Anda di halaman 1dari 19

PROSEDUR KETRAMPILAN MEDIK PSIKIATRI

ANAMNESIS-PEMERIKSAAN,
PSIKOEDUKASI dan RUJUKAN

Latar Belakang Ketrampilan medik (Tramed) mengenai anamnesis,


pemeriksaan psikiatri, psikoedukasi dan rujukan termasuk
dalam ketrampilan komunikasi antara dokter dan pasien
yang harus dikuasai dokter.

Ketrampilan ini sangat penting untuk membina relasi


yang baik antara dokter dengan pasien. Relasi yang baik
akan mempermudah pasien menceritakan semua yang
dirasakan dan dipikirkan sehingga mempermudah dokter
menilai gejala dan mendiagnosis. Selanjutnya akan
mudah melakukan penanganan holistik dan memberi
psikoedukasi serta merujuk pasien bila diperlukan.

Kegiatan dilakukan di ruang, per kelompok dipimpin oleh


seorang instruktur. Program latihan ketrampilan ini hanya
akan berhasil apabila mahasisiwa berpartisipasi aktif.

Sebelum latihan ketrampilan, diperlukan penguasaan


teoritik materi, yang ditunjukkan dengan mampunya
mahasiswa menjawab pertanyaan review anamnesis
pemeriksaan psikiatrik. Bila ada hal yang tak dimengerti
atau kurang jelas dapat ditanyakan pada instruktur.

Tujuan Pembelajaran Tujuan Pembelajaran Umum:


Setelah melakukan latihan ketrampilan anamnesis
psikiatri, mama mahasiswa mampu: melakukan
wawancara pemeriksaan psikiatrik untuk mengenali
gejala, dalam rangkaian membangun deferensial
diagnosis, menegakkan diagnosis kerja, memberikan
penanganan awal, memberikan psikoedukasi dan
melakukan rujukan.
Tujuan pembelajaran Khusus:
Setelah melakukan latihan ketrampilan anamnesis
psikiatri, mama mahasiswa mampu:
1. Melakukan anamnesis dan heteroanamnesis
pemeriksaan psikiatri.
2. Melakukan psikoedukasi tentang diagnosis dan
penanganan pasien.
3. Melakukan persiapan untuk merujuk pasien bila
diperlukan.
Metoda Pembelajaran 1. Video session
2. Demonstrasi pemeriksaan psikiatri
3. Berlatih mandiri dengan sesama teman (role play)
Alat Bantu/Setting ruang Ruangan terbagi untuk tiap kelompok @ 7-10 orang
dengan seorang tutor
Evaluasi Chek Lis:
1. Anamnesis pemeriksaan psikiatri
2. Psikoedukasi diagnosis dan penanganan
3. Rujukan
Referensi 1. Maramis WF, Maramis AA. Catatan Ilmu Kedokteran
Jiwa edisi 2. Airlangga University Press. 2009. pp.
179-225.

2. Rusdi Maslim. 2003. Buku saku Diagnosis Gangguan


Jiwa:rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya, Jakarta. ISBN:
979-3543-00-0.

3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and Sadock's Synopsis


of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry
10th edition. Wolters Kluwer Health, Lippincott
Williams and Wilkins. 2007.

4. Standard Kompetensi Dokter Indonesia dari Konsil


Kedokteran Indonesia. 2012

2
TEORI SINGKAT

Ketrampilan medik psikiatri mengenai anamnesis sangat penting untuk membina relasi
yang baik antara dokter dengan pasien dan/atau keluarga. Relasi yang baik akan
mempermudah pasien menceritakan semua yang dirasakan dan dipikirkan sehingga
mempermudah dokter menilai gejala dan mendiagnosis. Selanjutnya akan mudah
melakukan penanganan holistik dan memberi psikoedukasi serta merujuk pasien bila
diperlukan.

Untuk dapat melakukan anamnesis dengan baik, maka prinsip dasar komunikasi
interpersonal yang efektif perlu dikuasai, yaitu empati, kemampuan dokter memahami
pasien dalam hal perasaan dan pikirannya, keseluruhan dirinya. Selama proses
anamnesis hendaknya dokter berempati kepada pasien. Usaha empati akan terlihat dalam
sikap, ucapan dan perilaku dokter. Dengan londisi demikian pasien akan merasa
dipahami, diperhatikan dan diorangkan. Beban mental karena penyakitnya akan
terbantukan.

Saat melakukan wawancara anamnesis (wawancara pada pasien) ataupun


heteroanamnesis (wawancara pada keluarga atau yang mengantar pasien), dokter
seharusnya selalu bersikap obyektif. Bila pasien datang bersama keluarga atau orang lain
yang mengantar, selayaknya dokter menanyai pasien terlebih dulu (perkecualian bila
pasien anak yang belum dapat bercakap), tidak pada yang mengantarnya karena akan
memberi kesan ia diperhatikan dan tidak dinomorduakan, juga tidak memberi kesan
bersekutu dengan orang lain (yang biasanya orang lain menceritakan masalah pasien,
perubahannya dan hambatannya).

Perhatikan setting ruangan wawancara, sebisanya membuat pasien nyaman untuk


menceritakan gangguannya. Kadang-kadang mungkin lebih baik bila wawancara
diadakan dalam keadaan sedemikin rupa sehingga pasien tidak merasa ia dapat didengar
orang lain. Bila diperlukan, dokter dapat menyatakan bahwa kerahasiaan pasien akan
terjaga. Pasien mungkin menceritakan gejala-gejala gangguan yang dialaminya lebih
sangat dari keadaan sebenarnya. Atau mungkin juga menyembunyikan beberapa gejala.
Untuk itu dokter perlu mengkonfirmasi dengan melakukan heteroanamnesis pada orang
yang tepat yang mengetahui gangguan pasien. Bila akan mengajak orang lain atau yang
mengantar bercakap, maka mohon ijin kepada pasien. Anggota keluarga pasien atau
pengantar lain biasanya menyatakan dengan rasa khawatir, takut, rasa salah atau
anggapan yang salah tentang penyakit pasien.

