Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Disusun Oleh : Kelompok F

Tesya Kurnia (1911316051)

Lyra Ramadhani (1911316052)

Enika Sintia (1911316053)

Artisha Rizal (1911316054)

Miftah Khairunisa (1911316055)

Leo No Mersil (1911316056)

Dwi Damayanti Djonathan (1911316057)

Silmi Destriyani (1911316058)

Lia Bareta (1911316059)

Nisa Hestyarini (1911316060)

S1 KEPERAWATAN PROGRAM B19

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya yang telah diberikan kepada kita.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Jiwa tentang


“Kegawatdaruratan Psikiatri”, dengan tujuan menjadikan proses pembelajaran agar lebih
baik.

Makalah ini tidak akan terselesaiakan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan, baik secara moril maupun materiil.

Kesadaran akan masih jauhnya makalah ini dari kesempurnaan, sehingga kritik dan
saran dari pembaca sngatlah diharapkan demi perbaikan pada makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua

Padang, 05 Mei 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Psikiatri dipenuhi oleh fenomenologi dan penelitian fenomena mental. Dokter


psikiatri harus belajar untuk menguasai observasi yang teliti dan penjelasan yang
mengungkapkan keterampilan termasuk belajar bahasa baru. Bagian bahasa didalam
psikiatri termasuk pengenalan dan definisi tanda dan gejala perilaku dan emosional.
Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada
kondisi darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatriks seperti percobaan bunuh diri,
penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada
perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di
bidang kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk
layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun
1960-an, terutama di perkotaan.
Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para
profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko
tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka. Pasien biasanya
datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas kesehatan lainnya, atau
tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada
umumnya meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala
atau kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.
Kegawat daruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada
kondisi darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatriks seperti percobaan bunuh diri,
penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada
perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di
bidang kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk
layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun
1960-an, terutama di perkotaan. Penatalaksanaan pada pasien kegawat daruratan
psikiatrik sangat kompleks. Para profesional yang bekerja pada pelayanan kegawat
daruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan
mental pasien mereka. Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan
oleh petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja.
1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kedaruratan Psikiatri

Rangkaian kegiatan praktik keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh


perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat
darurat.Keperawatan Kegawat Daruratan (emergency Nursing) Adalah bagian dari
keperawatan dimana perawat memberikan asuhan kepada klien yang sedang mengalami
keadaan yang mengancam kehidupan karena sakit atau kecelakaan.Unit Gawat Darurat
Adalah tempat/unit di RS yang memiliki tim kerja dengan kemampuan khusus &
peralatan yang memberikan pelayan pasien gawat darurat, merupakan rangkaian dari
upaya penanggulangan pasien dengan gawat darurat yang terorganisir
Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri,
ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan,
serangan panik, dan perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa
kondisi medis lainnya yang mematikan dan muncul dengan gejala psikiatriks umum.
Kegawatdaruratan psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini.
Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah penting.
Keperawatan Gawat Darurat adalah pelayanan profesional yg didasarkan pada
ilmu keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat darurat berbentuk
pelayanan bio-psiko-sosio- spiritual yang komprehensif ditujukan pada semua kelompok
usia yang sedang mengalami masalah kesehatan yang bersifat urgen , akut dan kritis
akibat trauma, proses kehidupan ataupun bencana.

