Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa
dan Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus
kedaruratan yang memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan
kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa,
klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan
pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik segera,
antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik
pada kondisi darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatrik seperti
percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan,
kekerasan atau perubahan lainnya pada perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan
psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang kedokteran, ilmu
perawatan, psikologi dan pekerja sosial.

Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat


meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan.
Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks.
Para profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik
umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental
pasien mereka.

Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh


petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang
menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi krisis dari
masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan mental baik
sifatnya kronis ataupun akut.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana asuhan kegawatdaruratan psikiatri dengan gaduh gelisah?
2. Bagaimana asuhan kegawatdaruratan psikiatri denganrisiko perilaku
kekerasan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui asuhan kegawatdaruratan psikiatri dengan gaduh
gelisah
2. Untuk mengetahui asuhan kegawatdaruratan psikiatri dengan gaduh
gelisah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Penyakit Gaduh Gelisah


1. Definisi
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya,
tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom
dengan sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai
sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran psikopatologis
dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis,
2009).

2. Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis
psikosis (Maramis dan Maramis, 2009):
a) Psikosis karena gangguan mental organik: delirium
Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan
dengan sindroma otak organik akut menunjukkan kesadaran yang
menurun. Sindroma ini dinamakan delirium. Istilah sindroma otak
organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena
suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009). Penyakit
badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin
terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan
patologik-anatomik (misalnya meningo-ensefalitis, gangguan
pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan sebagainya),
atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis,
pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau
alcohol, dan sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan
fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa atau keadaan
gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik
pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak
organik akut biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada
sindrom otak organik menahun biasanya terdapat dementia. Akan
tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya tumor otak,
demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja
pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh
gelisah. Untuk mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu
sekali dilakukan evaluasi internal dan neurologis yang teliti
(Maramis dan Maramis, 2009).

b) Skizofrenia dan gangguan skizotipal


Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh
gelisah itu merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok
ini, yaitu psikosis yang tidak berhubungan atau sampai sekarang
belum diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan suatu
penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.
Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di
negara kita. Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran
tidak menurun dan terdapat inkoherensi serta afek-emosi yang
inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini
biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan
juga tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek
kepribadian seperti proses berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan
kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-belah atau bercabang =
schizo; jiwa = phren),yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain
menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir
(Maramis dan Maramis, 2009).
Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan
keadaan gaduh-gelisah ialah episode skizofrenia akut dan
skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di samping psikomotor
yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi
yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi
(Maramis dan Maramis, 2009).
c) Gangguan psikotik akut dan sementara
Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress
psikologik yang dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini
disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari dalam ataupun dari
luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-
tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan
bencana. Gangguan psikotik akut yang biasanya disertai keadaan
gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan
reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).

d) Psikosis Bipolar.
Psikosis bipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif
karena pokok gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas
ada frustasi atau konflik yang menimbulkan gangguan mental ini.
Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang dianggap
berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk
kearah itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan
kepribadian seperti pada skizofrenia; pada jenis depresi ataupun
mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang lain
juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).
Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi
dalam arti kata yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan
jalan pikiran yang meloncat-loncat atau melayang (“flight of
ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap
mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara

e) Amok
Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak
dan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu
PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-
III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok “Fenomena
dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di
Indonesia” (“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh
sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya seorang pria,
sesudah periode “meditasi” atau tindakan ritualistic, maka
mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan
destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia
malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang
dirasakan menghalanginya.
Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam keadaan
trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok
sering berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang
lain, karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri,
dan mungkin sampai ia menemui ajalnya (Maramis dan Maramis,
2009).

