Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan
Tutorial Blok Gangguan Saraf dan Psikiatri.
Kami menyadari bahwa dalam pengerjaan laporan ini jauh dari sempurna,
baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, khususnya dari dosen
guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa
yang akan datang.
Tim Penyusun
SKENARIO ............................................................................................................ 1
KESIMPULAN ..................................................................................................... 23
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i ii
|
SKENARIO
1. Heteroanamnesis
“Hetero”; lainnya atau tidak serupa. “Anamnesis”; mengingat kembali,
atau riwayat penyakit pasien. “Heteroanamnesis” adalah anamnesis atau
riwayat penyakit pasien yang didapat oleh sumber lain (orang tua, kerabat,
atau yang tahu betul tentang riwayat pasien). [1]
2. Elasi
Keadaan kegembiraan emosional yang ditandai dengan meningkatnya
aktivitas mental dan jasmani, disertai kegembiraan dan perilaku optimistik
yang berlebihan[1]
3. Delusi
Keyakinan seseorang yang salah dan idiosinkratik yang terus dipegang
teguh walaupun terdapat bukti/fakta yang tidak dapat dibantah dan jelas-
jelas bertentangan[1]
4. Halusinasi
Persepsi sensorik (penglihatan, sentuhan, pendengaran, penghiduan, atau
pengecapan) tanpa adanya stimulus eksternal [1]
5. Ilusi
Kesan mental akibat kesalahan penafsiran kejadian yang yang
sebenarnya[1]
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 10
|
ide recurrent tentang bunuh diri dan pembunuhan, gejala
hipokondriakal, dorongan antisosial. [3]
6) Sensorium dan kognisi
Kesadaran
Orientasi dan daya ingat
Konsentrasi dan perhatian
Kemampuan membaca dan menulis
Kemampuan visuospasial
Pikiran abstrak
Intelegensi dan kemampuan informasi
Bakat kreatif
Kemampuan menolong diri sendiri
7) Pengendalian impuls
8) Daya nilai dan tilikan
9) Taraf dapat dipercaya
2. Penyebab gangguan mood secara umum dan yang terjadi pada
skenario
Secara umum perubahan mood terjadi karena 3 faktor yaitu:[4,5]
a. Faktor Biologi
Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh memiliki peranan
yang penting dalam mengendalikan emosi kita. Dalam otak terdapat
substansi biokimiawi yaitu neurotransmitter yang berfungsi sebagai
pembawa pesan komunikasi antara neuron otak. Jika neurotransmiter ini
berada pada tingkat yang normal otak akan bekerja secara harmonis.
Berdasarkan riset, kekurangan neurotransmiter serotonin, norepinefrin
dan dopamin dapat menyebabkan depresi. Di satu sisi, jika
neurotransmiter ini berlebih dapat menjadi penyebab gangguan manik.
Selain itu antidepresantrisiklik dapat memicu mania.
Serotonin adalah neurotransmiter aminergic yang paling sering
dihubungkan dengan depresi. Penurunan serotonin dapat menyebabkan
depresi. Pada beberapa pasien yang bunuh diri memiliki metabolit
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 11
|
serotonin yang rendah di cairan serebrospinalnya. Pada penggunaan
antidepresan jangka panjang terjadi penurunan jumlah tempat ambilan
kembali serotonin. [5]
Dopamin juga diperkirakan memiliki peranan dalam menyebabkan
depresi. Data menunjukkan aktivitas dopamin yang menurun pada
depresidan meningkat pada mania. [4]
b. Faktor Genetika
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di
dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola
penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks;
bukan saja tidak mungkin menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor
non genetik memungkinkan memainkan peranan kausatif dalam
perkembangan gangguan mood sekurangnya pada beberapa orang.[4]
Gangguan mood cenderung terdapat dalam suatu keluarga tertentu.
