Anda di halaman 1dari 22

ESSAY

TINJAUAN ETIK DALAM PENELITIAN DENGAN SUBJEK


PASIEN GANGGUAN JIWA
”Terapi Tertawa Pada Pasien Perilaku Kekerasan”

0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peneliti dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian harus memegang teguh
sikap ilmiah (scientific attitude) serta menggunakan prinsip-prinsip etika penelitian.
Meskipun intervensi yang dilakukan dalam penelitian tidak memiliki risiko yang dapat
merugikan atau membahayakan subyek penelitian, namun peneliti perlu
mempertimbangkan aspek sosioetika dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
kemanusiaan (Jacob, 2004).
Penelitian tentang masalah kesehatan jiwa di Indonesia maupun di dunia sangat
besar dan kompleks. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan 11,6 %
penduduk dewasa (usia di atas 15 tahun) di Indonesia mengalami masalah gangguan
mental emosional, dan 0,46% mengalami gangguan mental yang serius (Departemen
Kesehatan RI, 2010). Dengan tingginya masalah kesehatan mental yang terjadi, tentunya
menuntut adanya solusi pengobatan dan terapi untuk mengatasi masalah tersebut. Namun
data survey dari WHO tersebut juga menunjukkan adanya treatment gap (jurang dalam
pengobatan) yang cukup serius; 35,5% sampai dengan 50,3% dari kasus serius di negara
maju dan 76,3% sampai dengan 85,4% di negara berkembang tidak menerima
pengobatan sama sekali dalam 12 bulan terakhir (Demyttenaere et al., 2004). Oleh
karenanya, penelitian dalam bidang kesehatan jiwa sangat diperlukan untuk
meningkatkan terus pengetahuan kita tentang kesehatan jiwa dan pada akhirnya dapat
menyediakan layanan kesehatan bagi penderita yang lebih baik.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan penelitian serta penerapannya dalam praktek
keperawatan, memunculkan kecemasan tersendiri terhadap masalah-masalah etik.
Keprihatikan akan penyalagunaan dalam penelitian menjadi sesuatu yang penting untuk
diperhatikan mengingat metodelogi penelitian eksperimental kesehatan saat ini tidak
hanya berfokus pada biomedis melainkan berhubungan langsung dengan manusia.
Meskipun penelitian dirancang secara hati-hati, penelitian dengan subyek manusia tetap
membawa resiko pada subjek tersebut. Resiko tersebut tetap dibenarkan, karena hal
tersebut dianggap bahwa penelitian bukan semata karena manfaat pribadi yang dirasakan
oleh sang peneliti atau lembaga penelitian tersebut, melainkan karena manfaatnya bagi
subjek dalam penelitian tersebut serta kemungkinan manfaat jangka panjang terhadap
pengetahuan dalam dunia kesehatan (Utarini, 2010).
Menurut Depkes RI (2003), gangguan jiwa adalah gangguan pikiran, perasaan
dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi

1
sehari – hari (fungsi pekerjaan dan fungsi sosial dari orang tersebut. Sedangkan menurut
Muslim (2002), gangguan jiwa merupakan sindrom atau pola prilaku atau psikologi
seseorang yang secara klinis cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan
sesuatu gejala penderitaan (distress) di dalam satu atau lebih fungsi penting dari
manusia.
WHO menyebutkan tidak kurang dari 450 juta penderita gangguan jiwa
ditemukan di dunia (Gemari, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
terhadap masyarakat di negara Asia Timur menunjukan adanya peningkatan
jumlah pasien dengan psikiatri syaraf. Pada waktu bersamaan kemiskinan dan tidak
adanya akses kepada asuransi kesehatan membuat masalah ini makin parah. Di
Indonesia diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari 220 juta penduduk mengalami
gangguan jiwa (Swaberita, 2008). Jumlah penderita gangguan jiwa di Sumatra Barat
pada tahun 2008 data dari Dinas Provinsi Sumbar dari jumlah penduduk 3.198.726
orang ada 0,26 % yang menderita gangguan jiwa. Data yang di ambil dari Dinas
Kesehatan Kota Padang pada tahun 2009 dari jumlah penduduk di kota padang
839.190 orang, yang mengalami gangguan jiwa di kota padang sebanyak 0,75 %.
Stress dan tekanan kehidupan modern menimbulkan dampak yang buruk terhadap
pikiran dan kehidupan manusia. Penyakit yang menyebabkan gangguan pikiran seperti
kecemasan, depresi, gangguan syaraf dan insomnia mengalami peningkatan. Tertawa
banyak membantu orang yang menggunakan obat anti depresi dan obat penenang. Psien
lebih mudah tidur dan mengalami penurunan tingkat depresi. Pasien depresi tidak
mungkin bisa membangkitkan energinya untuk menghadapi masalah karena dalam
kondisi depresi tersebut kondis fisik dan mental sedang down. Maka untuk
membangkitkan energi itu tertawa bisa membantu. Tertawa bisa membuat seseorang
menjadi tenang dan terhibur sehingga ia bisa melepaskan diri dari kungkungan depresi
(Khansa, 2013).
Taginan (2009), menguraikan bahwa terapi tertawa bermanfaat menguatkan sistem
kekebalan tubuh, sebagai latihan aerobik terbaik, dapat mengatasi gangguan jiwa,
kecemasan dan depresi, mengatasi tekanan darah tinggi, sebagai penghilang rasa sakit
alami, dan membantu terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya. Penelitian Ermawati
(2012) menunjukkan hasil signifikan tingkat kemarahan klien dengan resiko perilaku
kekerasan dengan intervensi selama tujuh hari. Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
klien skizofrenia dapat ditujukan pada diri sendiri atau orang lain, oleh karena itu harus
dikendalikan, salah satunya dengan terapi komplementer. Terapi tertawa merupakan salah
satu terapi komplementer yang bisa diterapkan pada pasien yang sudah terkontrol dan
berfungsi untuk menenangkan pasien. Terapi tertawa ini mempengaruhi system hormone