3. Manifestasi Klinis
a. Banyak bicara
b. Mondar-mandir
c. Lari-lari
d. Loncat-loncat
e. Destruktif
f. Bingung
Afek/emosi excitement, yaitu :
a.       Marah-marah
b.      Mengancam
c.       Agresif
d.      Ketakutan
e.       Euphoria

4. Penatalaksanaan
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita,
penting sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang
meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan kata-kata yang dapat
menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita
sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).
Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka
sambil tetap berbicara dengan pasien dengan beberapa orang
memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun pasien masih
tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara fisik.
Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh
gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis
dan Maramis, 2009).
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai
dosis terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada
umumnya sangat berguna untu mengendalikan psikomotorik yang
meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang
mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine,
haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai,
biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis
terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun
dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara
intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu
antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya
mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan
Maramis, 2009).
Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang
mempunyai dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-
lebih pada pasien dengan susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien
lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop, maka
pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi
sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang)
(Maramis dan Maramis, 2009).
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula
agar ia jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang
orang lain atau merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan
mulai kooperatif, maka pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan
per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian
makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari
penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga suatu
sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan
untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).
Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah
tidak mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja
dan mengobati keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia dalam
keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar memerlukan
pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan
Maramis, 2009).

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gaduh Gelisah


1. PENGKAJIAN
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan
dasar utama dan hal yang paling penting dilakukan oleh perawat, baik
pada saat penderita pertama kali masuk Rumah Sakit (untuk
mengetahui riwayat penyakit dan perjalanan penyakit yang dialami
pasien) maupun selama penderita dalam masa perawatan (untuk
mengetahui perkembangan pasien dan kebutuhannya serta
mengidentifikasi masalah yang dihadapinya). Hasil pengkajian yang
dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau
cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian:
a. Wawancara
b. Pemeriksaan fisik
c. Observasi atau pengamatan
d. Catatan atau status pasien
e. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
Pengkajian Primer meliputi
a. Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Apakah klien dapat
berbicara dan bernafas dengan mudah, nilai kemampuan klien
untuk bernafas secara normal.
Pada klien dengan kasus gaduh gelisahi secara penenggelaman,
mungkin akan ditemukan adanya timbunan cairan di paru-paru
yang ditandai dengan muntah dan sesak nafas hebat.

b. Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan
nilai berapa frekuensi pernafasan klien per menitnya. Penurunan
oksigen yang tajam ( 10 liter/menit ) harus dilakukan suatu
tindakan ventilasi. Analisa gas darah dan pulse oxymeter dapat
membantu untuk mengetahui kualitas ventilasi dari penderita.
Tanda hipoksia dan hiperkapnia bisa terjadi pada penderita dengan
kegagalan ventilasi seperti pada klien dengan kasus percobaan
bunuh diri yang dapat mengakibatkan asfiksia. Kegagalan
oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan observasi dan auskultasi
pada leher dan dada melalui distensi vena.

c. Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji
kemampuan venus return klien, lebih lanjut kaji output dan intake
klien Penurunan kardiak output dan tekanan darah, klien dengan
syok hipovolemik karena gaduh gelisah biasanya akan menunjukan
beberapa gejala antara lain,
Urin output menurun kurang dari 20cc/jam, Kulit terasa dingin,
Gangguan fungsi mental, Takikardi, Aritmia
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon
terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan
menggunakan GCS, adapun cara yang cukup jelas dan cepat
adalah:
A : Awakening
V : Respon Bicara
P : Respon Nyerin
U : Tidak Ada Nyeri
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penrunan oksigenasi atau
penurunan perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung pada
otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi
terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi karena keadaan
gaduh gelisah.

e. Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat
diketahui kelaianan atau cidera yang berhubungan dengan
keseimbangan cairan atau trauma yang mungkin dialami oleh klien
dengan tentamen suicide, beberapa klien dengan tentamen suicide
akan mengalami trauma pada lokasi tubuh, misalnya di leher,
pergelangan tangan dan dibagian-bagian tubuh yang lain.