Wawancara dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terbuka, akan memberi


kesempatan pasien bercerita dengan bebas, dokter mengambil inti dan menilai gejalanya.

3
Pertanyaan tertutup digunakan untuk mengklarifikasi gejala atau bertanya tentang hal-hal
yang belum diceritakan pasien untuk menunjang diagnosis.

Wawancara harus berjalan secara spontan. Biarkanlah pasien, bila ia mengambil inisiatif
sendiri untuk melanjutkan dan menghubungkan ceritanya. Interviu juga harus fleksibel,
tidak kaku atau secara obsesif mengikuti suatu skema tertentu. Kita harus mengetahui apa
yang perlu diperiksa sambil dalam pikiran kita mempunyai gambaran skema
pemeriksaan. Wawancara sendiri harus disesuaikan dengan keadaan dan perasaan pasien.
Perhatikan resistensi pasien, bila terjadi, maka alihkan pembicaraan kepada hal-hal lain
yang tidak berhubungan dengan keluhannya. Terus lakukan empati, setelah dirasakan
sudah tidak resisten, baru kembali kepada keluhannya.

Selama wawancara tetap gunakan ketrampilan mikro-konseling sebagai berikut:

1. mendengarkan dengan aktif dan perhatian dan berempati

2. mengajukan pertanyaan terbuka lebih daripada tertutup

3. memberi kesempatan untuk hening di saat yang tepat

4. memperhatikan perilaku non-verbal

Mendengar dengan perhatian (mendengarkan aktif):

Untuk dapat mendengarkan yang baik, dibutuhkan beberapa hal dibawah ini:

- Melakukan wawancara dengan kontak mata (sesuaikan dengan budaya). Dengan


melakukan kontak mata sewajarnya, maka pasien akan merasa diperhatikan.

- Memberikan perhatian, misal dengan anggukkan kepala saat mendengarkan pasien,


maka menunjukkan dokter mengikuti dan memahami apa yang dikatakan pasien.

- Memudahkan pasien untuk menceritakan keadaannya, misalnya dengan ”Mm-hmm”,


”Ya”, “Lalu”. Pasien kadang terhenti atau ragu-ragu untuk melanjutkan ceritanya,
maka dokter dapat memfasilitasi dengan kata-kata yang mendorongnya untuk
bercerita.

- Kurangi hal-hal yang mengganggu anamnesis, misal TV, telpon, bising. Karena bila
suasana yang diceritakan menyangkut ekspresi perasaan dan terpotong, maka sangat
tidak nyaman dirasakan pasien. Kegiatan yang dilakukan dokter yang memotong juga
sangat tidak menyamankan pasien.

- Tidak melakukan pekerjaan selain wawancara pada saat wawancara, menulis catatan
bisa dilakukan dengan memohon ijin kepada pasien.

4
- Kenali perasaan pasien dengan mengatakan, misal ”Nampaknya anda sedih”, dengan
menyatakan ini menunjukkan dokter berempati kepada pasien.

- Jangan menginterupsi, jika tidak diperlukan. Pasien akan terpotong konsentrasi


bercerita dan bisa tidak melanjutkan ceritanya.

- Jika tidak mengerti, dokter mengajukan pertanyaan. Bukanlah tabu bila dokter merasa
kurang mengerti cerita pasien, sehingga perlu bertanya kembali tentang hal-hal yang
belum dipahami, biasanya dengan pertanyaan tertutup.

- Jangan ambil alih pembicaraan dan menceritakan diri anda sendiri. Bila dipikirkan
adalah baik untuk memberi contoh kepada pasien, maka sebaiknya tidak
menyebutkan nama atau pengalaman dari siapa. Ceritakan saja kejadian dan isi
contohnya saja.

- Ulangi kembali pokok-pokok dalam diskusi secara ringkas menggunakan kata-kata


kita sendiri untuk menunjukkan bahwa kita mengerti benar apa yang dikatakan
pasien. (dikenal sebagai paraphrasi, refleksikan perasaan, klarifikasi, menyimpulkan),
misalnya: ”Tadi Anda mengatakan ............................................”; ”Jadi dengan kata
lain, .............................................”; ”Anda merasa ..................... karena ..................”;
”Nampaknya anda .............Apa yang telah terjadi? Apa yang anda pikirkan?”; ”Saya
merasa anda .............. karena ...............?”; ”Kalau tidak salah tangkap, tadi Anda
mengatakan................................”; ”Coba saya ulangi, barangkali saya salah
pemahaman. Apakah benar......?; ”Saya dengar anda mengatakan.........................”;
” Jadi bisa saya ulangi, bahwa yang Anda alami.........................”.

Faktor penting dari keterampilan mendengarkan yang baik adalah kemampuan terapis
untuk berempati. Empati memungkinkan individu memahami diri dan dunianya.
Tunjukkan empati untuk membantu membina hubungan baik dengan pasien, menfasilitasi
perasaan aman, dan rasa percaya kepada terapis serta lingkungannya. Empati
disampaikan dengan menggunakan keterampilan mendengarkan. Beberapa teknik penting
dibawah ini dapat digunakan:

- Mengulangi frasa dengan kata sendiri, atau dengan apa yang dikata pasien sendiri
(parafrase) menggunakan isi pembicaraan yang disampaikan pasien, namun diucapkan
dengan kalimat terapis sendiri melalui mengulangi frasa dapat membuat pasien merasa
terapis telah mendengarkannya, dan membantu pasien menceritakan masalah/situasi
dengan jelas.

