Anda di halaman 1dari 42

TELAAH JURNAL

ASI EKSKLUSIF MENURUNKAN KEJADIAN ISPA


PADA BAYI USIA 0-6 BULAN

OLEH :

KELOMPOK 6 / PROFESI NERS A

1. IDA AYU PUTU GAYATRI PRABHA (P07120320031)


2. MADE AYU SISTA UTAMI (P07120320032)
3. NI PUTU AYU KRISNAYANTI (P07120320033)
4. PUTU AYU WIDYANINGSIH (P07120320034)
5. IDA AYU PUTU MIRAH KENCANAWATI (P07120320035)
6. GUSTI AYU TRIANA UTARI (P07120320036)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
PROGRAM PROFESI NERS
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah dengan judul "Telaah Jurnal ASI Eksklusif

Menurunkan Kejadian ISPA Pada Bayi Usia 0-6 Bulan" tepat pada waktu

yang telah ditentukan. Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan

motivasi berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan

terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena

keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik

yang bersifat konstruktif sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.

Denpasar, 27 September

2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I ANALISIS JURNAL.................................................................................1

A. Judul Penelitian.............................................................................................1

B. Nama Peneliti................................................................................................1

C. Ringkasan Jurnal...........................................................................................1

D. Kelebihan dan kekurangan Jurnal.................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4

A. Metode PICO Dalam Telaah Jurnal..............................................................4

B. Konsep Dasar ASI Eksklusif........................................................................6

C. Konsep Dasar ISPA....................................................................................15

BAB III PEMBAHASAN...................................................................................24

A. Problem.......................................................................................................24

B. Intervention.................................................................................................24

C. Comparation...............................................................................................25

D. Outcome......................................................................................................31

BAB IV PENUTUP.............................................................................................33

A. Simpulan.....................................................................................................33

B. Saran...........................................................................................................33

iii
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................35

iv
BAB I ANALISIS JURNAL

ANALISIS JURNAL

A. Judul Penelitian

ASI Eksklusif Menurunkan Kejadian ISPA pada Bayi Usia 0-6 Bulan

B. Nama Peneliti

Rochman Basuki, Lilia Dewiyanti, Yunita Elfia

C. Ringkasan Jurnal

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit

menular yang angka morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi. Di

Indonesia kasus kematian karena penyakit ISPA masih cukup tinggi

yaitu sekitar 4 dari 15 juta perkiraan kematian (usia < 5 tahun) setiap

tahunnya, dua pertiganya terjadi pada bayi. Air Susu Ibu (ASI)

adalah makanan utama dan satu-satunya makanan yang sempurna

dan terbaik untuk bayi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

bahwa ASI Eksklusif dapat menurunkan kejadian ISPA pada bayi

usia 0-6 bulan.

Penelitian ini menggunakan metode metode analitik

observasional dengan desain korelasi, retrospektif, dan pendekatan

cross sectional. Metode analitik observasional adalah penelitian yang

menjelaskan adanya hubungan antara variabel melalui pengujian

hipotesa. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh bayi berusia 0-6

bulan yang melakukan pemeriksaan di Puskesmas Ngesrep periode 1

Januari - 30 Juni 2012. Teknik pengambilan sampel menggunakan

1
teknik Total sampling dengan jumlah sampel sebanyak 48 sampel

yang memenuhi kriteria penelitian.

Alat pengambilan data pada penelitian ini adalah kuesioner.

Penelitian ini menggunakan uji statistic Chi Square. Batas

kemaknaan adalah apabila p ≤ 0.05 dengan interval kepercayaan

95%. Penelitian ini melibatkan 48 responden dimana dari hasil

penelitian didapatkan bayi yang diberikan ASI non-ekslusif

menderita penyakit ISPA sebanyak 14 (29,2%) dan yang tidak

menderita penyakit ISPA sebanyak 8 (16,7%). Bayi yang diberikan

ASI ekslusif menderita penyakit ISPA sebanyak 7 (14,6%)

sedangkan yang tidak menderita penyakit ISPA sebanyak 19

(39,6%).

Setelah di uji menggunakan Chi Square dari 48 sampel

diperoleh hasil p-value 0,024 yang berarti terdapat hubungan yang

bermakna antara pemberian ASI eksklusif dan ASI non eksklusif

dengan kejadian ISPA pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas

Ngesrep Semarang. Dengan nilai contingency coeffient sebesar 0,346

yang berarti tingkat kekuatan hubungannya adalah sedang atau

moderate. Serta nilai Odd Ratio atau resiko prevalensi sebesar 4,750

yang berarti bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif memiliki

peluang 4 kali untuk terkena ISPA daripada yang mendapat ASI

eksklusif.

2
D. Kelebihan dan kekurangan Jurnal

1. Kelebihan Jurnal

a. Terlepas dari dua variabel yang diteliti yaitu ASI Eksklusif dan

kejadian ISPA, peneliti juga mengumpulkan data karakteristik subjek

penelitian meliputi jenis kelamin, usia, status imunisasi, status gizi,

riwayat sakit ISPA, riwayat ASI dan pengetahuan ibu. Data-data

tersebut dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya oleh peneliti lain.

2. Kekurangan Jurnal

a. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang sifatnya subyektif,

sehingga kebenaran data sangat tergantung pada kejujuran responden

serta kepekaan dari pewawancara (observer) pada saat observasi dan

pengisian kuesioner yang tentunya akan sangat mempengaruhi

terhadap data dan informasi yang dihasilkan.

3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

A. Metode PICO Dalam Telaah Jurnal

Dalam merumuskan rumusan masalah klinis, dapat dituliskan

dengan format PICO yang terdiri atas 4 komponen, yaitu P atau

problem/permasalahan pada pasien; I yang merefleksikan suatu

intervensi/indeks/ atau indikator, C merupakan kependekan dari

comparison, dan O atau outcome.

1. Problem

Pertanyaan klinis perlu mendeskripsikan dengan jelas karakteristik pasien

(karakteristik demografis pasien) dan masalah klinis pasien yang dihadapi

pada praktik klinis. Karakteristik pasien dan masalahnya perlu dideskripsikan

dengan eksplisit agar bukti-bukti yang dicari dari database hasil riset relevan

dengan masalah pasien dan dapat diterapkan, yaitu bukti-bukti yang berasal

dari riset yang menggunakan sampel pasien dengan karakteristik serupa

dengan pasien/ populasi pasien yang datang pada praktik klinik.

4
2. Intervention

Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesifik intervensi yang ingin diketahui

manfaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes skrining, tes/ alat/

prosedur diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik meliputi terapi obat,

vaksin, prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan, upaya rehabilitatif,

intervensi medis dan pelayanan kesehatan lainnya. Tetapi intervensi yang

dirumuskan dalam pertanyaan klinis bisa juga merupakan paparan (exposure)

suatu faktor yang diduga merupakan faktor risiko/ etiologi/ kausa yang

mempengaruhi terjadinya penyakit/ masalah kesehataan pada pasien.

Intervensi bisa juga merupakan faktor prognostik yang mempengaruhi

terjadinya akibat-akibat penyakit, seperti kematian, komplikasi, kecacatan,

dan sebagainya (bad outcome) pada pasien.

