Anda di halaman 1dari 10

TERAPI RELAKSASI NAPAS DALAM PADA PASIEN GANGGUAN

AFEKTIF BIPOLAR DENGAN MASALAH UTAMA RESIKO


PERILAKU KEKERASAN DI RUANG TENANG
RS JIWA Prof. Dr. SOEROJO MAGELANG

Dosen Pembimbing:
Wachidah Yuniartika, S.Kep., Ns., M.Kep
Clinical Instructure:
Ns. Daryati S.Kep
Disusun Oleh:
Anjeni Findi Astuti
J210200160

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN

Jurnal yang berjudul Terapi Relaksasi Napas Dalam Pada Pasien Gangguan Afektif Bipolar
Dengan Masalah Utama Resiko Perilaku Kekerasan Di Ruang Tenang RS Jiwa Magelang

Disusun Oleh :

Anjeni Findi Astuti

J210200160

Mengetahui,

Dosen Pembimbing Clinical Instructure

Wachidah Yuniartika, S.Kep., Ns., M.Kep Ns. Daryati S.Kep


TERAPI RELAKSASI NAPAS DALAM PADA PASIEN GANGGUAN AFEKTIF
BIPOLAR DENGAN MASALAH UTAMA RESIKO PERILAKU KEKERASAN DI
RUANG TENANG RS JIWA Prof. Dr. SOEROJO MAGELANG

Anjeni Findi Astuti1, Wachidah Yuniartika2*, Daryati3

1
Mahasiswa Program Studi Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

2*
Dosen Keperawatan Jiwa Program Studi Keperawatan

3
Perawat Bangsal Amarta Rumah Sakit Jiwa Magelang
Email : ffindianjeni@gmail.com , ap140@ums.ac.id

ABSTRAK
Kesehatan jiwa adalah kondisi seseorang dalam keadaan sehat secara kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial, Perilaku kekerasan merupakan salah satu contoh kesehatan
jiwa yang sering terjadi di kehidupan masyarakat. Resiko Perilaku kekerasan adalah beresiko
membahayakan secara fisik, emosi, dan seksual pada diri sendiri atau orang lain, yang
menyebabkan rentang respon marah yang paling maladaptive adalah amuk pada perilaku
kekerasan. Selain itu penyebab resiko perilaku kekerasan dapat terjadi karena faktor
predisposisi dan faktor presipitasi. Pengobatan terapi untuk resiko perilaku kekerasan yaitu
teknik relaksasi napas dalam. Tujuan setelah demonstrasi, diharapkan menurunkan perilaku
kekerasan. Adapun kegiatan yang dilakukan berupa demonstrasi individu secara langsung
dan dapat menurunkan klien dengan resiko perilaku kekerasan di ruang tenang RSJS
Magelang. Dengan demikian, pemberian terapi relaksasi napas dalam sangat efektif dalam
menurunkan perilaku kekerasan.

Kata Kunci : Kesehatan Jiwa,Risiko Perilaku Kekerasan dan Relaksasi Nafas Dalam

ABSTRACT
Mental health is a person's condition in a healthy state cognitively, affectively,
physiologically, behaviorally and socially. Violent behavior is one example of mental health
that often occurs in people's lives. Risk of Violent behavior is the risk of harm physically,
emotionally, and sexually to oneself or others, which causes the most maladaptive range of
angry responses to be amok in violent behavior. In addition, the cause of the risk of violent
behavior can occur due to predisposing factors and precipitation factors. Therapeutic
treatment for the risk of violent behavior is deep breathing relaxation techniques. The goal
after the demonstration is to reduce violent behavior. The activities carried out are in the
form of direct individual demonstrations and can reduce clients with the risk of violent
behavior in the quiet room of RSJS Magelang. Thus, giving deep breathing relaxation
therapy is very effective in reducing violent behavior.

Keywords: Mental Health, Risk of Violent Behavior and Deep Breathing Relaxation

Gambaran Kasus
An. Celine (Samaran) yang saat ini berusia 17 tahun, pasien masuk di RSJ Magelang pada
tanggal 14 Oktober 2022 dengan diagnosa medis Gangguan afektif Bipolar episode kini
manik tanpa gejala psikotik. Pasien dibawa ke RSJ diantar oleh keluarga dan kepala sekolah,
alasan masuk pasien sejak 2 bulan yang lalu pasien bingung, marah-marah, semaunya sendiri,
belanja berlebih dan saat sekolah pasien juga sering menggangu pelajaran di kelas lain
maupun orang lain. Sebelumnya pasien sudah menjalani 6 kali pengobatan rawat jalan dan
sudah mengonsumsi obat jalan.