2.2 Faktor – Faktor Penyebab Kedaruratan Psikiatri

Kondisi Kedaruratan Adalah suatu kondisi dimana terjadi gangguan integritas


fisiologis atau psikologis secara mendadak. Semua masyarakat berhak mendapat
perawatan kesehatan gawat darurat, pencegahan, primer, spesialistik serta kronik.
Perawatan GD harus dilakukan tanpa memikirkan kemampuan pasien untuk membayar.
Semua petugas medis harus diberi kompensasi yang adekuat, adil dan tulus atas
pelayanan kesehatan yang diberikannya. Diperlukan mekanisme pembayaran
penggantian atas pelayanan gratis, hingga tenaga dan sarana tetap tejaga untuk setiap
pelayanan. Ini termasuk mekanisme kompensasi atas penderita yang tidak memiliki
asuransi, bukan penduduk setempat atau orang asing. Semua pasien harus mendapat
pengobatan, tindakan medis dan pelayanan memadai yang diperlukan agar didapat
pemulihan yang baik dari penyakit atau cedera akut yang ditindak secara gawat darurat.
Tempat rujukan layanan kegawatdaruratan psikiatrik biasanya dikenal sebagai
Psychiatric Emergency Service, Psychiatric Emergency Care Centres, atau
Comprehensive Psychiatric Emergency Programs. Tenaga kesehatan terdiri dari berbagai
disiplin, mencakup kedokteran, ilmu perawatan, psikologi, dan karya sosial di samping
psikiater. Untuk fasilitas, kadang dirawat inap di rumah sakit jiwa, bangsal jiwa, atau
unit gawat darurat, yang menyediakan perawatan segera bagi pasien selama 24 jam. Di
dalam lingkungan yang terlindungi, pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik diberikan
untuk memperoleh suatu kejelasan diagnostik, menemukan solusi alternatif yang sesuai
untuk pasien, dan untuk memberikan penanganan pada pasien dalam jangka waktu
tertentu. Bahkan diagnosis tepatnya merupakan suatu prioritas sekunder dibandingkan
dengan intervensi pada keadaan kritis.
Fungsi pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik adalah menilai permasalahan
pasien, memberikan perawatan jangka pendek, memberikan pengawasan selama 24 jam ,
mengerahkan tim untuk menyelesaikan intervensi pada tempat kediaman pasien,
menggunakan layanan manajemen keadaan darurat untuk mencegah krisis lebih lanjut,
memberikan peringatan pada pasien rawat inap dan pasien rawat jalan, dan menyediakan
pelayanan konseling lewat telepon.

2.3 Dasar Hukum Pelayanan Kedaruratan Psikiatri

Penaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat


adalah UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988
tentang Rumah Sakit.
Dipandang dan segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda
dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu
khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus
dan akan menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat
darurat.
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas
diatur dalam pasal 5l UUNo.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang
dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya,
walaupun dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan
gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut
sebenamya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang
optimal (pasal 4) Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas
menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat”
termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini
menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit.
Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai
persyaratan pemberian pelayanan.
Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah
sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit
telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit,
di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari
Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum
ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992
tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk
pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit Bentuk peraturan tersebut seyogyanya
adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor
kesehatan.
Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992
tentang Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Melihat ketentuan
tersebut nampak bahwa profesi kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan
kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan mengandung risiko yang tidak
kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa “pelaksanaan
pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu “. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan
seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan
pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau membahayakan
terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis yang
memelakukanngandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik
diatur dalam pasal 50 UUNo.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa
“tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai
dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”.
Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di
mana pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai
tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal
pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus
menemelakukanrapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) saat itu.
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan pertolongan
pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih maupun yang teriatih
di bidang medis. Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untuk melakukan tindakan
medis dalam undang-undang kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan, karena
masyarakat melakukan hal itu dengan sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu
mereka tidak dapat disebut sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan
di bidang kesehatan.
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil yang telah
mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan yang memang
tugasnya di bidang ini (misainya petugas 118), maka tanggungjawab hukumnya tidak
berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian
dilakukan dengan membandingkan keterampilan tindakannya dengan tenaga yang
serupa.
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi
hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat
darurat Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege
tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut
The American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah. An
emergency is any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever
assumes the responsibility of bringing the patient to the hospital-remelakukanquires
immediate medical attention. This condition continues until a determination has been
made by a health care professional that the patient’s life or well-being is not threatened.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat Dalam hal
pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena
diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak
pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab
kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut
dilamelakukankukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor
kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan
tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang
berkuamelakukanlifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed
consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera
dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien,
tidak perLu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis,
maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.

