Anda di halaman 1dari 11

1.

Anatomi Hidung, Sinus paranasal, dan Sistem Integumen

1.1 Anatomi hidung

Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian

karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang

tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian

atasnya terdiri dari tulang dan tiga perlima bawahnya tulang rawan (Ballenger,

2003).

Rangka hidung bagian luar dibentuk oleh dua os nasal, prosesus frontal os

maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior atau

kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago septum nasi (Ballenger, 2003).

Bagian lateral dari ala nasi juga dibentuk oleh beberapa kartilago berukuran kecil

yang biasa disebut kartilago alar minor. Bentuk dan stabilitas dari kartilago alar

yang meliputi krus medial dan lateral menentukan bentuk tip nasi dan hidung.

Selain krus media, bagian inferior septum dan kolumela juga memiliki peranan

pada stabilitas hidung (Probst dkk., 2006).

Pada tulang tengkorak lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut

apertura piriformis. Tepi latero-superior dibentuk oleh ke dua os nasal dan

prosesus frontal os maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila.

Di garis tengah ada penonjolan yang disebut spina nasalis anterior (Ballenger,

2003).
Kavum nasi dimulai di bagian anterior yang disebut vestibulum nasi

dengan batas posteriornya limen nasi atau nasal valve. Nasal valve adalah daerah

tersempit dari traktus respiratorius atas dan merupakan daerah yang memiliki

peran utama pada aerodinamik dari aliran udara pada hidung (Probst dkk, 2006).
Septum nasi adalah sekat yang membagi kavum nasi menjadi dua ruang

yaitu kavum nasi kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina

perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum kuadrilateral,

premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posteroinferior septum nasi

dibentuk oleh os vomer, krista maksila, krista palatina serta krista sphenoid

(Ballenger, 2003).

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus

horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan

inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os

sphenoid (Ballenger, 2003).

Dinding lateral hidung dibentuk oleh permukaan dalam prosessus frontalis

os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan

bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan

lamina pterigoideus medial (Ballenger, 2003).

Fossa nasalis pada orang dewasa memiliki panjang kira-kira 7,5 cm dan

tinggi 5 cm (Bull, 1987). Fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah

konka. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior,

celah antara konka media dan inferior disebut meatus medius dan sebelah atas

konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang dapat ditemukan adanya

konka ke empat yang disebut konka suprema. Meatus inferior adalah meatus yang

paling besar dari ke tiga meatus yang ada. Meatus inferior merupakan tempat

bermuaranya duktus naso lakrimalis. Meatus media adalah tempat bermuaranya

sinus frontal, sinus maksila dan sel-sel anterior sinus etmoid. Meatus superior atau
fisura etmoid adalah celah sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di

atas konka media, tempat bermuaranya sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus

sfenoid (Ballenger, 2003).

Hidung tersusun atas otot-otot yang berukuran kecil. Otot-otot di daerah

hidung terdiri dari otot proserus, otot nasalis, otot depresor septi, otot dilator nares

posterior, otot dilator nares anterior dan kaput angularis otot kuadratus labii

superior (Ballenger, 2003).

Gambar 2. 1 Anatomi hidung (Putz dan Pabst, 2000)

Pendarahan untuk hidung luar terutama berasal dari cabang-cabang arteri

nasalis angularis dan nasalis lateralis arteri maksilaris eksterna dan cabang

infraorbitalis arteri maksilaris interna. Rongga hidung mendapat pendarahan dari

cabang sfenopalatina arteri maksilaris interna dan cabang etmoidalis arteri

oftalmika. Venanya bermuara di vena fasialis anterior dan vena oftalmika

(Ballenger, 2003).
Saraf motorik untuk hidung berasal dari saraf fasialis. Saraf sensoris

termasuk cabang infratroklearis dan cabang nasalis saraf oftalmikus dari saraf

trigeminus dan saraf infraorbita cabang saraf maksilaris dari saraf trigeminus

(Ballenger, 2003).

