Indikasi penggunaan
- Adanya perasaan cemas atau khawatir yang tidak realistik terhadap 2 atau lebih hal
yang dipersepsi sebagai ancaman perasaan inimenyebabkan individu tidak mampu
istirahat dengan tenang.
- Terdapat paling sedikit 6 dari 18 gejala gejala-gejala berikut:
Ketegangan motorik:
Hiperaktivitas otomotik:
Tatalaksana Panik
Dalam gangguan akut, sejumlah perawatan farmakologis atau psikologis telah terbukti efektif
pada orang dengan gangguan panik. Sehingga, manajemen harus individual dan didasarkan
pada preferensi pribadi, komorbiditas, respon pengobatan sebelumnya dan tolerabilitas. Agen
farmakologis lini pertama meliputi inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) dan inhibitor
reuptake serotonin-noradrenalin (SNRI), keduanya juga memiliki kemanjuran antidepresan.
Sementara fluoxetine, sertraline, paroxetine, dan SNRI, venlafaxine, telah diselidiki paling
ketat, tampaknya ada sedikit perbedaan dalam kemanjuran di antara kelas-kelas obat ini.
Sebagai aturan umum, agen farmakoterapi yang dipilih harus dimulai dengan dosis yang
sangat rendah. Individu dengan gangguan panik telah ditemukan sangat sensitif terhadap efek
samping dari terapi obat dan bahkan mungkin salah mengira efek samping seperti pusing,
tremor dan takikardia sebagai gejala fisik serangan panik. Dengan demikian, untuk
mendorong kepatuhan pengobatan, penting untuk mempersiapkan pasien untuk terjadinya
efek samping, mis. gangguan gastrointestinal, efek antikolinergik dan gangguan seksual, yang
biasanya terjadi selama pengobatan dimulai. Meskipun beberapa perbaikan gejala mungkin
terbukti dalam satu minggu setelah memulai pengobatan, percobaan akut harus dilakukan
selama sekitar enam hingga delapan minggu. Selama waktu ini, dosis obat harus ditingkatkan
secara bertahap, mis. satu hingga dua minggu sekali, hingga kisaran terapeutik tercapai.
Dalam jangka pendek, adjunctive benzodiazepines, mis. pengobatan clonazepam, juga dapat
membantu dalam mempercepat respon pengobatan, terutama dalam kasus gejala yang parah.
Namun, mengingat profil efek sampingnya yang tidak menguntungkan dan masalah terkait
ketergantungan dan kegelisahan yang meningkat, benzodiazepine tidak boleh digunakan
sebagai monoterapi lini pertama untuk orang dengan gangguan panik.
Berdasarkan pedoman National Institute for Health and Clinical Exellence (NICE), pilihan
terapi terbaik bagi penderita gangguan panik adalah terapi perilaku kognitif, intervensi
farmokologi dengan antidepressan dan pertolongan diri.
Mekanisme kerja obat anti panik adalah menghambat “reuptake” serotonin pada celah
sinaptik antar neuron, sehingga pada awalnya terjadi peningkatan serotonin dan sensitivtas
reseptor (timbul gejala efek samping anxietas, agitasi, insomnia), sekitar 2-4 minggu,
kemudian seiring dengan peningkatan serotonin terjadi penurunan sensitivitas reseptor (down
regulation). Penurunan sensitivitas reseptor tersebut berkaitan dengan penurunan serangan
panik (adrenergic overactivity) dan juga gejala depresi yang menyertai akan berkurang pula.
Penurunan hipersensitivitas melalui dua fase tersebut disebut juga “efek bifasik”.
Interaksi obat
Pengaturan dosis
- Cara terbaik untuk melihat apakah terdapat keseimbangan antara efek samping dan
khasiat obat adalah dengan meneliti sebaik mungkin anatara waktu pemberian obat
dan dosis, dalam hubungan dengan jumlah serangan panik dalam periode waktu
tertentu.
- Mulai dengan dosis rendah, secara perlahan=lahan dosis dinaikkan dalam beberapa
minggu untuk meminimalkan efek samping dan mencegah terjadinya toleransi obat.