Pengkajian sekunder
a. Data pasien
Data pasien merupakan identitas pasien yang meliputi
1. Nama
2. Usia, jenis kelamin
3. Kebangsaan/suku
4. Berat badan, tinggi badan
5. Tingkat pendidikan
6. Pekerjaan
7. Status perkawinan
8. Anggota keluarga
9. Agama
10. Kondisi medis, prosedur pembedahan
11. Masalah emosional
12. Dirawat di RS sebelumnya
13. Pengobatan sebelumnya
14. Alergi
Review sistem tubuh (pada sistem utama yang mengalami gangguan)
Pengkajian dilanjutkan dengan mengkaji keluhan utama, keluhan
tambahan serta aspek psikologis dari klien dengan percobaan bunuh diri.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan dan hospitalisasi

3. INTERVENSI
NO DIAGNOSA NOC NIC
1 Cemas berhubungan Anxiety control Anxiety Reduction
dengan kurang Coping (penurunan kecemasan)
pengetahuan dan
hospitalisasi Kriteria Hasil : 1. Gunakan pendekatan
1. Klien mampu yang menenangkan
Definisi : mengidentifikasi 2. Nyatakan dengan jelas
Perasaan gelisah yang dan harapan terhadap pelaku
tak jelas dari mengungkapkan pasien
ketidaknyamanan atau gejala cemas 3. Jelaskan semua
ketakutan yang 2. Mengidentifikasi, prosedur dan apa yang
disertai respon mengungkapkan dirasakan selama
autonom (sumner dan menunjukkan prosedur
tidak spesifik atau tehnik untuk 4. Temani pasien untuk
tidak diketahui oleh mengontol cemas memberikan keamanan
individu); perasaan 3. Vital sign dalam dan mengurangi takut
keprihatinan batas normal 5. Berikan informasi
disebabkan dari 4. Postur tubuh, faktual mengenai
antisipasi terhadap ekspresi wajah, diagnosis, tindakan
bahaya. Sinyal ini bahasa tubuh dan prognosis
merupakan peringatan tingkat aktivitas 6. Dorong keluarga untuk
adanya ancaman yang menunjukkan menemani anak
akan datang dan berkurangnya 7. Lakukan back / neck
memungkinkan kecemasan rub
individu untuk 8. Dengarkan dengan
mengambil langkah penuh perhatian
untuk menyetujui 9. Identifikasi tingkat
terhadap tindakan kecemasan
Ditandai dengan 10. Bantu pasien mengenal
- Gelisah situasi yang
- Insomnia menimbulkan
- Resah kecemasan
- Ketakutan 11. Dorong pasien untuk
- Sedih mengungkapkan
- Fokus pada diri perasaan, ketakutan,
- Kekhawatiran persepsi
- Cemas 12. Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
13. Barikan obat untuk
mengurangi kecemasan
C. Konsep Dasar Penyakit Risiko Perilaku Kekerasan
1. Definisi
Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi
(agressive behavior) yang menyebabkan atau dimaksudkan menganggu
hubungan intrapersonal. Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan
konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu
orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Untuk itu, perawat
harus mengetahui tentang respon kemarahan dan fungsi positif marah.
Perilaku adalah tingkah laku atau sikap yang dicerminkan
seseorang sebagai kebiasaannya. Kekerasan yaitu sering juga disebut
gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan ditandai dengan menyentuh
orang lain secara menakutkan, memberi kata-kata ancaman-ancaman,
melukai disertai melukai pada tingkat ringan, dan yang paling berat adalah
melukai/ merusak secara serius. Perilaku kekerasan adalah tingkah laku
individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain
yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik pada
dirinya sendiri mauun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah
yang tidak terkontrol (Kusumawati dan Hartono, 2010).

2. Penyebab
Menurut (Keliat ,2011) penyebab Resiko Perilaku Kekerasan ada dua
faktor antara lain :
a. Faktor Predisposisi
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif, masa kanak-kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dan dianiaya.
Seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai
tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi
frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika tidak mampu
mengendalikan frustasi tersebut maka, dia meluapkannya dengan
cara kekerasan.
2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan
kekerasan,sering melihat kekerasan dirumah atau diluar rumah,
semua aspek ini memancing individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
3) Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasifagresif) dan
kontrol social yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima(permisive).
4) Bioneurologis
Banyak pendapat bahwa kerusakan sistem limbik,
lobusfrontal, Lobustemporal dan ketidakseimbangan
neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku
kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti kelemahan fisik
(penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang
kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula
dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah
pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan
kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang
provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu
mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini
tidak terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa
rendah diri, tidak berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah,
dan sebagainya. Harga diri adalah penilaian individu tentang
pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai
dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan
sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri,
merasa gagal mencapai keinginan.