Bila suatu keluarga salah satu orang tuanya menderita depresi, maka
anaknya berisiko dua kali lipat dan apabila kedua orang tuanya
menderita depresi maka risiko untuk mendapat gangguan mood sebelum
usia 18 tahun menjadi empat kali lipat. [5]
Pada studi keluarga berulang kali menemukan misalnya keluarga
derajat pertama proban (orang di dalam keluarga yang pertama kali
diidentifikasi sakit) gangguan bipolar I, keluarga derajat kedua,
misalnya sepupu, lebih kecil kemungkinannya terkena daripada
keluarga derajat pertama, misalnya saudara laki-laki. Pewarisan
gangguan bipolar I juga tampak dalam fakta bahwa sekitar 50% pasien
bipolar I setidaknya memiliki satu orang tua dengan gangguan mood
paling sering gangguan depresif berat. Jika salah satu orang tua memiliki
gangguan bipolar I, terdapat 25% kemungkinan bahwa setiap anaknya
juga memiliki gangguan mood, jika kedua orang tua memiliki gangguan
bipolar I, terdapat 50 sampai 75% kemungkinan anaknya memiliki
gangguan mood. [4]
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 12
|
c. Faktor Psikososial
Satu pengamatan klinis lama yang telah direplikasi adalah bahwa
peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului
episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya. Satu
teori yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah
bahwa stres yang menyertai episode pertama menyebabkan perubahan
biologi otak yang bertahan lama. Perubahan bertahan lama tersebut
dapat menyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmiter dan sistem pemberi signal intraneuronal. Hasil akhirnya
dari perubahan tersebut adalah menyebabkan seseorang berada pada
resiko yang lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood
selanjutnya, bahkan tanpa adanya stresor eksternal.[4]
Pada skenario ini, mania disebabkan oleh tingginya kadar serotonin
dalam celah sinaps neuron, khusunya pada sistem limbik, yang berdampak
terhadap “dopamine receptor supersensitivy”. [6]
Ada anggapan bahwa sistem norepinefrin dan serotonin normalnya
menimbulkan dorongan bagi area limbik dalam otak untuk memperkuat rasa
nyaman seseorang, menciptakan rasa bahagia, rasa puas, nafsu makan yang
baik, dorongan seksual yang sesuai, dan keseimbangan psikomotor
walaupun terlalu banyak hal baik dapat menyebabkan mania. Kenyataan
yang mendukung konsep ini adalah bahwa pusat-pusat ganjaran dan
kepuasan di hipotalamus dan daerah sekitarnya menerima sejumlah besar
ujung saraf dari sistem norepinefrin dan serotonin. Dopamin disekresi oleh
neuron-neuron yang berasal dari substansia nigra. Neuron-neuron ini
terutama berakhir pada regio striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin
biasanya bersifat inhibisi. Serotonin disekresi oleh nukleus yang berasal
dari rafe median batang otak dan berproyeksi ke berbagai daerah otak dan
medula spinalis, khususnya yang menuju radiks dorsalis medula spinalis
dan menuju hipotalamus. Serotonin bekerja sebagai penghambat jaras rasa
sakit dalam medula spinalis, dan kerjanya sebagai penghambat di daerah
sistem saraf yang lebih tinggi diduga untuk membantu pengaturan suasana
hati seseorang, bahkan mungkin juga menyebabkan tidur.[7]
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 13
|
3. Diagnosis kerja dan diagnosis banding pada skenario
Proses diagnosis gangguan jiwa mengikuti prosedur klinis yang
lazim dilakukan dalam praktek kedoktean klinis, yaitu meliputi anamnesis,
pemeriksaan, diagnosis, terapi, dan tindak lanjut. Dengan rumusan
matematis, dapat disimpulkan bahwa diagnosis dapat ditegakkan melalui
dua komponen yakni anamnesis (data subjektif) dan pemeriksaan (data
objektif). [8]
a. Anamnesis
Ny Marsya
35 tahun
Mengalami perubahan perilaku sejak 1 minggu terakhir
Membelanjakan uang tanpa tujuan
Berdandan berlebihan
Bercerita dengan tempo yang cepat
Pasien menceritakan bahwa dirinya sangat cantik dan bahkan bisa
menjadi pemenang kontes kecantikan putri Indonesia.
Merasa sangat bahagia
Tidak bisa diam
Tidur hanya 2 jam/hari
Pekerjaan terbengkalai
b. Pemeriksaan
Fisik : normal
Neurologi : normal
Status psikiatri
1. Gambaran umum : penampilan mencolok dan dandanan menor
2. Emosi : mood elasi
3. Gagasan terlalu optimistik
4. Persepsi : halusinasi (-) ilusi (-)
5. Pikiran : delusi (-)
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 14
|
c. Diagnosis kerja
Sesuai anamnesis dan pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami F30.1 Mania Tanpa Gejala Psikotik hal ini sesuai dengan
diagnosis kerja pada F30.1 yakni episode harus berlangsung sekurang-
kurangnya 1 minggu, dan cukup berat sampai mengacaukan seluruh/
hampir seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
Perubahan afek harus disertai dengan energi yang bertambah sehingga
terjadi aktivitas berlebihan, percepatan dan kebanyakan bicara,
kebutuhan tidur yang berkurang, ide-ide perihal kebesaran/ “grandiose
ideas” dan terlalu optimistik. [8]
d. Diagnosis banding
1. F30.0 Hipomania
Derajat gangguan yang lebih ringan dari mania (F30.1) afek
yang meninggi atau berubah disertai peningkatan aktivitas, menetap
selama sekurang-kurangnya beberapa hari berturut-turut, pada suatu
derajat intensitas dan yang bertahan melebihi apa yang digambarkan
bagi siklotimia (F30.4), dan tidak disertai halusinasi atau waham.
Pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial
memang sesuai dengan diagnosis hipomania, akan tetapi bila
kekacauan itu berat atau menyeluruh, maka diagnosis mania (F30.1
atau F30.2) harus ditegakkan. [8]
2. F30.2 Mania dengan Gejala Psikotik
Gambaran klinis merupakan bentuk mania yang lebih berat
dari F30.1 (mania tanpa gejala psikotik). Harga diri yang
membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi
waham kebesaran (delusion of grandeur), iritabilitas dan kecurigaan
menjadi waham kejar (delusion of persecution). Waham dan
halusinasi “sesuai” dengan kedaan afek tersebut (mood-congruent).
[8]
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 16
|
b. Penggolongan : [6]
Mania Akut : Haloperidol (Haldol, Serenace, dll).
Carbamazepine (Tegretol, dll)
Valproic Acid (Depakene)
Divalproex (Depakote).
Profilaksis Mania : Lithium Carbonate (Frimania)
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 18
|
─ Dengan semakin beratnya intoksikasi terdapat gejala: kesadaran
menurun (confusional state) dapat sampai coma dengan hipertoni
otot dan kedutan, oliguria, kejang-kejang.
─ Penting sekali monitoring kadar lithium dalam darah (mEq/L).
Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi Lithium :
─ Dema (berkeringat berelebihan)
─ Diet rendah garam (pasien dengan hipertensi)
─ Diare dan muntah-muntah
─ Diet untuk menurunkan berat badan
─ Pemakaian bersama deuretica, antirematica, NSAID.
Tindakan mengatasi intoksikasi Lithium :
─ Mengurangi faktor predisposisi
─ Forced diuresis dengan garam fisiologis (NaCl 0.9%) diberikan i.v
sebanyak 10 cc (1 ampul), bila perlu hemodialisis.
Tindakan pencegahan Intoksikasi Lithium dengan edukasi tentang
faktor predisposisi, minum secukupnya (sekitar 2500 cc perhari), bila
berkeringat dan diuresis banyak harus dimmbangi minum lebih banyak,
mengenal gejala dini intoksikasi, kontrol rutin kadar serum Lithium.
b. Interaksi Obat: [6]
Lithium + diuretika Thiazide = dapat meningkatkan konsentrasi
serum Lithium sebanyak 50% → risiko intoksikasi menjadi besar,
sehingga dosis Lithium harus dikurangi 50% agar tidak terjadi
intoksikasi. Sedangkan “loop diuretics”, seperti Furosemide, kurang
mempengaruhi konsentrasi Lithium.
Ace Inhibitors + Lithium = dapat meningkatkan konsentrasi serum
Lithium sehingga menimbulkan gejala intoksikasi.
Haloperidol + Lithium = efek neurotoksi bertambah (dyskinesia,
ataxia), tetapi efek neurotoksik tidak tampak pada penggunaan
kombinasi Lithium dengan Haloperidol dosis rendah (kurang dari
20 mg/h). Keadaan yang sama untuk Lithium + Carbamezapine.
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 19
|
NSAID (e.g. Indomethacin, Ibuprofen) + Lithium = dapat
meningkatkan konsentrasi serum Lithium, sehingga risiko
intoksikasi menjadi besar.
Aspirin dan Paracetamol (analgesics) tidak ada interaksi dengan
Lithium.
c. Cara Penggunaan: [6]
Pemilihan Obat: [6]
Pada Mania akut diberikan : Haloperidol (im) + Tab. Lithium
Carbonate, Haloperidol (im) untuk mengatasi hiperaktivitas,
impulsivitas, iritabilitas, dengan onset of action yang cepat (kalau perlu
dengan “rapid neuroleptization”)
Lithium Carbonate efek anti-mania baru muncul setelah
penggunaan 7-10 hari.
Pada Gangguan Afektif Bipolar (manic-depressive disorder) dengan
serangan-serangan episodik mania/depresi : Lithium Carbonate
sebagai obat profilaksis terhadap serangan sindrom mania/depresi,
dapat mengurangi frekuensi, berat dan lamanya suatu kekambuhan.
Bila oleh karena sesuatu hal (efek samping yang tidak mampu
ditolelir dengan baik, atau kondisi fisik yang kontra indikatif) tidak
memungkinkan penggunaan obat Lithium Carbonate, dapat
menggunakan obat alternatif : CARBAMEZEPINE, VALPROIC
ACID DIVALPROEX Na, yang terbuktu juga ampuh untuk
meredakan “Sindrom Mania Akut” dan profilaksis serangan
Sindrom Mania/Depresi pada “Gangguan Afektif Bipolar”.