Dosis efektif dicapai dalam waktu 2-3 bulan
Apabila dosis tidak dinaikkan secara perlahan-lahan, penderita tidak akan merasakan
manfaatnya, atau malah akan mundur dari perkembangan yang sudah mulai membaik
pada awal pengobatan dalam beberapa minggu.
- Dosis efektif untuk alprazolam pada umumnya sekitar 4 mg/hari, pada beberapa kasus
dapat mencapai 6 mg/hari. Untuk golongan trisiklik, dosis efektif biasanya sekitar
150-200 mg/hari.
- Alprazolam umumnya telah mulai berkhasiat dalam waktu beberapa hari setelah
pemberian obat, sedangkan trisiklik/RIMA/SSRI baru berkhasiat setelah pemberian 4-
6 minggu.
- Imipramine/clomipramine dapat dimulai dengan 25-50 mg/hari, (dosis tunggal pada
malam hari), dinaikkan secara bertahap dengan penambahan 25 mg/hari dengan
selang waktu beberapa hari sampai 1 minggu, sampai tercapai dosis efektif yang
mampu mengendalikan sindrom panik (biasanya sampai sekitar 150-200 mg/hari).
Dengan efek samping obat yang dapat ditoleransi oleh penderita. Dosis efektif
dipertahankan sekitar 6 bulan, kemudian dikurangi secara perlahan-perlahan sampai
1-2 bulan.
- Dosis pemeliharaan (maintenance) umumnya agak tinggi, meskipun sifatnya
individual, imipramine/clomipramine sekitra 100-200 mg/hari dan setraline sekitar
100 mg/hari, serta bertahan untuk jangka waktu yang lama.
Lama pemberian
- Batas lamanya pemberian obat bersifat individual, umumnya selama 6 bulan sampai
12 bulan, kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila kondisi penderita
sudah memungkinkan (bebas gejala dalam kurun waktu tertentu).
- Dalam waktu 3 bulan setelah bebas obat, sekitar 75% penderita menunjukkan gejala
kambuh. Dalam keadaan ini maka pemberian obat dengan dosis semula diulangi
untuk selama 2 tahun. Setelah itu dicoba lagi diberhentikan dengan perlahan-lahan
dalam kurun waktu 3 bulan, dstnya.
Berdasarkan pada data yang dipublikasikan, perbaikan statistik dan klinis yang
signifikan sering dilihat pada SSRI pada minggu kedua sampai keempat. Satu
telaah oleh Davidson et al (2002) mencatat perbaikan yang jelas pada rasa marah/
kesal setelah satu minggu mendapat sertraline, yang mungkin merupakan
prognosticator respons akhir yang berguna (LOE 1) (Davidson et al, 2004). Satu
percobaan yang memadai memerlukan waktu 6-12 minggu, tetapi kilinisi bisa
mengharapkan respon setelah 4-6 minggu dengan dosis yang cukup. Suatu telaah
bupropion (LOE 2) menunjukkan tidak ada perbedaan antara obat dan plasebo
(Davis et al, 2005).
Dua percobaan besar yang terbaru mengisyaratkan adanya harapan bagi SNRI
venlafaxine. Sampai hari ini hasil percobaan itu hanya dipublikasikan dalam
bentuk abstrak (Davidson et al., 2004a; 2004b). Hipertensi dan efek samping
kardiovaskuler lain, terutama pada dosis yang tinggi mungkin merupakan
keterbatasan.
Antidepresan yang lebih tua, seperti antidepresan trisiklik (TCA) dan obat
penghambat MAO (MAOI), efektif bagi veteran perang dengan PTSD (LOE 2)
(Davidson et al, 1990; Kosten et al, 1991). Di daerah di mana pertimbangan
formulari atau biaya menghalangi pemakaian SSRI atau SNRI's, trisiklik
imipramin atau amitriptilin dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan lini
pertama. Selain dua percobaan MAOI yang dapat dibalik dengan hasil beragam
pada penduduk sipil dan veteran perang (LOE 1) (Baker et al, 2000; Katz et al,
1995), obat TCA dan MAOI belum dikaji pada percobaan terkendali dengan
sampel penduduk sipil, sebagian karena adanya SSRI pada beberapa tahun yang
lalu. Masalah keracunan juga menjadi keprihatinan dengan obat-obat ini, dalam
kaitannya dengan cardiotoxicity, risiko kejang, dan efek antikolinergik dengan
TCA dan pengetatan diet serta risiko krisis hipertensi pada MAOI.
