Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menyingkirkan penyebab organik dari
psikotiknya (gangguan mental organik). Selain itu, pasien dengan gangguan psikotik juga
sering terdapat gangguan fisik yang menyertai karena perawatan diri yang kurang.
Pemeriksaan penunjang dilakukan jika (Permenkes, 2014):
a. Dicurigai adanya penyakit fisik yang menyertai untuk menyingkirkan diagnosis
banding gangguan mental organik
b. Apabila ada kesulitan dalam merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut,
maka pada faskes primer yang mempu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang
sesuai seperti: darah perifer lengkap, elektrolit, gula darah, fungsi hati, fungsi ginjal,
serta radiologi dan EKG.
9. Diagnosis Banding
Gangguan skizafektif
Epilepsi dan psikosis yang diinduksi oleh obat-obatan
Keadaan paranoid involusional
Gangguan waham menetap
Gangguan kepribadian
10. Tatalaksana
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama
menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental. Terapis
jangan melihat pada penderita skizofrenia sebagai penderita yang tidak dapat
disembuhkan lagi atau suatu makhluk yang aneh dan inferior, seperti orang dengan
penyakit lepra dahulu. Bila sudah dapat diadakan kontak, maka dilakukan bimbingan
tentang hal-hal yang praktis. Biarpun penderita mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi
dengan pengobatan dan bimbingan yang baik penderita dapat ditolong untuk berfungsi
terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar rumah serta dapat membesarkan dan
menyekolahkan anaknya. Keluarga atau orang lain di lingkungan penderita diberi
penerangan (manipulasi lingkungan) agar mereka lebih sabar menghadapinya (Maramis,
2012).
Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah: pertama untuk
mengendalikan gejala aktif dan kedua mencegah kekambuhan. Efektivitas antipsikotik
dalam pengobatan skizofrenia telah dibuktikan oleh berbagai penelitian buta ganda yang
terkontrol. Untuk antipsikotik tipikal atau generasi pertama, tidak ada bukti bahwa obat
yang satu lebih baik daripada yang lain untuk gejala-gejala tertentu (Maramis, 2012).
Strategi pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau kronis. Fase
akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang
perlu segera diatasi. Tujuan pengobatan disini adalah mengurangi gejala psikotik yang
parah. Dengan fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang dalam waktu 2-3
minggu. Biarpun tetap masih ada waham dan halusinasi, penderita tidak begitu
terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif, mau ikut serta dalam kegiatan
lingkungannya dan mau turut terapi kerja (Maramis, 2012).
Setelah 4-8 minggu, pasien masuk ke tahap stabilisasi sewaktu gejala-gejala
sedikit banyak sudah teratasi, tetapi risiko relaps masih tinggi, apalagi bila pengobatan
terputus atau pasien mengalami stres. Sesudah gejala-gejala mereda, maka dosis
dipertahankan selama beberapa bulan lagi, jika serangan itu baru yang pertama kali. Jika
serangan skizofrenia itu sudah lebih dari satu kali, maka sesudah gejala- gejala mereda,
obat diberi terus selama satu atau dua tahun (Maramis, 2012).
Setelah 6 bulan, pasien masuk fase rumatan (maintenance) yang bertujuan untuk
mencegah kekambuhan. Kepada pasien dengan skizofrenia menahun, neuroleptika diberi
dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik-turun sesuai
dengan keadaan pasien (seperti juga pemberian obat kepada pasien dengan penyakit
badaniah yang menahun, misalnya diabetes melitus, hipertensi, payah jantung, dan
sebagainya). Senantiasa kita harus waspada terhadap efek samping obat. Strategi rumatan
adalah menemukan dosis efektif terendah yang dapat memberikan perlindungan terhadap
kekambuhan dan tidak mengganggu fungi psikososial pasien (Maramis, 2012).