2.6 Gaduh Gelisah

A. Definisi
Definisi dari gaduh gelisah adalah suatu keadaan yang menimbulkan tanda
gejalaPsikomotor meningkat,yaitu:
Banyak bicara
Mondar-mandir
Lari-lari
Loncat-loncat
Destruktif
Bingung
Afek/emosi excitement, yaitu :
Marah-marah
Mengancam
Agresif
Ketakutan
Euphoria
B. Penyebab Keadaan Gaduh Gelisah :
a. Gangguan mental organik (delirium)
b. Psikosis fungsional
Gangguan psikotik akut
Skizofrenia
Keadaan mania
c. Amok
d. Gangguan panic
e. Kebingungan post konvulsi
f. Reaksi disosiatif
g. Ledakan amarah (temper tantrum)
C. Strategi Umum Pemeriksaan Pasien
a. Ketahui sebanyak mungkin mengenai pasien sebelum menjumpai
b. Waspada mengenai ancaman kekerasan
c. Perhatikan posisi diri jika berada di ruang tertutup
d. Pastikan ada orang lain pada saat pemeriksaan
e. Usahakan untuk mengadakan relasi sebaik mungkin dengan pasien
f. Cegah pasien menciderai diri
g. Cegah pasien menciderai orang lain
h. Pendekatan pasien dengan sikap tidak mengancam
i. Beri keyakinan pada pasien
j. Tawarkan pengobatan
k. Informasikan pasien bahwa pengikatan atau pengurungan mungkin diperlukan
l. Serahkan prosedur pengikatan kepada mereka yang menguasai
m. Pastikan tim selalu siap menahan pasien
D. Pemeriksaan
a. Diagnosis awal
pemeriksaan fisik
wawancara psikiatrik
pemeriksaan status mental
b. mengidentifikasi faktor pencetus
c. mengidentifikasi kebutuhan segera
untuk segera mendapat penanganan psikiatrik
untuk segera rujuk ke tempat yang paling berkompeten
d. pemeriksaan laboratorium yang relevan
E. Penatalaksanaan pengikatan Fisik
a. Berbicara secara meyakinkan kepada pasien untuk menghentikan perilakunya.
b. Ulangi penjelasan jika tidak menghentikan perilakunya akan dilakukan
pengikatan.
c. Tawarkan untuk menggunakan medikasi dari pada dilakukan pengikatan 
Jangan tawar-menawar dengan pasien.
d. Jangan membiarkan pasien berpikir tentang keraguan kita untuk melakukan
pengikatan.
e. Lakukan pengikatan
Tiap anggota gerak satu ikatan
Ikatan pada posisi sedemikian agar tidak mengganggu aliran cairan IV jika
diperlukan
Posisi kepala lebih tinggi untuk menghindari aspirasi
Lakukakan pemeriksaan vital sign tiap setiap ½ jam
Tempatkan pasien pada tempat yang mudah dilihat oleh staf
f. Lanjutkan dengan medikasi
g. Setelah pasien dapat dikendalikan dengan medikasi, mulai dengan melepaskan
satu ikatan
h. Dua ikatan terakhir harus dilakukan bersama-sama (tidak menganjurkan
mengikat pasien dengan hanya satu ikatan pada anggota gerak
i. Buat catatan mengapa pasien harus diikat
F. Farmakoterapi
a. Golongan benzodiazepine
Diazepam
Lorazepam
Clonazepam

b. Golongan antipsikotik
Chlorpromazine
Haloperidol
Olanzapine
Fluphenazine
Untuk pasien non psikotik
Golongan benzodiazepine
Untuk pasien psikotik
Golongan benzodiazepine
Golongan antipsikotik
Diazepam ampul 10 mg/2cc
Pemberian inj. IM atau IV
Pemberian IV hati-hati dengan depresi sistim pernafasan, berikan
secaraperlahan 1 ampul dalam 10 menit
Dapat diulang tiap ½ jam
Chlorpromazine ampul 25mg/cc
Pemberian 25-100 mg inj. IM
Hati-hati hipotensi ortostatik
Dapat diulang tiap ½ jam
Haloperidol ampul 5 mg/cc
Pemberian inj. IM atau IV
D of Ch untuk kecurigaan etiologi organic
Dapat diulang tiap ½ jam
Olanzapine vial 10 mg
Pemberian 5 – 10 mg inj. IM
Dapat diulang 2 jam kemudian
Maksimal dosis 20 mg/hr
Maksimal u 3 hari dilanjutkan dengan p.o.
G. Perhatian
a. Medikasi hanya bertujuan untuk mengontrol target simptom
b. Pasien eksaserbasi akut sebaiknya diketahui obat yang sedang/terakhir
dipakai, kemudian berikan obat yang sama dengan meningkatkan dosisnya
c. Pemberian golongan benzodiazepin dengan antipsikotik akan menurunkan
kebutuhan dosis antipsikotik dan mengurangi efek EPS
d. Pemberian obat p.o. harus segera dimulai pada hari itu juga