3. Pohon masalah
Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan Effect

C Kekerasan
Resiko Perilaku Core
problem

Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Cause

( Sumber: Keliat, B. A., 2006)


Perilaku kekerasan berawal dari halusinasi yang merupakan gangguan
persepsi yang dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya
tidak terjadi. Seperti halusinasi pendengaran yang sebenarnya tidak
didengar oleh orang lain yang normal namun individu yang tidak normal
mendengar sesuatu yang baik atau buruk kemudian jika buruk yang
terjadi misal individu mendengar bisikan untuk memukul orang, maka
akan dipersepsikan pada realita dengan individu tampak
menggenggam(mengepal) tangan, wajah merah, mata melotot, otot
tegang, bicara kasar, nada suara tinggi, merusak barang-barang, susah
diatur, banyak bicara, agresif. Apabila tidak dapat diatasi pasien akan
mengarah kepada perilaku kekerasandan akan berakibat pada risiko
menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

4. Klasifikasi
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan
mempersulit diri sendiri dan menganggu hubungan interpersonal.
Pengungkapan kemarahan langsung dan konstruktif pada waktu terjadi
akan melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti
perasaan yang sebenarnya. Oleh karenanya perawat harus pula
mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif
marah. (Muhith 2015)

Respon adaptif Respon maladaptif


Asertif Frustasi Pasif Agresif amuk

Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan


respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menantang.
Respon melawan dan menantang merupakan respon yang maladaptif,
yaitu agresif-kekerasan perilaku yang menampakkan mulai dari yang
rendah sampai yang tinggi, yaitu :
a. Asertif : mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain
dan merasa lega.
b. Frustasi : Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan
yang tidak realistis.
c. Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang sedang dialami.
d. Agresif: memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati
orang lain dengan ancaman, memberi kata-kata ancaman tanpa niat
melukai. Umumnya pasien masih dapat mengontrol perilaku untuk
tidak melukai orang lain.
e. Amuk : Perilaku kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain
secara menakutkan, memberi kata-kata ancaman, melukai disertai
melukai pada tingkat ringan, dan yang paling berat adalah melukai
atau merusak secara serius. Pasien tidak mampu mengendalikan diri
(Muhith 2015 p.148).

5. Gejala dan Gejala


Menurut (Lilik, 2011), mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut:
a Fisik : muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan
tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, postur tubuh kaku dan
jalan mondar-mandir.
b Verbal : bicara kasar, suara tinggi, membentak atau berteriak,
mengancam secara verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata
kotor, suara keras dan ketus.
c Perilaku : melempar atau memukul benda atau orang lain,
menyerang orang lain, melukai diri sendiri, orang lain,merusak
lingkungan, dan amuk atau agresif.
d Emosi : Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu,
dendam dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
e Intelektual : Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan,
sarkasme.
f Spiritual : Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik
pendapat orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak
perduli dan kasar.
g Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan,
sindiran.
h Perhatian:Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual

6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Depkes (2000), Pemeriksaan diagnostik pada pasien RPK
adalah:
a Psikoterapeutik
b Lingkungan terapeutik
c Kegiatan hidup sehari-hari
d Pendidikan kesehatan
7. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan
untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa.
Menurut Depkes (2000), jenis obat psikofarmaka adalah :
1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa :agitasi,
ansietas, ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi,
waham, dan gejala-gejala lain yang biasanya terdapat pada
penderita skizofrenia, mania depresif, gangguan personalitas,
psikosa involution, psikosa masa kecil.
2) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma
gilles de la toureette pada anak-anak dan dewasa maupun pada
gangguan perilaku berat pada anak-anak. Dosis oral untuk
dewasa 1-6 mg sehari yang terbagi 6-15 mg untuk keadaan
berat. Kontraindikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan
koma, penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping nya sering mengantuk, kaku, tremor lesu, letih,
gelisah.
3) Trihexiphenidyl (TXP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanan manifestasi psikosa khususnya
gejala skizofrenia.