Mukosa sinonasal terdiri dari lapisan epitel, lamina propia, sub mukosa

dan periosteum. Epitel kavum nasi adalah epitel kolumnar berlapis semu bersilia

dengan sel-sel goblet di dalamnya. Tiga fungsi utama dari hidung adalah fungsi

penghidu, respirasi dan proteksi. Ke tiga fungsi di atas ditunjang oleh anatomi dari

kavum nasi, yang membutuhkan daerah permukaan yang luas. Aliran turbulensi

udara hidung adalah fisiologi utama dari fungsi hidung. Aliran turbulensi udara ini

meningkatkan kontak antara udara inspirasi dengan mukosa hidung, memberi

pengaruh tidak saja pada fungsi respirasi tetapi juga fungsi penghidu dan proteksi

( Walsh dan Korn, 2006) .

Kondisi dari mukosa hidung, kelembaban serta permukaan dari kavum

nasi yang bersilia meningkatkan kontak dengan udara inspirasi, dapat

memaksimalkan fungsi penghidu, menghangatkan, melembabkan dan menyaring

udara yang masuk sebelum mencapai saluran nafas bagian bawah (Walsh dan

Korn, 2006).

Adanya vibrisae pada orifisium kavum nasi menyaring partikel besar yang

masuk bersama dengan udara inspirasi sedangkan partikel yang berukuran lebih

kecil mencapai mukosa dan dibalut oleh mukus. Adanya bersihan mukosiliar akan

membawa partikel yang telah dibalut oleh mukus termasuk di dalamnya bahan

patogen keluar dari hidung dan sinus (Walsh dan Korn, 2006).
1.2 Anatomi sinus paranasal

Kavum nasi dikelilingi oleh ruangan yang berisi udara yang dikenal

dengan nama sinus paranasal. Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada

setiap sisi hidung: sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri , sinus

maksilaris kanan dan kiri, serta sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua rongga

sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, hanya

lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit, berisi udara dan semua bermuara di

rongga hidung melalui ostiumnya masing-masing (Ballenger, 2003).

Sinus paranasal secara klinis dibagi menjadi dua yakni kelompok sinus

anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila

dan sel-sel anterior sinus etmoid yang bermuara di meatus media. Kelompok

posterior terdiri dari sinus sphenoid dan sel- sel posterior sinus etmoid yang

bermuara di meatus superior (Ballenger, 2003).

Sinus maksila atau dikenal juga dengan nama antrum Highmore adalah

merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila berbentuk piramid

irregular dengan dasarnya menghadap fossa nasalis dan puncaknya ke arah apeks

prosesus zigomatikus os maksila (Ballenger, 2003). Dinding anterior sinus

maksila adalah permukaan fasial os maksila, sedangkan dinding posteriornya

adalah fossa infratemporal. Dinding medial sinus maksila adalah dinding lateral

kavum nasi, Dinding superiornya adalah dasar orbita, sedangkan dasar sinus

maksila adalah prosesus alveolar dari maksila. Ostium alami dari sinus maksila
berada di superior dinding medial sinus dan drainasenya mengalir ke arah

infundibulum etmoid dan hiatus semilunaris

Sinus frontal memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, dan seringkali

juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Kadang-

kadang juga ada sinus yang rudimenter. Sinus ini berhubungan dengan meatus

media melalui duktus nasofrontal, yang berjalan ke bawah dan belakang serta

bermuara meatus media (Ballenger, 2003).

Sel-sel atau labirin etmoid terletak di kiri-kanan kavum nasi kira-kira

sebelah lateral di setengah atau sepertiga atas hidung dan di sebelah medial orbita.

Ada dua kelompok sel-sel: kelompok anterior yang bermuara ke meatus media

dan kelompok posterior yang bermuara ke meatus superior. Sel-sel posterior

jumlahnya lebih sedikit tapi berukuran lebih besar (Ballenger, 2003).

Sinus sfenoid terletak di dalam korpus os etmoid, ukuran serta bentuknya

bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang

tipis. Masing-masing sinus sfenoid berhubungan dengan meatus superior melalui

celah kecil menuju ke resesus sfeno-etmoidalis (Ballenger, 2003). Untuk drainase,

sinus sfenoid tergantung dari aliran mukosiliar.