2
yang ada di dalam tubuh sehingga dapat memenangkan pasien. Ketika tertawa sekresi
epinephrine akan tertekan dan mendorong pelepasan endorphin.
Sebagai upaya peningkatan kualitas penanganan gangguan jiwa, penelitian dengan
menggunakan subjek penderita gangguan jiwa merupakan salah satu penelitian yang
penting untuk dilakukan. Namun penting diperhatikan bahwa penderita gangguan jiwa
merupakan salah satu kelompok rentan yang perlu dilindungi dari perlakuan yang
merugikan selama proses penelitian. Dua hal utama yang dianggap penting untuk
memberikan perlakuan khusus pada penderita gangguan jiwa yang dijadikan sebagai
subjek penelitian adalah adanya masalah kapasitas dalam mengambil keputusan, dan,
stigma atau pandangan negatif tentang gangguan jiwa (Brockopp, 2000; Kraewski, 2013).
Stigma negatif yang melekat pada pasien dengan gangguan jiwa yaitu adanya
labeling sebagai individu dengan kemampuan kreatifitas dibawah rata-rata yaitu meliputi
tidak memiliki tujuan yang jelas, tidak ada upaya dalam mencapai tujuan tersebut, tidak
ada kesesuaian apa yang dilakukan dengan perlakuan yang dilakukan. Kemudian
kemampuan ADL yang buruk yang meliputi kemampuan merawat diri sendiri seperti
perawatan kesehatan, mandi, berpakaian, berbelanja, memasak atau melakukan
perawatan lingkungan sekitar. Selanjutnya yaitu masalah hubungan interpersonal yang
meliputi penurunan kemampuan komunikasi, kemampuan berinteraksi dan menempatkan
posisi dalam kondisi tertentu di lingkungan, dan yang selanjutnya yaitu stigma terkait
bad occupational function (Watson & Corrigan, 2002).
Berdasarkan kondisi tersebut maka pasien gangguan jiwa yang digunakan sebagai
responden penelitian perlu mendapat perhatian khusus. Berbagai usaha telah dilakukan
untuk mengurangi dan melindungi terhadap kemungkinan penyalahgunaan dan
pelanggaran dalam proses penelitian, oleh karena itu dibuatlah beberapa peraturan dan
ketentuan yang mengatur tentang etik dalam penelitian. Dengan adanya ketentuan
tersebut diharapkan dapat mencegah adanya pelanggaran dan penyalagunaan terhadap
hak-hak dan kesejahteraan subjek manusia baik subjek penelitian sesama tenaga
kesehatan, pasien maupun keluarga dan masyarakat. Melalui upaya tersebut menunjukkan
bahwa nilai kemanusiaan merupakan sesuatu yang fundamental yang dijadikan pegangan
dalam mengatur semua penelitian yang melibatkan subyek manusia, perlindungan untuk
hak-hak dan kesejahteraan semua subjek manusia terhadap percobaan ilmiah dalam
penelitian (Demyttenaere, 2004; WHO, 2005).
Konflik antara kebutuhan akan penelitian yang cepat dan efisien yang bertujuan
mencari jawaban pengobatan terbaik pagi penderita dengan perlindungan terhadap
manusia yang menjadi subjek penelitian telah mendapat perhatian serius sejak beberapa
dekade terakhir. Etika penelitian dikembangkan terutama untuk menjembatani kebutuhan

3
melakukan penelitian dengan perlindungan terhadap manusia yang menjadi subjeknya.
Keduanya adalah hal penting yang harus dilakukan dengan sinergis. Karenanya, dilema
etis dalam penelitian dengan subjek manusia bukanlah konflik antara kebaikan dan
keburukan, melainkan kompetisi antar kebaikan, seperti kebaikan dari penelitian yang
aman, dengan kebaikan dari pengetahuan yang dihasilkan oleh penelitian (Dubois et al,
2011). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk lebih dalam membahas masalah etik
penelitian pada subjek pasien jiwa yang ditujukan untuk terus dapat meningkatkan
kemampuan perawat dalam melakukan penelitian yang professional dan pada akhirnya
meningkatkan pelayanan keperawatan khususnya keperawatan jiwa.
1.2 Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum :
Menganalisis tinjauan etik dalam penelitian dengan subjek pasien gangguan jiwa
dengan contoh kasus terapi tertawa pada pasien perilaku kekerasan.
b. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi terapi tertawa pada pasien perilaku kekerasan
2. Mengidentifikasi tinjauan etik dalam penelitian dengan subjek pasien gangguan
jiwa

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Pada Subjek Pasien Gangguan Jiwa


Penelitian manusia ialah penelitian yang dilakukan pada manusia untuk mengetahui
sebab ataupun gejala dari suatu penyakit, yang bertujuan untuk memperoleh informasi yang
akurat tentang perkembangan suatu penyakit khususnya lingkup kesehatan jiwa. Manfaatnya
adalah untuk mengatasi, mencegah dan mengobati penyakit yang dialami. Dua hal utama
yang membuat perlindungan etik pada penderita gangguan jiwa menjadi penting adalah:
pertama, kapasitas dalam mengambil keputusan, dan, kedua, stigma atau pandangan negative
tentang gangguan jiwa. Kapasitas dalam membuat keputusan adalah hal mutlak dalam proses
mendapatkan persetujuan setelah penjelasan (informed consent) yang valid. Persetujuan
setelah penjelasan (PSP) merupakan prinsip etik penelitian utama yang telah ada sejak the
Nuremberg Code (1948). Dalam Pedoman Etika Penelitian Kesehatan di Indonesia, masalah
kapasitas penderita gangguan jiwa dan PSP juga mendapat perhatian khusus, dan ada pada
pedoman 15 (Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan,2007).
Kapasitas dalam mengambil keputusan (selanjutnya disebut “kapasitas”) adalah istilah
klinis yang bersifat spesifik untuk menggambarkan kemampuan penderita secara klinis dalam
membuat keputusan spesifik. Kapasitas penderita gangguan jiwa mengalami penurunan
karena gejala gangguan jiwa itu sendiri, dan dari penurunan fungsi kognitif. Gejala gangguan
jiwa dapat mempengaruhi proses pikir seperti penderita depresi yang ingin ikut serta dalam
penelitian karena berharap akan meninggal dalam proses ‘percobaan’, penderita cemas yang
cenderung menolak dan khawatir yang berlebihan, dan penderita psikosis yang tindakan dan
pikirannya terpengaruh oleh gejala waham dan halusinasinya. Sementara penurunan fungsi
kognitif dapat terjadi karena gejala yang kronis dan berkelanjutan, serta akibat isolasi sosial
yang berlangsung lama. Masalah stigma (pandangan negatif dan sikap diskriminatif dari
masyarakat) terhadap penderita gangguan jiwa dalam penelitian.
Sering pula pasien gangguan jiwa yang menjadi objek penelitian, tidak diketahui lagi
nasibnya setelah penelitian tersebut selesai dengan hasil yang tidak jelas. Hal ini terutama
berlaku pada masyarakat dari golongan tertentu (beda ras, suku bangsa, tawanan perang, dll).
Sejumlah kode etik telah dikembangkan untuk memberikan bimbingan dan menetapkan
prinsip-prinsip untuk mengatasi permasalahan etika tersebut. Dokumen internasional pertama
yang menjadi acuan utama untuk etika penelitian adalah Kode Nuremberg yang mengenai
kriteria peserta dan pelaksanan penelitian. Dokumen ini kemudian diadopsi oleh Majelis

5
Umum PBB. Perkembangan berikutnya adalah pembentukan Deklarasi Helsinki oleh
Asosiasi Medis Dunia mengenai pertimbangan etis pada penelitian biomedis. Dokumen lain
adalah Laporan Belmont oleh Komisi Nasional Perlindungan Manusia AS yang menjelaskan
bagaimana prinsip-prinsip berlaku untuk praktek penelitian.