Hasil pengobatan akan lebih baik bila antipsikotik mulai diberi dalam dua tahun
pertama dari penyakit. Tidak ada dosis standar untuk obat ini, tetapi dosis ditetapkan
secara individual. Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan profil efek samping dan
respons pasien pada pengobatan sebelumnya. Ada beberapa kondisi khusus yang perlu
diperhatikan, misalnya pada wanita hamil lebih dianjurkan haloperidol, karena obat ini
mempunyai data keamanan yang paling baik. Pada pasien yang sensitif terhadap efek
samping ekstrapiramidal lebih baik diberi antipsikotik atipik, demikian pula pada pasien
yang menunjukkan gejala kognitif atau gejala negatif yang menonjol (Maramis, 2012).
Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia, pemberian
obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek samping, karena pengalaman
yang buruk dengan pengobatan akan mengurangi ketaatberobatan (compliance) atau
kesetiaberobatan (adherence). Dianjurkan untuk menggunakan antipsikotik atipik atau
antipsikotik tipikal, tetapi dengan dosis yang rendah (Maramis, 2012).
Obat antipsikotik
Indikasi dan penggunaan antipsikotik
Pada umumnya obat antipsikotik dipakai terhadap (Maramis, 2012):
Sindrom otak organik yang akut dan menahun, misalnya pada delirium.
Skizofrenia, psikosis manik-depresif jenis mania, parafrenia involusi dan psikosis
reaktif (kecuali terhadap psikosis depresi reaktif).
Gangguan non-psikiatrik: misalnya (hiperemesis, alergi dan untuk potensiasi suatu
analgetikum.
Dosis anti psikotik disesuaikan sehingga tercapai dosis terapeutik. Dapat dimulai
dengan dosis yang rendah lalu pelan-pelan dinaikkan, dapat juga langsung diberi dosis
tinggi, tergantung pada keadaan pasien dan kemungkinan timbulnya efek samping. Bila
pasien dirawat di rumah sakit, maka boleh segera diberikan dosis tinggi karena
pengawasannya lebih baik (Maramis, 2012).
Bila sebelumnya pasien pernah memakai suatu antipsikotik dengan hasil yang baik
dan sekarang memerlukan lagi medikasi antipsikotik, maka sebaiknya diberi obat yang
sama seperti dahulu, karena sensitivitas pasien terhadap berbagai antipsikotik berbeda.
Bila kita memberi antipsikotik yang lain, maka mungkin kemanjurannya untuk pasien itu
kurang dan efek sampingnya belum diketahui, jadi lebih baik kita mengambil yang sudah
pernah dipakai dan hasilnya baik (Maramis, 2012).
Belum ada antipsikotik yang paling unggul terhadap skizofrenia. Karena itu, dalam
memilih suatu antipsikotik terhadap psikosis perlu diperhatikan gejala sasaran (target
symptom). Jangan lupa bahwa kita harus memakai juga cara-cara pengobatan yang lain,
sesuaidengan pendekatan holistik (Maramis, 2012).
Tabel 1. Perbandingan antara obat-obat antipsikotik yang terdapat di Indonesia
Efek Samping
Tergantung pada sensitivitas dan keadaan tubuh pasien, terdapat banyak macam
efek samping yang mungkin timbul karena obat psikoterapik, terutama karena obat
antipsikotik. Hipotensi ortostatik kadang-kadang terjadi, terutama dengan antospikotik
potensi rendah (dosis efektif tinggi). Biasanya hanya sinkope dan dengan berbaring saja
pada umumnya sudah dapat diatasi. Terutama dalam minggu pertama pasien jangan
langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi duduk dahulu sebentar. Bila terjadi syok
karena antipsikotik, maka diberi infus, bila tidak menolong atau syok itu berat, maka
boleh diberi nor-adrenalin. Jangan diberikan adrenalin, karena tekanan darahnya semakin
tambah turun (adrenaline reversal) (Maramis, 2012).
