Anda di halaman 1dari 3

Effect of Physical Activity on Calcium Homeostasis and Calciotropic Hormones: A Review

Abstrak
Latihan fisik telah terbukti dapat meningkatkan massa tulang, terutama pada tulang yang
menanggung banyak beban. Secara luas, diketahui bahwa efek anabolic saat latihan terhadap
jaringan tulang berhubungan dengan penerapan paksaan mekanis, tapi beberapa respons
osteogenic mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Khususnya, parameter berbagai
hormone yang diubah dengan latihan, seperti insulin-like growth factor-1 dan hormone seksual,
dapat mengatur respons tulang. Sebaliknya, sedikit yang diketahui tentang keterlibatan hormon-
hormon kalsiotropik dalam mekanisme adaptasi jaringan tulang. Hormon-hormon ini, termasuk
hormon paratiroid, metabolit vitamin D, dan kalsitonin sangat terlibat dalam regulasi bone
remodeling dan keseimbangan kalsium. Selain aksi langsung terhadap aktivitas sel tulang,
hormon-hormon ini bekerja pada organ target lainnya, seperti ginjal dan usus. Artikel ini
menjelaskan efek latihan fisik jangka pendek dan jangka panjang terhadap keseimbangan
kalsium dan hormon kalsiotropik di berbagai populasi. Ini menunjukkan bahwa latihan fisik
memodifikasi homeostasis kalsium dan kadar hormon kalsiotropik, dan berbagai responsnya
diatur oleh parameter yang berkaitan dengan latihan fisik, yaitu durasi dan intensitas, begitu juga
karakteristik individual, seperti usia, jenis kelamin, dan status pelatihan.

Pengantar
Aktivitas fisik diketahui memicu perubahan bone mineral density (BMD) dan bone turnover.
Mekanisme spesifik dimana metabolisme tulang dipengaruhi oleh aktivitas fisik masih belum
sepenuhnya dipahami. Tampaknya, adaptasi massa tulang dapat terjadi terutama karena
meningkatnya ketegangan mekanis, seperti yang ditunjukkan dengan tingginya BMD pada atlet
yang melakukan olahraga high weight bearing atau impact loading dibandingkan dengan kontrol
tetap dan atlet yang melakukan olahraga seperti berenang, yang ketegangan mekanisnya lebih
rendah. Namun demikian, perubahan endokrin yang berkaitan dengan aktivitas fisik dan
modifikasi metabolisme tulang, termasuk perubahan pada testosteron, IGF-1, dan sekresi leptin,
juga telah dilaporkan.
Parameter hormon lainnya juga terlibat, seperti hormon kalsiotropik, yang juga merupakan
hormon paratiroid, metabolit vitamin D, dan kalsitonin. Parameter tersebut juga sangat terlibat
dalam regulasi bone remodeling dan homeostasis kalsium.
Tujuan dari tinjauan ini adalah memusatkan perhatian pada efek dari berbagai jenis aktivitas fisik
terhadap homeostasis kalsium dan hormone kalsiotropik pada populasi yang berbeda. Selain itu,
efek osteogenik tambahan yang memiliki potensi terhadap variasi aktivitas yang terkait dengan
PTH dan kalsitriol juga dipelajari.
Dilakukan pencarian di database MEDLINE (1966 – Januari 2009) menggunakan istilah
pencarian sistematis berikut: “exercise,” “physical activity,” “training,” dan “athletes” yang
dikombinasikan dengan “calcium homeostasis,” “parathyroid hormones,” dan “vitamin D.” Studi
yang dihasilkan dari pencarian ini diperiksa secara rinci, dan ketika datanya relevan
(karakteristik populasi, data pelatihan, latihan yang dievaluasi, analisis waktu, nilai basal hormon
dan mineral), maka studi-studi tersebut dimasukkan ke dalam tinjauan ini. Tidak ada tinjauan
penelitian atau penelitian terhadap binatang yang dimasukkan, kecuali yang dapat menambahkan
penjelasan terhadap mekanisme fisiologi adaptasi.

Homeostasis kalsium, hormon kalsiotropik, dan aktivitas fisik


Nilai basal hormon pada atlet
Beberapa penelitian telah mengevaluasi efek dari aktivitas fisik yang berkepanjangan terhadap
homeostasis kalsium dan hormone kalsiotropik basal (tabel 1). Umumnya, berapapun usianya,
latihan intensif tampaknya tidak memiliki atau hanya menyebabkan efek yang terbatas pada
fosfat serum basal (P), Ca total, ion Ca (iCa), atau kalsium dalam urin. Hanya nilai basal iCa, Ca
total, dan Ca dalam urin 24 jam yang lebih tinggi, yang dilaporkan pada subjek aktif
dibandingkan dengan kontrol. Mengenai hormon kalsiotropik, Bell et al. melaporkan konsentrasi
25-(OH) dan 1,25 (OH)2D pada binaragawan, lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol
yang berusia sama. Kadar metabolit vitamin D yang lebih tinggi juga dilaporkan pada triatlet
pria, atlet track dan lapangan, dekatlet, dan wanita pascamenopause yang dulunya melakukan
endurance-training, tapi tidak terlihat pada pesepeda pria, traitlet, atau perenang. Faktor tertentu
yang diketahui dapat diubah oleh aktivitas fisik mungkin terlibat dalam variasi status vitamin D.
Ini termasuk (1) jatuhnya level P serum; (2) penurunan sementara iCa selama latihan yang dapat
memicu sekresi PTH sementara dan kemudian mengaktifkan sintesis kalsitriol ginjal; (3)
peningkatan sekresi hormon pertumbuhan selama latihan yang diperburuk pada atlet
dibandingkan dengan subjek yang lebih tidak aktif dan, seiring dengan peningkatan 25(OH)D,
metabolit prekursor; (4) meningkatnya pajanan sinar matahari karena aktivitas olahraga di luar
ruangan. Hipotesis yang terakhir tidak dikonfirmasi oleh Nelson et al. kemungkinan besar
peningkatan massa tulang yang terkait dengan aktivitas fisik seperti yang membentuk otot dipicu
oleh tingkat absorpsi Ca yang ditingkatkan, yang dimediasi oleh 1,25(OH) 2D, mediator utama
penyerapan kalsium. Selain itu, atlet juga menunjukkan kadar ekskresi Ca dalam urin yang
normal atau meningkat. Dengan demikian, retensi kalsium dapat terjadi.
Peningkatan konsentrasi 1,25(OH)2D yang ditemukan pada binaragawan dan atlet dekatlon
kontras dengan kadar normal yang ditemukan pada atlet endurance. Rendahnya kadar PTH yang
dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi Ca total atau iCa pada pelari dapat menunjukkan
latihan ketahanan memicu supresi PTH permanen atau titik patokan baru terhadap regulasi
kalsium dalam pelepasan PTH.
Terakhir, latihan fisik tampaknya tidak memiliki efek yang terlihat terhadap kadar kalsitonin
(CT) basal.

Efek jangka panjang terhadap jangka panjang


Pada atlet
Tidak ada perubahan konsentrasi Ca, P, dan mineral lain yang tampak pada atlet pria setelah
musim triathlon atau setelah latihan sepeda dengan intensitas dan volume yang relatif tinggi.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa suplementasi mineral oral tidak imenunjukkan adanya
peningkatan performa. Sebaliknya, eksresi kalsium pada urin 24 jam meningkat setelah fase
interval intensitas yang tinggi, memperlihatkan bahwa latihan fisik dapat meningkatkan kadar
kalsium dalam urin harian yang hilang. Namun, pola makan yang tinggi kalsium dan
peningkatan penyerapan kalsium di gastrointestinal dapat mengimbangi jumlah kalsium yang
hilang melalui urin dan keringat.
Setelah latihan selama 7 bulan, peningkatan 1,25(OH)2D dan IGF-1 tampak pada atlet triathlon,
sedangkan konsentrasi PTH utuh tidak berubah. Sebaliknya, setelah latihan selama 6 bulan, tidak
ada peningkatan 1,25(OH)2D yang signifikan pada atlet pendayung laki-laki usia muda. Kedua
periode ini cukup panjang untuk dapat berasumsi bahwa status kestabilan hormon dan mineral
telah tercapai. Ketika jangka waktu yang lebih pendek diselidiki, variasi sementara tertentu
dilaporkan. Pada 9 pelari marathon pria, latihan selama 4 minggu memicu perubahan parallel
terhadap kadar normal kalsium, kalsitonin, dan albumin, juga korelasi signifikan antara
parameter-parameter tersebut. Hal ini sebagian disebabkan oleh hypervolemia plasma transien
selama latihan. Dalam penelitian yang sama, peningkatan kadar PTH dan penurunan kadar
1,25(OH)2D3 dengan rasio yang tidak berubah antara 1,25(OH)2D3 dan 25(OH)D3 juga diamati
selama masa latihan dan 3 minggu istirahat. Hasil penelitian yang menyangkut peningkatan PTH
sesuai dengan kriteria Ljunghall et. al. Salah satu penjelasannya adalah pengurangan kadar iCa
yang disebabkan oleh meningkatnya kadar asam lemak bebas selama latihan fisik
berkepanjangan yang membentuk ikatan kompleks, bukan perubahan pada total serum kalsium.
Penurunan kadar 1,25(OH)2D3 menunjukkan bahwa beberapa hambatan dari 1-hidroksilasi
25(OH)D3, yang dapat terjadi dalam periode latihan yang lebih intensif dibawah pengaruh efek
hormon. (keseimbangan testosteron-estrogen atau hormone pertumbuhan). Meskipun demikian,
hasil-hasil penelitian tersebut berlawanan dengan hasil yang diambil dari penelitian kroseksional
yang telah dibahas di atas.

Anda mungkin juga menyukai