- Pasien: ”Saya merasa putus asa. Saya tidak bisa melakukan pekerjaan rumah,
mengantar anak ke sekolah tepat waktu atau bahkan memasak. Saya tak dapat
melakukan apa yang dulu isteri saya kerjakan.”
5
- Dokter: ”Anda merasa tidak mampu mengerjakan apa yang dulu tak pernah anda
kerjakan ketika isteri anda masih hidup.”

- Merefleksikan perasaan: Hal ini sama dengan mengulangi frasa, namun fokusnya
pada ekspresi perasaan oleh pasien. Refleksi emosi dapat membantu pasien untuk
menjadi sadar bagaimana perasaan mereka, dan untuk menggali reaksi mereka terhadap
berbagai peristiwa yang diceritakannya.

- Pasien:”Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan. Sebelum dia meninggal saya
berjanji pada suami saya bahwa saya akan menjaga ibunya sampai akhir hayatnya.
Tetapi saya tidak mempunyai tenaga. Dia tahu bahwa ibunya dan saya tidak cocok.
Mengapa ia meninggal dan meninggalkan saya dalam situasi yang kacau seperti ini?”

- Dokter: ”Anda kelihatannya merasa putus asa saat ini, tetapi pada waktu yang sama
kelihatannya juga merasa bersalah dan marah terhadap janji anda dengan suami
anda”

Mengajukan pertanyaan

Mengajukan pertanyaan adalah bagian penting dalam wawancara. Hal ini dapat
membantu terapis mengerti keadaan pasien dan menilai kondisi klinis.

Ketika bertanya:

- Tanyakan hanya satu pertanyaan pada satu saat

- Pandanglah pasien dengan wajar

- Singkat dan jelas

- Gunakan pertanyaan yang bertujuan dan pertanyaan terbuka

- Gunakan pertanyaan untuk membantu pasien berbicara tentang perasaan dan


perilakunya

- Gunakan pertanyaan untuk menggali dan memahami isu dan meningkatkan kesadaran

- Jangan mengajukan pertanyaan hanya untuk memenuhi keingin tahuan saudara -


pertanyaan tak relevan – membuat seseorang enggan menjawab atau merasa didesak.
Bila demikian terjadi pemborosan waktu untuk bertanya dan lupa untuk
mendengarkan aktif.

- Pertanyaan yang terlalu banyak dan beruntun akan membuat orang merasa
diinterogasi.

6
Ada tiga jenis pertanyaan utama:

1. Pertanyaan Tertutup

Keterbatasan dari pertanyaan tertutup adalah pasien memberikan respon dengan


jawaban satu kata, misalnya: ”Apakah anda merasa sedih?”; ”Apakah anda
mengetahui bagaimana caranya mengatasi masalah ini?”

Dengan pertanyaan tertutup, pasien tidak mendapatkan kesempatan untuk berpikir


tentang apa yang mereka katakan. Jawaban akan singkat dan sering berakibat makin
banyak mengajukan pertanyaan selanjutnya.

2. Pertanyaan Terbuka

Dengan pertanyaan terbuka didapatkan jawaban lebih dari satu kata dan memberi
kesempatan pasien bercerita seturut pemikiran dan perasaannya yang hendak
disampaikan, misalnya: ”Apakah anda kesulitan dalam berhubungan dengan orang
tua?”; ”Bagaimana reaksi anda jika orang tua anda menolak hal itu?”

Pertanyaan terbuka umumnya dimulai dengan pertanyaan ”Apa”, ”Dimana”,


”Bagaimana”, ”Kapan”. Pertanyaan ini mengundang pasien untuk melanjutkan
pembicaraan dan memutuskan apa keinginan mereka berbicara.

3. Pertanyaan Mengarahkan

Pertanyaan mengarahkan adalah pertanyaan dimana dokter menuntun pasien untuk


memberikan jawaban yang mereka inginkan. Pertanyaan ini biasanya bersifat
menghakimi, misalnya: ”Anda melawan orang tuamu, bukan?”; ”Anda setuju bahwa
anda selalu melakukan hal itu berulang-ulang?” Pertanyaan ini tidak berguna untuk
mendapatkan data dari pasien. Pertanyaan ini bermanfaat untuk menegaskan kondisi
tertentu.

Memberi kesempatan untuk hening

Memberi waktu hening kepada pasien adalah penting. Hal ini berguna untuk:

- Memberi waktu pasien berpikir tentang apa yang akan dikatakan. Sering karena begitu
banyak pikiran dan perasaan yang dirasakan berkecamuk, pasien perlu berhenti untuk
menata apa yang perlu diceritakan.

- Memberi ruang pada pasien untuk merasakan perasaan yang dialaminya. Dokter perlu
berhenti sejenak memberi kesempatan untuk pasien selain merasakan juga
mengekspresikan perasaannya.

7
- Memberi kesempatan pada pasien berbicara sesuai iramanya. Ada pasien yang
berbicara dengan lamban, bisa sifat ataupun gejala penyakit/gangguannya.

- Memberi waktu pada pasien untuk mengatasi ambivalensi atau keraguan antara
mengatakan atau tidak pada dokter. Bila diduga demikian, maka dokter dapat
meyakinkan kembali bahwa apapun yang akan diceritakan adalah wajar saja, mungkin
dirasakan kurang baik atau aneh atau tidak lazim, namun ini perlu diceritakan, tidak
akan diungkapkan kepada siapa pun tanpa seijin pasien.

- Memberikan kebebasan pada pasien untuk melanjutkan bercerita atau berhenti. Adalah
hak pasien untuk mau dan melanjutkan ceritanya. Dokter dapat merespons dengan
empati agar pasien merasa nyaman dan kondisi ini akan mendorong pasien untuk
melanjutkan ceritanya.

Memperhatikan perilaku non-verbal

Cara mengatakan lebih penting daripada yang dikatakan atau isi perkataan. Cara
mengatakan ini adalah dalam bentuk tatanan kalimat netral dengan intonasi yang nyaman.

Sebagaian besar komunikasi dilakukan secara non verbal. Dokter perlu sadar akan apa
yang dikomunikasikannya kepada pasien melalui pengamatan perilaku non verbal.
Perilaku non verbal dokter juga berpengaruh kepada pasien. Oleh karenanya, dokter perlu
melakukan introspeksi setiap saat akan perilaku non verbal dan tutur kata serta
perilakunya.

Perilaku non-verbal dapat berupa:

- Bahasa tubuh (body language): gerakan tangan, ekspresi wajah, postur, orientasi
tubuh, kedekatan tubuh/jarak, kontak mata, saling bercermin (mirroring), wawancara
tanpa dibatasi meja.

- Paralinguistik: hembusan nafas, bersungut-sungut, berkeluh kesah, perubahan tinggi


nada, perubahan keras suara, kelancaran suara, senyum tegang, gugup.

Anamnesis pemeriksaan psikiatri akan menilai berbagai aspek mental, yaitu: (lihat
kuliah)

1. keadaan umum: penampilan, kesesuaian wajah dan usia, dandanan

2. kesadaran: insight dan relasi dan limitasi terhadap diri dan lingkungannya serta daya
nilai realitas

3. proses berpikir

8
4. afek dan mood

5. persepsi

6. psikomotor

7. kemauan

8. fungsi kognitif termasuk orientasi dan daya ingat.

Penilaiannya dalam skala meningkat, menurun atau berubah/distorsi

Wawancara Pemeriksaan Psikiatri biasanya meliputi hal-hal seperti di bawah ini:

1. Membina sambung rasa: pembukaan yang penting saat pertama kali bertemu dengan
pasien. Dokter memperkenalkan diri dan menunjukkan sikap terbuka dan secara non-
verbal bersikap ingin membantu dan tulus. Pasien akan merasakan nyaman dan tidak
segan-segan menyatakan keluhannya. Selanjutnya hubungan antara dokter dan pasien
akan berjalan dengan efektif.
(salam, perkenalkan diri, bertanya dengan suara dan kata-kata yang jelas, merespons
pasien dan mendengarkan ucapan pasien; tekankan pada kerahasiaan)
2. Menanyakan identitas: menanyakan nama pasien dan umur adalah penting, agar ia
menyatakan dirinya, dokter mencocokkan dengan data atau menulis dalam rekam
medis. Identitas perlu ditanyakan agar tidak salah orang dalam memeriksa pasien
(nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, suku
bangsa/latar budaya, agama)
3. Menanyakan keluhan utama: keluhan yang membawa pasien datang berobat, dapat
menurut pasien dan/atau keluarganya.
(apa keluhan yg menyebabkan berobat? sudah berapa lama, berapa sering, sifatnya,
intensitas, intermiten atau terus menerus, muncul pada kondisi tertentu)
4. Menggali riwayat penyakit sekarang: adalah uraian secara kronologis permulaan
gangguan berupa tanda atau gejala pertama hingga keadaan sekarang, pemahaman
pasien tentang penyakitnya, diri dan kehidupannya, perubahan dalam dirinya, usaha
yang pernah dilakukan dan hasil usaha tersebut.
(karakteristik, perjalanan keluhan utama, menanyakan keluhan lain yg ada kaitannya
dengan keluhan sekarang, pernah diobati, nama obat, hasil sembuh sempurna atau
masih ada gejala)
5. Menggali riwayat penyakit dahulu dan riwayat perkembangan: penyakit yang pernah
dialami sebelum ini, apakah terjadi perbaikan sempurna/total, ada gejala sisa, obat
yang pernah digunakan, berapa kali kambuh. Ditanyakan pula riwayat penyakit fisik,
9
bedah, trauma kepala, kejang, dll. Riwayat perkembangan sejak lahir pada pasien
anak sangat perlu ditanyakan.
(kemungkinan pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya, penyakit fisik dan
psikis lain yang diderita; riwayat perkembangan bila diperlukan)
6. Menggali penyakit keluarga dan faktor keturunan: mencari penyakit fisik dan mental
yang pernah dialami keluarga pasien yang mungkin ada kaitannya dengan penyakit
pasien yang sekarang.
(ada keluarga yang menderita sakit yang sama, siapa dan bagaimana gejalanya)
7. Menggali riwayat psikososial, faktor premorbid dan stresor psikososial: ditanyakan
sifat pasien, kehidupan emosi, minat dan hobi, hubungan antar manusia, kebiasaan-
kebiasaan pemakaian obat, rokok, kopi, alkohol, dll.
(sifat pasien, hal yang menjadi beban sekarang, pekerjaan, kebiasaan merokok, kopi,
hobi)
8. Melakukan anamnesis sistem untuk mencari faktor organik: menanyai kondisi sistem
organ tubuh untuk mencari faktor organiknya.
(fungsi sistem organ yang terganggu, mis: respirasi, CV, pencernaan, kehamilan, dll.)
9. Melakukan pemeriksaan fisik internistik dan neurologis. Ini dilakukan untuk
menyingkirkan adanya gangguan mental organik dan menentukan rujukan bila
diperlukan.
(pemeriksaan fisik menjadi rangkaian pemeriksaan psikiatrik) – tidak dilakukan
dalam ketrampilan ini, hanya disebutkan
10. Memberi kesimpulan dari hasil pemeriksaan: kesimpulan diagnosis dari hasil
anamnesis dan pemeriksaan perlu disampaikan kepada pasien secara sederhana. Juga
gambaran penanganan gangguannya.
(secara singkat menjelaskan kepada pasien tentang apa yang dialaminya, diagnosis
dan penanganannya serta pemeriksaan penunjang bila ada)
11. Memberi kesempatan pada pasien untuk bertanya: upaya mencegah salah persepsi
dan memberi kesempatan bila pasien kurang mengerti. Untuk menghindari
penuntutan dari pasien terhadap dokter.
(apa ada hal yang kurang jelas atau mash ada informasi tambahan)
12. Mengakhiri wawancara: dokter mengakhiri wawancara dan pemeriksaan dengan
menegaskan sekali lagi penyakit dan gangguannya, obatnya dan penanganannya,
pemeriksaan lain yang diperlukan, kapan akan dievaluasi atau kontrol kembali,
kemungkinan perlu dirujuk kepada spesialis lain, memberikan edukasi dan melakukan
rujukan bila diperlukan. Pemberian edukasi dan rujukan dalam kesempatan latihan
terpisah.

10
Penuntun pengambilan keputusan untuk mendiagnosis banding dan mendiagnosis pasien
adalah sebagai berikut:
PASIEN DATANG KE DOKTER PRIMER

KELAINAN FISIK TIDAK ADA KELAINAN


FISIK

BAGAIMANA PSIKISNYA??? NON-PSIKOTIK


PSIKOTIK

FUNGSIONAL
ORGANIK
(NON-ORGANIK)

(AKUT) (KRONIS)
G.M.P. ZAT
DELIRIU DEMENSIA
SKIZOFRENI M GAB
GANGGUAN
A
GANGGUAN WAHAM (GANGGUAN BIPOLAR, GANGGUAN DEPRESI)

PSIKOTIK AKUT DAN SEMENTARA


EPISODE DEPRESI

SIKLOTIMIA & DISTIMIA

GGN KEPRIBADIAN, GANGGUAN TIDUR, KLP GGN ANSIETAS (GCM, FOBI, REAKSI STRES
PANIK, OCD, PTSD) BERAT/AKUT,
GGN KEBIASAAN & GANGGUAN MAKAN,
IMPULS, KLP GGN DISOSIASI/KONVERSI GGN PENYESUAIAN
GMP MASA NIFAS
GGN IDENTITAS, KLP GGN SOMATOFORM
DISFUNGSI SEKSUAL BUKAN
PREFERENSI, KARENA PENYAKIT ORGANIK GGN PSIKOSOMATIK

ORIENTASI SEKS FAKTOR PSIKOLOGIS YG NEURASRHENIA


BERHUBUNGAN DG GGN ATAU
PENYAKIT/DISFUNGSI SINDROMA DEPERSONALISASI-
OTONOMIK DEREALISASI

11
Pemberian Psikoedukasi tentang diagnosis dan penanganan

Pemberian psikoedukasi tentang diagnosis dan penanganan adalah penting. Penanganan


gangguan jiwa memerlukan waktu yang tidak sebentar. Dalam proses penyembuhannya,
seorang yang mengalami gangguan jiwa sering mengalami berbagai kendala. Pemberian
psikoedukasi untuk memberi pemahaman yang benar tentang gangguan jiwa akan
membuat pasien mengerti apa yang dialaminya. Dengan contoh pada pasien lain, pasien
akan merasa tidak sendiri, akan lebih tenang. Psikoedukasi yang perlu diberikan kepada
pasien adalah tentang:

1. nama gangguan yang dialaminya (diagnosis). Sebutkan diagnosis psikiatri bila


diperlukan berikan dengan bahasa awam sederhana agar pasien mengerti.

2. apa penyebabnya (etiologi). Jelaskan penyebab secara umum gangguan psikiatri.


Bahwa ada zat kimiawi di sel saraf/dalam otak yang tidak seimbang, satu zat dapat
kekurangan dan zat lain dapat berlebihan produksinya di tempat-tempat tertentu di
otak dan ini mempengaruhi pemikiran, perasaan, tuturkata dan perilaku manusia.

3. bagaimana penanganannya (terapi holistik) baik farmakologik maupun non-


farmakologik Farmakologik dengan obat-obatan yang sesuai. Non-farmakologik
dengan memberikan berbagai psikoterapi yang sesuai untuk pasien, misalnya
Cognitive Behavior Therapy (CBT), Cognitive Therapy (CT), Behavior Therapy
(BT), hipnotherapy, dll.

4. bagaimana mencegah kekambuhan (relaps prevention). Dengan menerima gangguan


ini, maka seseorang lebih dapat mengamati gejala dan dengan tenang mengetahui
gejala dini, sehingga dapat langsung berkonsultasi dengan dokter, sehingga tidak
terjadi kekambuhan yang parah dengan tiba-tiba yang akan membuat dan
memperparah stigma pada gangguan jiwa itu sendiri.

5. perlunya kerjasama dengan dokter untuk mendapatkan manfaat dari pengobatan yang
diberikan dan monitoring efek samping (side effect). Obat perlu diminum teratur
sesuai anjuran dari dokter agar dapat dilihat manfaat untuk pasien. Bila tidak teratur
akan sepertinya obat kurang berhasil. Dokter tidak dapat mengambil kesimpulan
tentang manfaat obat untuk pasien dan memerlukan waktu untuk evaluasi. Setiap obat
mempunyai efek samping, namun tidak selalu potensial efek samping tersebut
muncul pada setiap pasien. Efek samping tidak perlu ditakuti, namun dimanage agar
dapat hilang dan tidak mengganggu. Dokter akan mengevaluasi setiap kali kontrol.

6. Oleh karenanya, apa yang dirasakan dan dialami tidak perlu ragu menceritakan
kepada dokter agar dapat dievaluasi apakah ini gejala, efek samping atau gangguan
lain. Pasien tidak perlu menganalisis sendiri apa yang terjadi pada dirinya, ini dapat
12
menyebabkan kebingungan karena pengetahuan yang terbatas dan memperparah
penyakit, menghentikan minum obat atau tidak teratur serta menolak minum obat
karena pemahaman atau keyakinan (beliefs) yang salah.