Efek samping neurologis dan autonomik/hormonal biasanya timbul dalam
minggu pertama dan hilang lagi. Bila persisten dan/atau sangat menganggu sebaiknya
obat psikotropik itu dikurangi dosisnya atau dihentikan sama sekali, hingga efek samping
itu hilang, lalu diberi lagi dengan dosis yang lebih kecil atau diganti dengan obat
psikotropik lain. Terhadap efek samping neurologis dapat diberi obat anti-Parkinson,
terutama pada Parkinsonisme disebabkan obat (drug-induced Parkinsonism). Pada
diskinesia dapat ditambahkan suntikan difenhidramin pada hari-hari pertama timbulnya,
terutama bila diskinesia itu keras. Diskinesia juga cukup sering ditimbulkan oleh obat
antimuntah yang sering dipakai pada gastritis, vertigo atau nausea waktu influenza atau
febris. Untuk akatisia, yaitu kegelisahan psikis dan motorik, obat pilihan adalah
propranolol. Dapat juga diberikan benzodiazepine (Maramis, 2012).
Bila terjadi ikterus atau leukopenia, maka obat itu harus segera dihentikan sama
sekali. Bila timbul efek samping psikiatrik maka obat neuroleptic itu dihentikan sama
sekali hingga efek samping hilang, lalu dimulai lagi dengan dosis yang lebih kecil atau
diganti dengan obat lain (Maramis, 2012).
Tabel 2. Efek samping obat-obat psikotropik (Maramis, 2012)
A. Neurologis
1. Tremor
2. Parkinsonisme
3. Diskinesia: mata terputar ke atas (oculogyric crisis), tortikolis, lidah terjulur
(protrusio), sukar menelan; semua karena spasme otot
4. Akatisia: tidak dapat duduk lama di satu tempat, berjalan-jalan seperti gelisah
(restless leg syndrome)
5. Diskinesia tardiva
B. Autonomik atau hormonal
1. Rasa mengantuk (hati-hati bila mengendarai mobil atau bekerja dengan mesin
yang memerlukan konsentrasi pikiran tinggi)
2. Rasa lelah
3. Hipotensi ortostatik
4. Rasa mulut kering
5. Tidakhikardia
6. Kesukaran kencing kadang-kadang retensi, terutama dengan antidepresan
trisiklik
7. Konstipasi
8. Gangguan menstruasi
9. Galaktorea
10. Penurunan potensi dan/atau libido seksual atau jangka waktu mencapai
orgasme diperpanjang hingga anorgasmia kadang-kadang
11. Gangguan akomodasi
12. Rasa mabuk atau ringan dalam kepala
13. hipersalivasi
C. Psikiatrik
1. Berbalik menjadi hipomanik
2. Gejala-gejala sindrom otak organic yang akut (eksitasi, stupor, delirium)
D. Lain-lain
1. Alergi
2. Ikterus
3. Fotosensitivitas
4. Kenaikan berat badan
5. Leukopeni/agranulositosis
Lobotomi Prefrontal
Dapat dilakukan bila terapi lain yang diberikan secara intensif selama kira-kira 5
tahun tidak berhasil dan bila penderita sangat mengganggu lingkungannya. Cara ini
praktis sudah ditinggalkan sekarang (Maramis, 2012).
Jadi prognosis skizofrenia tidak begitu buruk seperti yang diduga orang sampai
dengan pertengahan abad ke-20. Terlebih dengan obat antipsikotik, lebih banyak
penderita dapat dirawat di luar rumah sakit jiwa. Dan memang seharusya demikian.
Sedapat-dapatnya penderita harus tinggal di lingkungannya sendiri, harus tetap
melakukan hubungan dengan keluarganya untuk memudahkan proses rehabilitasi. Dalam
hal ini dokter umum dapat memegang peranan penting mengingat kurangnya ahli
kedokteran jiwa di negara kita. Dokter umum, lebih-lebih dengan berkembangnya konsep
dokter keluarga, lebih mengenal penderita dengan lingkungannya, keluarga, rumah dan
pekerjaannya, sehingga ia lebih dapat menolong penderita hidup terus secara wajar
dengan segala suka dan dukanya, seperti juga pasien dengan penyakit fisik kronis lain
(Maramis, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Maramis, Willy F., Maramis, Albert A. 2012. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2.
Surabaya: Airlangga University Press
Permenkes RI. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Menteri Kesehatan Republik Indonesia