Anda di halaman 1dari 7

MDM Patofisiologi, Pathogenesis Dan Tatalaksana Gangguan Cemas

A. Patofisiologi Gangguan Cemas


Kecemasan adalah sinyal peringatan; memperingatkan akan adanya bahaya yang
akan terjadi dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi
ancaman dan kecemasan ini adalah respon yang normal dan adaptif. Kecemasan dianggap
sebagai respon normal ketika kecemasan itu disebabkan oleh adanya ancaman yang
diketahui. Apabila individu mampu mengatasi ancaman atau sumber tekanan (stresor) ini,
maka kecemasan akan hilang.
Gangguan kecemasan adalah sekelompok kondisi yang memberi gambaran
penting tentang kecemasan yang berlebihan, disertai respons perilaku, emosional, dan
fisiologis. Individu yang mengalami gangguan kecemasan dapat memperlihatkan perilaku
yang tidak lazim seperti panik tanpa alasan, takut yang tidak beralasan terhadap objek
atau kondisi kehidupan, melakukan tindakan berulang-ulang tanpa dapat dikendalikan,
mengalami kembali peristiwa yang traumatik, atau rasa khawatir yang tidak dapat
dijelaskan atau berlebihan.
Pada kesempatan yang jarang terjadi, banyak orang memperlihatkan salah satu
dari perilaku yang tidak lazim tersebut sebagai respons normal terhadap kecemasan.
Perbedaan antara respons kecemasan yang tidak lazim ini dengan gangguan kecemasan
ialah bahwa respons kecemasan cukup berat sehingga bisa mengganggu kinerja individu,
kehidupan keluarga, dan gangguan sosial.
Neurotransmitter memegang peran penting dalam patofisiologi gangguan cemas
menyeluruh. Pada sistem saraf pusat, neurotransmitter seperti norepinefrin, serotonin,
dopamine, dan GABA memegang peran penting. Neurotransmitter dan peptida lain
seperti corticotropin-releasing factor, mungkin ikut terlibat dalam patofisiologi penyakit
ini walaupun belum jelas pengaruhnya. Sistem saraf pusat simpatik memegang peran
penting dalam terjadinya manifestasi klinis penyakit ini. Dengan modalitas pencitraan
PET ditemukan bahwa terjadi peningkatan aliran neurotransmitter pada regio
parahipokampus dan penurunan ikatan serotonin tipe 1A dengan reseptornya pada region
anterior dan posterior korpus singulata pasien.[2,3]
Bagian dari otak yang terlibat dalam patofisiologi gangguan cemas menyeluruh
adalah amigdala yang memegang peran penting dalam memodulasi ketakutan dan
kecemasan. Pada pemeriksaan pencitraan otak pasien gangguan cemas menyeluruh
ditemukan bahwa terjadi peningkatan respons pada stimulus kecemasan. Peningkatan
respons ini terjadi karena penurunan ambang batas ketika merespon pada peristiwa sosial
biasan. Amigdala dan sistem limbik berhubungan erat dengan korteks prefrontal. Pada
pasien cgm juga dapat ditemukan aktivasi abnormal sistem limbik dan korteks prefrontal
yang berhubungan dengan respons klinis pada terapi farmakologis dan non farmakologis
pada pasien. Pada pemeriksaan MRI ditemukan bahwa pasien dengan gangguan cemas
menyeluruh memiliki volume lobus temporal yang lebih kecil.[2,4]

B. Patogenesis Gangguan Cemas

C. Tatalaksana Gangguan Cemas


Keputusan untuk meresepkan suatu anti kecemasan pada pasien dengan gangguan
kecemasan menyeluruh harus jarang dilakukan pada kunjungan pertama. Karena sifat
gangguan yang berlangsung lama, suatu rencana pengobatan harus dengan cermat
dijelaskan. Dua obat utama yang harus dipertimbangkan dalam pengobatan gangguan
kecemasan menyeluruh adalah buspirone dan benzodiazepine.
Penatalaksanaan gangguan cemas menyeluruh bisa saja diperlukan sepanjang hidup.
Biasanya pengobatan dilakukan selama 6-12 bulan untuk menghilangkan gejala pada
pasien. Namun gangguan cemas menyeluruh dapat bermanifestasi menjadi penyakit
kronis sehingga kadang membutuhkan pengobatan lebih lama. Kira kira 25% pasien
mengalami kekambuhan dalam bulan pertama setelah dihentikan terapi dan 60-80%
kambuh selama perjalanan tahun selanjutnya.[6]
Penatalaksanaan gangguan cemas menyuluruh biasanya dilakukan dengan rawat
jalan. Indikasi rawat inap pada pasien gangguan cemas menyeluruh adalah bila disertai
dengan depresi mayor yang memiliki keinginan bunuh diri, atau gangguan mental lain,
dan berpotensi membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Pengobatan bagi kecemasan, biasanya memulai dengan obat pada rentang rendah
terapeutiknya dan meningkatkan dosis untuk mencapai respons terapeutik. Pemakaian
benzodiazepine dengan waktu paruh sedang (8-15 jam), kemungkinan akan menghindari
beberapa efek merugikan yang berhubungan dengan penggunaan benzodiazepin dengan
waktu paruh panjang. Pemakaian dosis terbagi mencegah perkembangan efek merugikan
yang berhubungan dengan kadar plasma puncak yang tinggi. Perbaikan yang didapatkan
dengan benzodiazepine mungkin lebih dari sekedar efek anti kecemasan. Sebagai contoh,
obat dapat menyebabkan pasien memandang beberapa kejadian dalam pandangan yang
positif. Obat juga dapat memiliki kerja disinhibisi ringan, serupa dengan yang dilihat
setelah sejumlah kecil alcohol.
Penatalaksanaan gangguan cemas menyeluruh terdiri dari nonmedikamentosa dan
medikamentosa. Penatalaksanaan non medikamentosa adalah dilakukan psikoterapi.
Psikoterapi yang terpilih adalah CBT. Sedangkan, penatalaksanaan medikamentosa
diberikan obat golongan benzodiazepine, merupakan obat pilihan pertama untuk
gangguan kecemasan menyeluruh.
Terapi gangguan cemas menyeluruh dapat dibagi menjadi dua yakni terapi
farmakologis dan psikoterapi.