Pemberian psikoedukasi ini perlu memperhatikan: apakah pasien ingin mengetahui


keadaan gangguannya? Bila pasien menghendaki, maka dokter perlu menyesuaikan
dengan latar belakang budaya dan pendidikan pasien saat memberikan psikoedukasi. Bila
tidak, maka tanyakan apakah boleh bila dokter menceritakan kepada keluarganya? Bila
tidak, maka untuk sementara tidak dilakukan psikoedukasi, namun dokter menggugah
pasien untuk pada suatu saat perlu mengetahui gangguannya, agar dapat bersama
menangani dengan lebih baik, agar dapat menerima, mempelajari dan akhirnya
mengontrol gangguannya. Bila pasien sudah dapat mencapai taraf ini, maka kesembuhan
akan lebih baik dan kekambuhan akan dapat diminimalkan.

Rujukan

Pada keadaan kondisi keterbatasan kemampuan baik dokter maupun tempat perawatan
primer, maka seorang pasien perlu dirujuk ke tempat yang lebih dapat menanganinya.
Rujukan kepada psikiater yang berkompeten bertujuan untuk:

1. second opinion

2. penanganan spesifik spesialistik: seperti pemberian psikoterapi

3. kondisi daerah/rumah sakit setempat tidak mempunyai fasilitas dan obat-obatan

Sebelum dirujuk kepada dokter ahli jiwa, persiapkan pasien untuk hal-hal sebagai
berikut:

1. bahwa perlu penanganan dari yang lebih mampu/ahlinya dan tujuan dari rujukan

2. bahwa keluhan yang dirasakan pasien adalah berkaitan dengan kerja saraf otak

3. bahwa keluhan tersebut adalah bagian dari gangguan (sesuai dengan diagnosis pasien)

4. bahwa gangguan ini dapat terjadi pada siapa saja, terjadi akibat ketidakseimbangan
dari zat kimiawi (neurotransmiter) di otak. Seperti sel lain di organ tubuh kita, maka
sel saraf kita dapat mengalami gangguan berupa ketidakseimbangan neurotransmiter.

5. bahwa penyebab gangguan tersebut adalah bio-psiko-sosial-spiritual

13
6. bahwa gangguan tersebut dapat diobati dan dikontrol

7. bahwa penanganannya dengan diberi obat (farmakologik) dan penanganan non-obat


(non-farmakologik) berupa psikoterapi. Jelaskan tentang berbagai psikoterapi yang
dapat dilakukan untuk mengoptimalkan kesembuhan pasien, selain obat yang harus
diminum teratur sesuai petunjuk dokter.

8. bahwa bila pasien menolak gangguannya, maka akan lebih tidak nyaman dan akan
sulit sembuh.

9. bahwa jangan khawatir terhadap stigma yang dilakukan oleh orang lain, karena orang
yang menstigma tidak mengetahui tentang gangguan jiwa. Tugas kita bersama untuk
memberi penjelasan dengan benar. Bila ditutupi atau dihindari, maka stigma itu akan
terus ada. (Dokter sendiri tidak menstigma pasien yang mengalami gangguan jiwa).

10. bahwa akan lebih baik bila alamat tempatnya, nama psikiater dan jam prakteknya
diberitahu kepada pasien, dan kalau perlu sudah diberitahukan dan diintroduksikan
pada psikiater tujuan.

Bila rujukan untuk pendapat ahli, maka akan segera diberikan surat rujukan balik oleh
dokter spesialis yang dituju. Bila perlu penanganan spesialistik, maka akan sementara
atau bahkan jangka lama ditangani psikiater yang dirujuk, hingga cukup waktu
penanganan, maka akan dilakukan rujukan balik. Atau karena permintaan pasien, maka
akan tetap kontrol pada dokter spesialis tersebut.

Pemberitahuan tentang berita buruk

Selama konseling, perlu dievaluasi rapport dokter pasien sudah baik atau belum cukup.
Bila belum cukup akan kurang efektif konseling berita buruk ini, sebaiknya dilakukan
penguatan rapport hingga benar-benar baik.

1. Tanyakan apakah yang bersangkutan sudah mengetahui penyakitnya? Bila belum,


apakah ingin mengetahui penyakitnya? Bila sudah, apa yang diketahui tentang
penyakitnya?

2. Bila sudah tahu, seberapa jauh pasien paham tentang penyebab, diganosis, cara dan
rencana penanganan dan prognosisnya. Tugas dokter melengkapi informasi yang
belum diketahui.

3. Ditanyakan apakah ada pikiran tertentu setelah mengetahui penjelasan lengkap ini?
Dengarkan dengan empati. Buka opsi-opsi.

14
4. Ditanyakan apakah ada perasaan tertentu yang dirasakan? Dengarkan dengan empati.
Memotivasi dan mensugesti serta reassure pasien. Dokter menilai tahap penerimaan
pasien menurut Kubler Ros.

5. Diakhiri dengan apakah ada yang masih diinginkan pasien?

6. Bila belum tahu, ditanyakan apakah pasien ingin mengetahui tentang penyakitnya?
Bila tidak, ditanyakan apa yang menyebabkan pemikiran tersebut. Pasien masih
belum siap, maka dokter berempati dan dapat mengikuti pemikirannya dan
mendiskusikan tentang kehidupan dan lain-lain.

7. Bila mau, maka dijelaskan secara umum dulu, lihat reaksinya. Bila ia bertanya lebih
lanjut, maka dokter dapat menjelaskan dengan seluas-luasnya mengikuti kondisi
pasien. Evaluasi apakah ada rejeksi, deny, negativistik atau mudah memahami. Ikuti
dan pahami kondisi pasien dengan empati.

8. Evaluasi pikiran dan perasaan pasien setelah mengetahui segala sesuatu tentang
penyakitnya setelahnya.

9. Lakukan penanganan bila terjadi ketidaknyamanan perasaan dan pikiran atau sulit
tidur setelah berita buruk diketahui.

10. Lakukan penguatan positif dan opsi terbaik dalam keadaan terburuk.

11. Terus lakukan pendampingan hingga kondisi pasien menerima (acceptance) atau
rujuk bila dirasakan kompetensi dokter tidak memungkinkan lagi.

Konseling pasien yang sulit:


Dalam kondisi tertentu, pasien dapat menjadi sulit memahami dan menerima informasi
yang diberikan dokter, misalnya:
1. Karena kondisi mediknya sudah begitu lanjut, sehingga tidak dapat lagi dimintai
persetujuan (dalam hal ini keluarga yang akan diberikan penjelasan dan bila
diperlukan dimintai persetujuan).
2. Karena sudah lelah berobat tidak mendapatkan kesembuhan.
3. Karena khawatir akan dilakukan apa dan menjadi tidak lebih baik.
4. Untuk kasus psikiatri dan masalah rujukan kepada psikiater, dapat karena masih tidak
yakin atau menyangkal ada faktor psikis pada dirinya yang mempengaruhi kondisi
fisiknya.
5. Karena memang menderita gangguan psikiatri: misalnya depresi sehingga tidak ada
motivasi dan kognitifnya kurang untuk memahami dan terjadi distorsi kognitif.
Dalam hal ini perlu diberikan obat.
6. Karena khawatir pembiayaan tidak dapat menanggung.

15
Untuk pasien yang tidak dapat bertanggung jawab, tidak kooperatif dan membahayakan
diri sendiri, orang lain dan lingkungan:
Menurut Undang-Undang Kesehatan Jiwa no....... .tahun 2014 (belum ada nomer karena
baru) pasal 21, pasal 22 dan pasal 64, maka pasien dapat diperiksa dan dilakukan
pengobatan serta pengekangan dengan terlebih dahulu dilakukan persetujuan tindakan
medis yang diwakili keluarga (inti), wali atau pengampu.
Pedoman komunikasinya:
1. Observasi bahasa non-verbal bahwa ada penolakan.
2. Tanyakan harapan pasien.
3. Tanyakan apa yang tidak dipahami atau alasan penolakan.
4. Kembalikan bahwa ini untuk memenuhi harapan pasien. Juga berikan data positif
yang mendukung dari ilmiah, kaitan penyebab, contoh orang lain.
5. Evaluasi usaha yang sudah dilakukan dan beri opsi alternatif yang baru.
6. Eksplorasi yang menjadi kekhawatiran dan lakukan restrukturisasi kognitif.
7. Lakukan psikoterapi suportif, seperti katarsis, reassurance, persuasi, sugesti dan
bimbingan.
8. Khusus untuk penolakakan pada kondisi psikis, jelaskan mind-body connection, ada
tehnik dan obat yang akan membuat lebih nyaman, tawarkan bantuan oleh orang yang
kompeten (kadang-kadang tidak menyebut psikiater) yang akan membuat pasien lebih
nyaman. Bila masih menolak evaluasi status psikiatri apakah sudah ada gangguan
psikiatri, termasuk gangguan kepribadian yang perlu diberi obat.
9. Untuk semua hal yang di atas, yang paling penting diperhatikan adalah cara
mengkomunikasikannya.
Contoh psikoterapi suportif:
- ‘Ibu tidak perlu khawatir karena ada banyak pasien mengalami seperti ibu’.
- ‘Bapak merasa putus asa untuk berobat lagi, tapi yang ini belum pernah bapak jalani’.
- ‘Mari kita jalani bersama usaha yang belum pernah bapak lakukan ini’.
- ‘Dokter yang akan menangani ibu sudah biasa dan ahli dalam menangani kasus
seperti ibu’.
- ‘Bila kita melakukan sesuatu usaha, sedikitnya ada sesuatu yang bisa kita dapatkan’.
Yang perlu diperhatikan:
- Non-verbal dari pemeriksa menunjukkan sikap mau menolong, tulus, ikhlas
- Berempati.
- Tidak mengarahkan jawaban pasien.
- Tidak mendesak, tidak memberikan ancaman.
- Tidak memberikan harapan melebihi kenyataan.
- Tidak menyalahkan atas keputusan yang sudah dibuat.
- Tidak merendahkan.
- mmm –

16
Ceklis lengkap untuk anamnesis, diagnosis, penanganan, psikoedukasi dan
rujukan untuk pasien sulit.

Name:……………………………………………………....NRP:…………………………

No Aspek yang dinilai Nilai


0 1 2 N/A
1. Membina sambung rasa hubungan baik dokter pasien:
a. Menunjukkan penampilan sebagai dokter, sikap menerima, tenang,
ramah, empati, mempersilahkan duduk, memperkenalkan diri, minta ijin
membuat catatan
b. Menjelaskan tujuan anamnesis, termasuk kerahasiaan
c. Bertanya dengan bahasa yang baik, mudah difahami dan suara dan kata
yang jelas
d. Mengajukan pertanyaan terbuka dan mendengarkan aktif, memperhatikan
non-verbal
e. Parafrase dan/atau reflection feelings dan hening/diam sejenak (bila
diperlukan, harus dilakukan pada pasien yang sulit)
2. Menanyakan dengan sopan santun:
Nama dan umur, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan dan status keluarga,
bila diperlukan suku/ras, agama
3. Menanyakan tentang keluhan utama:
a. Kapan mulai, lama/perjalanannya dan sifat keluhan (terus menerus,
hilang timbul), intensitas, pada kondisi tertentu munculnya
b. Menanyakan keluhan-keluhan lainnya: ditanyakan berdasarkan Review of
system
c. Apakah pernah diobati, nama obat, hasil pengobatan/kesembuhannya.
Adakah alergi atau tidak cocok dengan obat?
d. Pemahaman tentang keluhannya (insight), diri dan kehidupannya, serta
perubahan dalam dirinya
4. Menanyakan riwayat penyakit dahulu:
- kemungkinan pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya, berapa
kali kambuh, bagaimana hasil, pengobatan, nama obat, hasilnya
- penyakit fisik dan psikis lain yang diderita
- riwayat tumbuh kembang bila diperlukan (bila diperlukan)
5. Menanyakan penyakit keluarga (faktor keturunan): adakah keluarga yang
menderita sakit yang sama, siapa dan bagaimana gejalanya, pengobatannya
dan kesembuhannya
6. Menanyakan riwayat psikososial: 17faktor premorbid (sifat pasien) dan

17
faktor psikososial: hal yang menjadi beban sekarang; pekerjaan, kebiasaan
merokok, kopi, drugs dan obat-obatan lain, hobi.
7. Melakukan pemeriksaan fisik internistik dan neurologis: tidak dilakukan
tetapi dinyatakan, pastikan tidak didapatkan kelainan fisik
Menyatakan perlu pemeriksaan penunjang (bila diperlukan)
8. Memberi kesimpulan dari hasil pemeriksaan: secara singkat mengulangi apa
yang dialami pasien dan menjelaskan kepada pasien tentang apa yang
dialaminya (terutama bila menyangkut penyakit serius, terminal dan terkait
stigma, ditanyakan apakah pasien ingin mengetahui sakitnya). Bila pasien
melantur/tidak kooperatif/tidak memungkinkan, atau pasien anak, langsung
pada keluarganya.
- Bila pasien tidak menghendaki: menanyakan apakah boleh bila dokter
menceritakan kepada keluarganya?
- Bila tidak menghendaki pada keluarga: tidak dilakukan psikoedukasi
tentang diagnosis, tetapi tentang manfaat pengobatan, pemeriksaan
penunjang, dll. dilakukan. Dokter menggugah pasien untuk pada suatu
saat perlu mengetahui gangguannya
9. Psikoedukasi menyesuaikan dengan latar belakang budaya dan pendidikan
pasien/keluarga tentang:
- diagnosis: keluhan yang dirasakan pasien adalah berkaitan dengan
terganggunya kerja saraf otak; keluhan tersebut adalah bagian dari
gangguan (sesuai dengan diagnosis pasien)
- penyebab biopsikososial: gangguan ini dapat terjadi pada siapa saja,
terjadi akibat ketidakseimbangan dari zat kimiawi (neurotransmiter) di
otak. Seperti sel lain di organ tubuh kita, maka sel saraf kita dapat
mengalami gangguan yaitu berupa ketidakseimbangan neurotransmitter;
penyebab gangguan tersebut adalah bio-psiko-sosial-spiritual (sesuaikan
dengan kasus pasiennya)
- berikan pengobatan (dan buat resep) sesuai dengan diagnosis pasien dan
penjelasaan tentang penanganan (obat dan non-obat): gangguan psikiatri
dapat ditangani dan dikontrol; dengan obat yang harus diminum teratur
sesuai petunjuk dokter; edukasi tentang obat ‘penenang’ yang sering
dikhawatirkan
- penanganan non-obat (non-farmakologik) berupa psikoterapi, berbagai
psikoterapi dapat dilakukan untuk mengoptimalkan kesembuhan pasien,
dapat dilakukan oleh dokter yang berkompetensi; bila pasien menolak
gangguannya, maka akan lebih tidak nyaman dan akan sulit sembuh
- pencegahan kekambuhan dan mengenali tanda-tanda dini (sesuaikan
dengan gejala pasien dan diagnosis kasusnya); pengurangan

18
kekhawatiran terhadap stigma bila diperlukan (bila diperlukan)
- penjelasan efek samping obat: (sesuaikan dengan pendidikan pasien)
- pemeriksaan penunjang (MRI, psikotes, MMPI, dll.) dilakukan bila
diperlukan
10. Memberi kesempatan pada pasien untuk bertanya dan untuk
mengungkapkan apa yang dirasa belum jelas atau 19ember informasi yang
lain dan apa yang dirasakan dan dialami, tidak perlu ragu menceritakan
kepada dokter
11. Bila perlu dirujuk, maka menjelaskan tujuan untuk dirujuk, a.l.:
- perlu penanganan dari yang lebih berkompeten (untuk obat dan/atau
psikoterapi)
- keterbatasan tempat perawatan dan obat
- meminta pendapat ahli
Sebaiknya menjelaskan alamat tempatnya, nama psikiater dan jam
prakteknya diberitahu kepada pasien, dan kalau perlu sudah diberitahukan
dan diintroduksikan pada psikiater/dokter spesialis lain yang dituju.
12. Mengakhiri wawancara dan pemeriksaan:
- Memberi sugesti/persuasi/nasihat tentang gangguan dan pengobatan
sesuai dengan diagnosis kerja
- Mengajak bekerjasama agar didapat kesembuhan yang lebih optimal
- Memberitahukan rencana berikut: kontrol dan/atau penerimaan rujukan
balik
13. Psikoterapi suportif yang dilakukan:
- Katarsis, reassurance, sugesti, persuasi, reinforcement, bimbingan
- Berempati terhadap kondisi ketidakpahaman dan penolakan pasien
- Memberikan opsi dari hambatan pemahaman dan penolakan pasien
- Melakukan resturukturisasi kognitif
JUMLAH

Keterangan :
0 = tidak dilakukan;
1 = dilakukan tetapi tidak benar/tidak sempurna;
2 = dilakukan dengan benar/lengkap/sempurna;
N/A = not applicable (bila tidak dapat diterapkan/tidak sesuai dengan skenario)

Surabaya,………………………………..
Evaluator/Observer,

(……………………………………..)
Catatan:
19

Anda mungkin juga menyukai