Intervensi
Pemberian Terapi relaksasi napas dalam yang dilakukan dengan demonstrasi individu secara
langsung, Teknik relaksasi nafas dalam dapat mengatur emosi dan menjaga keseimbangan
emosi, sehingga emosi marah tidak berlebihan. Relaksasi nafas dalam dipercaya dapat
menurunkan ketegangan dan dapat memberikan ketenangan. Relaksasi nafas dalam
merangsang tubuh untuk melepaskan opiod endogen (Sutinah, 2019).

Kesimpulan
Ketika pasien diberikan Terapi relaksasi napas dalam pasien tidak menolak, sebelum di beri
terapi relaksasi, saat pasien berbicara nada pasien terlihat meninggi dan mempunyai emosi
yang tidak terkontrol dan sangat beresiko berperilaku kekerasan, saat diberikan terapi pasien
mengikuti dari awal hingga akhir, pasien yang sebelumnya tidak bisa mengontrol emosi dan
nada suara yang meninggi kini setelah mencoba dan mengetahui menjadi lega setelah
melakukan terapi tersebut lalu pasien juga menjadi tahu cara mengontrol agar tidak terjadi
resiko berperilaku kasar, Dan pasien terlihat bersemangat untuk segera sembuh dan pulang.

Kata Kunci : Terapi relaksasi napas dalam, Resiko perilaku kekerasan, Kontrol emosi
PENDAHULUAN
Kesehatan jiwa adalah kondisi seseorang dalam keadaan sehat secara kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial, Berdasarkan dokumentasi Organisasi kesehatan dunia
(WHO ,2017) setidaknya ada sekitar 45juta orang yang ada dibelahan dunnia yang menderita
gangguan bipolar. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) menyatakan bahwa prevalensi gangguan jiwa
adalah 1-2 orang per 1.000 populasi. Provinsi Jawa Tengah pada bulan November 2019
didapatkan jumlah pasien yang mengalami gangguan jiwa terbanyak karena resiko perilaku
kekerasan. (Riskesdas, 2013)
Sementara itu mengutip dari National Insitute of Mental Health, gangguan bipolar
(sebelumnya disebut penyakit mania depresif) adalah gangguan mental yang menyebabkan
perubahan yang tidak biasa dalam suasana, hati, energi, tingkat aktivitas, konsentrasi, dan
kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Banyak faktor yang menyebabkan
penderita gangguan bipolar mengalami kondisi tersebut, baik faktor biologis maupun faktor
yang berasal dari lingkungan sekitar yang mempengaruhi kondisi individu dengan gangguan
bipolar (Smith, 2011). Diagnosis gangguan bipolar sulit diberikan karena gangguan bipolar
bertumpang tindih dengan gangguan psikiatrik yang lain, yaitu skizofrenia dan skizoafektif.
Dengan demikian, terapi yang komprehensif diperlukan oleh orang dengan gangguan bipolar
untuk mencapai kembali fungsinya semula, yaitu meliputi farmakoterapi dan intervensi
psikososial (Amir, 2012; Soetjipto, 2012; Yathamet.al, 2009).
Penanganan dalam penyembuhan gangguan bipolar dapat dilakukan selain dengan
pemberian obat-obatan ataupun perawatan menggunakan terapi tertentu, dapat pula dilakukan
dengan memberikan dukungan sosial dari keluarga. Akan tetapi, gangguan bipolar sering
tidak diketahui dan salah diagnosis, bahkan apabila terdiagnosa pun sering tidak terobati
dengan adekuat (Evans, 2000; Tohen & Angst, 2002; Toni et.al, 2000). Menurut data dari
National Comorbidity Survey Adolescent Supplement (NCS-A) prevalensi dari kelompok
remaja berusia 13-18 tahun, didapatkan sebanyak 2.9% remaja mengalami gangguan bipolar,
dan 2,6% diantaranya mengalami penurunan fungsi yang berat. Pada data ini juga ditemukan
prevalensi gangguan bipolar yang lebih tinggi pada remaja wanita (3.3%) dibandingkan
dengan remaja pria (2.6%). (NCS-A)
Resiko Perilaku kekerasan adalah beresiko membahayakan secara fisik, emosi, dan
seksual pada diri sendiri atau orang lain, yang menyebabkan rentang respon marah yang
paling maladaptive adalah amuk pada perilaku kekerasan. Selain itu penyebab resiko perilaku
kekerasan dapat terjadi karena faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Perilaku kekerasan
merupakan respon maladaptif dari marah. Marah adalah perasaan jengkel atau perasaan
yang tidak menyenangkan yang merupakan bagian dalam kehidupan sehari-hari.
Perilaku kekerasan merupakan salah satu contoh kesehatan jiwa yang sering terjadi di
kehidupan masyarakat. (Keliat, 2012) Tanda dan gejala dari resiko perilaku kekerasan
tersebut muka merah dan tegang, mata melotot/pandangan tajam, mengepalkan tangan, bicara
kasar, mengatupkan rahang dengan kuat, suara tinggi/menjerit dan berteriak, mengancam
secara verbal dan fisik, melempar atau memukul benda/orang lain, merusak barang atau
benda. (Sutinah 2019).