3. Comparison

Pertanyaan klinis perlu pembanding dari intervensi yang diberikan (misalnya:

pembanding computed tomography (CT) yaitu ultrasonografi untuk

mendiagnosis apendisitis pada laki-laki usia 30 tahun dengan nyeri

abdomenakut).

4. Outcome

Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis (clinical

outcome). Outcome (patient-oriented outcome) mengacu pada 3 hal yaitu

death/kematian (misalnya: angka kematian ibu dan anak), disability/kecacatan

(misalnya: kebutaan karena retinopati diabetik pada pasien diabetes mellitus),

dan discomfort/ketidaknyamanan (misalnya: nyeri, mual, dan demam).

Suatu karya tulis ilmiah pada umumnya disusun berdasarkan

5
suatu masalah. Masalah sendiri merupakan kesenjangan antara

keinginan dan kenyataan. Masalah-masalah dalam bidang

kedokteran dan kesehatan dapat disusun menjadi suatu

pertanyaanklinis.Pertanyaan klinis yang dibentuk sebaiknya harus

memiliki model PICO sehingga memudahkan peneliti untuk

menemukan referensi terbaik bagi karya ilmiahnya. Pertumbuhan

publikasi karya ilmiah belakangan ini terjadi dengan sangat pesat.

Publikasi karya ilmiah dalam jurnal meningkat 2 kali lipat pada

tahun 1950 dalam setiap 10 tahun hingga saat ini meningkat 2 kali

lipat hanya dalam 1 tahun. Kondisi ini akan meningkat 2 kali lipat

setiap 73 hari pada tahun 2020.

Banyaknya jumlah publikasi ilmiah ini disertai dengan

menurunnya beberapa kualitas terbitan karya ilmiah dengan

munculnya jurnal - jurnal yang tidak lagi sepenuhnya

mempertimbangkan kaidah dan etika keilmuan. Kualitas publikasi

ilmiah yang berkurang dan banyaknya jumlah publikasi ilmiah ini

akan menyulitkan mahasiswa yang sedang menyusun skripsi atau

tugas akhirnya menemukan referensi skripsi yang tepat untuk karya

ilmiahnya. Metode PICO dapat dengan mudah digunakan untuk

menemukan referensi yang tepat untuk karya ilmiah yang sedang

dibuat sangat menghemat waktu yang dibutuhkan untuk mencari

referensi.

B. Konsep Dasar ASI Eksklusif


1. Pengertian Asi Eksklusif
ASI adalah satu – satunya makanan bayi yang paling baik, karena

6
mengandung zat gizi yang paling sesuai dengan kebutuhan bayi yang sedang

dalam tahap percepatan tumbuh kembang ( Sanyoto dan Eveline, 2008 ).

ASI eksklusif atau lebih tepatnya pemberian ASI secara eksklusif

adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu

formula, jeruk, madu, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti

pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Bayi sehat umumnya

tidak memerlukan tambahan makanan sampai usia 6 bulan. Pada keadaan –

keadaan khusus dibenarkan untuk mulai memberi makanan padat setelah bayi

berumur 4 bulan tetapi belum mencapai 6 bulan. Misalnya karena terjadi

peningkatan berat badan kurang atau didapatkan tanda – tanda lain yang

menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak berjalan dengan baik

(Roesli, 2005).

2. Manfaat Pemberian ASI Eksklusif

Menyusui bayi dapat mendatangkan keuntungan bagi bayi, ibu,

keluarga, masyarakat, dan negara. Sebagai makanan bayi yang paling

sempurna, ASI mudah dicerna dan diserap karena mengandung enzim

penernaan. Beberapa manfaat ASI sebagai berikut :

a. Untuk Bayi

Ketika bayi berusia 0-6 bulan, ASI bertindak sebagai makanan utama

bayi, karena mengandung lebih dari 60% kebutuhan bayi, ASI memang

terbaik untuk bayi manusia sebagaimana susu sapi yang terbaik untuk bayi

sapi, ASI merupakan komposisi makanan ideal untuk bayi, pemberian ASI

dapat mengurangi resiko infeksi lambung dan usus, sembelit serta alergi, bayi

7
yang diberi ASI lebih kebal terhadap penyakit dari pada bayi yang tidak

mendapatkan ASI, bayi yang diberi ASI lebih mampu menghadapi efek

penyakit kuning, pemberian ASI dapat semakin mendekatkan hubungan ibu

dengan bayinya. Hal ini akan berpengaruh terhadap kemapanan emosinya di

masa depan, apabila bayi sakit, ASI merupakan makanan yang tepat bagi bayi

karena mudah dicerna dan dapat mempercepat penyembuhan, pada bayi

prematur, ASI dapat menaikkan berat badan secara cepat dan mempercepat

pertumbuhan sel otak, tingkat kecerdasan bayi yang diberi ASI lebih tinggi 7-

9 poin dibandingkan bayi yang tidak diberi ASI ( Roesli, 2000 ).

b. Untuk Ibu

Isapan bayi dapat membuat rahim menciut, mempercepat kondisi ibu

untuk kembali ke masa prakehamilan, serta mengurangi resiko perdarahan,

lemak yang ditimbun di sekitar panggul dan paha pada masa kehamilan akan

berpindah ke dalam ASI, sehingga ibu lebih cepat langsing kembali, resiko

terkena kanker rahim dan kanker payudara pada ibu yang menyusui bayi lebih

rendah dari pada ibu yang tidak menyusui, menyusui bayi lebih menghemat

waktu, karena ibu tidak perlu menyiapkan botol dan mensterilkannya, ASI

lebih praktis lantaran ibu bisa berjalan-jalan tanpa membawa perlengkapan

lain, ASI lebih murah dari pada susu formula, ASI selalu steril dan bebas

kuman sehingga aman untuk ibu dan bayinya, ibu dapat memperoleh manfaat

fisik dan emotional ( Dwi Sunar, 2009 ).

c. Untuk Keluarga

Tidak perlu menghabiskan banyak uang untuk membeli susu formula,

botol susu, serta peralatan lainnya, jika bayi sehat, berarti keluarga

8
mengeluarkan lebih sedikit biaya guna perawatan kesehatan, penjarangan

kelahiran lantaran efek kontrasepsi dari ASI eksklusif, jika bayi sehat berarti

menghemat waktu keluarga, menghemat tenaga keluarga karena ASI selalu

tersedia setiap saat, keluarga tidak perlu repot membawa berbagai peralatan

susu ketika bepergian ( Roesli, 2005 ).

d. Untuk Masyarakat dan Negara

Menghemat devisa negara karena tidak perlu mengimpor susu formula

dan peralatan lainnya, bayi sehat membuat negara lebih sehat, penghematan

pada sektor kesehatan, karena jumlah bayi yang sakit hanya sedikit,

memperbaiki kelangsungan hidup anak karena dapat menurunkan angka

kematian, ASI merupakan sumber daya yang terus-menerus di produksi (Dwi

Sunar, 2009 ).