2.2 Prinsip Etika Penelitian Subjek Pasien Gangguan Jiwa


Etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral secara sistematik
dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku. Karena etika berhubungan
dengan semua aspek dari tindakan dan keputusan yang diambil oleh manusia maka etika
merupakan bidang kajian yang sangat luas dan kompleks dengan berbagai cabang dan
subdevisi
Beberapa prinsip etika penelitian atas subjek pasien gangguan jiwa menurut Polit & Beck
(2004) antara lain :
1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity).
Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk mendapatkan informasi yang
terbuka berkaitan dengan jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan pilihan
dan bebas dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian (autonomy). Beberapa
tindakan yang terkait dengan prinsip menghormati harkat dan martabat manusia, adalah:
peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subyek (informed consent) yang terdiri dari:
a) Penjelasan manfaat penelitian
b) Penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang dapat
ditimbulkan
c) Penjelasan manfaat yang akan didapatkan
d) Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan
e) Subyek berkaitan dengan prosedur penelitian
f) Persetujuan subyek dapat mengundurkan diri kapan saja
g) Jaminan anonimitas dan kerahasiaan.
Namun kadangkala, formulir persetujuan subyek tidak cukup memberikan proteksi bagi
subyek itu sendiri terutama untuk penelitian-penelitian klinik karena terdapat perbedaan
pengetahuan dan otoritas antara peneliti dengan subyek (Sumathipala & Siribaddana, 2004).
Kelemahan tersebut dapat diantisipasi dengan adanya prosedur penelitian (Syse, 2000).

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subyek penelitian (respect for privacy and
confidentiality)

6
Setiap manusia memiliki hak-hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan
individu. Pada dasarnya penelitian akan memberikan akibat terbukanya informasi individu
termasuk informasi yang bersifat pribadi. Sedangkan, tidak semua orang menginginkan
informasinya diketahui oleh orang lain, sehingga peneliti perlu memperhatikan hak-hak dasar
individu tersebut. Dalam aplikasinya, peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai
identitas baik nama maupun alamat asal subyek dalam kuesioner dan alat ukur apapun untuk
menjaga anonimitas dan kerahasiaan identitas subyek. Peneliti dapat menggunakan koding
(inisial atau identification number) sebagai pengganti identitas responden.

3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness).


Prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan adil. Untuk memenuhi prinsip
keterbukaan, penelitian dilakukan secara jujur, hati-hati, profesional, berperikemanusiaan,
dan memperhatikan faktor-faktor ketepatan, keseksamaan, kecermatan, intimitas, psikologis
serta perasaan religius subyek penelitian. Lingkungan penelitian dikondisikan agar memenuhi
prinsip keterbukaan yaitu kejelasan prosedur penelitian. Keadilan memiliki bermacam-
macam teori, namun yang terpenting adalah bagaimanakah keuntungan dan beban harus
didistribusikan di antara anggota kelompok masyarakat. Prinsip keadilan menekankan sejauh
mana kebijakan penelitian membagikan keuntungan dan beban secara merata atau menurut
kebutuhan, kemampuan, kontribusi dan pilihan bebas masyarakat. Sebagai contoh dalam
prosedur penelitian, peneliti mempertimbangkan aspek keadilan gender dan hak subyek untuk
mendapatkan perlakuan yang sama baik sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi
dalam penelitian.

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits)
Pelaksanakan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian guna mendapatkan hasil
yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan dapat digeneralisasikan di
tingkat populasi (beneficence). Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subyek
(nonmaleficence). Apabila intervensi penelitian berpotensi mengakibatkan cedera atau stres
tambahan maka subyek dikeluarkan dari kegiatan penelitian untuk mencegah terjadinya
cedera, kesakitan, stres, maupun kematian subyek penelitian.

5. Persetujuan mengikuti penelitian (Informed Consent)

7
Informasi Persetujuan adalah mekanisme prinsip untuk menjelaskan studi penelitian
kepada peserta potensial dan memberikan kesempatan mereka untuk membuat keputusan
apakah akan berpartisipasi atau tidak. Hal ini adalah landasan dari perlindungan hak asasi
manusia. Tiga elemen dasar dari Informasi Persetujuan adalah kompetensi, pengetahuan, dan
kesukarelaan.
Ketidakmampuan pengambilan keputusan oleh penderita gangguan jiwa sering
dijumpai oleh peneliti, sehingga persetujuan oleh pasien gangguan jiwa di wakilkan oleh
keluarga sebagai orang terdekat pasien.
Dalam konteks penelitian, hak asasi tersebut rentan untuk dilanggar disebabkan dari
tiga sumber yaitu: kerentanan intrinsik (kondisi mentalitas calon peserta), kerentanan
ekstrinsik (faktor kondisi lingkungan peserta), serta kerentanan hubungan (kondisi hubungan
antar peserta dengan peneliti atau peserta lain).
Suatu hal yang harus diperoleh peneliti dari subjek penelitian adalah persetujuan.
Menurut panitia Hak Asasi Komite Etik IFGO (International Federation of Gynecology and
Obstratric), informed consent adalah persetujuan yang diperoleh secara bebas tanpa adanya
tekanan atau bujukan, setelah subjek penelitian memperoleh keterangan yang wajar, jelas dan
lengkap, serta disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh subjek penelitian.
Peneliti jarus menjelaskan semua keterangan menyangkut penelitian yang akan
dilaksanakan, manfaat dan resiko yang mungkin timbul. Agar subjek penelitian mengerti
dengan penjelasan yang diberikan, maka subjek penelitian diminta mengulangi kembali
penjelasan yang telah diberikan kepadanya tetnang penelitian yang akan dilakukan padanya.
Setelah itu barulah subjek penelitian menandatangani informed consent dan bagi mereka
yang buta aksara dapat membubuhkan cap jempol mereka dihadapan para saksi.
Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam suatu persetujuan Keikutsertaan dalam
Penelitian adalah sebagai berikut :
a) Pengakuan subjek penelitian bahwa ia secara sukarela bersedia berpartisipasi dalam
penelitian
b) Penjelasan tentang latar belakang dan sebab penelitian dilakukan
c) Pernyataan tentang berapa lama subjek penelitian dilakukan perlu berpartisipasi dalam
penelitian tersebut.
d) Gambaran tentang apa yang diharapkan dari subjek penelitian, setiap prosedur
eksperimen perlu dijelaskan. Hasil menunjukkan bahwa suatu penelitian dapat menjadi
lebih sukses dikarenakan pengetahuan akan penelitian tersebut oleh para pesertanya. Hal
ini disebabkan peserta dapat memberi informasi tambahan yang detail mengenai hasil
yang terjadi dan dapat pula member masukan yang membangun ataupun member umpan