Pada gangguan afektif Unipolar (recurrent unipolar depression),
pencegahan kekambuhan dapat juga dengan Obat Anti Depresi SSRI
(e.g. Fluoxetine, Sertraline) yang lebih ampuh dari Lithium
Carbonate.
d. Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan : [6]
Onset efek primer (efek klinis) : 7-10 hari (1-2 minggu)
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 20
|
Rentang kadar serum terapeutik = 0,8-1,2 mEq/L (dicapai
dengan dosis sekitar 2 atau 3 x 500 mEq/L
Kadar serum toksik = diatas 1,5 mEq/L
Biasanya preparat Lithium yang digunakan adalah “Lithium
Carbonate” mulai dengan dosis 250-500 mg/h, diberikan 1-2 kali
sehari dinaikkan 250 mg/h setiap minggu, diukur Serum Lithium
berefek klinis terapeutik (0,8-1,2 mEg/L). Dipertahankan seitar 2-3
bulan, kemudian diturunkan menjadi “dosis maintenance”,
kosentrasi Serum Lithium yang dianjurkan untuk mencegah
kekambuhan (profilaksis) berkisar antara 0,5-0,8 mEq/L, ini sama
efektifnya bahakan lebih efektif dari kadar 0,8-1,2 mEq/L, dan juga
untuk mengurangi insidensi dari efek samping dan risiko intoksikasi.
[6]
Dosis awal harus lebih rendah pada pasien usia lanjut atau
pasien dengan gangguan fisik, yang mempengaruhi fungsi ginjal. [6]
Pengukuran serum dilakukan dengan mengambil sampel
darah pada pagi hari, yaitu: sebelum makan obat dosis pagi dan
sekitar 12 jam setelah dosis petang (hari sebelumnya). [6]
e. Lama Pemberian
Pada penggunaan untuk “Sindrom Mania Akut”, setelah gejala-
gejala mereda, Lithium Carbonate harus diteruskan sampai lebih
dari 6 bulan, dihentikan secara gradual (tapering off) bila memang
tidak ada indikasi lagi. [6]
Pada “Gangguan Afektif Bipolar dan Unipolar”, penggunaaan harus
diteruskan sampai beberapa tahun, sesuai dengan indikasi
profilaksis serangan Sindrom Mania/Depresi. Penggnaan jangka
panjang ini sebaiknya dalam “dosis minimum” dengan kadar Serum
Lithium “terendah” yang masih efektif untuk terapi profilaksis
(kadar serum Lithium diukur setiap hari). [6]
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 21
|
f. Perhatian Khusus
Sebelum dan selama penggunaan Obat Anti-mania Lithium
Carbonate perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium secara
periodik : [6]
─ Kadar serum Na dan K (Li dan Na saling mempengaruhi di
tubulus proximalis renalis). Kadar ini merendah pada pasien diet
garam dan menggunakan deuretika.
─ Tes fungsi ginjal (serum creatinine). Hampir semua kadar
Lithium dalam darah diekskreasi melalui ginjal.
─ Tes fungsi kelenjar tiroid (serum T3 dan T4). Lithium
merendahkan kadar serum yodium.
─ Pemeriksaan EKG (Lithium mempengaruhi “Cardiac
Repolarization).
Wanita hamil adalah kontraindikasi penggunaan Lithium oleh
karena bersifat teratogenik. Lithium dapat melalui placenta dan
masuk ke peredaran darah janin, khususnya mempengaruhi kelenjar
tiroid. [6]
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 22
|
KESIMPULAN
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 23
|
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Dorland, W.N. 2015. Kamus Saku Kedokteran Dorland, ed. 29. Jakarta:
Elsevier
[2]
Ingram, I.M; Timbury, G.C; Mowbray, R.M. 1993. Catatan Kuliah Psikiatri,
edisi 6. Jakarta: EGC
[3]
Elvira, S. D; Hadisukanto, G. 2018. Buku Ajar Psikiatri, edisi ke-3. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
[4]
Sadock, Benjamin J. & Sadock V. A., 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar
Psikiatri Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC.
[5]
Infrando, D; Sofyani, S & Widiastuty. 2014. Gangguan Mood Pada Remaja.
Majalah Kedokteran Nusantara, Vol 47, No.1. Medan: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
[6]
Maslim, R. 2014. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
[7]
Guyton, A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, ed. 12.
Penerjemah: ErmitaI, Ibrahim I. Singapura: Elsevier
[8]
Maslim, R. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III
dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
B l o k G a n g g u a n S a r a f d a n P s i k i a t r i 24
|