2.7 Bunuh Diri

A. Pengertian
Bunuh diri adalah segala perbuatan seseorang yang dapat mengahiri hidupnya
sendiri dalam waktu singkat. Selama tahun 1950 sampai dengan 1988 rata – rata
bunuh diri pada remaja yaitu usia antara 15 dan 19 tahun (Attempt suicide, 1991).
Menurut Budi Anna Keliat, bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak
diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Keadaan ini didahului oleh respons
maladaptive.Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.
Setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian ( Gail
w.Stuart,Keperawatan Jiwa,2007). Pikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri (Ann
Isaacs, Keperawatan Jiwa & Psikiatri, 2004).Ide, isyarat dan usaha bunuh diri, yang
sering menyertai gangguan depresif sering terjadi pada remaja ( Harold Kaplan,
Sinopsis Psikiatri,1997).
Menurut Edwin Scheidman, bunuh diri adalah sebagai tindakan
pembinasaan yang disadari dan ditimbulkan diri sendiri, dipandang sebagai malaise
multidimensional pada kebutuhan individual yang menyebabkan suatu masalah
dimana tindakan dirasakan sebagai pemecahan yang terbaik.
1. Trend bunuh diri pada anak dan remaja
(Bunuh Diri sebagai Masalah Dunia)
Pada laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri daripada wanita, karena
laki-laki lebih sering menggunakan alat yang lebih efektif untuk bunuh diri,
antara lain dengan pistol, menggantung diri, atau lompat dari gedung yang tinggi,
sedangkan wanita lebih sering menggunakan zat psikoaktif overdosis atau racun,
namun sekarang mereka lebih sering menggunakan pistol. Selain itu wanita lebih
sering memilih cara menyelamatkan dirinya sendiri atau diselamatkan orang
lain.Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003
mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau
setiap 40 detik, bunuh diri juga satu dari tiga penyebab utama kematian pada usia
15-34 tahun, selain karena factor kecelakaan.

(Bunuh diri di Indonesia)


Akhir-akhir ini, penulis amati dalam seminggu, 5 hari diantaranya Pikiran
Rakyat, Menyuguhkan berita kepada kita tentang kasus bunuh diri yang menimpa
orang dewasa dan anak-anak. Bahkan ada 3 berita tentang bunuh diri dalam satu
kali terbitan.Sebenarnya penulis belum memiliki data resmi mengenai angka
bunuh diri pada anak dan remaja di Indonesia(Yoseph, Iyus. 2007). Menurut
Trianggono, kita adalah bangsa yang tidak terbiasa tertib mencatat dan
mendokumentasikan.
Menurut Prayitno, pendataan mengenai kasus bunuh diri di Indonesia masih
jelek. Dari data yang diambil di kamar mayat Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, misalnya, terdapar 1.119 kasus bunuh diri dari tahun 2004-2005.
Dari jumlah tersebut 41% bunuh diri dengan cara gantung diri dan 23%
menggunakan racun serangga, sisanya lagi karena overdosis.
Menurut Nadsya, dalam 3 bulan terakhir, desember 2004 sampai akhir februari
2005, tercatat 12 kasus bunuh diri, 3 diantaranya berhasil diselamatkan. Terakhir
gadis ABG usia 19 thn mencoba mengakhiri hidup dengan mengakhiri hidup
dengan menyilet pergelangan tangan, namun diketahui keluarga dan ia masih
tertolong.
B. Jenis bunuh diri
Clasification by Emule Durkheim :
1. Egoistic suicide
Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat karena kondisi kebudayaan
yang menjadikan individu itu seolah-olah tidak berkepribadian
2. Altruistic suicide
3. Individu ini terikat pada tuntutan tradisi khusus.
Contoh: hara-kiri di jepang (menikam atau menusuk perut)
4. Anomic suicide
Individu kehilangan pegangan dan tujuan karena gangguan keseimbangan integrasi
antara individu dengan masyarakat
C. Perilaku bunuh diri, dibagi menjadi 3 kategori :
1. Ancaman Bunuh Diri (suicide threat)
- Ada peringatan verbal dan non verbal
- Ancaman ini menunjukkan ambivalensi seseorang terhadap kematian
- Jika tidak mendapat respon maka akan ditafsirkan sebagai dukungan untuk
melakukan tindakan bunuh diri.
2. Upaya Bunuh Diri (suicide attempt)
Semua tindakan dengan sengaja yang dilakukan individu terhadap diri sendiri
yang dapat menyebabkan kematian jika kegiatan tersebut sampai tuntas tidak
dicegah.
3. Isyarat Bunuh Diri (suicide gesture)
Bunuh diri yang direncanakan untuk usaha mempengaruhi perilaku orang lain.