1. Nilai Gizi ASI


Seperti halnya gizi pada umumya, ASI mengandung komponen mikro

dan makro nutrien. Yang termasuk makronutrien adalah karbohidrat, protein,

dan lemak. Sedangkan mikronutrien adalah vitamin dan mineral. ASI hampir

90%nya terdiri dari air. Volume dan komposisi gizi ASI berbeda untuk setiap

ibu bergantung dari kebutuhan bayi. Perbedaan volume dan komposisi di atas

juga terlihat pada masa menyusui (colostrum, ASI transisi, ASI matang, dan

ASI pada saat penyapihan). Kandungan zat gizi ASI awal dan akhir pada setiap

ibu yang menyusui juga berbeda. Colostrum yang diproduksi antara hari 1 – 5

menyusui kaya akan zat gizi terutama protein.

ASI transisi mengandung banyak lemak dan gula susu (laktosa). ASI

yang berasal dari ibu yang melahirkan bayi kurang bulan mengandung tinggi

9
lemak dan protein, serta rendah laktosa dibanding ASI yang berasal dari ibu

yang melahirkan bayi cukup bulan. Pada saat penyapihan kadar lemak dan

protein meningkat seiring bertambah banyaknya kelenjar payudara. Walaupun

kadar protein, laktosa dan nutrien yang larut dalam air sama pada setiap kali

periode menyusui, tetapi kadar lemak meningkat. Jumlah total produksi ASI

dan asupan ke bayi bervariasi untuk setiap waktu menyusui, dengan jumlah

berkisar antara 450 – 1200 ml dengan rerata antara 750 – 850 ml per hari.

Banyaknya ASI yang berasal dari ibu yang mempunyai status gizi buruk dapat

menurun sampai jumlah 100 – 200 ml per hari. (Hendarto dan Pringgadini,

2008)

Komposisi ASI antara lain :

a. Karbohidrat

Laktosa adalah karbohidrat yang terdapat dalam ASI dan berfungsi

sebagai salah satu sumber energi untuk otak. Kadar laktosa yang terdapat

dalam ASI hampir 2 kali lipat dibandingkan laktosa yang ditemukan dalam

susu sapi atau susu formula. Angka kejadian diare karena laktosa sangat jarang

ditemukan pada bayi yang mendapat ASI. Hal ini dikarenakan penyerapan

laktosa ASI lebih baik dibanding laktosa susu sapi maupun laktosa susu

formula ( Walker, 2006 ).

b. Protein

Kandungan protein dalam ASI cukup tinggi. Protein yang terdapat pada

10
ASI dan susu sapi terdiri dari protein whey dan casein. Didalam ASI senderi

lebih banyak terdapat protein whey yang lebih mudah diserap oleh usus bayi.

Sedangkan casein cenderung lebih susah dicerna oleh usus bayi dan banyak

terdapat pada susu sapi. ASI mempunyai jenis asam amino yang lebih lengkap

dibandingkan susu sapi. Salah satunya adalah taurin, dimana asam amino jenis

ini banyak ditemukan di ASI yang mempunyai peran pada perkembangan otak.

Selain itu ASI juga kaya akan nukleutida dimana nukleutida ini berperan dalam

meningkatkan pertumbuhan dan kematangan usus, merangsang pertumbuhan

bakteri baik yang ada di dalam usus dan meningkatkan penyerapan besi dan

meningkatkan daya tahan tubuh (Walker, 2006 ).

c. Lemak

Kadar lemak ASI lebih tinggi jika dibandingkan dengan susu sapi atau

susu formula. Kadar lemak yang tinggi ini sangat dibutuhkan untuk

mendukung pertumbuhan otak yang cepat selama masa bayi. Lemak omega 3

dan omega 6 banyak ditemukan dalam ASI yang berperan dalam

perkembangan otak. DHA dan ARA hanya terdapat dalam ASI yang berperan

dalam perkembangan jaringan saraf dan retina mata. ASI juga mengandung

asam lemak jenuh dan tak jenuh yang seimbang, yang baik untuk kesehatan

jantung dan pembuluh darah ( Hendarto dan Pringgadini, 2008 ).

a. Karnitin

Karnitin dalam ASI sangat tiggi dan memiliki fungsi membantu proses

pembentukan energi yang diperlukan untuk mempertahankan metabolisme

tubuh ( Hendarto dan Pringgadini, 2008 ).

b. Vitamin K

11
Vitamin K dalam ASI jumlahnya sangat sedikit sehingga perlu

tambahan vitamin K yang biasanya dalam bentuk suntikan. Vitamin K ini

berfungsi sebagai faktor pembekuan darah ( Walker, 2006 ).

c. Vitamin D

ASI hanya sedikit mengandung vitamin D. Sehingga dengan

pemberian ASI eksklusif dan ditambah dengan membeiarkan bayi terpapar

pada sinar matahari pagi akan mencegah bayi menderita penyakit tulang karena

kekurangan vitamin D ( Walker, 2006 ).

d. Vitamin E

Salah satu keuntungan ASI adalah kandungan vitamin Enya cukup tinggi

terutama pada kolostrum dan ASI transisi awal. Fungsi penting vitamin E

adalah untuk ketahanan dinding sel darah merah ( Hendarto dan Pringgadini,

2008 ).

e. Vitamin A

ASI mengandung vitamin A dan betakaroten yang cukup tinggi. Selain

berfungsi untuk kesehatan mata, vitamin A juga berfungsi untuk mendukung

pembelahan sel, kekebalan tubuh, dan pertumbuhan. Inilah yang menerangkan

mengapa bayi yang mendapat ASI mempunyai tumbuh kembang dan daya

tahan tubuh yang baik ( Hendarto dan Pringgadini, 2008 ).

f.Vitamin yang larut dalam air

Hampir semua vitamin larut air terdapat dalam ASI. Seperti vitamin B,

vitamin C dan asam folat. Kadar vitamin B1 dan B2 cukup tinggi dalam ASI

tetapi vitamin B6 dan B12 serta asam folat rendah terutama pada ibu yang

kurang gizi. Sehingga perlu tambahan vitamin ini pada ibu yang menyusui

12
( Walker, 2006 ).

g. Mineral

Mineral dalam ASI memiliki kualitas yang lebih baik dan lebih mudah

diserap dibandingkan mineral yang terdapat dalam susu sapi. Mineral utama

yang terdapat dalam susu sapi adalah kalsium yang berfungsi untuk

pertumbuhan jaringan otot dan rangka, transmisi jaringan saraf, dan

pembekuan darah. Walaupun kadar kalsium pada ASI lebih rendah daripada

susu sapi tetapi penyerapannya lebih besar. Bayi yang mendapat ASI eksklusif

beresiko sangat kecil untuk kekurangan zat besi, walaupun kadar zat besi

dalam ASI rendah. Hal ini dikarenakan Zat besi yang terdapat dalam ASI lebih

mudah diserap daripada yang terdapat dalam susu sapi. Mineral yang cukup

tinggi terdapat dalam ASI dibandingkan susu sapi dan susu formula adalah

selenium, yang sangat berfungsi pada saat pertumbuhan anak cepat ( Hendarto

dan Pringgadini, 2008 ).

2. Jangka Waktu Pemberian Asi Eksklusif


Pemberian ASI Eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu

setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin terjadi sampai 6

bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan, ia harus mulai diperkenalkan

dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi

berusia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli, 2000).

Seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan,

pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru terkait dengan

pemberian ASI eksklusif. Jangka waktu pemberian ASI eksklusif

yang dianjurkan oleh pemerintah saat ini adalah 6 bulan pertama

13
yang kemudian dilanjutkan sampai 2 tahun dengan pemberian MP-

ASI setelah 6 bulan (Depkes, 2005).

3. Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian Asi Eksklusif


Faktor – faktor yang mempengaruhi seorang ibu dalam

memberikan ASI secara eksklusif kepada balitanya antara lain :

a. Kemudahan-kemudahan yang didapat sebagai hasil kemajuan teknologi

pembuatan makanan bayi seperti pembuatan tepung makanan bayi, susu

buatan bayi, mendorong ibu untuk mengganti ASI dengan makanan olahan

lain.

b. Iklan yang menyesatkan dari produksi makanan bayi menyebabkan ibu

beranggapan bahwa makanan-makanan itu lebih baik dari ASI

c. Para ibu sering keluar rumah baik karena bekerja maupun karena tugas-

tugas sosial, maka susu sapi adalah satu-satunya jalan keluar dalam

pemberian makanan bagi bayi yang ditinggalkan dirumah.

d. Adanya anggapan bahwa memberikan susu botol kepada anak sebagai salah

satu simbol bagi kehidupan tingkat sosial yan lebih tinggi, terdidik dan

mengikuti perkembangan zaman.

e. Ibu takut bentuk payudara rusak apabila menyusui dan kecantikannya akan

hilang.

f. Pengaruh melahirkan dirumah sakit atau klinik bersalin. Belum semua

petugas paramedis diberi pesan dan diberi cukup informasi agar

menganjurkan setiap ibu untuk menyusui bayi mereka, serta praktek yang

keliru dengan memberikan susu botol kepada bayi yang baru lahir. ( Arifin,

2004 )

14
4. Kendala Pemberian Asi Eksklusif
Beberapa kendala yang menyebabkan seorang ibu tidak dapat

melakukan pemberian ASI secara eksklusif antara lain :

a. produksi ASI kurang

b. ibu kurang memahami tata laksana laktasi yang benar

c. ibu ingin menyusui kembali setelah bayi diberi formula (relaktasi)

d. bayi terlanjur mendapat prelacteal feeding (pemberian air gula /

dekstrosa, susu formula pada hari – hari pertama kelahiran)

e. kelainan yang terjadi pada ibu (puting ibu lecet, puting ibu luka, payudara

bengkak, engorgement, mastitis dan abses)

f. ibu hamil lagi pada saat masih menyusui

g. ibu sibuk bekerja

h. kelainan yang terjadi pada bayi (bayi sakit dan abnormalitas bayi)

( Nyoman dan Jeanne, 2008 ).

C. Konsep Dasar ISPA

1. Definisi ISPA

Infeksi saluran pernapasan akut sering disingkat dengan ISPA, istilah

tersebut diadaptasi dari istilah bahasa Inggris yaitu Acute Respiratory

Infections (ARI) (Masriadi, 2017). Menurut Khin,M.T. (2005) dalam

Masriadi (2017) istilah ISPA mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran

pernapasan, dan akut seperti dalam penjelasan berikut :

a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia

dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

15
b. Saluran pernapasan adalah organ yang dimulai dari hidung hingga alveoli

beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA

secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan

bagian bawah (termasuk jaringan paru- paru), dan organ adneksa saluran

pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran

pernapasan (respiratory tract).

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas ini

diambil untuk menunjukan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit

yang dapat digolongkan daam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14

hari.

Acute respiratory infection atau ISPA dapat menyerang saluran

pernafasan bagian atas ataupun bagian bawah. Infeksi akut yang mengenai

saluran pernafasan atas diantaranya rinitis, tonsillitis, faringitis, rinosinusitis

dan otitis media. Pada saluran pernafasan bawah diantaranya epiglottis,

croup, bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia.

2. Etiologi ISPA

Penyebab ISPA menurut WHO (2007) dalam Sudanto, 2017 yaitu:

a. Pada umumnya ISPA disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang menyebabkan

pneumonia antara lain Streptococcus pneumonia, Mycoplasma pneumonia,

Staphylococcus aureus, dan bakteri yang paling sering menyebabkan ISPA

adalah Streptococcus pneumonia.

b. ISPA yang disebabkan oleh virus disebabkan oleh virus sinsisial pernapasan,

hantavirus, virus influenza, virus parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, virus

herpes simpleks, sitomegalovirus, rubeola, varisella.

16
c. ISPA yang disebabkan oleh jamur disebabkan oleh Candidiasis,

histoplasmosis, Aspergifosis, Coccidioido mycosis, Cryptococosis,

Pneumocytis carinii.

d. ISPA yang disebabkan oleh polusi yaitu asap rokok, asap pembakaran rumah

tangga, asap kendaraan bermotor dan buangan industri serta kebakaran hutan.

3. Faktor Risiko ISPA

Terdapat banyak faktor risiko yang mendasari penyakit ISPA pada

anak. Hal ini berhubungan dengan pejamu, agen penyakit, dan lingkungan.

Faktor risiko terjadinya ISPA oleh Wantania, 2008 sebagai berikut.

a. Usia

ISPA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah lima tahun dan

30% anak berusia 5-12 tahun, serta didapatkan 23% kasus ISPA berat pada

anak berusia di atas enam bulan. Pada negara berkembang ISPA adalah

penyebab utama dari empat penyebab terbanyak kematian anak dengan

kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah satu tahun.

b. Jenis Kelamin

Ada yang mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan yaitu insiden

lebih tinggi pada anak laki-laki berusia di atas enam tahun.

c. Status Gizi

Gizi buruk merupakan salah faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini

dikarenakan adanya gangguan respons imun. Risk Ratio (RR) anak

malnutrisi dengan pneumonia adalah 2,3. Selain itu, anak dengan defisiensi

vitamin A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada

anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A.

17
d. Pemberian Air Susu Ibu (ASI)

Prevalensi ISPA berhubungan dengan lamanya pemberian ASI. Bayi yang tidak

pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi

yang diberi ASI paling sedikit selama satu bulan. Bayi yang tidak diberi

ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami perawatan di rumah sakit akibat

pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI.

e. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Pada negara berkembang kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR.

Sebanyak 22% kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR.

Berdasarkan analisis, menunjukkan bahwa BBLR mempunyai Risk Ratio

(RR) kematian 6,4 pada bayi berusia di bawah enam bulan dan 2,9 pada

bayi berusia 6-11 bulan.

f. Imunisasi

Vaksin campak cukup efektif hingga 25% dapat mencegah kematian akibat ISPA.

Usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis

telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini. Selain

itu, vaksin Pneumococcus dan Haemophilusinflunzae tipe B juga penting

diberikan pada anak untuk pencegahan pneumonia dan influenza.

g. Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi dan

pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian

kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak terobati.

h. Status Sosial Ekonomi

Anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah mempunyai

18
risiko lebih besar mengalami ISPA. Risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali

lebih tinggi pada anak dengan status sosial ekonomi rendah.

i. Penggunaan Fasilitas Kesehatan

Penggunaan fasilitas kesehatan sangat berpengaruh pada tingkat keparahan ISPA.