4) ECT (Electro Convulsive Therapy)


ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall
secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui
elektrode yang dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang
listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan denga
terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-
5 joule/detik.

b. Tindakan Keperawatan
Penatalaksanaan pada pasien dengan perilaku kekerasan meliputi
(Videbeck, 2001) :
1) Terapi Modalitas
a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk
mempertimbangkan lingkungan bagi semua pasien ketika
mencoba mengurangi atau menghilangkan agresif. Aktivitas
atau kelompok yang direncanakan seperti permainan kartu,
menonton dan mendiskusikan sebuah film, atau diskusi
informal memberikan pasien kesempatan untuk
membicarakan peristiwa atau isu ketika pasien tenang.
Aktivitas juga melibatkan pasien dalam proses terapeutik dan
meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan interaksi satu-satu dengan pasien
menunjukkan perhatian perawat yang tulus terhadap pasien
dan kesiapan untuk mendengarkan masalah pikiran serta
perasaan pasien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat
meningkatkan rasa aman pasien (Videbeck, 2001).
b) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, pasien berpartisipasi dalam sesi
bersama dalam kelompok individu. Para anggota kelompok
bertujuan sama dan diharapkan memberi kontribusi kepada
kelompok untuk membantu yang lain dan juga mendapat
bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan dan
harus dipatuhi oleh semua anggota kelompok. Dengan
menjadi anggota kelompok, pasien dapat mempelajari cara
baru memandang masalah atau cara koping atau
menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari
keterampilan interpersonal yang penting (Videbeck, 2001).

c) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikut sertakan pasien dan anggota keluarganya.
Tujuannya ialah memahami bagaimana dinamika keluarga
memengaruhi psikopatologi pasien, memobilisasi kekuatan
dan sumber fungsional keluarga, merestrukturisasi gaya
perilaku keluarga yang maladaptive, dan menguatkan perilaku
penyelesaian masalah keluarga (Steinglass dalam Videbeck,
2001).
d) Terapi Individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan,
sikap, cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki
hubungan personal antara ahli terapi dan pasien. Tujuan dari
terapi individu yaitu memahami diri dan perilaku mereka
sendiri, membuat hubungan personal, memperbaiki hubungan
interpersonal, atau berusaha lepas dari sakit hati atau
ketidakbahagiaan.
Hubungan antara pasien dan ahli terapi terbina melalui
tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-pasien yaitu
introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya
yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan
lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat pasien
ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang
mungkin dari terapi (Videbeck, 2001).

8. Komplikasi
Akibat perilaku kekerasan yang dilakukan oleh individu yaitu
dapat melakukan tindakan-tindakan berbahaya bagi dirinya,orang lain
maupun lingkungannya,seperti menyerang orang lain,bahkan sampai
mencederai, memecah perabot, dan membakar rumah.