D. Metode bunuh diri.


Metode bunuh diri.pada remaja umumnya adalah:
- Over dosis obat dan melukai pergelangan tangan pada perempuan
-Menggunakan pisau, senjata dan automobile pada laki-laki
-Selain itu ada juga yang lompat dari ketinggian atau kereta api.

E. Faktor yang Mempengaruhi Bunuh Diri


Faktor Mood dan Biokimia Otak
Ternyata semua kasus “horror” tersebut dilandasi pada mood atau suasana hati
seseorang.Ghanshyam Pandey bserta timnya dari university of Illinois, Chicago,
menemukan bahwa aktivitas enzim didalam pikiran manusia mempengaruhi mood yang
memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri.Pandey, ditemukan bahwa tingkat aktivitas
protein kinase C (PKC).

Faktor riwayat gangguan mental


Pandey dan timnya sangat tertarik untuk mengetahui kaitan lain antara kasus bunuh
diri pada remaja yang meninggal. Dari 17 remaja yang meninggal akibat bunuh diri, 9
diantaranya memiliki sejarah gangguan mental. 8 yang lain tidak mempunyai riwayat
gangguan psikis, namun 2 diantaranya mempunyai sejarah kecanduan alcohol dan obat
terlarang.

Factor meniru, imitasi, dan pembelajaran


Dalam kasus bunuh diri, dikatakan ada proses pembelajaran. Para korban memilki
pengalaman dari salah satu keluarganya yang pernah melakukan percobaan bunuh diri atau
meninggal karena bunuh diri. Proses pembelajaran disini merupakan asupan yang masuk
kedalam memori seseorang.

Faktor isolasi sosial dan human relations


Menurut Rohana Man, secara kualitatif mendapati pelajar bermasalah yang cenderung
membunuh diri sendiri daripada mereka yang mempunyai tingkah laku terpinggir.
Menurutnya, tingkah laku itu menyebabkan pelajar merasa terasing karena tidak mempuyai
kumpulan sendiri di sekolah. Tambahnya, tingkah laku pelajar terpinggir akan menjadi lebih
buruk apabila berasa diri mereka juga tidak dipedulikan oleh keluarga.

Faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar


Dijelaskan bahwa rasa merupakan penyebab terjadinya banyak kasus bunuh diri di
Jakarta dan sekitarnya, akhir-akhir ini.Tidak adanya rasa aman untuk menjalankan usaha bagi
warga serta ancaman terhadap tempat tinggal mereka berpotensi kuat memunculkan
gangguan kejiwaan seseorang hingga tahap bunuh diri.

Faktor religiusitas
Menurut dosen IAIN Antasari Drs.H.Dahli Khairi, bunuh diri sebagai gejala tipisnya
iman dan kurang bgitu memahami ilmu agama. Dalam ajaran islam, bunuh diri termasuk
perbuatan haram dan dianggap mendahului ketentuan tuhan. Memperkuat keimanan dan
pendalaman masalah keagamaan, salah satu jalan keluarnya.