Mempertimbangkan kuatnya bukti terhadap profil keselamatan obat tersebut, kami
tidak merekomendasikan MAOI sebagai pengobatan lini pertama.
Satu keuntungan yang jelas dari antidepresan adalah kemanjurannya dalam
pengobatan depresi berat dan gangguan cemas lain yang sering komorbid dengan
PTSD. Namun, seperti disebutkan di atas, obat ini dapat dihubungkan dengan efek
samping yang menyulitkan. Sebagai contoh, efek samping umum dengan SSRI
termasuk mual, berak-berak (loose stool), sakit kepala, sulit tidur dan agitasi pada
pengobatan awal dan, setelah waktu yang lama, pertambahan berat badan dan
kelainan fungsi seksual.
Tidak ada respon: minimal (kurang dari 25%) atau tidak ada perbaikan. Gejala
berkurang amat sedikit.
Respon parsial: gejala berkurang 25-50% atau lebih.
Setelah 3-6 bulan pengobatan, atau lebih lama lagi, banyak pasien akan mencapai
suatu keadaan remisi, yang ditandai dengan sedikitnya pengurangan 70%
keparahan gejala relatif dibanding sebelum pengobatan (i.e. “70% lebih baik”) dan
dianggap sebagai mencapai sasaran pengobatan PTSD. Remisi klinis sesuai
dengan skor 1 pada CGI-I .
Setelah 12 minggu pengobatan, banyak pasien akan mengalami kemajuan , dengan
sedikitnya pengurangan gejala 50%. Namun, kemajuan selanjutnya sering
bersamaan dengan pengobatan lanjut, dengan tambahan perbaikan pada gejala-
gejala inti PTSD, ketidakmampuan, dan keberfungsian secara keseluruhan. Tiga
telaah menunjukkan efek pencegahan kekambuhan yang kokoh untuk sertraline
(Davidson et al 2000) dan fluoxetine (Marrtenyi et al, 2002; Davidson et al, 2005)
tatkala pengobatan ini dilanjutkan selama tahun. (LOE 1) Setelah 6 bulan, kami
berharap ada pengurangan gejala sebanyak 70%, menunjukkan suatu keadaan
remisi. Karena PTSD kronis mempunyai kecenderungan untuk kambuh atau
memburuk pada 50% pasien jika pengobatan dihentikan, disarankan agar
pengobatan dilanjutkan sedikitnya satu tahun. (LOE 1)
Jika ada respon parsial terhadap pengobatan dalam 4-6 minggu, langkah kedua
adalah mengukur adanya gejala- gejala nonresponsif yang tetap, yang ditentukan
oleh profil gejala pasien dan komorbiditas. Gejala umum dan komorbiditas ini
mencakup gejala inti PTSD yang tetap (intrusi; penghindaran, penumpulan, dan
hyperarousal), gangguan tidur, gejala PTSD lain seperti sifat cepat kesal,
bermusuhan, agresif, panik, gejala psikotik, gangguan spektrum bipolar, dan
penyalah- gunaan zat. Selain itu, pada beberapa orang, SSRI mungkin sedikit
banyak bersifat ansiogenik.
Pasien dengan gangguan cemas sering lebih peka terhadap efek ini dan dalam
beberapa kasus dapat diatasi dengan dosis awal yang lebih rendah atau dengan titrasi
yang lebih lambat.