Pada sebagian negara berkembang pemanfaatan fasilitas kesehatan masih

rendah.

j. Lingkungan

Studi epidemiologi pada negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara,

baik dari dalam maupun dari luar rumah, berhubungan dengan beberapa

penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi polutan

lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratory. Anak yang

tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka insiden ISPA yang

lebih rendah daripada anak yang berada di dalam rumah berventilasi buruk.

Selain itu, orang tua yang merokok dan lingkungan dengan suhu tinggi juga

merupakan salah satu faktor risiko pneumonia.

k. Penyakit Lain

Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau penyakit AIDS serta penyakit-

penyakit lain merupakan faktor risiko ISPA. Pada beberapa negara HIV

mulai menjadi masalah karena pneumonia terjadi lebih sering dan lebih

berat pada pasien HIV. Selain itu, didapatkan sebesar 25% dari kematian

HIV disebabkan oleh ISPA bawah.

l. Bencana Alam

Indonesia juga merupakan negara rawan bencana, seperti banjir, gempa, gunung

meletus, tsunami, dan bencana lainnya. Kondisi bencana tersebut

19
menyebabkan kondisi lingkungan menjadi buruk, sedangkan fasilitas

kesehatan terbatas. Penularan kasus ISPA akan lebih cepat apabila terjadi

pengumpulan massa atau penampungan pengungsi. Pada situasi bencana

jumlah kasus ISPA sangat besar dan menduduki peringkat teratas

(Kemenkes RI, 2012).

4. Proses Terjadinya Penyakit ISPA

Patogen mengembangkan strategi untuk bertransmisi dan hidup

dalam tubuh pejamu. Patogen banyak yang berasal dari virus, terutama

Respiratory Syntical Virus (RSV). Patogen yang lain, seperti Streptococcus,

Haemophilus influenza, Chlamydia trachomatis, Mycoplasma, dan

Pneumococci (Hartono & Dwi, 2012). Strategi yang digunakan oleh suatu

mikroorganisme pada tahap-tahap perjalanan infeksi adalah: 1) kontak

mukosa yaitu terjadi perlekatan sel bakteri dengan permukaan epitel; 2)

invasi yaitu patogen menyebabkan kerusakan dengan menginvasi jaringan

yang lebih dalam melalui robekan pada kulit atau mukosa dan mekanisme

invasi spesifik; 3) menghindari sistem imun yaitu beberapa patogen

menghasilkan enzim atau memiliki komponen tertentu pada permukaannya

yang mengikat atau menghambat sIgA pada permukaan mukosa; 4)

memproduksi toksin dalam patogenesi beberapa penyakit (Davey, 2005)

5. Klasifikasi ISPA

a. ISPA Atas

1. Rhinitis

Rhinitis karena virus sering dikenal sebagai common cold dengan gejala

rinorea, bersin, kongesti hidung, nyeri tenggorok, dan demam ringan

20
(Greeberg, 2008)

2. Faringitis

Faringitis akut adalah penyakit epidemi disertai campuran gambaran klinis,

tergantung tipe virus, umur, dan keadaan kesehatan umum anak. Apabila

gejala sistemiknya cukup berat disebut sebagai influenza. Gejalanya

meliputi sakit kepala, lemah, dan demam mendadak. Selanjutnya, terjadi

sakit menelan, menggigil, hidung tersumbat, nyeri pada otot-otot, muntah,

dan nyeri perut. Pada bayi faringitis dapat timbul disertai demam tanpa

sebab yang jelas, diare, muntah, dan kejang demam (Rendle, Gray, &

Dodge, 2007).

3. Rinosinositis

Gejala yang sering timbul berupa nyeri pada wajah, hidung tersumbat, ingus

purulen, hiposmia atau anosmia, dan demam (Daulay, Dalimunthe, &

Kaswandani, 2008).

4. Otitis Media

Otitis media merupakan peradangan yang terjadi pada telinga tengah. Otitis

media akut paling sering terjadi pada anak dengan gejala panas. Membran

timpani yang cembung, kemerahan, dan keruh serta dapat juga dijumpai

sekret purulen merupakan tanda otitis media (Hartono & Dwi, 2012).

b. ISPA Bawah

1. Epiglotitis

Penyakit ini ditandai dengan demam tinggi yang timbul secara mendadak, nyeri

tenggorok, sesak napas, dan diikuti dengan gejala obstruksi saluran

21
respiratory yang progresif. (Yangtjik & Arifin, 2008)

2. Croup (Laringitis Akut)

Croup disebabkan oleh kombinasi infeksi dan virus Haemophilus influenza dengan

penyempitan laring. Anak yang terkena croup seringkali dikemudian hari

menjadi asma. Oleh karena itu, croup sering berulang. Laringitis timbul

perlahan-lahan, beberapa hari setelah onset kataral atau tonsolitisnya, dapat

pula timbul mendadak disertai stridor pada jam-jam pertama di pagi hari.

Gejalanya dapat berupa suara serak yang disertai batuk keras sehingga dapat

menyebabkan nyeri ada tenggorokan. Anak harus dirawat di tempat dengan

udara yang kelembapan cukup (Rendle et al., 2007)

3. Bronkitis

Gejala batuk biasanya muncul 3-4 hari setelah rinitis. Batuk pada awalnya keras

dan kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang

ringan dan produktif. Selain itu, gejala dapat berupa hidung berair, badan

menggigil, pegal-pegal, sakit kepala, dan sakit tenggorokan (Ikawati, 2007)

4. Bronkiolitis

Gejala bronkiolitis dapat berupa takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu

di atas 38,50C. Selain itu, dapat ditemukan konjungtivitis ringan dan

faringitis.

5. Pneumonia

Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan

nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, dan

kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. Selanjutnya,

untuk gejala respiratory, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,

22
napas cuping, air hunger, merintih, dan sianosis (Said, 2008).

6. Pencegahan ISPA

a. Menjaga kesehatan gizi anak

Kesehatan gizi yang baik akan mencegah kita atau terhindar dari penyakit

ISPA. Menjaga kesehatan gizi anak antara lain:

1) Mangusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik

2) Bayi harus mendapatkan ASI eklusif

3) Makanan harus mengandung gizi yang cukup yaitu mengandung cukup

protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral

4) Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk mengetahui

apakah beratnya sesuai dengan umurnya.

b. Imunisasi

Imunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh anak supaya tidak

mudah terserang penyaki. Imunisasi DPT salah satunya diguankan untuk

mencegah penyakit pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi saluran

napas.

c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

Membuat ventilasi udara serta pencahayaan yang baik akan mengurangi

polusi asap dapur dan asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga dapat

mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa menyebabkan ISPA.

d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA

23
Penyakit ISPA dapat ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit

melalui udara yang tercemar dan masuk ke tubuh. Bibit penyakit ini biasanya

berupa virus atau bakteri di udara yang umumnya berbentuk aerosol (atau

suspense yang melayang di udara) (Depkes RI, 2010).

