Disusun oleh:
Muhammad Wahyu NIM. 5120022044
Pendamping:
Pembimbing:
Hafid Algristian, dr., Sp.KJ, M.H.
NPP. 17091152
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai oleh dua atau lebih
tandatanda waham, halusinasi, pembicaraan kacau, emosi negatif seperti kehilangan
ekspresi emosi. Gejala karakteristik dari skizofrenia menjangkau area disfungsi
emosional, kognitif, dan perilaku, akan tetapi tidak ada gejala tunggal yang menjadi
gejala utama dari skizofrenia (Arlington, 2013).
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi
gangguan jiwa berat di Indonesia, seperti skizofrenia dan gangguan psikosis lainnya
mencapai 1,7 per 1.000 penduduk. Tingginya angka prevalensi skizofrenia, maka
dibutuhkan manajemen terapi yang sesuai untuk pasien skizofrenia. Terapi
farmakologi menggunakan antipsikotik yang terdiri dari 2 jenis yaitu antipsikotik
golongan pertama (antipsikotik tipikal) dan antipsikotik golongan kedua (antipsikotik
atipikal) (Morrison, 2014).
Pada pengobatan skizofrenia terdapat dua pola pengobatan yaitu pengobatan
tunggal dan kombinasi. Pedoman menyarankan kombinasi antipsikotik digunakan
dalam keadaan tertentu saja, namun dalam praktek klinis menggabungkan dua atau
lebih antipsikotik adalah hal yang sangat umum yaitu berkisar 10-30% (Gallego,
2012).
Pemberian antipsikotik pada pasien skizofrenia diberikan dalam jangka
panjang, terutama pasien yang membutuhkannya untuk dapat berfungsi sehari-hari
dengan baik. Antipsikotik memegang peranan penting dalam mengendalikan gejala
skizofrenia di fase akut, maupun untuk mencegah kekambuhan pada fase maintenance
(Takeuchi, 2012). Pada referat ini akan dibahas terutama mengenai pemberian
antipsikotik pada skizofrenia hebeferik.
Skizofrenia hebefrenik merupakan gangguan kepribadian dengan kemunduran
perilaku dan prognosis buruk. Skizofrenia hebefrenik cenderung memiliki onset awal
dibandingkan subtipe lain dan cenderung untuk berkembang sangat secara
tersembunyi. Delusi dan halusinasi muncul relatif kecil, dan gambaran klinis
didominasi oleh perilaku aneh, asosiasi longgar, dan bizzare. Keseluruhan perilaku
pasien tampak kekanak-kanakan. Tanpa alasan mereka mungkin sibuk sendiri, tanpa
tujuan, sering bertingkah konyol dan tertawa dangkal. Di lain waktu mereka menarik
diri dan tidak dapat diakses. Beberapa mungkin menampilkan asosiasi longgar menuju
inkoherensi (Eddy, 2017).
2. STUDI KASUS
Pasien tidak merasa sakit jiwa, dan tidak tahu alasannya dibawa ke rumah
sakit pasien mengatakan punya anak 1 tapi lupa umurnya, pasien mengatakan sulit
tidur sudah lama, pernah ada keinginan mati namun ide bunuh diri disangkal. pasien
sering main air dan masak-masakan bersama anak-anak tetangga di dekat rumahnya,
tertawa sendiri dan berbicara sendiri, pasien mengatakan marah karena memasak
singkong namun tidak di makan oleh keluarganya sehingga membuat pasien marah.
pasien merasa ketakutan seperti ada suara-suara, namun tidak tahu suara apa, dan
melihat bayang yang menakutkan,. Pasien mengatakan jika ia dirumah tinggal
sendirian. Pasien mengaku telah menikah namun bercerai dari suaminya dan memiliki
satu anak.
3. TATALAKSANA