Jika setelah 4-6 minggu pengobatan dengan dosis SSRI yang sesuai (sertraline,
150 mg, fluoxetine 40 mg), ada respon parsial, klinisi perlu mengukur gejala yang
berlanjut dan memberi perlakuan yang sesuai melalui augmentasi dengan agen
kedua— e.g. prazosin (LOE 2); trazodone (LOE 3), nefazodone (LOE 2) (Davis et
al, 2004), imipramine (LOE 2), atau
amitriptyline (LOE 2) dalam dosis rendah. Setiap pengobatan ini tidak hanya
bermanfaat bagi gangguan tidur, tetapi juga aspek lain dari PTSD (LOE 2). Dalam
beberapa hal,, karena tidak ada petunjuk yang dipublikasikan, klinisi bisa memilih
untuk meningkatkan dosis dan augmentasi sekaligus. Penting untuk memastikan
bahwa gejala tidak disebabkan efek ansiogenik dari pengobatan.
Kebanyakan uji klinis dengan pengobatan untuk PTSD sudah menguji efektifitas
monoterapi dengan satu atau lain agen farmakologis. Memang, dengan
mengecualikan percobaan dengan antipsikotik atipikal, tidak ada uji klinis yang
secara sistematis mengevaluasi efektifitas relatif dari berbagai strategi augmentasi.
Oleh karena itu, rekomendasi kami untuk strategi augmentasi bagi pasien yang
memberi respon parsial adalah penegasan kembali (extrapolation) dari percobaan
monoterapi.
Jika ada respon yang parsial terhadap dosis SSRI yang memadai (sertraline, 150
mg, fluoxetine 40 mg), mengisyaratkan bahwa pengobatan awal agak berhasil
tetapi respon klinisnya kurang memadai, maka dosis harus dititrasi sampai
maksimal yang disarankan (sertraline 200mg; paroxetine, 50 mg. fluoxetine, 60
mg.)
Tatalaksana Fobia
Obat-obatan yang efektif adalah : SSRI, khususnya untuk fobia sosial umum merupakan
pilihan pertama. Benzodiazepine, venlafaxine, buspirone, MAOI, antagonis b-adrenergik
reseptor dapat diberikan satu jam sebelum terpapar dengan stimulus fobia, misalnya bicara di
depan publik.
Terapi agrofobia adalah sama seperti gangguan panik, terdiri dari obat-obatan anti ansietas,
antidepresan dan psikoterapi khususnya terapi kognitif perilaku. Terapi terhadap fobia
spesifik yang terutama adalah terapi perilaku, penggunaan anti anxietas yaitu untuk terapi
jangka pendek. Pengobatan untuk fobia sosial terbatas, dapat menggunakan obat beta blocker
seperti propanolol beberapa saat sebelum tampil di depan umum. Untuk fobia sosial umum
dapat menggunakan anti ansietas dan antidepresan.
TCAs merupakan antidepresan lama, sama seperti SSRIs digunakan untuk pengobatan
gangguan anxietas selain OCD. Meskipun TCAs telah menunjukan efikasi yang
cukup baik, namun kurang bisa ditoleransi karena memiliki kecenderungan
menimbulkan efek samping seperti mulut kering, pusing, mengantuk, serta
penglihatan kabur. Oleh karena itu, biasanya dimulai dengan dosis yang paling rendah
lalu meningkat secara bertahap. Efek samping yang terjadi biasanya dapat diperbaiki
dengan pengubahan dosis atau beralih ke obat TCAs yang lain. TCAs seperti
Imipramine biasanya diresepkan untuk panic disorder dan GAD, sedangkan
Clomipramine merupakan satu-satunya antidepresan TCAs yang berguna untuk
mengobati OCD.
https://www.researchgate.net/publication/271625912_The_assessment_and_treatment_of_pa
nic_disorder_in_general_practice
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6478076/#b26-cpn-17-145
https://www.aafp.org/afp/2005/0215/p733.html
https://jkma.org/DOIx.php?id=10.5124/jkma.2010.53.10.913
https://www.semanticscholar.org/paper/A-Review-of-the-Epidemiology-and-Approaches-to-
the-Sareen-Stein/1760d6b1198ab12be8a357100b85b6bb510f54e2/figure/1
Maslim, R. 2014. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta : Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.