24
BAB III PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

A. Problem

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit menular yang

angka morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi (WHO, 2007).Di Indonesia

kasus kematian karena penyakit ISPA masih cukup tinggi yaitu sekitar 4 dari 15

juta perkiraan kematian pada anak usia kurang dari 5 tahun setiap tahunnya, dua

pertiganya terjadi pada bayi. Salah satu faktor yang mempengaruhi penyakit ISPA

adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI) (Depkes, 2006).

ASI merupakan makanan utama yang sempurna serta terbaik untuk bayi

karenamengandung unsur-unsur gizi yang diperlukan bayi dalam proses

pertumbuhan dan perkembangan (Depkes, 2006). ASI Eksklusif adalah pemberian

ASI saja selama 0-6 bulan tanpa diberi makanan atau minuman lain (2010).

ASInon Eksklusif adalah pemberian ASI yang ditambah dengan pemberian

makanan atau minuman lain sampai bayi berusia 6 bulan.

Populasi dalam penenlitian ini adalah bayi umur bayi 0-6 bulan dengan

jumlah sampel 48 di lingkungan Puskesmas Ngesrep Semarang. Dari jumlah

sampel tersebut, Sebanyak 26 (54,2%) bayi yang mendapat ASI Eksklusif 7

(14,6%) diantaranya menderita ISPA dan 19 (39,6%) diantaranya tidak menderita

ISPA. Sedangkan sebanyak 22 (45,8%) bayi yang mendapat ASI non Eksklusif 14

(29,2%) diantaranya menderita ISPA dan 8 (16,7%) diantaranya tidak menderita

ISPA.

25
B. Intervention

Penelitian ini menggunakan metode metode analitik observasional dengan

desain korelasi, retrospektif, dan pendekatan cross sectional. Metode analitik

observasional adalah penelitian yang menjelaskan adanya hubungan antara

variabel melalui pengujian hipotesa. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh

bayi berusia 0-6 bulan yang melakukan pemeriksaan di Puskesmas Ngesrep

periode 1 Januari-30 Juni 2012. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik

Total sampling dengan jumlah sampel sebanyak 48 sampel yang memenuhi

kriteria penelitian.

Alat pengambilan data pada penelitian ini adalah kuesioner. Teknik

pengumpulan data saat dilapangan adalah dengan teknik wawancara. Kemudian

kuesioner yang telah diisi oleh responden dikumpulkan dan diperiksa satu per

satu. Setelah itu data yang telah diperoleh diolah dan dianalisis menggunakan

komputer. Penelitian ini menggunakan uji statistic Chi Square. Batas kemaknaan

adalah apabila p ≤ 0.05 dengan interval kepercayaan 95%.

C. Comparation
Jurnal yang ditelaah dikomparasikan dengan enam jurnal yang telah

diperloleh dari berbagai pangkalan data. Berikut ini merupakan komparasi jurnal

sampel dengan enam jurnal lainnya.

1. Jurnal pertama oleh Pangestika, 2020 dengan judul “Studi Komparatif

Pemberian Susu Formula dan ASI Ekslusif Terhadap Kejadian ISPA Bayi

Umur 0-6 Bulan”

Pada jurnal pebanding pertama, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui perbedaan pemberian ASI eksklusif dan susu formula terhadap

26
ISPA pada bayi usia 0-6 bulan di puskesmas Lameuru. Penelitian

menggunakan metode deskriptif komparatif pendekatan studi retrospektif.

Populasi penelitian ini adalah semua bayi berusia 0-6 bulan. Total sampel 116

bayi. Data yang digunakan data sekunder yang diambil dari rekam medis

menggunakan lembar observasi dan analisis data menggunakan uji chi square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa bayi yang diberi susu

formula lebih banyak mengalami ISPA yaitu 30,2% sedangkan bayi yang tidak

mengalami ISPA lebih banyak diberikan ASI ekslusif 34,5%. Hasil uji

bivariate menunjukkan ada perbedaan pemberian susu formula dan pemberian

ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA p=0,003 (p<0,005). Dapat disimpulkan

bahwa ada perbedaan pemberian susu formula dan ASI eksklusif dengan

kejadian ISPA bayi usia 0-6 bulan di puskesmas Lameuru

2. Jurnal pebanding kedua oleh Lega Umami, Kuswantoro Rusca P 2014 dengan

judul “Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif terhadap Insidensi Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Bareng Kotamadya Malang”

Pada jurnal pebanding kedua, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui adanya pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap insidensi

ISPA pada bayi usia 0-6 bulan. Desain penelitian yang digunakan adalah

analitik observasional dengan pendekatan cross sectional melalui pengisian

kuesioner dan pengamatan. Pengambilan sampel menggunakan metode

purposive sampling. Sampel adalah para ibu beserta bayinya dan berjumlah 88

orang.

27
Berdasarkan hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai x2 =

46.642 yang lebih besar dari nilai x2 tabel = 3.841 dengan nilai signifikansi

sebesar 0.000 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang

signifikan pemberian ASI eksklusif terhadap insidensi ISPA pada bayi usia 0-

6 bulan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh pemberian

ASI eksklusif terhadap rendahnya insidensi ISPA pada bayi usia 0-6 bulan.

3. Jurnal pebanding ketiga oleh Hersoni, 2019 dengan judul “Pengaruh

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif Terhadap Kejadian Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) Pada Bayi Usia 6-12 Bulan Di Rab RSU Dr.

Soekarjdo Kota Tasikmalaya”

Pada jurnal pebanding ketiga, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada

bayi usia 6-12 bulan di RAB RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya Tahun

2015. Jenis penelitian ini adalah cross sectional. Populasi pada penelitian ini

adalah bayi yang berumur 6 sampai dengan 12 bulan yang berada di RAB

RSU Kota Tasikmalaya pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

accidental sampling dan dianalisis dengan menggunakan analisa univariat,

bivariat dan uji regresi logistic.

Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 62 bayi yang mengalami ISPA

terdapat 55(82,1 %) bayi usia 6-12 bulan yang tidak ada pemberian ASI

ekslusif dan 7 (12,3 %) bayi usia 6-12 bulan ada pemberian ASI ekslusif .

Hasil uji statistik yang diperoleh nilai p < 0,05 artinya ada pengaruh yang

bermakna antara pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian ISPA. Nilai OR

32,738. (95% CI : 11,951-89,684) artinya bayi usia 6-12 bulan yang tidak

28
diberikan ASI Ekslusif risikonya 32,738 kali lebih besar akan mengalami

kejadian ISPA dibandingkan kelompok tidak mengalami ISPA.

4. Jurnal pebanding ke empat oleh Ikasari, Pertiwiwati, & Rachmawati, 2015

dengan judul “Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Kejadian ISPA Pada Bayi

Usia 6-12 Bulan”

Pada jurnal pebanding ke empat, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui apakah ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap

kejadian ISPA pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja Puskesmas

Martapura. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain kasus

kontrol, pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling

pada 77 kelompok kasus dan 77 kelompok kontrol bayi berusia 6-12 bulan.