GAMBARAN KASUS
An. Celine (Samaran) yang saat ini berusia 17 tahun, pasien masuk di RSJ Magelang
pada tanggal 14 Oktober 2022 dengan diagnosa medis Gangguan afektif Bipolar episode kini
manik tanpa gejala psikotik. Pasien dibawa ke RSJ diantar oleh keluarga dan kepala sekolah,
alasan masuk pasien sejak 2 bulan yang lalu pasien bingung, marah-marah, semaunya sendiri,
Pasien juga tidak mengalami penurunan nafsu makan dan BB selama 6 bulan terakhir dan
saat sekolah pasien juga sering menggangu pelajaran di kelas lain maupun orang lain, pasien
juga suka belanja berlebih. Kemudian pasien di cutikan selama 1 minggu, tetapi pasien sering
datang ke sekolah, pasien tidak bisa diam dan selalu keluyuran. Sebelumnya pasien sudah
menjalani 6 kali pengobatan rawat jalan dan sudah mengonsumsi obat jalan. Karena pasien
tidak bisa mnegontrol hal tersebut maka pihak keluarga dan didampingi kepala sekolah
mengantar pasien untuk dirawat inap di RSJS Magelang.

INTERVENSI
Intervensi yang diberikan berupa Terapi Napas Dalam, terapi ini di tujukan agar
pasien dapat melatih dan mengontrol saat marah, dan diharapkan pasien dapat menurunkan
resiko perilaku kekerasan. Dengan demikian, pemberian terapi relaksasi napas dalam sangat
efektif dalam menurunkan perilaku kekerasan. Saat pemberian terapi, prosedur pertama yang
dilakukan adalah kontrak waktu dengan pasien atau saat pasien mempunyai waktu senggang,
sebelum terapi diberikan saya juga memberikan edukasi agar pasien merasa percaya dan bisa
melakukan terapi dengan tenang tanpa kecemasan. Selanjutnya saat pemberian terapi,
pertama hal yang dilakukan adalah perkenalan kembali atau menanyakan pasien apakah ingat
dengan nama perawat atau tidak. Kemudian mempersilahkan pasien untuk menceritakan apa
yang membuat pasien marah sehingga tidak bisa mengontrol emosi, setelah itu apresiasi
pasien lalu ajarkan pasien terapi relaksasi dengan,
1. Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui
hitungan,
2. Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstrimitas atas
dan bawah rileks,
3. Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali.
Lalu setelah selesai diberikan terapi, kaji kembali perasaan pasien apakah sudah merasa lebih
baik atau belum merasa ada perubahan, Jadi pada kasus pasien An. Celine dengan diagnosa
Gangguan Afektif Bipolar dengan masalah utama resiko perilaku kekerasan, setelah
pengamatan saya sebagai observer sebelum dilakukannya terapi, pasien belum bisa
mengontrol marah yang tadinya dari skala 8 cukup meningkat menjadi skala 5 cukup
menurun. Anjurkan pasien melakukan terapi ini secara mandiri saat pasien sedang merasa
marah atau disaat pasien tidak bisa mengontrol emosi, dibantu dengan dorongan terapi lain
seperti terapi spiritual, dan obat.