a. Hal-hal yang dapat dilakukan apabila Mempunyai Keluarga dengan


Perilaku kekerasan
1) Mengadakan kegiatan bermanfaat yang dapat menampung
potensi dan minat bakat anggota keluarga yang mengalami
perilaku kekerasansehingga diharapkan dapat meminimalisir
kejadian perilaku kekerasan.
2) Bekerja sama dengan pihak yang berhubungan dekat dengan
pihak-pihak terkait contohnya badan konseling, RT, atau RW
dalam membantu menyelesaiakan konflik sebelum terjadi
tindakan kekerasan.
3) Mengadakan kontrol khusus dengan perawat /dokter yang dapat
membahas dan melaporkan perkembangan anggota keluarga
yang mengalami risiko pelaku kekerasan terutama dari segi
kejiwaan antara pengajar dengan pihak keluarga terutama
orangtua.
b. Peran Keluarga dalam Penanganan Perilaku Kekerasan
1) Mencegah terjadinya perilaku amuk :
a) Menjalin komunikasi yang harmonis dan efektif antar
anggota keluarga
b) Saling memberi dukungan secara moril apabila ada anggota
keluarga yang berada dalam kesulitan
c) Saling menghargai pendapat dan pola pikir
d) Menjalin keterbukaan
e) Saling memaafkan apabila melakukan kesalahan
f) Menyadari setiap kekurangan diri dan orang lain dan
berusaha memperbaiki kekurangan tersebut
g) Apabila terjadi konflik sebaiknya keluarga memberi
kesempatan pada anggota keluarga untuk mengugkapkan
perasaannya untuk membantu kien dalam menyelesaikan
masalah yang konstruktif.
h) Keluarga dapat mengevaluasi sejauh mana keteraturan
minum obat anggota dengan risiko pelaku kekerasan dan
mendiskusikan tentang pentingnya minum obat dalam
mempercepat penyembuhan.
i) Keluarga dapat mengevaluasi jadwal kegiatan harian atas
kegiatan yang telah dilatih di rumah sakit.
j) Keluarga memberi pujian atas keberhasilan pasien untu
mengendalikan marah.
k) Keluarga memberikan dukungan selama masa pengobatan
anggota keluarga risiko pelaku kekerasan.
l) keluarga menyiapkan lingkungan di rumah agar
meminimalisir kesempatan melakukan perilaku kekerasan
2) Mengontrol Perilaku Kekerasaan dengan mengajarkan pasien :
a) Menarik nafas dalam
b) Memukul-mukul bantal
c) Bila ada sesuatu yang tidak disukai anjurkan pasien
mengucapkan apa yang tidak disukai pasien
d) Melakukan kegiatan keagamaan seperti sembahyang.
e) Mendampingi pasien dalam minum obat secara teratur.
3) Bila Pasien dalam PK
Meminta bantuan petugas terkait dan terdekat untuk
membantu membawa pasien ke rumah sakit jiwa terdekat.
Sebelum dibawa usahakan dan utamakan keselamatan diri pasien
dan penolong.

D. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Risiko Perilaku Kekerasan


Pengkajian Keperawatan
1. PENGKAJIAN
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan
dasar utama dan hal yang paling penting dilakukan oleh perawat, baik
pada saat penderita pertama kali masuk Rumah Sakit (untuk
mengetahui riwayat penyakit dan perjalanan penyakit yang dialami
pasien) maupun selama penderita dalam masa perawatan (untuk
mengetahui perkembangan pasien dan kebutuhannya serta
mengidentifikasi masalah yang dihadapinya). Hasil pengkajian yang
dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau
cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian:
f. Wawancara
g. Pemeriksaan fisik
h. Observasi atau pengamatan
i. Catatan atau status pasien
j. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain

Pengkajian Primer meliputi


a. Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Apakah klien dapat
berbicara dan bernafas dengan mudah, nilai kemampuan klien
untuk bernafas secara normal.
Pada klien dengan kasus gaduh gelisahi secara penenggelaman,
mungkin akan ditemukan adanya timbunan cairan di paru-paru
yang ditandai dengan muntah dan sesak nafas hebat.

b. Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan
nilai berapa frekuensi pernafasan klien per menitnya. Penurunan
oksigen yang tajam harus dilakukan suatu tindakan ventilasi.
Analisa gas darah dan pulse oxymeter dapat membantu untuk
mengetahui kualitas ventilasi dari penderita.
Tanda hipoksia dan hiperkapnia bisa terjadi pada penderita dengan
kegagalan ventilasi seperti pada klien dengan kasus percobaan
bunuh diri yang dapat mengakibatkan asfiksia. Kegagalan
oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan observasi dan auskultasi
pada leher dan dada melalui distensi vena.

c. Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji
kemampuan venus return klien, lebih lanjut kaji output dan intake
klien Penurunan kardiak output dan tekanan darah, klien dengan
syok hipovolemik karena gaduh gelisah biasanya akan menunjukan
beberapa gejala antara lain,
Urin output menurun kurang dari 20cc/jam, Kulit terasa dingin,
Gangguan fungsi mental, Takikardi, Aritmia

d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon
terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan
menggunakan GCS, adapun cara yang cukup jelas dan cepat
adalah:
A : Awakening
V : Respon Bicara
P : Respon Nyerin
U : Tidak Ada Nyeri
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penrunan oksigenasi atau
penurunan perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung pada
otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi
terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi karena keadaan
gaduh gelisah.

e. Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat
diketahui kelaianan atau cidera yang berhubungan dengan
keseimbangan cairan atau trauma yang mungkin dialami oleh klien
dengan tentamen suicide, beberapa klien dengan tentamen suicide
akan mengalami trauma pada lokasi tubuh, misalnya di leher,
pergelangan tangan dan dibagian-bagian tubuh yang lain.