F. Manifestasi klinik bunuh diri pada remaja.


a.Mood/affek
Depresi yang persisten, merasa hopelessness, helplessness, isolation, sedih, merasa jauh
dari orang lain, afek datar, sering mendengar atau melihat bunyi yang sedih dan unhappy,
membenci diri sendiri, merasa dihina, sering menampilkan sesuatu yang tidak adekuat di
sekolah, mengharapkan untuk dihukum.
b. Perilaku/behavior.
Perubahan pada penampilan fisik, kehilangan fungsi, tak berdaya seperti tidak intrest,
kurang mendengarkan, gangguan tidur, sensitive, mengeluh sakit perut, kepala sakit, perilaku
antisocial : menolak untuk minum, menggunakan obat– obatan, berkelahi, lari dari rumah.

c. Sekolah dan hubungan interpersonal.


Menolak untuk ke sekolah, bolos dari sekolah, withdraw sosial teman– temannya,
kegiatan–kegiatan sekolah dan hanya interest pada hal–hal yang menyenangkan, kekurangan
system pendukung sosial yang efektif.

d. Ketrampilan koping.
Kehilangan batas realita, menarik dan mengisolasikan diri, tidak menggunakan support
system, melihat diri sebagai orang yang secara total tidak berdaya.

G. Faktor yang berkontribusi pada anak dan remaja


Keluarga dan lingkungan terdekat menjadi pilar utama yang bertanggung jawab dalam
upaya bunuh diri pada anak dan remaja, pernyataan ini ditunjang oleh teori Vygotsky bahwa
lingkungan terdekat anak berkontribusi dalam membentuk karakter kepribadian anak,
menurut Stuart Sundeen jenis kepribadian yang paling sering melakukan bunuh diri adalah
tipe agresif, bermusuhan, putus asa, harga diri rendah dan kepribadian antisocial. Anak akan
lebih besar melakukan upaya bunuh diri bila berasal dari keluarga yang menerapkan pola
asuh otoriter atau keluarga yang pernah melakukan bunuh diri, gangguan emosi dan keluarga
dengan alkoholisme.
Faktor lainnya adalah riwayat psikososial seperti orangtua yang bercerai, putus
hubungan, kehilangan pekerjaan atau stress multiple seperti pindah, kehilangan dan penyakit
kronik kumpulan stressor tersebut terakumulasi dalam bentuk koping yang kurang
konstruktif, anak akan mudah mengambil jalan pintas karena tidak ada lagi tempat yang
memberinya rasa aman, menurut Kaplan gangguan jiwa dan suicide pada anak dan remaja
akan muncul bila stressor lingkungan menyebabkan kecemasan meningkat.
Menurut Hafen dan Frandsen, 1985 menyatakan bahwa penyebab bunuh diri pada
remaja adalah (Budi Anna Keliat, 1991, hal. 6). :
1. Hubungan interpersonal yang tidak bermakna.
2. Sulit mempertahankan hubungan interpersonal.
3. Pelarian dari penganiayaan fisik atau pemerkosaan.
4. Perasaan tidak dimengerti orang lain.
5. Kehilangan orang yang dicintai.
6. Keadaan fisik.
7. Masalah dengan orang tua.
8. Masalah seksual.
9. Depresi.

Banyak pendapat lain tentang penyebab atau alasan bunuh diri (faktor resiko) yaitu
kegagalan untuk beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi
karena kehilangan hubungan interpersonal atau gagal melakukan hubungan yang berarti,
perasaan marah atau bermusuhan, cara untuk mengakhiri keputusasaan dan tangisan minta
tolong.

2.8 Penelantaran Diri

2.9 Penyalahgunaan NAPZA

A. Pengertian
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah
terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap
sebagai penyakit. Adiksi mumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan
dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat.
Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala
putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).
B. Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZA dan zat zat yang dapat
membuat ketergantungan
Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi darikondisi yang ringan
sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna
NAPZA.dan zat zat yang dapat membuat ketergantungan
Respon Respon

Eksperimental rekreasional situasionalketergantungan


Gambar 1.2.2 (rentan respon gangguan penyalahgunaan zat Sumber: Yosep, 2007)

Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu dari
remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien biasanya ingin mencari
pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.
Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya,
misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini
mempunyai tujuan rekreasi bersama temantemannya.
Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi
dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau
mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang
mempunyai masalah, stres, dan frustasi.
Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan
secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu
fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi
ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi
dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif
secara rutin pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti
memakai, sehingga menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan.
Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis
(jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkannya.

C. Jenis-Jenis NAPZA

NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:


1. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat
menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri
dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus
menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin,
amfetamin, dan lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat
berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis
yang dapat menyebabkan penurunan maupun perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan
(Wresniwiro dkk. 1999).
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:
1) Narkotika alami
Yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai narkotik tanpa perlu adanya
proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung
dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak
boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu berisiko.
Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
2) Narkotika sintetis
Yaitu adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk
keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit/analgesik. Contohnya
yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan
sebagainya.Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:
a. Depresan = membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
b. Stimulan = membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan
merasa badan lebih segar.
c. Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah
perasaan serta pikiran.
3) Narkotika semi sintetis
Yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya
seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.

2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau
obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang
membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk
dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin.
Amphetamine sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan
stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga
perasaan dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine
merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran,
ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.

3. Zat Adiktif Lainnya


Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun
campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak
langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.
Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan
psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika
disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain:
minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar
ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol
lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar
ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir
semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana
dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.

D. Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA


Harboenangin (dikutip dari Yatim, 1986) mengemukakan ada beberapa faktor yang
menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
1. Faktor Internal
a. Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih cenderung
terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang
negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai
oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif,
dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan
masalah secara adekuat berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan
masalah dengan cara melarikan diri.

b. Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang untuk
melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-
rata dari kelompok usianya.

c. Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan narkoba
karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan
emosi; sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.

d. Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu


Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya merasa enak
yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang diceritakan
oleh teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama.

e. Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan
persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran
dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.

2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang menjadi
pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi
Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi
anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan
narkoba.
2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan
yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu
bilang tidak).
3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian
yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah
dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara.
4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua sangat
dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua
dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak
itu sendiri – tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan
menyatakanketidaksetujuannya.
5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut
anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam
banyak hal.
6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan
yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam menanggapi
sesuatu.

b. Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)


Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-
teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti
kelompok itu. Peer group terlibat lebih banyak dalam delinquent dan penggunaan obat-
obatan. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor sosial tersebut memiliki dampak yang berarti
kepada keasyikan seseorang dalam menggunakan obat-obatan, yang kemudian
mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan psikologis. Sinaga (2007) melaporkan
bahwa faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah teman sebaya (78,1%).
Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh teman kelompoknya sehingga remaja
menggunakan narkoba. Hasil penelitian ini relevan dengan studi yang dilakukan oleh Hawari
(1990) yang memperlihatkan bahwa teman kelompok yang menyebabkan remaja memakai
NAPZA mulai dari tahap coba-coba sampai ketagihan.

c. Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut sebagai
pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan pasar narkoba
internasional, menyebabkan obat-obatan ini mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa
melaporkan bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah,
termasuk di Sekolah Dasar. Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin
memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu.
Seseorang dapat menjadi pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau
secara bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul secara beruntun akibat dari satu
faktor tertentu.

E. Tanda dan Gejala


Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma
putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau
dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda.

Tanda dan Gejala Intoksikasi


Opiat Ganja Sedatif-Hipnotik Alkohol amfetamine
* eforia * eforia * pengendalian * mata merah * selalu
* mengantuk * mata merah diri berkurang * bicara cadel terdorong
* bicara cadel * mulut * jalan * jalan untuk
* konstipasi kering sempoyongan sempoyongan bergerak
* penurunan * banyak * mengantuk * perubahan * berkeringat
kesadaran bicara *memperpanjang persepsi * gemetar
dan tertawa tidur * penurunan * cemas
* nafsu * hilang kemampuan * depresi
makan kesadaran menilai * paranoid
meningkat
* gangguan
Persepsi

Tanda dan Gejala Putus Zat


Opiat Ganja Sedatif- Alkohol amfetamine
Hipnotik
* nyeri * jarang * cemas * cemas * cemas
* mata dan ditemukan * tangan * depresi * depresi
hidung berair gemetar * muka merah * kelelahan
* perasaan * perubahan * mudah * energi
panas dingin persepsi marah berkurang
* diare * gangguan * tangan * kebutuhan
* gelisah daya ingat gemetar tidur
* tidak bisa * tidak bisa * mual meningkat
Tidur tidur muntah
* tidak bisa
Tidur

F. Dampak Penyalahgunaan NAPZA


Martono (2006) menjelaskan bahwa penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak
yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta
masyarakat, bangsa, dan negara.
Bagi diri sendiri. Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi
otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang
dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak,
kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-
nilai, dan masalah ekonomi dan hukum. Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang
ditimbulkan pada para pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis:
1) Upper yaitu jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu,
ekstasi dan amfetamin,
2) Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang
memakai jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif
seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan
3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat racunnya
dibandingkan dengan kegunaan medis.
Bagi keluarga. Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana
nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu karena
memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka.
Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat
pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan
menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan.
Bagi pendidikan atau sekolah. NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang
sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan
dan perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang
sekolah dan meningkatnya perkelahian.
Bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan
terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap
perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan
narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya
negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta
sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.

G. Penanggulangan Masalah NAPZA


Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan
sampai pemulihan (rehabilitasi).
1) Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a) Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA
b) Deteksi dini perubahan perilaku
c) Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak pada
narkoba”
2) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi
adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a) Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami
gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien
hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
b) Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein,
bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat
dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara
penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian
substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya
obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang
ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
3) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui
pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang
menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal
mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial,
dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan
sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi
(detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan
program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang
bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari,
2003). Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena
tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang
kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien
mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan
dengan pemantapanterapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit
rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan.
Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut
medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun.
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi
tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi


sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu
(craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi
diharapkan penggunaNAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan
lingkungannya.

H. Jenis program rehabilitasi:


a) Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat
(reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan
keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat
rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program
rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.

b) Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua
berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan
tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan
sesama rekannya maupun personil yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun
klien telah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum
hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA kembali atau craving masih sering
muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur
(insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi
dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan
catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan
ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini
yang penting adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok. Untuk
mencapai tujuan psikoterapi, waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang
tidak cukup; oleh karena itu, perlu dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan
(program rehabilitasi). Dengan demikian dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang
tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi. Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini
adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai rehabilitasi
keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983 dikutip dari Hawari, 2003)
menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami
aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaanNAPZA.

c) Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat.
Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor,
setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai
konsultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya
secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan
mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving) dan mencegah relaps. Dalam program
ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan
perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab
terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan hukuman bagi
yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.

d) Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah
cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan
keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan
keagamaan atau keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada
diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali
dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko
kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%,
dan apabila tidak sama sekali menjalankanibadah agama risiko kekambuhan mencapai
71,6%.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks.


Para profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik
umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien
mereka. Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh
petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang
menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi krisis dari
masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan mental baik
sifatnya kronis ataupunakut.

B. Saran
Rangkaian kegiatan praktik keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh
perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat
darurat.Keperawatan Kegawat Daruratan (emergency Nursing) Adalah bagian dari
keperawatan dimana perawat memberikan asuhan kepada klien yang sedang mengalami
keadaan yang mengancam kehidupan karena sakit atau kecelakaan.
DAFTAR PUSTAKA

Tom, Kustedi.1999. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar .Bandung : Yayasan Al-


Ghifari
Morgan. 1991. Segi PraktisPsikiatri. Jakarta : Bina rupa aksara
Kaplan dan Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri, Edisi 7, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Bina
Rupa Aksara.
Maramis. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University
Press.
Kusuma,Widjaja. 1997. Kedaruratan Psikiatri dalam Praktek. Jakarta :
Professional Books
https://elvizulianisehatidotcom.wordpress.com/tag/kegawatdaruratan-psikiatri/
(tambahan materi diakses pada 26 mei2017)

Anda mungkin juga menyukai