PEMBAHASAN
Gangguan bipolar (sebelumnya disebut penyakit mania depresif) adalah gangguan
mental yang menyebabkan perubahan yang tidak biasa dalam suasana, hati, energi, tingkat
aktivitas, konsentrasi, dan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Banyak faktor
yang menyebabkan penderita gangguan bipolar mengalami kondisi tersebut, baik faktor
biologis maupun faktor yang berasal dari lingkungan sekitar yang mempengaruhi kondisi
individu dengan gangguan bipolar (Smith, 2011). Resiko Perilaku kekerasan adalah beresiko
membahayakan secara fisik, emosi, dan seksual pada diri sendiri atau orang lain, yang
menyebabkan rentang respon marah yang paling maladaptive adalah amuk pada perilaku
kekerasan. Selain itu penyebab resiko perilaku kekerasan dapat terjadi karena faktor
predisposisi dan faktor presipitasi. Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari
marah. Marah adalah perasaan jengkel atau perasaan yang tidak menyenangkan yang
merupakan bagian dalam kehidupan sehari-hari.
Pada gambaran kasus sebelumnya sudah diketahui bahwa pasien An. Celine 17 th
dengan diagnosa Gangguan Afektif Bipolar tanpa gejala psikotik, dengan masalah utama
yaitu Resiko Perilaku Kekerasan, bisa dilihat bahwa bipolar yang dimiliki pasien bukan dari
genetic melainkan ada faktor lain seperti lingkungan dll. Sebelum pasien dibawa ke RSJ
Soerojo pasien sudah menjalani rawat jalan di RS berbeda , namun 2 bulan yang lalu pasien
mulai bingung, marah-marah, lalu belanja berlebih, dan menganggu aktivitas pembelajaran di
sekolah sehingga bisa menyebabkan timbulnya resiko perilaku kekerasan yang menjadi
masalah utama pada kasus kali ini. Tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan yaitu muka
merah dan tegang, mata melotot/pandangan tajam, mengepalkan tangan, bicara kasar,
mengatupkan rahang dengan kuat, suara tinggi/menjerit dan berteriak, mengancam secara
verbal dan fisik, melempar atau memukul benda/orang lain, merusak barang atau benda.
Tanda dan gejala tersebut secara langsung ada pada pasien saat berbicara nada pasien
terkadang meninggi lalu saat pasien tidak mau minum obat maka mata pasien memerah dan
pandangan tajam namun di saat bersamaan pasien juga menaangis karena merasa tidak ada
yang peduli dengan dirinya, saat kami melakukan observasi kami tidak menemukan tanda-
tanda bahwa pasien sampai merusak atau memukul benda/orang lain. Secara observasi kami
pasien sudah mengalami peningkatan dengan tidak melakukan tanda dan gejala tersebut,
namun saat berbicara dengan kami maupun perawat penjaga pasien terlihat sering melantur
dengan bicaranya yang tidak menyambung, Namun saat pasien berkomunikasi dengan kami
terkadang cukup efektif dan kooperatif. Saat keluarga dan kepala sekolah pasien
mengantarkan ke RSJ, mereka berharap agar pasien bisa mendapatkan pelayanan dan
pengobatan terbaik sehingga pasien bisa sembuh dan dapat menjalani aktivitas kehidupan
sehari-harinya.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan pada kasus di atas adalah, ketika pasien diberikan Terapi relaksasi napas
dalam pasien tidak menolak, sebelum di beri terapi relaksasi, saat pasien berbicara nada
pasien terlihat meninggi dan mempunyai emosi yang tidak terkontrol dan sangat beresiko
berperilaku kekerasan, saat diberikan terapi pasien mengikuti dari awal hingga akhir, pasien
yang sebelumnya tidak bisa mengontrol emosi dan nada suara yang meninggi kini setelah
mencoba dan mengetahui menjadi lega setelah melakukan terapi tersebut lalu pasien juga
menjadi tahu cara mengontrol agar tidak terjadi resiko berperilaku kasar, Dan pasien terlihat
bersemangat untuk segera sembuh dan pulang.
Sebagai observer kami menyarankan pasien agar selalu berpikir positif terhadap
keluarga pasien yang sudah membawa ke RSJ, lalu menyarankan pasien agar selalu
mengontrol marah sehingga tidak terjadi resiko perilaku kekerasan dan selalu menerapkan
teknik terapi relaksasi napas dalam, dibantu dengan dorongan terapi lain seperti terapi
spiritual misal, sholat 5 waktu, beristigfar, dan membaca dzikir. Lalu yang terakhir dengan
terapi obat.
DAFTAR PUSTAKA

Wardiyah, A. Pribadi, T. T, Clara. (2022). TERAPI RELAKSASI NAPAS DALAM


PADAPASIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASANDI RS JIWA
BANDAR LAMPUNG. JURNAL KREATIVITAS PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT (PKM). Vol. 5(10), 3611-3626. Diakses 17 Oktober 2022.
Hulu, R. Relaksasi Napas Dalam: Jurnal Refleksi. Diakses 17 Oktober 2022.
Widianti, E dkk. (2021). INTERVENSI PADA REMAJA DENGAN GANGGUAN
BIPOLAR: KAJIAN LITERATUR. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan
Perawat Nasional Indonesia. Vol. 9(1), 79-94. FIKKes Universitas Muhammadiyah
Semarang bekerjasama dengan PPNI Jawa Tengah. Diakses 18 Oktober 2022.
Palupi, D. Ririanty, M. Nafikadini, I. (2019). Karakteristik Keluarga ODGJ dan Kepesertaan
JKN Hubungannya dengan Tindakan Pencarian Pengobatan bagi ODGJ. Jurnal
Kesehatan Vol. 7(2). 82-92. Diakses 18 Oktober 2022.
PH, L & Suerni, T. (2019). FAKTOR PREDISPOSISI PASIEN RESIKO PERILAKU
KEKERASAN. Jurnal Ilmiah Kesehatan Jiwa Vol. 1(1), 27-38. Diakses 18 Oktober
2022.

Anda mungkin juga menyukai