Pengkajian sekunder
a. Data pasien
Data pasien merupakan identitas pasien yang meliputi
1. Nama
2. Usia, jenis kelamin
3. Kebangsaan/suku
4. Berat badan, tinggi badan
5. Tingkat pendidikan
6. Pekerjaan
7. Status perkawinan
8. Anggota keluarga
9. Agama
10. Kondisi medis, prosedur pembedahan
11. Masalah emosional
12. Dirawat di RS sebelumnya
13. Pengobatan sebelumnya
14. Alergi
Review sistem tubuh (pada sistem utama yang mengalami gangguan)
Pengkajian dilanjutkan dengan mengkaji keluhan utama, keluhan
tambahan serta aspek psikologis dari klien dengan percobaan bunuh diri.

2. Masalah Keperawatan
Langkah berikutnya adalah merumuskan diagnosis keperawatan.
Diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala yang
diperoleh pada pengkajian. Berdasarkan data-data tersebut dapat
ditegakkan diagnosis keperawatan.
a. Risiko perilaku kekerasan
3. Rencana Keperawatan
NO TUJUAN KRITERIA INTERVENSI
DI HASIL
AG
NO
SA
KE
P.
1 Resiko TUM : Setelah diberikan Bina hubungan saling
Perilaku Pasien tidak
asuhan percaya dengan
Kekerasan melakukan keperawatan mengungkapkan
tindakan selama 1x30 menit prinsip komunikasi
kekerasan baik dalam 1 x therapeutic :
kepada diri
pertemuan 1. Sapa pasien
sendiri, orang
diharapkan pasien dengan ramah dan
lain maupun menunjukkan baik secara verbal
lingkungan. tanda-tanda dan non verbal.
percaya dengan 2. Perkenalkan diri
TUK 1 : perawat dengan dengan sopan pada
Pasien dan kriteria hasil : pasien dan
keluarga dapat 1. Menunjukan keluarga (dengan
membina rasa senang bahasa isyarat
hubungan saling 2. Ada kontak kepada pasien)
percaya mata 3. Tanyakan nama
3. Mau berjabat lengkap pasien dan
tangan nama panggilan
4. Mau duduk yang disukai
berdampingan pasien pada
dengan keluarga
perawat. 4. Jelaskan tujuan
pertemuan pada
keluarga pasien
5. Jujur dan menepati
janji.
6. Tunjukkan sikap
empati dan
menerima pasien
apa adanya.
7. Beri perhatian
pada pasien dan
perhatikan
kebutuhan dasar
pasien