Hasil penelitian didapatkan bahwa dari 154 orang responden yang

dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kasus (bayi 6-12 bulan dengan

ISPA) sebanyak 77 orang responden dan kelompok kontrol (bayi 6-12 bulan

tidak ISPA), didapatkan bahwa bayi yang diberikan ASI eksklusif dan pernah

mengalami ISPA sebanyak 32 orang responden dengan persentase 41,6%,

sedangkan bayi yang diberikan ASI eksklusif dan tidak pernah mengalami

ISPA sebanyak 47 orang dengan persentase 61,0%, bayi yang tidak ASI

eksklusif dan pernah mengalami ISPA sebanyak 45 orang dengan persentase

58,4%, sedangkan bayi yang tidak ASI eksklusif dan tidak pernah mengalami

ISPA sebanyak 30 orang dengan persentase 39,0%.

Hasil tersebut menunjukan bahwa bayi yang tidak ASI eksklusif

memiliki Rasio Odds 0,454 kali (95% CI: 0,238-0,865) untuk mengalami

kejadian ISPA dibandingkan bayi yang diberi ASI eksklusif, dengan nilai

29
p=0,024. Berdasarkan hasil penelitian, diambil kesimpulan ada hubungan

antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi usia 6-12

bulan di wilayah kerja Puskesmas Martapura. Hal tersebut jelas menunjukan

bahwa bayi yang ASI eksklusif lebih baik daripada bayi yang tidak ASI

eksklusif dalam pencegahan kejadian ISPA, karena bayi dengan ASI eksklusif

memiliki kekebalan tubuh yang lebih baik dan tidak mudah terserang ISPA

dibandingkan dengan bayi yang tidak ASI eksklusif.

5. Jurnal pebanding kelima oleh Rahman & Nur, 2015 ”Hubungan Pemberian

ASI Eksklusif Dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Managaisaki”

Pada jurnal pebanding kelima, tujuan penelitian ini yaitu untuk

mengetahui hubungan antara pemberian ASI eksklusif dan faktor lainnya

dengan kejadian penyakit ISPA pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Managaisaki. Metode Penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian

analitik dengan rancangan cross sectional study, sampel dalam penelitian ini

sebanyak 60 responden dengan tekhnik pengambilan sampel secara

consecutive sampling.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar anak mengalami penyakit

ISPA yaitu 33 (55%), sebagian besar anak balita tidak diberikan ASI secara

Eksklusif yaitu sebesar 41 (68,3%), sebagian besar Ibu mempunyai

pengetahuan baik yaitu berjumlah 54 Ibu (90%), dan sebagian besar anak

mendapatkan imunisasi secara lengkap yaitu berjumlah 45 Anak (76,3%). Hal

ini menunjukkan Prevalensi kejadian ISPA lebih besar pada anak yang diberi

ASI tidak eksklusif dibandingkan pada anak yang diberi ASI secara eksklusif,

30
hasil uji statistic variable pemberian ASI eksklusif dan status imunisasi

berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA sementara pengetahuan ibu tidak

berhubungan dengan kejadian penyakit ISPA. Dapat disimpulkan terdapat

hubungan bermakna antara pemberian ASI eksklusif dan status imunisasi

dengan kejadian penyakit ISPA

6. Jurnal pebanding ke enam oleh Yuditya & Mulyono, 2019 dengan judul

“Hubungan ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas

Balowerti Kota Kediri periode September 2018”

Pada jurnal pebanding ke enam, tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui hubungan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita di

Puskesmas Balowerti Kota Kediri periode September 2018. Metode penelitian

yang digunakan yaitu epidemiologi observasional analitik ini menggunakan

desain studi cross sectional. Penelitian ini dilakukan pada balita usia 1 tahun

di Puskesmas Balowerti dengan jumlah 49 sampel yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusif. Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

data primer yang diperoleh dari wawancara bebas terarah sesuai kuesioner

terlampir. Data dianalisis dengan menggunakan uji Chi square untuk

mengetahui hubungan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita.

Hasil dari olah data dengan menggunakan Chi Square test

menunjukkan p value = 0,044 (p < 0,05) dan hasil dari uji statistik Koefisien

kontingensi didapatkan nilai 0,276. Dapat disimpulkan dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara ASI eksklusif dengan kejadian

ISPA pada Balita di Puskesmas Balowerti Kota Kediri periode September

2018.

31
D. Outcome

Penelitian ini melibatkan 48 responden dimana dari hasil penelitian

didapatkan bayi yang diberikan ASI non-ekslusif menderita penyakit ISPA

sebanyak 14 (29,2%) dan yang tidak menderita penyakit ISPA sebanyak 8

(16,7%). Bayi yang diberikan ASI ekslusif menderita penyakit ISPA sebanyak 7

(14,6%) sedangkan yang tidak menderita penyakit ISPA sebanyak 19 (39,6%).

Setelah di uji menggunakan Chi Square dari 48 sampel diperoleh hasil p-

value 0,024 dimana nilai tersebut lebih kecil dari 0,05 yang berarti terdapat

hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dan ASI non eksklusif

dengan kejadian ISPA pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas Ngesrep

Semarang. Dengan nilai contingency coeffient sebesar 0,346 yang berarti tingkat

kekuatan hubungannya adalah sedang atau moderate. Serta nilai Odd Ratio atau

resiko prevalensi sebesar 4,750 yang berarti bayi yang tidak mendapat ASI

eksklusif memiliki peluang 4 kali untuk terkena ISPA daripada yang mendapat

ASI eksklusif.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Filia Sofiani I (2015) bahwa pada bayi yang diberi ASI tidak eksklusif memiliki

odd ratio 0,454 (95% CI: 0,238 - 0,865) yang artinya memiliki risiko 0,454 kali

lebih besar untuk mengalami kejadian ISPA dibandingkan bayi yang diberi ASI

eksklusif (Filia, 2010).

Air Susu Ibu (ASI) merupakan minuman alami untuk bayi pada usia

bulan-bulan pertama yang didalamnya terdapat kolostrum, protein, karbohirat,

lemak, mineral, vitamin (WHO, 2003), taurin, DHA dan AA. Kandungan ASI

32
mencakup zat anti infeksi, bersih dan bebas kontaminasi. Dalam kolostrum ASI

mengandung immunoglobulin A (Ig A) yang cukup tinggi, yang dapat

melumpuhkan bakteri pathogen E. coli dan berbagai virus dalam saluran

pencernaan, kandungan kolostrum dalam ASI yang banyak mengandung

antibodi salah satunya adalah BALT yang menghasilkan antibody terhadap

infeksi pernapasan dan sel darah putih, serta vitamin A yang dapat memberikan

perlindungan terhadap infeksi dan alergi. ASI juga mengandung mineral zinc

yang terbukti efektif untuk menurunkan penyakit pneumonia (radang paru),

diare dan penyakit infeksi lainnya. Zink juga terbukti dapat menurunkan lama

dan derajat keparahan ISPA.

Secara teoritis bayi yang tidak disusui akan lebih mungkin menderita

penyakit infeksi saluran pernafasan akut dengan tingkat kematian 4 kali lebih

besar dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI (Basuki, 2012). Menyusui juga

dapat memberikan efek perlindungan terhadap bakteri Haemophilus tipe B yang

merupakan salah satu agent penyebab infeksi pernafasan (UNICEF, 2003).