8
balik untuk diteliti lebih lanjut. Saat ini masih dikembangkan berbagai metode untuk
keberhasilan penelitian dengan cara memberi pengetahuan tambahan di bidang tertentu
kepada peserta, terutama pada penelitian yang bersifat berkelanjutan.
e) Gambaran mengenari manfaat dan resiko yang mungkin dialam subjek.
f) Gambaran tentang manfaat (termasuk imbalan) dan kerugian bagi subjek.
g) Informasi mengenai pengobatan dan alternatifnya yang akan diberikan kepada subjek bila
mengalami resiko dalampenelitian.
h) Gambaran tentang terjaminnya rahasia biodata dari hasil penelitian medis subjek.
i) Jumlah subjek penelitian yang akan ikut serta dalam penelitian tersebut dan dimana lokasi
penelitian akan dilaksanakan.
j) Menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh subjek.
k) Meneguhkan bahwa subjek penelitian haruslah sukarela, bahwa subyek dapat
memutuskan untuk meninggalkan penelitian tanpa dirugikan, bahwa apabila ia bersedia
berpartisipasi kemudian sesudah jangka waktu tertentu ia meninggalkan penelitian, ia
bebas pergi tanpa ada sanksinya.
l) Nama jelas dan alamat berserta nomor telepon yang lengkap, kepada siapa calon
subyekdapat menanyakan tentang masalah kesehatan yang mungkin muncul berkaitan
dengan penelitian tersebut.
m) Jumlah subyek penelitian yang akan turut serta dalam penelitian dan lokasi penelitian
akan dilaksanakan.
Persetujuan merupakan masalah kunci dalam penelitian. Unsur-unsur penting
persetujuan penelitian :
a) Persetujuan melindungi otonomi pasien, dengan memberi persetujuan (atau tidak) kepada
penelitian, si pasien menguasai kehidupannya sendiri. Kondisi seorang peserta tidak
secara otomatis menghilangkan haknya untuk menentukan kesediaan atau tidak mengenai
keterlibatan dalam penelitian. Pilihan keputusan peserta harus tetap dihormati. Jika peserta
yang potensial bertekad untuk menjadi orang yang kompeten dalam penelitian, peneliti
harus memperoleh Informasi Persetujuan dari peserta. Jika peserta tersebut tidak cukup
kompeten untuk memberikan Informasi Persetujuan, hal ini harus diperoleh dari
pengasuhnya atau hal sebagai pengganti persetujuan lainnya.
b) Persetujuan melindungi martabat manusia. Pasien diakui sebagai sebuah pusat nilai yang
tidak boleh dipakai sebagai obyek.
c) Persetujuan berfungsi untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa para subjek tidak
dimanipulasi atau ditipu.
d) Persetujuan menciptakan suasana kepercayaan antara subjek dan dokter.
e) Pada akhirnya dengan adanya persetujuan maka dapat membantu subjek menjadi lebih
baik. Karena mengetahui lebih banyak tentang proyek penelitian, si subjek dapat

9
memberikan informasi lebih baik, bekerja sama lebih intensif, dan terutama menjadi lebih
rajin dalam memenuhi persyaratan studi.

2. Seleksi Subjek
a) Dalam sebuah artikel Hans Jonas membedakan empat kelompok calon subjek penelitian
(a) Calon yang terdidik, paling baik dan merupakan anggota masyarakat yang sangat
bermotivasi untuk itu adalah ilmuan peneliti itu sendiri. Tradisi percobaan dengan
dirinya sendiri menduduki tempat terhormat dalam ilmu pengetahuan dan banyak
peneliti masik ikut serta dalam prosedur penelitian, setidaknya agar mereka
mengetahui apa yang dirasakan para subjek.
(b) Orang yang berada dipinggiran masyarakat, mereka tidak bisa membela diri,
mereka miskin dan tidak berdaya. Orang tipe ini tidak mampu menentang kuasa dari
masyarakat mapan yang ilmiah dan karena itu mereka membentuk semacam publik
tahanan (pertahan umum seperti LSM)
a. Mereka yang bersedia menjual jasa mereka. Metode ini sesuai dengan suasana
perusahaan bebas yang begitu dihargai dalam masyarakat Amerika. Dan satu-satunya
masalah adalah harganya harus tepat.
b. Pencarian melalui undian diantara masyarakat luas. Karena semua orang menarik
manfaat dari kemajuan ilmu kedokteran, semua juga merespon hal ini dengan ikut serta
dalam penelitian. Sampai saat ini belum pernah dipakai, namun cara ini wajar digunakan
untuk memperoleh subjek penelitian.
c. Masih ada cara lain yang digunakan para dokter untuk memperoleh subjek penelitian,
dan cara ini paling sering dipakai. Dokter-dokter sering kali meminta pasien mereka
untuk ikut serta dalam suatu penelitian yang mencoba suatu obat baru, metode
pengobatan baru atau alat baru. Disatu pihak cara ini menyajikan kemungkinan bagi
subjek untuk mendapat manfaat langsung dari penelitian disamping memperoleh data-
data baru untuk ilmu pengetahuan, namun dilain pihak cara ini memiliki aspek yang
tidak menguntungkan karena mencampur adukkan peran dokter serta peran peneliti dan
mengaburkan antara praktek klinis dan praktek ilmiah.
d. Masalah yang tersembunyi dibalik semua skema ini adalah kewajaran. Artinya, apakah
kita berlaku wajar dengangan memilih subjek penelitian. Yang harus dihindarkan adalah
suatu kelompok tertentu terus menerus dipakai untuk penelitian atau dikenakan resiko
karena tidak sanggup menolak diikut sertakan dalam penelitian.

3. Kewajiban ikut serta dalam penelitian


Masalah wajar atau tidak dalam memperoleh subjek penelitian, menjadi latar belakang
masalah untuk menanyakan, apakah ada kewajiab untuk ikut serta dalam penelitian.