1.3 Anatomi Sistem Integumen

3.1 Definisi

Sistem integumen adalah sistem organ yang membedakan,

memisahkan, dan menginformasikan kita dari lingkungan sekitar. Sistem

ini seringkali merupakan bagian dari sistem organ terbesar yang

mencakup kulit, rambut, kuku, kelenjar keringat, kelenjar minyak dan

kelenjar susu. Sistem integumen mampu memperbaiki dirinya sendiri

apabila terjadi kerusakan yang tidak terlalu parah (self-repairing) dan

mekanisme pertahanan tubuh pertama (pembatas antara lingkungan luar

tubuh dengan dalam tubuh). Lapisan kulit dibagi menjadi 3 lapisan yakni

epidermis, dermis dan subkutis (hipodermis) (Andriyani, Triana &

Juliarti, 2015).

Gambar 2.1 Anatomi Kulit (Standring, et al. 2016)


10
3.2 Struktur Anatomi Kulit

Kulit terdiri dari 3 lapisan utama yakni:

1. Epidermis:

Epidermis merupakan bagian kulit paling luar. Ketebalan

epidermis berbeda-beda pada setiap bagian tubuh, yang paling

tebal berukuran 1 mm misalnya pada telapak tangan dan

telapak kaki, dan yang paling tipis berukuran 0,1 mm terdapat

pada kelopak mata, pipi, dahi dan perut. Sel-sel epidermis

disebut keratinosit, epidermis melekat erat pada dermis karena

secara fungsional epidermis memperoleh zat-zat makanan dan

cairan antar sel dari plasma yang merembes melalui dinding-

dinding kapiler dermis ke dalam epidermis (Andriyani, Triana

& Juliarti, 2015).

Epidermis tersusun dari beberapa lapisan seperti

keratinocytes, melanocytes, sel langerhans, lymphocytes dan

sel merkel (Standring,

et al. 2016).
Gambar 2.2 Lapisan Epidermis (Standring, et al. 2016)

2. Dermis:

Dibawah epidermis terdapat lapisan dermis dimana


merupakan

jaringan iregular yang menghubungkan serat-serat kolagen

dan terdiri dari lapisan elastis yang terbentuk dari

glycosaminoglycans, glicoprotein dan cairan. Dermis juga

mengandung saraf, pembuluh darah, jaringan lymphatics dan

epidermal. Manfaat dari dermis yakni mempertahankan

keelastisan kulit dengan mengatur jaringan kolagen dan

lapisan elastisnya. Dermis tersusun dari 2 lapisan yakni

lapisan papilari (membuat mekanisme anchorage, mendukung

metabolisme dan mempertahankan kerusakan pada epidermis,

juga menjaga sistem saraf dan pembuluh darah), dan lapisan

retikular (menentukan

bentuk dari kulit) (Standring, et al. 2016).

3. Hipodermis:
Lapisan terakhir yakni hipodermis yang merupakan lapisan

penghubung beberapa jaringan yang tebal yang berhubungan

dengan lapisan terakhir dari dermis. Jaringan adiposa yang

biasannya terletak antara dermis dan otot-otot pada tubuh

(Standring, et al. 2016).

Andriyani, R., Triana, A. & Juliarti, W., 2015. Buku Ajar Biologi Reproduksi dan

Perkembangan. Edisi 1. Yogyakarta: Deepublish.

Ballenger, John Jacob. Penyakit-penyakit Laring. Dalam: Penyakit Telinga,

Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi XIII Jilid I. Jakarta: Bina Rupa

Aksara. 1994. Hal. 451, 454-460.

Probst, T. M. Brubaker, T. L. 2000. The Effects of Job Insecurity on Employee

Safety Outcomes: Cross-Sectional and Longitudinal Explorations. Journal

Applied Management. Washington State University Vancouver : Department of

Psychology.

Putz, R. dan R. Pabst. 2000. Atlas Anatomi Manusia Sobatta. Jakarta : Buku

Kedokteran ECG.
Standring S, ed. Grays Anatomy: The Anatomical Basis of Clnical Practice. 39th

ed. Elsevier CHurchill Livingstone; 2016:1305-1310.

Walsh, L.V. 2006. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC. Hal. 94-101.

Anda mungkin juga menyukai