Dapat disimpulkan bahwa bayi yang diberi ASI non Eksklusif memiliki

resiko untuk terkena penyakit ISPA sebanyak 4 kali daripada bayi yang diberi

ASI Eksklusif.

33
BAB IV PENUTUP

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan telaah jurnal di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada Bayi.

Hasil penelitian dari beberapa jurnal yang ditelaah menunjukkan bahwa

pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan kejadian ISPA pada bayi. Jurnal

sampel yang dikomparasikan melaporkan bahwa bayi yang diberi ASI non

Eksklusif memiliki resiko untuk terkena penyakit ISPA sebanyak 4 kali daripada

bayi yang diberi ASI Eksklusif.

Maka dari itu, dapat diketahui bahwa pemberian ASI eksklusif selama

enam bulan pada bayi sangatlah penting. Hal ini dikarenakan ASI mengandung

kolostrum, protein, karbohirat, lemak, mineral, vitamin, taurin, DHA dan AA.

Kolostrum mengandung zat kekebalan terutama IgA yang dapat melindungi bayi

dari berbagai penyakit infeksi seperti ISPA. Selain itu pada ASI juga terdapat sel

darah putih yang terdiri dari antibodi pernapasan, antibodi saluran pernafasan dan

antibodi jaringan payudara (UNICEF et al., 2007).

B. Saran

1. Bagi institusi pelayanan kesehatan

Institusi pelayanan kesehatan diharapkan dapat meningkatkan upaya

promotif kepada para ibu yang memiliki bayi ataupun ibu hamil misalnya

dengan memberikan penyuluhan tentang pentingnya ASI eksklusif dalam

rangka pencegahan kejadian ISPA pada bayi.

34
2. Bagi ibu menyusui

Ibu menyusui diharapkan tetap berusaha memberikan ASI secara

eksklusif dan menghindari pemberian PASI terlalu dini, mengingat pentingnya

manfaat ASI dalam mencegah berbagai penyakit infeksi khususnya ISPA.

35
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, R., Dewiyanti, L., & Elfia, Y. (n.d.). ASI Eksklusif Menurunkan Kejadian
ISPA pada Bayi Usia 0-6 Bulan Exclusive Breast Feeding Decreasing
Incidence of Acute Respiratory Infection on Infant 0-6 Month. Retrieved
from http://www.digilib.unimus.ac.id/

Daulay, R., Dalimunthe, W., & Kaswandani, N. (2008). Rinosinusitis : Buku Ajar
Respirologi Anak (Edisi 1). Jakarta: IDAI.

Davey, P. (2005). At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Depkes RI. (2010). Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita. Jakarta.

Greeberg, M. (2008). Teks -Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jakarta: Erlangga.

Hartono, R., & Dwi, R. (2012). ISPA Gangguan Pernapasan Pada Anak.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Hersoni, S. (2019). PENGARUH PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI)


EKSLUSIF TERHADAP KEJADIAN INFEKSI SALURAN
PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BAYI USIA 6-12 BULAN DI
RAB RSU dr. SOEKARJDO KOTA TASIKMALAYA. Jurnal Kesehatan
Bakti Tunas Husada: Jurnal Ilmu-Ilmu Keperawatan, Analis Kesehatan
Dan Farmasi, 19(1), 56–64. https://doi.org/10.36465/jkbth.v19i1.450

Ikasari, F. S., Pertiwiwati, E., & Rachmawati, K. (2015). Pemberian Asi Eksklusif
Terhadap Kejadian Ispa Pada Bayi Usia 6-12 Bulan. Dinamika Kesehatan,
3(2), 61–70.

Ikawati, Z. (2007). Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan. Yogyakarta:


Pustaka Adipura.

Lega Umami*, Kuswantoro Rusca P*, F. I. F. (2014). Pengaruh Pemberian Asi


Eksklusif terhadap Insidensi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Bayi Usia 0-6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Bareng Kotamadya
Malang. Majalah Kesehatan FKUB, 1, 102–111.

Masriadi. (2017). Epidemiologi Penyakit Menular. Makassar: PT Rajagrafindo


Persada.

Narmawan, N., Pangestika, Y. W., & Tahiruddin, T. (2020). Studi Komparatif


Pemberian Susu Formula dan ASI Ekslusif Terhadap Kejadian ISPA Bayi

36
Umur 0-6 Bulan. Journal of Holistic Nursing Science, 7(2), 179–186.
https://doi.org/10.31603/nursing.v7i2.3129

Pangestika, Y. W. (2020). Studi Komparatif Pemberian Susu Formula dan ASI


Ekslusif Terhadap Kejadian ISPA Bayi Umur 0-6 Bulan. 7(2), 179–186.

Pola, H., Makanan, K., & Kalsium, S. (2014). Majalah kesehatan FKUB Majalah
kesehatan FKUB. 1, 102–111.

Rahman, A., & Nur, A. F. (2015a). DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS


MANAGAISAKI Salah satu tujuan Millennium Development Goals
(MDGs) adalah menurunkan Angka Kematian Anak ( AKABA ) sebesar
dua pertiganya , antara tahun 1990 dan 2015 , termasuk di dalamnya
adalah angka kematian bayi ( AKB ). M. Yaitu Berjumlah 54 Ibu (90%),
Dansebagian Besar Anak Mendapatkan Imunisasi Secara Lengkap Yaitu
Berjumlah 45 Anak (76,3%) Hasil Uji Statistic Variable Pemberian ASI
Eksklusif Dan Status Imunisasi Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit
ISPA Sementara Pengeta, 33.

Rahman, A., & Nur, A. F. (2015b). HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF


DENGAN KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN
AKUT PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
MANAGAISAKI. 33.

Rendle, S., Gray, O., & Dodge, J. (2007). Ikhtisar Penyakit Anak (Edisi 6).
Jakarta: Binapura Aksara.

Said, M. (2008). Pneumonia : Buku Ajar Respirologi Anak (Edisi 1). Jakarta:
IDAI.

Sudanto, E. W. (2017). Hubungan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga dan


Kondisi Lingkungan Rumah Dengan Kejadian ISPA Balitadi Wilayah
Kerja Puskesmas II Rakit Kabupaten Banjarnegara. 14–42.

UNICEF, UNHCR, WHO, WFP, IBFAN, et all. Manual utama. 2007 Available
from : URL : HIPERLINK : www.ennonline.net/pool/files/ife/m2-bahasa-
core.pdf

Wantania, J. M. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak (Edisi 1; B. Supriyanto, N.


N. Rahajoe, & D. B. Setyanto, eds.). Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Yangtjik, K., & Arifin, F. (2008). Buku Ajar Respirologi Anak (Edisi 1). Jakarta:
IDAI.

Yuditya, D. C., & Mulyono, H. (2019). Hubungan ASI Eksklusif dengan Kejadian

37
ISPA pada Balita di Puskesmas Balowerti Kota Kediri periode September
2018. Journal for Quality in Women’s Health, 2(2), 16–22.
https://doi.org/10.30994/jqwh.v2i2.33

38

Anda mungkin juga menyukai