
merawat pasien di rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.

Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:


a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,
b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan
c. Perlu observasi lebih lanjut.

Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi


1. Diagnosis
Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada
beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data ,
misalnya penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin),
pemeriksaan radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti
catatan medik sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan
sebelum memulai tindakan.
2. Terapi
Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi
Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:
a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali
b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya
c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir
Obat-obatan yang sering digunakan adalah:
a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol,
trifluoperazine, perphenazine dsb
b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.
c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik
kadang sangat efektif.

A. Keadaan Gaduh Gelisah

4
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi
hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok
gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk
suatu gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis
dan Maramis, 2009).
Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis
(Maramis dan Maramis, 2009):
1. Delirium
2. Skizofrenia katatonik
3. Gangguan skizotipal
4. Gangguan psikotik akut dan sementara
5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
6. Amok

1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium


Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma
otak organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan
delirium. Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi
otak karena suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009).
Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin
terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik
(misalnya meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma
intracranial, dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus
abdominalis, pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol,
dan sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi
sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan
patologik-anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut
biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik
menahun biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik
menahun (misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan
sebagainya) dapat saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan
gaduh gelisah. Untuk mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali
dilakukan evaluasi internal dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).

5
2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu
merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak
berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan
dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita.
Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat
inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas
maka hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga
tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses
berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-
belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren), yaitu yang satu meningkat, tetapi yang
lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan
Maramis, 2009).
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-
gelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik.
Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-
emosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan
Maramis, 2009).

3. Gangguan psikotik akut dan sementara


Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang
dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau
konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya
dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan
bencana.Gangguan psikotik akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah
adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).

4. Psikosis bipolar
Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok
gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang
menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang
dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah
itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada

6
skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun,
maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata
yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-
loncat atau melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala
hal dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea)
dan sering ia lekas tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis, 2009).

5. Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan
Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok
“Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia”
(“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang
peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan
ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan
destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian
terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran
menurun atau berkabut (seperti dalam keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia
total atau sebagian. Amok sering berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya
oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan
mungkin sampai ia menemui ajalnya(Maramis dan Maramis, 2009).

Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan


Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):
a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu
b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan
c. Membawa benda-benda tajam atau senjata
d. Adanya perilaku agitatif
e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat
f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid
g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak
kekerasan.

7
h. Kegelisahan katatonik
i. Episode manik
j. Episode depresi agitatif
k. Gangguan Kepribadian tertentu

Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):


a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan
b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 – 24
tahun, status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah
c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk, penyalahgunaan
zat psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosis
d. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)

Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali
kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu
waspada, dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para
pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan
Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap
berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak
mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha
memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab
keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis
dan Maramis, 2009).

Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis


terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna
untu mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka
suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya
trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai,
biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila
tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 –
10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan

8
suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek
antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai
dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan
susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan
sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring,
tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang)
(Maramis dan Maramis, 2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia
jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau
merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka
pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat
diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus
mencari penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak
organik yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara
etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).

9
Seorang
yangdengan tenang
Menghadapi
gaduh-dengan kata-
Menenangkan
Menentram
gelisah
kata sedapat-
kan
Memeriksa
dapatnya,amankan.
keluarga/pe
Terdapatbadaniah Tidak terdapat
kelainan ngantar kelainan
sedapat-
Perawatan/ Perawatan/
dapatnya
intern/nerolo intern/nerologi
penjagaan penjagaan
Obati
gik Oba Obati
k yang baik
yang baik
kelain ti gangguan
an gejal psikiatrik
intern a *neroleptika
/nerol psiki *tranquilaiz
ogik atrik er
*etiol *ner *psikoterapi
ogik olep suportif
*simp tika *Terapi
tomat elektrokonv
ik ulsi bila
perlu

Gambar Diagram-alur penanggulangan keadaan gaduh-gelisah.

Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak
mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati
keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis
skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika
(Maramis dan Maramis, 2009).
B. Tindak kekerasan (violence)
Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut
mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat
timbul akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa
yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.
a. Gambaran klinis dan diagnosis

10
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:
 Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid
dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding
hallucination),
 Intoksikasi alkohol atau zat lain,
 Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif
 Katatonik furor
 Depresi agitatif
 Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan
pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan
antisosial),
 Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan
temporalis otak.
Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :
 Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak
kekerasan,
 Adanya rencana spesifik,
 Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,
 Laki-laki,
 Usia muda (15-24 tahun),
 Tatus sosioekonomi rendah,
 Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,
 Tindakan antisosial lainnya
 Riwayat percobaan bunuh diri.

Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak


kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat
diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.
Panduan wawancara dan Psikoterapi
 Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang
jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan
batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan

11
bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini
sekarang”
 Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat
diterima,
 Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap
tenang dan penuh kontrol.
 Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.
Evaluasi dan penatalaksanaan
1) Lindungi diri anda
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata
- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent)
seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa
dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.
- Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu
pada anggota staf yang terlatih.
- Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan
- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.
- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin
merasa bahwa anda mengancamnya
- Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu
persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerrnag
anda. Jangan pernah membelakangi pasien
2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:
- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama
ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,
- Ancaman verbal,
- Agitasi psikomotor,
- Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,
- Waham kejar, dan
- Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata
(seperti garpu, asbak)
3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien
secara aman.

12
4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih.
Biasanya setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik
untuk menenangkan pasien.
5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik
dan wawancara pskiatrik.
Terapi Psikofarmaka
Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien
diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:
- Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
- Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis
rata-rata per hari 13-14mg,
- Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2
menit).
Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang
sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang.
Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine
lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik
seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian ß-blocker seperti
propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum


Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang
diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan
Gitayanti Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat
mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009).
Ada macam-macam pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri.
Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistik
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan
oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-
olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan
mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan
mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga
angka suiside juga lebih sedikit.

13
2. Bunuh diri altruistik
Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa
kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di Jepang,
“puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat
primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti
misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya yang sedang
tenggelam.
3. Bunuh diri anomik
Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan
yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau
kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada
pengaturan dan pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan
mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada
mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan
ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.

Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai


berikut:
1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory abandonment”).
Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut
akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol
dan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.
2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as retroflexed
murder”).
Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat mengganti
kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini cenderung
untuk bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai
pertentangan emosi dengan keinginan untuk membunuh.
3. Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”).
Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan
bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).
4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).
Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada
wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan

14
menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak
berguna dan menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula
mungkin karena kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba
berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk
menjauhkan diri dari tujuan itu.

Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):
l. Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-
laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini
berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan
gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih
banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.
m. Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-
laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada
perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang
lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering
berhasil.
n. Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri
dibanding ras kulit hitam.
o. Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di
rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh
diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang
pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.
p. Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status
sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter
memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi
psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi.
Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara,

15
artis, dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki
pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
q. Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan
dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang
kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
r. Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri
memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%,
skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan
gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
s. Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80%
pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari
pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota
keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.
t. Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian.
Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi.
Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan
kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.

Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood,
keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik
adalah dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin
menjadi faktor kontribusi tadi.

Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri


Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):
a. Pasien pernah mencoba bunuh diri
b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau
berupa ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi” (sering
dikatakan pada keluarga)
c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas

16
d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri,
dan lain-lain)
e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan,
pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan
harta/barang-barang miliknya.
f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
 Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide
bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
 Mulailah dengan menanyakan:
- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?
- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?
 Tanyakan isi pikiran pasien:
- Berapa sering pikiran ini muncul?
- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?
 Selidiki :
- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana
bunuh dirinya?
- Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?
- Seberapa pesimiskah mereka?
- Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?
Evaluasi dan Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat
kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam
atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila
keracunan atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak
ada hubungan antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis.
Penting sekali dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk
pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis
dan Maramis, 2009).
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan
tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat
membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan
percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan
secara impulsif.

17
Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang
depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien
secara ketat di ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah
sesudah menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian
akan berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk
memecahkan masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab.
Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan
mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu
mereka yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya
ide-ide bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

Terapi psikofarmaka
Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan
berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya
terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam
3x1 mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak
sekaligus terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam
bebeapa hari.

D. Sindroma Neuroleptik Maligna


Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan
dengan penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia,
akinesia mutisme dan agitasi.
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang
nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia,
tekanan darah yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang
parah dapat menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal.
Penyulit lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya
terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai
ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom
neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan
antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang meningkat cepat.

18
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan
jika terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih
gejala berikut:
- Diaforesis
- Disfagia
- Tremor
- Inkontinensia
- Penurunan kesadaran
- Mutism
- Takikardia
- Tekanan darah yang meningkat atau labil
- Leukositosis
- Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka
Patofisiologi
Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas.
Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2
menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak
menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis
dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat
menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan
instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi
hipotalamus dan kekakuan otot

Faktor resiko
Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor
predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi,
kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi
alkohol, pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006).
Gangguan ini dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan
obat-obatan agoni dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan
bromocriptine.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

19
Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu
dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada
keluarga dan teman-temannya.

Evaluasi dan Penatalaksanaan


 Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang
mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.
 Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan
bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma
neuroleptik maligna.
 Hentikna pemberian antipsikotik segera.
 Monitor tanda-tanda vital secara berkala.
 Lakukan pmeriksaan laboratorium
 Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan
kemungkinan terjadiny agagal ginjal.
 Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh, masalah
kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas
yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.

Terapi Psikofarmaka
 Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
 Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai
45 mg/hari
 Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus

DAFTAR PUSTAKA

20
Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI

Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.

Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott
Williams & Wilkins.

Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Kandangan, 8 Desember 2023


Preseptor Akademik Preseptor Klinik

21
(M. Syafwani, S.Kp.,M.Kep.,Sp.Kep.J) (Rahmawaty, S.Kep.,Ns)

22

Anda mungkin juga menyukai