2 Resiko TUK 2 : Setelah diberikan 1. Anjurkan


Perilaku Pasien dapat asuhan keluarga
Kekerasan dukungan dari keperawatan menceritakan
keluarga dalam selama 1x30 menit perilaku
mengontrol dalam 1 x kekerasan yang
perilaku pertemuan dilakukan pasien.
kekerasan, diharapkan pasien 2. Diskusikan
Pasien dapat mendapatkan perilaku
mengendalikan dukungan keluarga kekerasan pada
perilaku dalam mengontrol saat berkunjung
kekerasan perilaku tentang :
latihan nafas dengan kriteria perilaku
dalam atau hasil : kekerasan
dengan pukul 1. Keluarga  b. Gejala
kasur dan bantal. dapat  perilaku
menyebutkan kekerasan
pengertian, yang dialami
tanda dan pasien.
tindakan c. Cara yang
untuk dapat
mengendalika dilakukan
3. Implementasi n perilaku pasien dan
Menurut Keliat (2006), implementasi kekerasankeperawatan disesuaikan
keluarga untuk
2. Pasien menghindari
dengan rencana tindakan keperawatan mampudengan memperhatikan
perilakudan
mengutamakan masalah utama yang aktual mengendalika
dan mengancamkekerasan.
integritas
n perilaku d. Cara merawat
pasien beserta lingkungannya. Sebelum kekerasanmelaksanakan anggotatindakan
keperawatan yang sudah di rencanakan, perawat perlu memvalidasi apakahyang
dengan cara : keluarga
a. Latihan mempunyai
rencana tindakan keperawatan masih dinafas butuhkan
dalam dan sesuai dengan
resiko perilaku
kondisi pasien pada saat ini (here and now). atau dengan
Hubungan saling kekerasan
percaya di
pukul kasur rumah,
antara perawat dengan pasien merupakan dan dasar utama dalam
bantal pelaksanaan
3. Bantu pasien
tindakan keperawatan. latihan
mengendalikan
4. Evaluasi perilaku
Evaluasi menurut Keliat (2006) adalah proses yang kekerasan dengan
berkelanjutan
cara latihan nafas
untuk menilai efek dari tindakan keperawatan yang dilaksanakan. dalamEvaluasiatau
dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu evaluasi proses ataudengan formatif dan pukul
kasur dan bantal
evaluasi hasil atau
3 Resiko TUK sumatif
3 : yang dilakukan
Setelah dengan membandingkan
diberikan respon
1. Diskusikan 
Perilaku
pasien denganPasien tujuan yang dapattelah
asuhan dengan  yang
ditentukan. Hasil evaluasi pasien 
Kekerasan memanfaatkan keperawatan dan  keluarga
diharapkan adalah:
obat dengan baik selama 1x30 menit tentang dosis dan
a. Pasien dapat membina hubungan dalam 1
saling percaya x frekuensi serta
pertemuan manfaat minum
b. Pasien dapat mengidentifikasidiharapkan
penyebab perilaku
pasien kekerasan
obat.
c. Pasien dapat mengidentifikasidapat tanda-tanda perilaku kekerasanPasien
memanfaatkan
dapat menyebutkan jenis obat perilaku
dengankekerasan
baik yang pernah
dilakukannya dengan kriteria
hasil :
d. Pasien dapat menyebutkan 1. caraKeluarga 
mencegah/mengontrol perilaku
2. Diskusikan akibat
kekerasan yang dilakukakannya dapat  berhenti minum
menyebutkan  obat tanpa
e. Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku
manfaat,  kekerasannya
konsultasi dengan
dosis  dan  
f. Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya dokter. secara
efek samping 3. Bantu pasien
fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi
obat. psikofarmaka menggunakan
2. Pasien obat dengan
mendapat prinsip 5 benar
informasi
tentang efek
samping obat.
3. Pasien dapat
memahami
akibat
berhenti
minum obat
tanpa
4. Pasien dapat
menyebutkan
prinsip 5
benar
penggunaan
obat

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa
dan Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus
kedaruratan yang memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan
kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa,
klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan
pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik
segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)
Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata
sebenarnya, tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu
sindrom dengan sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah
dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran psikopatologis
dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik pada
dirinya sendiri mauun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah
yang tidak terkontrol (Kusumawati dan Hartono, 2010).

B. Saran
Perawat dalam menangani pasien dengan gaduh gelisah harus dapat
menerapkan komunikasi yang baik agar proses penyembuhan dan
penenangan pasien dapat tercapai secara semaksimal mungkin

DAFTAR PUSTAKA

Depkes. 2000. Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan. Jakarta : Depkes


Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI
Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa : Edisi 2.Jakarta: EGC
Keliat, B.A,. 2011. Model Praktek Keperawatan Jiwa Profesional. Jakarta: EGC
Kusumawati, Farida. 2010. Buku Ajar Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press.
Ma’rifatul, Lilik. 2011. Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu
Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
Andi
Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New
York: Lippincott Williams & Wilkins.
Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Purba. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Masalah Psikososial dan
Gangguan Jiwa. Medan : USU Press
Videbeck, Sheila L. 2001. Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Alih bahasa: Renata
Komalasari.Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai