Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Pembimbing:

dr. Nur Hakim Basuki, Sp. KJ

Disusun oleh:

Alifa Sarah Safira

2016730112

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

RUMAH SAKIT JIWA ISLAM KLENDER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.

Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga referat ini dapat diselesaikan oleh penulis. Referat ini menyajikan topik
mengenai ”Kegawatdaruratan Psikiatri.” Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memenuhi
tugas kepaniteraan klinik stase ilmu kesehatan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Islam Klender.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada pembimbing
penulis, yaitu dr. Nur Hakim Basuki, Sp. KJ. Besar harapan penulis melalui referat ini,
pengetahuan dan pemahaman penulis semakin bertambah.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih belum sempurna, baik dari segi
materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan referat ini. Atas bantuan dan
segala dukungan dari bebagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih

Wassalamualaikum wr. wb.

Jakarta, 28 Juli 2020

Alifa Sarah Safira

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
BAB II.........................................................................................................................................................2
BAB III......................................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan psikiatri adalah suatu keadaan gangguan dan/atau perubahan tingkah


laku, alam pikiran atau alam perasaan yang dapat dicegah atau dapat diatasi yang membuat
pasien sendiri, teman, keluarga, lingkungan, masyarakat, atau petugas professional merasa perlu
meminta pertolongan psikiatrik segera, cepat, dan tepat karena kondisi itu dapat mengancam
integritas fisik dan psikologis pasien, orang lain, keluarga, atau lingkungan sosialnya. Keadaan
kegawatdaruratan psikiatri dapat terjadi pada seseorang atau sekelompok orang bersama-sama.
Selain itu, keadaan ini dapat disebabkan karena keterbatasan kapasitas orang yang bersangkutan
dalam usia, intelegensi, penyakit, atau emosi pada saat itu.

Menurut Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (2016) jumlah penderita
gangguan jiwa di dunia sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21
juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Data dari Riset Kesehatan Dasar (2013)
menunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional dengan gejala-gejala depresi dan
kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah
penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai
sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk. Prevalensi gangguan mental
emosional pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan prevalensi ganguan mental
emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan
Nusa Tenggara Timur.
Untuk mengatasi masalah tersebut perlunya untuk memiliki basis pengetahuan yang kuat
mengenai keadaan kegawatdarurat psikiatri. Keadaan kegawatdaruratan psikiatri memerlukan
penanganan yang khusus.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kegawatdaruratan psikiatrik merupakan kondisi yang ditandai oleh adanya gangguan
pada pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang yang memerlukan perhatian dan intervensi
terapeutik segera. Termasuk di dalamnya kondisi yang berhubungan dengan gaduh gelisah
(agitasi, agresif, perilaku kekerasan) dan percobaan bunuh diri.

Kedaruratan psikiatri merupakan cabang ilmu kedokteran jiwa dan kedokteran


kedaruratan yang dibentuk untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan intervensi
psikiatrik. Dokter masa kini harus mengembangkan perannya untuk menjadi bagian dari ruang
gawat darurat psikiatrik. Kasus yang datang minta pertolongan sangat bervariasi.ada yang
sekadar ingin minta resep, ada yang memerlukan teman biara, hingga yang merupakan kasus-
kasus psikiatrik, seperti serangan panik, kondisi medik umum (delirium, intoksikasi, gejala putus
zat, dll), krisis perkawinan, skizofrenia, atau psikosis akut, dan lain-lain.

EVALUASI

Tujuan utama dalam melakukan evaluasi kedaruratan psikiatrik adalah menilai kondisi pasien
yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat. Tindakan segera dengan pendekatan yang
pragmatis, yang harus dilakukan secara tepat adalah:

 Menentukan diagnosis awal


 Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera sang pasien
 Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai

Dengan tugas di unit gawat darurat yang sifatnya sering tak terduga, banyaknya pasien
dengan keluhan-keluhan fisik dan emosional, terbatasnya waktu dan ruang serta fasilitas
penunjang, diperlukan pendekatan terhadap pasien. Kadang-kadang lebih baik pasien untuk tidak
terlalu lama di unit gawat darurat.

Dalam proses evaluasi, dilakukan:

a. Wawancara kedaruratan psikiatrik

Wawancara dilakukan dengan lebih terstruktur. Secara umum, fokus wawancara


ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan

2
tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman, polisi dapat melengkapi informasi, terutama
pada pasien mutisme, negativistik, tidak kooperatif, atau inkoheren.

Seperti halnya wawancara psikiatrik yang biasa dilakukan, hubungan dokter-pasien


sangat berpengaruh terhadap informasi yang diberikan dan yang diinterpretasikan. Karenanya
diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi, dan melakukan interpretasi
terhadap apa yang dikatakan maupun yang tidak dikatakan oleh pasien, yang dilakukan
dalam waktu yang cepat.

Sikap yang tenang dan jujur akan sangat diperlukan dalam proses wawancara. Hal ini
membuat pasien mengerti bahwa dokter memegang kendali, dan bahwa keputusan untuk
melakukan setiap tindakan adalah untuk mencegah perilaku yang melukai diri sendiri atau
orang lain.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan status


mental, pemeriksaan status fisik/neurologis, dan kalau perlu, pemeriksaan penunjang.

Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oleh dokter di unit gawat darurat
adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Apapun penyakit pasien yang sesungguhnya, tanda-
tanda vital dapat membantu dokter untuk memilih alur diagnosis yang benar karena dari
pemeriksaan ini saja sudah banyak yang bisa kita simpulkan atau kita singkirkan.

Pada bagan, dapat dilihat salah satu model alur evaluasi dan penatalaksanaan pasien gawat
darurat psikiatrik.

3
Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:

a. Keamanan pasien

Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa situasi di


ruang gawat darurat, pola pelayanan dan komunikasi antarstaf, serta jumlah pasien dalam
ruangan tersebut cukup aman bagia pasien, baik secara fisik maupun emosional. Jika
intervensi verbal tidak cukup atau merupakan kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian
obat atau pengekangan. Perhatian perlu diberikan terhadap kemungkinan timbulnya
agitasi atau perilaku merusak.

b. Medik atau psikiatrik?

Penting sekali bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik, atau
kombinasi keduanya karena penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi-kondisi medik
umum, seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam tinggi, kelainan metabolisme,
tumor, AIDS, intoksikasi, atau gejala putus asa seringkali menyebabkan gangguan fungsi
mental yang menyerupai gangguan psikiatrik umumnya. Bila kondisi ini tidak ditangani
semestinya, kondisi ini dapat menyebabkan kematian. Karena itu, dokter gawat darurat
tetap harus menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang
tampak walaupun sebelumnya telah dinyatakan tidak ada kelainan secara medik oleh
dokter lain.

c. Psikosis

Yang penting disini bukanlah penegakan diagnosisnya, tapi seberapa jauh


ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan memengaruhi hidupnya.
Hal ini dapat memengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta
kepatuhannya dalam berobat.

Komunikasi dengan pasien psikosis harus luwes dan tidak bertele-tele. Semua
intervensi klinis harus dijelaskan secara singkat dan jelas, dalam bahasa yang dapat
dimengerti. Jangan mengharapkan pasien memercayai atau mengharappkan bantuan lain.

4
Dokter harus siap untuk melakukan wawancara terstruktur atau menghentikan wawancara
sewaktu-waktu untuk membatasi kemungkinan terjadinya agitasi atau regresi.

d. Suicidal atau homicidal

Pasien-pasien dengan kecenderungan ini sangat membahayakan dirinya sendiri


atau orang lain. Jangan pernah menyepelekan semua ancaman, pikiran, atau sikap yang
menunjukkan adanya kecenderungan bunuh diri hingga tetrbukti bahwa hal itu tidak
benar. Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus diobservasi secara ketat.
Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau pikitan bunuh diri harus
selalu ditanyakan pada pasien.

e. Kemampuan merawat diri

Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien mampu


merawat dirinya sendiri, mampu menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan
pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah satu
indikasi rawat inap.

Indikasi rawat inap lainnya adaah bila pasien membahayakan dirinya sendiri atau orang
lain, bila perawatan di rumah tidak memadai, dan bila diperlukannya observasi lebih
lanjut.

PERTIMBANGAN DALAM PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN TERAPI

a) Diagnosis

Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, tapi ada beberapa hal yang
harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data, misalnya penapisan toksikologi
(tes urin untuk opioid, ametamin, benzodiazepine, kanabis, dsb), pemeriksaan radiologi,
EKG, tes laboratorium. Sedapat mungkin pemeriksaan dan konsultasi medik untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab organik dilakukan di ruang gawat darurat. Data
penunjang, seperti catatan medik sebelumnya, informasi dari sumber luar (alloanamnesis dari
keluarga, polisi, dsb) juga dikumpulkan sebelum kita menentukan tindakan. Prioritas utama
memang keamanan, tapi hal ini jangan sampai menunda penegakan diagnosis.

b) Terapi

5
Pemberian terapi obat atau pengekangan (bila memang diperlukan) harus mengikuti
prinsip terapi maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk
membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya sendiri, mengurangi atau
menghilangkan penderitaannya, agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu
kesimpulan akhir.

Pasien yang tidur memang tidak membahayakan orang lain, tapi dokter pun tidak bisa
melakukan pemeriksaan status mental terhadap pasien tersebut.

Obat-obatan yang sering digunakan adalah:

 Low-dose high-potency antipsychotics, seperti haloperidol, trifluoperazine, perpherazine,


dsb. karena keamanannya cukup luas. Haloperidol terdapat dalam kemasan injesi dan
tetes (cairan) sehingga memudahkan pemberian
 Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine. Olanzapine juga
terdapat dalam bentuk injeksi.
 Injeksi benzodiazepine

Kombinasi antipsikotik dan benzodiazepine kadang sangat efektif.

Kesalahan yang sering dilakukan oleh para dokter adalah sebagai berikut.

 Pemberian dosis obat yang terlalu besar atau penggunaan preparat ynag terlalu kuat
(overmedication) sehingga evaluasi atau pemulangan menjadi terlambat
 Pemberian dosis yang kurang atau pemberian preparat yang kurang tepa
 Penggantian obat yang terlalu cepat

RUJUKAN / PEMINDAHAN

Pada beberapa keadaan, misalnya psikosis akibat zat, reaksi stress akut, dekompensasi
psikologik sementara pada pasien dengan gangguan kepribadian tertentu, akan lebih baik jika
pasien tidak langsung dirawat atau dipulangkan. Penempatan di ruang observasi berkelanjutan
akan memberikan waktu bagi dokter untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut mengenai
penyebab gangguan mentalnya. Selain itu, keadaan pasien juga mungkin akan membaik bila ia
berada di tempat yang aman.

6
Dengan demikian, pasien mungkin tidak perlu dirawat di instalasi rawat inap psikiatrik
yang dapat menimbulkan stigma atau trauma baginya, serta mengurangi kapasitas tempat tidur
yang dapat diberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Intervensi krisis pada korban
perkosaan atau korban trauma lainnya juga dapat dilakukan pada fasilitas observasi ini.

Dapatkan persetujuan pasien bila pasien dianggap perlu untuk dirawat inap sehingga ia
merasa dapat mengendalikan hidupnya dan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
terkait dengan pengobatannya. Bila pasien memang membahayakan diri sendiri atau
lingkungannya, pengambilan keputusan untuk rawat inap dapat dilakukan tanpa persetujuan
pasien.

DOKUMENTASI

Semua penemuan dan tindakan harus didiskusikan dan dicatat dengan baik untuk
kepentingan pasien, dokter dan RS, asuransi/pembayaran, dan hukum. Catatan medik harus dapat
menggambarkan keadaan pasien. Penemuan positif maupun negatif serta informasi yang belum
didapat sebaiknya dicatat. Nama-nama, alamat, dan nomor telepon yang dapat dihubungi wajib
dicatat. Bila diagnosis pasti belum dapat ditegakkan, catat semua diagnosis banding. Rencana
penatalaksanaan awal dilakukan sesuai diagnosis kerja saat itu.

Beberapa keadaan yang sering dihadapi dokter di fasilitas gawat darurat psikiatri adalah sebagai
berikut.

 Tindak kekerasan (violence)


 Bunuh diri (suicide)
 Sindrom neuroleptic maligna
 Delirium

1) TINDAK KEKERASAN (VIOLENCE)

Violence atau tindak kekerasan adalah agresi fisik yang dilakukan seseorang terhadap
orang lain. Jika diarahkan kepada dirinya sendiri, tindakan tersebut disebut mutilasi diri atau
tingkah laku bunuh diri (suicidal behaviour). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai
gangguan psikiatrik dan dapat terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan

7
hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik. Tindak kekerasan dan ancaman tindak
kekerasan sering terjadi di ruang gawat darurat psikiatrik hingga menyebabkan adanya
permintaan konsultasi ke psikiatri. Para dokter dan staf harus mengetahui cara cepat memulai
prosedur pencegahan peningkatan tindak kekerasan ini. Prosedur ini meliputi intervensi
perilaku, farmakologik, dan psikososial.

Tindakan kekerasan merupakan bagian dari suatu kondisi gaduh gelisah. Kondisi gaduh
dapat bermanifestasi tiga hal, yaitu:

 Agitasi, yang merupakan perilaku patologi dengan manifestasi berupa aktivitas verbal
atau motorik yang tidak bertujuan
 Agresif, digunakan untuk binatang dan manusia. Pada manusia, dapat berbentuk
agresi verbal atau fisik terhadap benda atau seseorang.
 Kekerasan (violence), agresi fisik oleh seseorang yang bertujuan melukai orang lain.

Gambaran Klinis dan Diagnosis

Gangguan psikiatrik yang sering berhubungan dengan tindak kekerasan adalah:

 Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila penderita paranoid
dan mengalami halusinasi ynag bersifat suruhan (commanding hallucination)
 Intoksikasi alkohol atau zat lain
 Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obata hipnotik-sedatif
 Katatonik furor
 Depresi agitative
 Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dangangguan pengendalian
impuls, misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial)

8
 Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan temporalis
otak

Faktor risiko lain yang dapat menyebabkan terjadinya tindak kekerasan adalah sebagai
berikut.

 Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan


 Adanya rencana spesifik
 Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan
 Laki-laki
 Usia muda (15 – 24 tahun)
 Status sosioekonomi rendah
 Sistem dukungan sosial yang buruk
 Adanya riwayat melakukan tindak kekerasan (merupakan indikator terbaik)
 Tindakan antisosial lainnya
 Pengendalian impuls yang buruk
 Riwayat percobaan bunuh diri
 Adanya stressor yang baru saja terjadi

Faktor tambahan lain adalah adanya riwayat bahwa yang bersangkutan pernah menjadi
korban tindak kekerasan, riwayat masa kanak-kanak yang meliputi triad: mengompol, main
api, dan kekejaman terhadap hewan, mempunyai catatan criminal, pernah berdinas
militer/polisi, mengendarai kendaraan secara ugal-ugalan, adanya riwayat tindak kekerasan
dalam keluarga.

Tujuan pertama menghadapi pasien yang potensial untuk melakukan tindak kekerasann
adalah mencegah tindak kekerasan tersebut terjadi. Tujuan berikutnya adalah membuat
diagnosis sebagai rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.

Asesmen pada kondisi gaduh gelisah

9
a. Singkirkan kondisi fisik: riwayat medik, pemeriksaan fisik, radiologi,
laboratorium; tentukan status HIV atau hepatitis C bila ada indikasi
b. Evaluasi adanya komorbiditas: gangguan penyalahgunaan zat, gangguan
kepribadian ambang atau antisosial
c. Efek samping obat: akatisia
d. Penilaian risiko: riwayat kekerasan, ide/tindakan bunuh diri sebelumnya, akses ke
senjata, catatan pengadilan tentang criminal, isi waham/halusinasi

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

i. Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tapi tetap tegas dan berikan batasan
yang jelas bahwa pasien dapat diikat jika diperlukan (physical restraint).
Tentukan batasan tersebut dengan memberikan pilihan dan bukan dengan
menyuruh pasien secara provokatif.
ii. Katakana langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima
iii. Tenangkan pasien bahwa ia aman di tempat wawancara. Tunjukkan dan tularkan
sikap yang tenang serta penuh kontrol
iv. Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya menjadi lebih tenang

Evaluasi dan Penatalaksanaan

a) Lindungi diri anda. Perkirakan bahwa mungkin dapat terjadi suatu tindak
kekerasan sehingga kita tidak terkejut oleh suatu tindak kekerasan yang terjadi
mendadak.
 Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata. Senjata harus
diserahkan kepada petugas keamanan. Ketahui sebanyak mungkin
informasi tentang pasien sebelum wawancara
 Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas seorang diri
atau di ruangan tertutup. Lepaskan benda-benda yang bisa dijambak atau
ditarik oleh pasien, seperti kalung dan dasi. Usahakan pemeriksa selalu
terlihat oleh staf lainnya.
 Jangan melakukan pengikatan pasien sendiri. Serahkan pada petugas yang
sudah terlatih untuk hal tersebut.

10
 Jangan biarkan pasien mempunyai akses terhadap ruangan yang berisi
barang-barang yang dapat dijadikan senjata, seperti brankar atau ruang
tindakan.
 Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid karena bisa membuat
pasien merasa bahwa pemeriksa sedang mengancamnya. Duduklah dengan
jarak minimal sepanjang lengan
 Jangan menentang atau menantang pasien psikotik
 Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan. Persiapkan rute
untuk melarikan diri. Jangan pernah membelakangi pasien
b) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya tindak kekerasan, seperti:
 Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini,
gigi yang dikatupkan, tangan yang dikepal
 Ancaman verbal
 Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata, seperti
garpu dan asbak
 Agitasi psikomotor (merupakan indikator kuat)
 Intoksikasi alkohol, obat, atau zat lain
 Waham kejar
 Halusinasi yang menyeluruh (commanding hallucination)
c) Pastikan bahwa terdapat staf dalam jumlah yang cukup untuk mengikat
pasien secara aman. Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang sudah
terlatih. Biasanya sesudah diikat, pasien akan diberikan benzodiazepine atau
antipsikotik (tergantung diagnosisnya) untuk menenangkan pasien. Berikan
suasana yang tenang untuk pasien
d) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi tanda-tanda vital,
pemeriksaan fisik, dan wawancara psikiatrik. Evaluasi risiko bunuh diri dan buat
rencana penatalaksanaan yang meliputi penanganan tindak kekerasan yang
mungkin muncul.
e) Eksplorasi kemungkinan dilakukannya intervensi psikososial, seperti
pisahkan pasien dari situasi atau orang tertentu yang berhubungan dengan tindak

11
kekerasan, coba intervensi keluarga, dan manipulasi lingkungannya. Lihat apakah
pasien tetap bersikap keras bila ia tinggal dengan keluarga lainnya?
f) Pertimbangkan bahwa pasien mungkin perlu dirawat untuk mencegah tindak
kekerasan. Lakukan observasi terus-menerus walaupun pasien dirawat di ruang
perawatan psikiatri yang terkunci
g) Jika penanganan psikiatri bukan hal yang sesuai untuk kasus, pertimbangkan
untuk melibatkan polisi atau aparat hukum
h) Peringatkan calon korban bila masih ada kemungkinan bahaya mengancam,
misalnya bila pasien tidak dirawat.

Terapi Psikofarmaka

Terapi obat tergantung diagnosisnya. Untuk menenangkan pasien, dapat diberikan


antipsikotik atau benzodiazepine:
 Flufenazine, trifluoperazine, atau haloperidol diberikan 5 mg peroral atau IM;
 Olanzapine 2,5 mg – 10 mg IM, maksimal 4 injeksi sehari dengan dosis rata-rata per
hari 13 – 14 mg
 Atau lorazepam 2 – 4 mg, diazepam 5 – 10 mg IV secara perlahan (dalam 2 menit)

Bila sebelumnya pasien sudah diberikan antipsikotik, berikan lagi obat yang sama. Bila
kegelisahan pasien tidak berkurang dalam 20 – 30 menit, ulangi dosis yang sama sampai
pasien mencapai kondisi tenang. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang
mempunyai risiko kejang. Benzodiazepine mungkin tidak efektif pada pasien yang sudah
toleran; benzodiazepine juga dapat menurunkan inhibisi yang berpotensi memperburuk
kekerasan pada pasien. Untuk penderita epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan, misalnya
carbamazepine, baru kemudian berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita gangguan
organik kronik seringkali memberikan respons yang baik dengan pemberian beta blockers,
seperti propranolol.

2) BUNUH DIRI (SUICIDE)

Bunuh diri adalah kematian yang diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap
dirinya sendiri.

12
Etiologi

Etiologi atau penyebab bunuh diri dibagi menjadi beberapa faktor, yaitu faktor sosial, faktor
psikologis, dan faktor biologis.

a. Faktor sosial

Kontribusi pertama yang mempelajari tentang pengaruh sosial dan budaya terhadap bunuh
diri dilakukan oleh seorang sosiologis dari Perancis bernama Emile Durkheim. Untuk
mengetahui pola statistiknya, Dukheim membagi bunuh diri menjadi tiga kategori sosial.
Yaitu egoistik, altruistic, dan anomik. Istilah bunuh diri egoistik berlaku untuk pasien yang
tidak cocok berada dikelompok sosial mana pun. Kurangnya interaksi dengan keluarga
menjelaskan kenapa orang yang belum menikah lebih rentan melakukan bunuh diri daripada
yang sudah menikah dan mengapa pasangan yang sudah memiliki anak lebih terlindungi dari
tindakan bunuh diri. Daerah pedesaan memiliki aktivitas sosial yang lebih tinggi dari daerah
perkotaan sehingga angka bunuh dirinya lebih sedikit.

Istilah bunuh diri altruistik digunakan pada orang-orang yang rentan terhadap bunuh diri
karena integrasi yang berlebihan terhadap suatu kelompok yang menghasilkan keinginan
untuk bunuh diri, misalnya seorang tantara yang mengorbankan nyawanya pada masa perang.
Bunuh diri anomik terjadi pada orang yang integrasinya terhadap suatu komunitas terganggu
sehingga orang tersebut tidak mengikuti suatu norma tertentu. Anomi menjelaskan kenapa
perubahan ekonomi yang drastis dapat membuat seseorang menjadi lebih lemah atau rentan
daripada sebelum adanya perubahan tersebut. Pada teori Dukheim, anomi juga merujuk pada
suatu instabilitas sosial dan adanya general breakdown terhadap nilai-nilai dan standar yang
ada di suatu komunitas.

b. Faktor psikologis
Karl Menninger berpendapat bahwa bunuh diri sebagai pembunuhan yang dibalik ke
dalam diri sendiri karena kemarahan pada orang lain. Menurut suatu studi oleh Aaron
Beck menunjukkan bahwa keputusasaan adalah salah satu indikator yang paling akurat
untuk risiko bunuh diri jangka panjang.
c. Faktor biologis

13
Berkurangnya serotonin sentral memainkan peranan di dalam perilaku bunuh diri.
Konsentrasi metabolik serotonin 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) yang rendah di
cairan serebrospinal lumbal terkait dengan perilaku bunuh diri. Selain itu, faktor genetik
pada perilaku bunuh diri menunjukkan kecenderungan menurun di dalam keluarga. Pada
pasien psikiatri riwayat bunuh diri di dalam keluarga meningkatkan risiko percobaan
bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan pada sebagian besar dalam kelompok
diagnostik

Faktor Risiko

Berikut ini adalah hal-hal yang dapat menunjukkan adanya risiko tinggi terhadap
terjadinya tindakan bunuh diri.

a. Jenis kelamin laki-laki


b. Usia yang semakin tua
c. Hidup seorang diri / mengalami isolasi sosial
d. Adanya riwayat bunuh diri atau percobaan bunuh diri dalam keluarga
e. Adanya riwayat menderita sakit atau nyeri kronik
f. Baru saja menjalani operasi
g. Tidak memiliki pekerjaan
h. Sudah membereskan segala urusan duniawinya
i. Akan mengalami ‘ulang tahun’ (anniversary) suatu kehilangan
j. Adanya riwayat gangguan psikiatri

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

 Saat wawancara, pasien mungkin akan menjelaskan adanya ide bunuh diri secara
spontan. Bila tidak, tanyakan langsung pada pasien.
 Mulailah dengan menanyakan apakah pasien pernah merasa ingin menyerah saja?
Apakah pasien pernah merasa bahwa pasien lebih baik mati saja?
 Tanyakan dan catat isi pikiran pasien.
o Seberapa sering pikiran untuk bunuh diri muncul?
o Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?

14
o Apakah pasien hanya memikirkan tentang kematian atau sudah merencanakan
bagaimana cara pasien untuk bunuh diri?
 Pertimbangkan faktor umur dan kecanggihan pikiran pasien, serta apakah niat yang
dinyatakan pasien sesuai dengan metode yang mereka pilih.
 Selidiki:
o Apakah pasien bisa mendapatkan cara atau alat untuk melakukan rencana
bunuh diri?
o Apakah pasien sudah mengambil langkah-langkah aktif, seperti
mengumpulkan obat dan menyelesaikan urusannya?
o Seberapa pesimis pasien?
o Apakah pasien bisa membayangkan kehidupannya membaik?
 Pertanyaan terakhir dapat membantu asesmen dan terapi
o Jika tidak, apakah pasien merasa masa depannya akan suram dan tidak ada
harapan lagi?
o Jika ya, apakah ketakutannya rasional atau tidak?
 Jika pasien tidak kooperatif, cari data orang yang penting dalam kehidupan pasien.

Evaluasi dan Penatalaksanaan

 Jangan tinggalkan pasien sendirian di dalam ruangan


 Singkirkan benda yang dapat membahayakan pasien
 Buatlah penilaian apakah percobaan bunuh diri pasien direncanakan atau dilakukan
secara impulsive
 Tentukan tingkat letalitas percobaan bunuh diri; apakah faktor yang mendorong
tindakan bunuh diri berubah?
 Penatalaksanaan tergantung dengan diagnosis
o Pasien dengan depresi berat boleh dirawat jalan jika keluarganya bisa
mengawasi pasien di rumah. Jika tidak bisa, katakana bahwa perlu rawat inap
o Pasien alkoholik biasanya akan kehilangan ide bunuh diri setelah
menghentikan penggunaan alkohol. Jika depresi menetap setelah gejala putus

15
zatnya teratasi, pertimbangkan adanya depresi berat. Nilai kembali pasien
setelah pasien terbebas dari pengaruh zat terkait
o Pada pasien skizofrenia, adanya ide bunuh diri harus dianggap serius karena
pasien dapat melakukan bunuh diri dengan cara yang keras atau sadis dan
aneh dengan tingkat letalitas tinggi
o Pasien dengan gangguan kepribadian dapat merespons dengan baik bila pasien
ditangani secara empatik dan dibantu memecahkan masalahnya secara
rasional dan bertanggung jawab; serta ikutsertakan keluarga dan teman-
temannya.
o Diperlukan rawat inap jangka panjang jika pasien cenderung dan memiliki
kebiasaan melukai diri sendiri atau parasuicides (berulang kali melakukan
hal-hal berbahaya, tapi menyangkal adanya ide-ide bunuh diri).

Terapi Psikofarmaka

 Pasien yang baru mengalami suatu kejadian yang jangka waktunya belum lama
biasanya akan membaik setelah mendapat trnquilizer ringan, terutama bila tidurnya
terganggu.
o Golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3 x 1 mg sehari selama 2
minggu
 Antidepresan

Terapi Nonfarmakologi

 Psikoterapi suportif
o Berikan pernyataan yang bersifat empatik
o Hindari pernyataan yang bersifat memojokkan, interogatif, dan menganggap
persoalan pasien adalah suatu hal yang ringan
o Intervensi psikoterapi ynag berfokus pada pengembangan keterampilan dalam
penyelesaian masalah, misalnya cognitive behaviour therapy

3) SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

16
Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang berhubungan dengan
penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi kekakuan otot, dystonia, akinesia,
mutisme, dan agitasi.
Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko terjadinya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, usia
muda (20 – 40 tahun), laki-laki, malnutrisi, penggunaan antipsikotik,
pengekangan/pengikatan, dan pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan
antagonis dopaminergic, seperti carbidopa, levodopa, amantadine, dan bromocriptine.
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Sindrom neuroleptik maligna ditandai dengan demam tinggi (dapat mencapai 41,5°C),
kekakuan otot yang nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik
(takikardia, tekanan darah yang labil, keringat berlebihan), dan gangguan kesadaran.
Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama penggunaan antipsikotik pada saat dosis mulai
ditingkatkan, umumnya dalam sepuluh hari pertama pengobatan antipsikotik. Paling
mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi
Kekakuan yang parah dapat menyebabkan rhabdomyosis, myoglobinuria, dan akhirnya
gagal ginjal. Penyulit lain berupa thrombosis vena, emboli paru, renjatan, dan kematian.
Panduan Wawancara dan Psikoterapi
Tanyakan perjalanan penyakit pasien kepada keluarga atau teman-temannya karena
pasien sinrom neuroleptik maligna biasanya mengalami gangguan kesadaran.
Evaluasi dan Tatalaksana
Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang mendapat
antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot. Buatlah diagnosis sementara bila
terdapat rigiditas ringan yang tidak merespons pemberian antikolinergik biasa dan bila
penyebab demam tidak jelas. Segera hentikan pemberian antipsikotik. Monitor tanda-tanda
vital pasien secara berkala. Lakukan pemeriksaan laboratorium yang mencakup darah perifer
lengkap, termasuk hitung jenis, kimia darah, kimia darah, fungsi hati, ureum dan kreatinin.
Biasanya terdapat leukositosis serta peningkatan creatine phosphokinase (CPK) yang
biasanya meningkat dan secara langsung berkaitan dengan keparahan sindrom neuroleptik
maligna.

17
Lakukan kompres seluruh tubuh untuk menurunkan temperatur badan pasien dengan ice
bath/ice packs/cooling blankets, atau ice-water enema, atau evaporative cooling. Biasanya
efektif sebagai tindakan awal sebelum episode demam berlanjut. Antipiretik biasanya tidak
berguna.
Hidrasi cepat secara intravena untuk mencegah terjadinya renjatan dan menurunkan
kemungkinan gagal ginjal.
Penyakit ini biasanya berlangsung sekitar 15 hari. Setelah sembuh, masalah yang timbul
kemudian adalah pemberian antipsikotik selanjutnya; apakah mengganti antipsikotik semula
ke antipsikotik dari kelas yang berbeda, ataukah kembali ke antipsikotik semula yang
sepenuhnya efektif? Perlu dipikirkan terapi renjatan listrik (electro convulsive therapy/ECT).
Terapi Psikofarmaka
Obat-obatan yang dapat diberikan kepada pasien dengan sindrom neuroleptik maligna
adalah sebagai berikut.
 Amantadine 200 – 400 mg PO/hari dalam dosis terbagi
 Bromocriptine 2,5 mg PO, 2 atau 3 kali/hari, dapat dinaikkan sampai 45 mg/hari
 Levodopa 50 – 100 mg/hari IV dalam infus terus-menerus
 Dantrolene 1 mg/kg/hari IV selama 8 hari, kemudian dilanjutkan PO selama 7 hari
berikutnya
 Benzodiazepine atau ECT dapat diberikan jika obat-obatan lain tidak berhasil

4) DELIRIUM
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Gambaran klinis yang dapat ditemukan pada pasien dengan delirium adalah sebagai berikut.
 Prodromal: biasanya pasien akan mengeluh kelelahan, cemas, menjadi iritabel,
mengalami gangguan tidur
 Gangguan kesadaran: penurunan kejernihan tingkat kesadaran terhadap lingkungan
 Kewaspadaan: hiperaktivitas (berkaitan dengan sindrom putus zat, misalnya
flushing, berkeringat, takikardia, nausea, dan hipertermia) dan hipoaktivitas (seluruh
aktivitas menurun sehingga sering disebut sebagai depresi.
 Gangguan pemusatan perhatian: ditandai dengan adanya kesulitan
mempertahankan, memusatkan, dan mengalihkan perhatian

18
 Orientasi: gangguan orientasi waktu sering terjadi pada delirium ringan; delirium
berat akan mencakup orientasi tempat dan orang
 Bahasa dan kognitif: terjadi abnormalitas berbahasa dan terjadi inkoherensi, daya
ingat dan fungsi kognitif menurun
 Persepsi: adanya halusinasi visual dan auditorik
 Mood: marah, mengamuk, adanya rasa takut yang tidak beralasan; perubahan mood
dapat berubah naik turun sepanjang hari
 Gangguan tidur-bangun: adanya agitasi pada malam hari dan masalah perilaku pada
saat waktu tidur, yang disebut sundowning
 Gejala neurologi: disfasia, tremor, asteriksis, inkoordinasi, dan inkontinensia urine

DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum (DSM-IV-
TR)

A. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadap lingkungan dalam


bentuk memusatkan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian)
B. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dan jangka pendek, namun
daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi terutama
visual, hendaya daya piker dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham sementara,
tapi yang khas terdapat sedikit inkoherensi, disorientasi waktu, tempat, dan orang)
C. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya singkat dan
ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari
D. Berdasarkan bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk
menemukan penyebab delirium ini

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

Berikut adalah panduan wawancara dan psikoterapi untuk pasien delirium.

19
 Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tapi tetap tegas dan berikan batasan yang
jelas bahwa pasien dapat diikat bila perlu. Tentukan batasan tersebut dengan
memberikan pilihan pada pasien, bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif
 Tenangkan pasien bahwa pasien aman di ruangan wawancara. Tunjukkan sikap
tenang dan penuh kontrol
 Tawarkan obat pada pasien untuk membantunya menjadi lebih tenang

Evaluasi dan Penatalaksanaan

Tujuan utama dari penatalaksanaan delirium adalah mengobati penyebabnya.


 Toksisitas antikolinergik: pisostigmin salisilat 1 – 2 mg IV atau IM, ulang 15 – 30
menit jika diperluka
 Psikosis: haloperidol dengan pemberian dosis tergantung umur, umumnya berkisar
antara 2 – 10 mg IM dan dapat diulang satu jam kemudian bila pasien masih
menunjjukkan agitasi. Jika pasien sudah tenang, obat dapat diberikan secara peroral
yang terbagi atas dua dosis, yaitu sepertiganya diberikan pada pagi hari dan dua
pertiga pada saat tidur. Untuk mencapai dosis yang sama, berikan dosis satu setengah
kali dari dosis sunti. Dosis efektif haloperidol pada kebanyakan penderita delirium
berkisar antara 5 – 50 mg
 Hindari pemberian golongan fenotiazine karena memiliki hubungan yang
bermakna dengan aktivitas antikolinergik
 Insomnia: golongan benzodiazepine dengan waktu paruh pendek, seperti lorazepam
1 – 2 mg sebelum tidur
 Nyeri atau sesak napas: berikan opioid untuk mengatasi nyeri dan dapat membuat
tidur
 ECT tidak disarankan
5) Dfhkksdfghj
6)

BAB III
KESIMPULAN

20
Kedaruratan psikiatri merupakan cabang ilmu kedokteran jiwa dan kedokteran kedaruratan
yang dibentuk untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan intervensi psikiatrik.
Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan, dan perilaku yang
memerlukan intervensi terarpeutik segera, yaitu kondisi gaduh gelisah, tindak kekerasan, bunuh
diri, dan delirium.

Tujuan utama dari evaluasi terhadap pasien dengan kegawatdaruratan psikiatri adalah
menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat. Saat evaluasi, pemeriksa
dapat melakukan wawancara psikiatri terhadap pasien atau keluarganya dan pemeriksaan fisik.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum memulai pemeriksaan selain itu, perlu
diperhatikan beberapa hal sebelum menangani pasien lebih lanjut, seperti keamanan pasien,
kemungkinan bunuh diri, dan kemampuan pasien untuk merawat diri.

Penatalaksanaan untuk kegawatdaruratan psikiatri adalah diberikannya terapi


psikofarmaka, seperti antipsikotik, antdepresan, benzodiazepine, dan antagonis dopaminergic,
serta dapat dilakukan psikoterapi suportif terhadap pasien dan keluarganya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1627/MENKES/SK/XI/2010 tentang Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik.
Jakarta.

Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins.

22

Anda mungkin juga menyukai