10
Beberapa pengarang menyarankan bahwa rasa solidaritas menuntut, aga semua orang
bersedia menjadi suyek penelitian. Karena kita mendapat manfaat kerena kesedian orang lain
menjadi subjek penelitian, maka kita juga harus bersedia menjadi subjek penelitian, sehingga
orang laind apat merasakan manfaatnya.
Altruisme bisa juga menjadi motif dan ikut serta dalam penelitian. Altruisme
mementingkan manfaat bagi masyarakat dan faedah yang didapat oleh yang
membutuhkannya. Kebesarah hati seperti itu dapat menjadi motif bagi orang lain untuk ikut
serta dan sukarela dan bisa membantu menjalin kebersamaan antara yang sakit dan sehat.
Pembenaran lain untuk mengikut sertakan dalam penelitian didasarkan atar orientasi
utilitaristis. Orang wajib ikut serta dalam penelitian karena manfaat yang didapat oleh
masyarakat dan karena pengetahuan berharga yang bisa diperoleh. Semua orientasi ini
menyajikan alasan cukup untuk ikut serta dalam penelitian.

4. Kewajiban peneliti
a) Melaksanakan penyempurnaan rancangan penelitian, termasuk protokol dan petunjuk
pelaksanaan menjadi sutu dokumen resmi penelitian.
b) Melaksanakan penelitian sesuai protokol penelitian.
c) Melaksanakan tertib administrasi dan kearsipan termasuk rekam akademik dan informed
konsent setiap subjek penelitian
d) Menyimpan laporan pelaksanaan penelitian yang terdiri dari:
1) Laporan priodik
2) Laporan khusus, sesegera mungkin tentang kasus cacat, kematian subjek atau kasus
serius lainnya yang tidak terduga sebelumnya dan dapat membahayakan subjek
penelitian
3) Laporan akhir penelitian, pali lambat setelah 3 bulan setelah penelitian selesai

2.3 Etika Pengambilan Sampel Pasien Gangguan Jiwa


Sejalan dengan perkembangan ilmu antropologi dan kedokteran, penelitian dengan
menggunakan sampel pasien gangguan jiwa menjadi hal yang semakin umum dilakukan.
Perkembangan dalam topik penelitian pasien gangguan jiwa ke arah medis dan karakter
genetik juga semakin memperluas kemungkinan pengambilan sampel bagian tubuh atau
jaringan tubuh manusia. Berbicara tentang etika dalam pengambilan sampel pasien gangguan
jiwa bisa sangat rumit. Biasanya, kajian etika diawali dari intuisi moral si pengamat,
meskipun seringkali tidak berakhir pada hal yang sama. Pada kenyataannya, etika sangat
berkaitan dengan persepsi tentang hal yang sangat berarti, nilai-nilai yang dianut, biaya
yang mungkin dikeluarkan, serta resiko dan keuntungan yang mungkin
diperoleh. Sehingga, penyusunan materi etika suatu penelitian biasanya
melibatkan tidak hanya dari kalangan peneliti tetapi juga dari non-peneliti,
11
seperti pakar ilsafat, pakar ilmu sosial, organisasi non pemerintah dan
perwakilan berbagai agama. Hal ini disebabkan karena cara orang
mengambil kesimpulan tentang nilai-nilai etika sangat tergantung kepada
pengalaman mereka dalam bidangnya masing-masing.
Berbagai forum peneliti ataupun institusi pendidikan maupun
penelitian secara lembaga maupun nasional juga menyusun dan
mempublikasikan isu-isu etik yang berkaitan dengan penelitian manusia
(misalnya Komisi Nasional Bioetik di Indonesia, Nuield Council on
Bioethics, dan European Nutrigenomics Organization di Norwegia).
Komite-komite etik tersebut memang diharapkan pembentukannya untuk
menguji isu-isu etik, legal, ilmiah dan sosial terkait dengan proyek
penelitian yang melibatkan manusia seperti yang tercantum dalam
Universal Declaration on Bioethics and Human Rights pasal 19 (UNESCO, 2005).
Keberadaan forum dan institusi tersebut secara tidak langsung juga
mampu memberikan pembelajaran kepada masyarakat ilmiah maupun
umum dalam menghadapi tantangan-tantangan baru sejalan dengan
perkembangan praktik penelitian pasien gangguan jiwa pada masa yang akan
datang. Hampir semua komisi bioetik menyatakan bahwa penggunaan
bagian tubuh atau jaringan manusia pada prinsipnya adalah dapat
diterima dalam pelaksanaan penelitian secara sewajarnya. Konsep
’sewajarnya’ biasanya dikaitkan dengan penggunaan jaringan manusia
yang menghindari dan membatasi luka yang diakibatkan seminimal
mungkin. Hal ini terutama ditujukan untuk menghormati tubuh dan harga
diri manusia sesuai dengan prinsip-prinsip harga diri dan hak asasi
manusia seperti yang tercantum dalam Universal Declaration on Bioethics
and Human Rights pasal 3 (UNESCO, 2005).
Dengan kata lain, penelitian pasien gangguan jiwa tidak bertujuan untuk
memperlakukan partisipan sebagai benda untuk objek penelitian. Semakin
banyak luka atau kegagalan fungsi tubuh yang diakibatkan selama
kegiatan penelitian ilmiah mengindikasikan semakin rendahnya
penghormatan terhadap tubuh dan harga diri manusia. Sebaliknya, terapi
dan semua praktik dianggap memiliki nilai etika khusus karena bertujuan
untuk memperbaiki kerusakan tubuh meskipun dilakukan dengan cara
12
menyakiti pasien. Sehingga, terapi dalam praktik tidak dianggap sebagai
aktivitas yang tidak menghargai hidup dan harga diri manusia. Meskipun
demikian, pada kasus lainnya, seperti jika kita menjual atau membeli
sampel manusia, seringkali masih menjadi perdebatan. Kondisi ini penting
agar penelitian memiliki tujuan yang jelas dan terarah, terutama untuk
menghindari kemungkinan tindakan kekerasan, intimidasi, ketidakjujuran,
manipulasi, kecenderungan kesalahan pemahaman tentang kegiatan
penelitian, ketidakrahasiaan fakta atau hal-hal lain yang bisa
menyebabkan konlik kepentingan dan sejenisnya.

2.4 Melakukan Penelitian Yang Bersifat Transparan


Karena publisitas yang diberikan kepada problem-problem disekitar penelitian
terjadilah sebuah diskusi mengenai cara melakukan penelitian. Forum-forum utama bagi
perdebatan ini telah dibentuk oleh presiden Amerika Serikat, diskusi ini dikembangkan dalam
departemen Kesehatan Amerika Serikat dan perkembangangannya pada taraf federal.
Salah satu hasil diskusi tersebut adalah terciptanya seperangkat aturan tentang
bagaimana penelitian atas manusia dilakukan. Aturan ini memiliki dua tujuan, yaitu;
pertama ,aturan-aturan ini mendefenisikan dengan jelas persetujuan berdasarkan informasi:
persetujuan yang dengan sadar diberikan oleh seseorang atau wakil yang diberi kuasa legal
olehnya, yang berada dalam kondisi demikian sehingga ia dapat menjalankan pilihan dengan
bebas, tanpa pengaruh dari luar atau unsur paksaan, penipuan, penyesatan, kekerasan atau
bentuk tekanan atau paksaan lainnya. Standar ini diakui cukup tinggi, kerana telah dipahami
bahwa otonomi sebagai nilai dan sekaligus menetapkan standar tinggi untuk melindungi nilai
itu.
Kedua, aturan-aturan itu merinci informasi yang harus diberikan, yaitu :
a) Penjelasan tentang prosedur dan tujuannya, agar subjek mengetahui bahwa ia melibatkan
diri dalam sebuah eksperimen.
b) Menyebutkan resiko dan kendala yang timbul selama dan setelah eksperimen
c) Menggambarkan manfaat yang mungkin diperoleh.
d) Menunjukkan terapi lain yang mungkin dilakukan.
e) Menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh subjek.
f) Meneguhkan bahwa subjek berhak setiap saat mengundurkan diri dari eksperimen tanpa
sanksi.
Aturan-aturan ni dilaksanakan melalui komisi etika Penelitian, yang dia Amerika
Serikat disebut Institutional Review Board. Di Amerika Serikat suatu Komisi Etika Penelitian
hanya dapat melakukan penelitian dengan manusia bila ditugaskan oleh aturan federal atau ia
dapat mengawasi semua penelitian mengenai manusia yang diaakukan dalam lembganya.
13
Komisi etika Penelitian pada dasarnya mempunyai dua tugas, pertama, Komisi Etika
Penelitian mengawasi dan memantau penelitian yang dilakukan dalam lembaganya. Kedua,
komisi ini menilai keseimbangan antara resiko dan manfaat dalam protokol-protokol tertentu.
Maksudnya adalah menjamin bahwa protokol-protokol tertentu dapat mengerti dan
membahas serta menentukan dapat diterimanya atau tidak perbandingan resiko manfaat.
Pengawasan ini berusaha memastikan bahwa otonomi pasien terlindungi.
Walaupun Komisi penelitian ini menambah tahap birokrasi dan administratif baru antra
subjek penelitian dan peneliti, karena penelitian berjalan normal juga. Sebahagian besar
komisi ini lebih suka menerima usul-usul penelitian, tapi berusaha menyelesaikan masalah
dengan jalan perundingan. Kadang kala perundingan itu memkan waktu yang lama, dan
kadang hasi perundingan mendapatkan keritikan pedas.

14
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 CONTOH KASUS


Tn. D (34 Th) merupakan pasien gangguan jiwa dengan diagnosis Perilaku Kekerasan
akibat kegagalan usaha (bangkrut). Tn.D adalah pasien baru dan masih mengalami
kerentanan emosi. Seorang mahasiswa X, berniat melakukan penelitian pada Tn. D tentang
”Pengaruh Terapi Tertawa terhadap tingkat kemarahan pasien resiko Perilaku Kekerasan”.
Karena Tn.D tidak dapat diajak untuk komunikasi, mahasiswa X melakukan pengkajian Tn.D
dengan melihat catatan medik pasien. Perawat di RSJ tersebut menyarankan Mahasiwa X
untuk terlebih dahulu menunggu keluarga Tn. D untuk mendapatkan data pengkajian lebih
detail, namun karena keterbatasan waktu, mahasiswa tersebut menolak dengan halus dan
berdalih bahwa terapi tertawa aman dan telah diterapkan dibeberapa negara. Pada hari
pertama intervensi terapi tertawa, Tn.D diberikan permainan sederhana, intervensi berjalan
dengan lancar dan mendapatkan hasil yang diharapkan, Pada hari yang kedua Tn. D diberikan
terapi menonton film yang bertema humor yaitu ”Mr. Bean”.
3.2 PEMBAHASAN SINGKAT KASUS
Terapi tertawa merupakan terapi komplementer yang bermanfaat untuk memperbaiki
keadaan emosi, karena ketika tertawa sekresi epinephrine akan tertekan dan mendorong
pelepasan endorphin (Fonzi, Matteucci, & Bersani, 2010). Dalam beberapa penelitian di
dunia terapi tertawa telah diaplikasikan dan mendapatkan manfaat yang signifikan. Namun
berdasarkan kasus diatas terdapat kesenjangan yang terjadi yaitu kegagalan subjek penelitian
dalam intervensi keperawatan terapi tertawa. Hal-hal yang mempengaruhi kegagalan subjek
penelitian dalam intervensi terapi tertawa sesuai kasus diatas antara lain :
Ketidaksiapan Responden sebagai subjek penelitian. Menilik pada kasus diatas, Tn.D
adalah pasien baru dan masih mengalami kerentanan emosi. Hal ini bertentangan dengan
kebijakan American Hospital Association (AHA) bahwa dalam melakukan riset pada manusia
kepentingan ilmu pengetahuan atau kepentingan masyarakat tidak boleh didahulukan
daripada pertimbangan kesejahteraan subjek. dan pasien memiliki hak untuk menyetujui atau
menolak berpartisipasi atas usulan studi penelitian atau percobaan yang melibatkan manusia
yang mempengaruhi perawatan dan pengobatan. Pada kasus diatas seharusnya pasien
diberikan kesempatan untuk menenangkan diri terlebih dahulu mengingat kondisi pasien

15
yang masih labil dan beresiko jika dijadikan sebagai subjek penelitian yang diberikan
perlakuan tertentu.
Berdasarkan kasus diatas peneliti dalam hal ini mahasiswa X kurang mengindahkan
prinsip etika dalam subjek penelitian manusia. Penelitian kesehatan yang menggunakan
manusia sebagai subyek, maka aspek etika yang menyangkut penghargaan atas martabat
manusia, tidak dapat dikesampingkan. Selain penghargaan atas hak dan martabat sebagai
manusia, peneliti harus memahami bahwa informasi tentang substansi penelitian, adalah
milik manusia subyek tersebut, baik informasi lisan maupun respon biologik. Kurang lebih
kepada subyek harus dimintakan persetujuan untuk memberikan informasinya secara bebas,
otonom dan sukarela, setelah terlebih dahulu memahami seluk beluk penelitian tersebut
terutama manfaat dan risiko yang akan muncul akibat keikutsertaannya dalam penelitian.
Dengan demikian akan terjadi semacam transaksi antara pemberi dan penerima informasi
dalam hal ini antara peneliti dengan subyek/partisipan (Bertens, 2001).

3.3 ANALISA KESENJANGAN SUBJEK PENELITIAN GANGGUAN JIWA


Keperawatan kesehatan jiwa sering dihadapkan pada situasi etik yang komplek dalam
perawatan pasien, keluarga dan komunitas. Perawat harus mempunyai perhatian,
pengetahuan, kesadaran diri dan kemampuan untuk memfokuskan kegiatan klien. Untuk itu
diperlukan pedoman tanggung jawab standar etik yang tinggi dalam pelaksanaan praktek
asuhan keperawatan terkhusus dalam menempatkan pasien gangguan jiwa sebagai subjek
penelitian. UU RI No. 3 Tahun 1966 Bab III Pasal 4 Tentang Kesehatan Jiwa telah dijelaskan
bahwa perawatan, pengobatan dan tempat perawatan penderita penyakit jiwa diatur oleh
Menteri Kesehatan. Oleh karena itu, setiap penderita mempunyai hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan oleh pemerintah.
Prinsip yang melandasi etik dalam penelitian pada subjek gangguan jiwa perlu
diketahui oleh perawat mental psikiatri yakni Otonomi. Otonomi adalah kebebasan untuk
menentukan yang terbaik bagi klien. Klien yang memiliki otonomi akan menghargai orang
lain tanpa adanya keterikatan atau mengharapkan keuntungan dari orang lain termasuk dalam
proses penelitian, klien memiliki otonomi. Beneficience Merupakan wujud perbuatan baik
atau menguntungkankan orang lain, sehingga output dari kegiatan penelitian pasien harus
memberikan manfaat pada pasien. Nonmaleficience adalah prinsip melakukan tindakan tanpa
bahaya, tidak menambah penderitaan, tidak merugikan dan tidak mengurangi kebebasan
orang lain. Veracity, Perawat dituntut bicara jujur untuk menyampaikan hal yang

16
sebenarnya,Jika diaplikasikan dalam kegiatan penelitian perawat harus transparan dalam
memberikan inform consent tentang pelasksanaan penelitian, Justice, Memperlakukan orang
lain secara adil tanpa membedakan status sosial, ras, agama dan sebagainya, Fidelity
Mempertahankan komitmen atau janji, setiap intervensi penelitian harus sesuai dengan
komitmen awal.
Risiko pada subyek atau masyarakat harus dipertimbangkan dengan
membandingkannya dengan potensi manfaat. Perbandingan probabilitas risiko
terhadap probabilitas manfaat harus ditentukan, demikian juga dengan derajat
risiko dan derajat potensi manfaat. Insentif finansial untuk subyek penelitian
seyogyanya tidak diasumsikan sebagai potensi manfaat. Hal inilah yang merupakan tantangan
terbesar bagi peneliti dan komite etik, yaitu untuk menetapkan bahwa potensi
manfaat melebihi kemungkinan risiko penelitian (Ryandini et al., 2011).
Hal utama yang membuat perlindungan etik pada penderita gangguan jiwa menjadi
penting yaitu kapasitas dalam mengambil keputusan. Kapasitas dalam membuat keputusan
adalah hal mutlak dalam proses mendapatkan persetujuan setelah penjelasan (informed
consent) yang valid. Dalam Pedoman Etika Penelitian Kesehatan di Indonesia, masalah
kapasitas penderita gangguan jiwa mendapat perhatian khusus dan terdapat dalam pedoman
15 (Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, 2007). Kapasitas dalam mengambil
keputusan adalah istilah klinis yang bersifat spesifik untuk menggambarkan kemampuan
penderita secara klinis dalam membuat keputusan spesifik. Kapasitas dalam mengambil
keputusan pada penderita gangguan jiwa mengalami penurunan karena gejala gangguan jiwa
itu sendiri, dan dari penurunan fungsi kognitif. Gejala gangguan jiwa dapat mempengaruhi
proses pikir seperti penderita depresi yang ingin ikut serta dalam penelitian karena berharap
akan meninggal dalam proses ‘percobaan’, penderita cemas yang cenderung menolak dan
khawatir yang berlebihan, dan penderita psikosis yang tindakan dan pikirannya terpengaruh
oleh gejala waham dan halusinasinya. Sementara penurunan fungsi kognitif dapat terjadi
karena gejala yang kronis dan berkelanjutan, serta akibat isolasi sosial yang berlangsung lama
(Williams, 2005). Sehingga, penting diperhatikan bahwa penderita gangguan jiwa merupakan
salah satu kelompok rentan yang perlu dilindungi dari perlakuan yang merugikan selama
proses penelitian.
Penderita gangguan jiwa tidak diperkenankan untuk dipakai sebagai subjek penelitian
yang dapat dilaksanakan pada orang yang sehat jiwa. Partisipasi mereka adalah mutlak perlu
untuk mengadakan penelitian mengenai kondisi yang hanya dijumpai pada penderita

17
gangguan jiwa (Fisher, 2009). Penelitian yang dilakukan seharusnya memberi manfaat untuk
mereka, tidak hanya untuk keuntungan peneliti. Persetujuan juga harus diperoleh dari pihak
keluarga, dimana mereka juga ikut andil dalam proses penelitian dalam hal mengambil
keputusan serta pertanggungjawaban secara hukum pada informed consent. Meskipun pada
saat akan melakukan penelitian telah diberlakukan prosedur yang ketat, seperti memperoleh
informasi persetujuan dari peserta dan lisensi untuk pelaksanaan penelitian dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan, suatu penelitian juga harus membuat pemonitoran baik pada data dan
keselamatan subjek selama proses penelitian, terutama pada kelompok khusus seperti
penderita gangguan jiwa.
Konflik antara kebutuhan akan penelitian yang cepat dan efisien dengan perlindungan
terhadap manusia yang menjadi subjek telah mendapat perhatian serius sejak beberapa
dekade terakhir. Konflik ini telah menghasilkan prinsip-prinsip etis penelitian yang tercatat
dimulai dengan the Nuremberg Code (1948) hingga the UNESCO Universal Declaration on
Bioethics and Human Right (2009). Etika penelitian dikembangkan terutama untuk
menjembatani kebutuhan melakukan penelitian dengan perlindungan terhadap manusia yang
menjadi subjeknya. Keduanya adalah hal penting yang harus dilakukan dengan sinergis.
Karenanya, dilema etis dalam penelitian dengan subjek manusia bukanlah konflik antara
kebaikan dan keburukan, melainkan kompetisi antar kebaikan, seperti kebaikan dari
penelitian yang aman, dengan kebaikan dari pengetahuan yang dihasilkan oleh penelitian
(DuBois, 2009).
Orang dengan gangguan kesehatan jiwa memiliki tiga kebutuhan dasar yang harus
diperhatikan petugas, yaitu kebutuhan untuk dihargai, kebutuhan untuk mendapatkan
tanggung jawab dan kebutuhan untuk tindakan keperawatan. Ketiga kebutuhan ini saling
tergantung satu sama lain. Kemampuan untuk melaksanakan tanggung jawab berkaitan
langsung dengan seberapa jauh kebutuhan untuk dihargai dan dirawat dengan penuh empati
diberikan oleh petugas kepada pasien. Sebelum mampu memenuhi kebutuhan pasien untuk
dirawat dengan penuh empati dan kebutuhan pasien untuk dirawat dengan penuh
penghargaan, maka seorang petugas masih memiliki tanggung jawab besar dalam pemenuhan
kebutuhan tersebut (Hummelvoll, 2008).
Menurut Hamid (2005) prinsip etik dalam kesehatan jiwa terkait dengan hak klien,
adalah Self determination atau menolak treatment, mencari saran/pendapat, memilih bentuk
treatment lain. Pasien yang dilibatkan dalam penelitian sebagai subjek yang diteliti memiliki
hak untuk menolak treatment dan mencari saran tenaga kesehatan lain. Hal ini menunjukkan

18
bahwa setiap pasien gangguan jiwa juga memiliki otoritas terhadap intervensi keperawatan
yang diberikan pada dirinya selama pasien tersebut dinilai layak untuk pengambilan
keputusan atas dirinya berdasarkan undang-undang. Informed concent harus tetap
dilaksanakan sebelum pasien mendapat perlakuan sebagai subjek penelitian mengingat pasien
dan keluarga memiliki hak untuk menerima taupun menolak treatment yang diberikan
kepadanya.
Pendekatan humanistik dalam mengimplementasikan penelitian harus benar-benar
diperhatikan (G.W Stuart. 2013). Dengan demikian, siapapun yang melakukan penelitian
kesehatan dengan subjek gangguan jiwa harus mempunyai kemampuan dalam mengatasi
masalah pasien secara ilmiah, memperhatikan legal dan etis agar tindakannya tidak
bertentangan dengan norma yang ada baik dalam menjalankan penelitian, dalam berhubungan
dengan profesi lain dan juga secara humanistik dalam memperlakukan pasien sebagai subjek
dan objek dalam pelaksanaan tindakan.

19
BAB IV
KESIMPULAN

Penelitian manusia (pasien gangguan jiwa) adalah suatu upaya yang dilakukan dalam
bidang kesehatan untuk memperbaiki ataupun meningkatkatkan taraf kesehatan. Sehingga
dilakukan beberapa pengujian yang membutuhkan sampel manusia untuk mengetahui gejala
akan suatu penyakit dan pengobatan yang dilakukan. Namun banyak penelitian yang
menyimpang dari kewajaran, sehingga merugikan pihak pasien. Etika penelitian
dikembangkan terutama untuk menjembatani kebutuhan melakukan penelitian dengan
perlindungan terhadap manusia yang menjadi subjeknya. Hal utama yang membuat
perlindungan etik pada penderita gangguan jiwa menjadi penting yaitu kapasitas dalam
mengambil keputusan. Kapasitas dalam mengambil keputusan pada penderita gangguan jiwa
mengalami penurunan karena gejala gangguan jiwa itu sendiri, dan dari penurunan fungsi
kognitif. Persetujuan juga harus diperoleh dari pihak keluarga, dimana mereka juga ikut
andil dalam proses penelitian serta pertanggungjawaban secara hukum pada informed
consent. Dalam penelitian kelompok ini penting membuat pemonitoran baik pada data dan
keselamatan subjek selama proses penelitian. Dimana, hal tersebut memberikan perlindungan
etik dengan subjek penderita gangguan jiwa.

20
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental


disorders. (4th edition; Text Revision) (DSM-IV-TR). Arlington, VA: Author.
Bertens, K. 2001. Perspektif Etika: Esai-Esai Tentang Masalah Aktual. Yogyakarta: Kanisius.
Brockopp, D. Y. (2000). Dasar-dasar Riset Keperawatan. Jakarta: EGC.
Demyttenaere, K., Bruffaerts, R., Posada-Villa, J., Gasquet, I., Kovess, V., Lepine, J. P., . . .
Chatterji, S. (2004). Prevalence, severity, and unmet need for treatment of mental
disorders in the World Health Organization World Mental Health Surveys. JAMA,
291(21), 2581-2590. doi: 10.1001/jama.291.21.2581DuBois
Departemen Kesehatan RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI
DuBois, J. M., Volpe, R. L., & Rangel, E. K (2008). Hidden Empirical Research Ethics: A
Review of Three Health Journals From 2005 Through 2006. Journal of Empirical
Research on Human Research Ethics, 7-18. doi: 10.1525/jer.2008.3.3.7
_________. (2011). "Ethical Issues in Mental Health Research: The Case for Community
Engagement," Current Opinions in Psychiatry, 24: 208-214
Fisher, M. A (2009). Ethics-based Training For Nonclinical Staff In Mental Health Settings.
Professional Psychology: Research and Practice, 40(5), 459-466.
Irmansyah.(2010). Isu Etik Dalam Penelitian di Bidang Kesehatan. Jarkarta: Asosiasi Ilmu
Forensik Indonesia (AIFI) bekerjasama dengan Universitas YARSI.
Kraewski, C., Burazeri, G., Brand, H., (2013). Self-stigma, perceived discrimination and
empowerment among people with a mental illness in six countries: Pan European
stigma study. Psychiatry Research. 210, 1136-1146
Utarini A, Probandari A, Lestari T, dan Hartriyanti Y. (2010). Handout Kuliah Metode
Penelitian: Etika Penelitian Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: UGM
Williams, C. C.(2005). Ethical Considerations in Mental Health Research With Racial and
Ethnic Minority Communities. Community Mental Health Journal, 41(5), 509-520.
World Health Organization. (2005). WHO Resource Book on Mental Health, Human Rights
and Legislation. ISBN 92.4.156282 X.

21

Anda mungkin juga menyukai