Medikamentosa
Pilihan medikamentosa yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan gangguan cemas
menyeluruh adalah:
a. Benzodiazepin

Obat pilihan untuk mengatasi gangguan cemas menyeluruh adalah obat golongan
benzodiazepin. Pemberian obat golongan benzodiazepin dilakukan secara bertahap
dimulai dengan pemberian dosis terendah dinaikan secara berkala sesuai kebutuhan.
Golongan benzodiazepin pilihan adalah obat kerja cepat waktu paruh menengah dengan
dosis terbagi. Hal ini dilakukan untuk mencegah efek samping, ketergantungan dan efek
putus obat. Lama pengobatan rata-rata 4-6 minggu dilanjutkan dengan masa penurunan
dosis berkala selama 1-2 minggu.[1,2]

Cara kerja obat golongan benzodiazepin adalah bekerja pada reseptor GABA. Asam
amino GABA adalah neurotransmitter inhibisi yang utama di otak. Ikatan antara GABA
dengan reseptornya akan memasukkan ion klorida secara pasif ke dalam sel sehingga
terjadi hiperpolarisasi neuron. Kondisi hiperpolarisasi ini akan menyebabkan
penghambatan pelepasan transmisi neuronal.[1,2]

Beberapa golongan benzodiazepin yang dapat digunakan pada gangguan cemas


menyeluruh adalah diazepam, clonazepam, alprazolam, lorazepam dan clobazam. Efek
samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah mengantuk, sakit
kepala, ataksia, dan peningkatan nafsu makan.[1,2]

b. Buspiron

Buspiron efektif pada 60-80% penderita gangguan cemas menyeluruh. Buspiron efektif
untuk memperbaiki gejala kognitif. Buspiron tidak terlalu efektif dalam memperbaiki
gejala somatis. Obat ini tidak memiliki efek putus obat. Obat ini tidak bekerja cepat, efek
obat baru mulai dirasakan setelah 2-3 minggu pengobatan. Pasien yang sebelumnya
mendapat terapi benzodiazepin tidak memiliki efek pada pemberian buspiron. Pemberian
benzodiazepin bersamaan dengan buspiron memberikan respon yang baik. Pemberian
kombinasi terapi benzodiazepin dan buspiron diberikan selama 2-3 minggu pertama
dilanjutkan dengan penurunan dosis berkala benzodiazepin saat buspiron sudah mulai
menunjukkan efek terapi.[1,2]

c. SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor)

Pemberian SSRI efektif terutama pada pasien gangguan cemas menyeluruh dengan
gangguan depresi. Obat golongan SSRI yang menjadi pilihan adalah sertralin dan
paroxetin dibanding fluoksetin. Pemberian fluoksetin dapat meningkatkan kecemasan
sementara.[1,2]

Tatalaksana Non-farmakologi

Tatalaksana non-farmakologis memiliki peranan penting dalam penatalaksanaan


gangguan cemas menyeluruh. Terapi yang dapat dilakukan adalah terapi kognitif-perilaku
(cognitive behavioural therapy) dan terapi suportif.

a. Terapi Kognitif-Perilaku

Terapi kognitif-perilaku dilakukan dengan mengajak pasien secara langsung mengenali


distorsi kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung.
Teknik yang biasa dilakukan pada pendekatan perilaku adalah teknik relaksasi
dan biofeedback. Selain itu, dapat juga dilakukan metode restrukturisasi, terapi relaksasi
dan interoceptive. Tujuan terapi ini adalah membantu pasien memahami pemikirannya
secara otomatis dan keyakinan yang salah sehingga terjadi respons emosional berlebihan
seperti gangguan cemas menyeluruh. [8,9]

b. Terapi Suportif

Terapi suportif dilakukan dengan pasien diberikan penegasan kembali dan kenyamanan.
Terapis juga mengajak pasien menggali potensi-potensi yang ada dan belum tampak
dalam dirinya, didukung egonya agar dapat beradaptasi optimal dalam menjalankan
fungsi sosial dan pekerjaannya.[1,2]

c. Psikoterapi Berorientasi Tilikan


Terapi ini dilakukan dengan mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik
bawah sadar, menilik kekuatan egonya, relasi objek serta keutuhan self pasien. Dari
pemahaman pasien akan konsep-konsep tersebut, terapis akan mampu memperkirakan
sejauh mana dapat berubah menjadi pribadi yang lebih matur. Terapis juga dapat
membantu pasien agak mampu beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.[1,2]
DAFTAR PUSTAKA
Bhatt, N, V. 2017. Anxiety Disorders. Medscape. Dapat diakses pada:
https://emedicine.medscape.com/article/286227-overview#a2
Ham, P. Waters, D. Oliver, M. 2005. Treatment of Panic Disorder. Am Fam
Physician. 15; 71 (4): 733-739.
Okta, D. Tendry, S. Rika, L. 2017. Gangguan Cemas Menyeluruh. Lampung:
Universitas Lampung.
Redayanti, P. 2014. Gangguan Cemas Menyeluruh Buku Ajar Psikiatri Ed 2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Spett, M. 2008. Cognitive-Behaviour Therapy For Panic Attacks.

Anda mungkin juga menyukai