PRILAKU KEKERASAN
Pokok Bahasan
: Prilaku Kekerasan
Sasaran
Hari/ Tanggal
Waktu
Tempat
I.
Latar Belakang
Perkembangan pelayanan kesehatan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah
kehidupan bangsa setelah Indonesia merdeka, pelayanan kesehatan terhadap masyarakat
dikembangkan sejalan dengan tanggung jawab pemerintah melindungi rakyat Indonesia
dari berbagai masalah kesehatan yang berkembang. Kesehatan adalah hak azazi
manusia yang tercantum juga dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945. Oleh
karenanya pemerintah telah mengadakan pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkan
oleh rakyat Indonesia. Pelayanan kesehatan yang menjadi pintu layanan terdepan dalam
hubungannya dengan masyarakat adalah dirumah sakit. Sebagai pemberian layanan
kesehatan yang komplek, perawat senantiasa mengembangakan ilmu dan teknologi di
bidang keperawatan mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan serta trend dan issue dalam
pelayanan (Yosep, 2007).
Dampak perkembangan zaman dan pembangunan dewasa ini juga menjadi
faktor peningkatan permasalahan kesehatan yang ada, menjadikan banyaknya masalah
kesehatan fisik juga masalah kesehatan mental/spiritual. Kesehatan jiwa (mental health)
menurut Undang-Undang No. 3 tahun 1966 yang terdapat dalam Maramis (2004)
adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan physik, intelektuil dan
emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu terus berjalan selaras
dengan keadaan orang-orang lain. Dengan semakin berkembangnya kehidupan dan
mordenisasi disemua bidang kehidupan menimbulkan gejolak sosial yang cukup terasa
1
dalam kehidupan manusia. Terjadinya perang, konflik dan lilitan krisis ekonomi
berkepanjangan salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi dan berbagai
gangguan kesehatan jiwa (Yosep, 2007). Bagi mereka yang tidak mampu
menggendalikan stressor baik dari stressor internal maupun eksternal mereka akan
kehilangan kontrol fikirannya, salah satu contohnya yaitu perilaku kekerasan marah dan
amuk. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain
(Yosep, 2007). Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang
stress berat membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalnya:
memaki-maki orang di sekitarnya, membantingbanting barang, menciderai diri sendiri
dan orang lain, bahkan membakar rumah, mobil dan sepeda montor. WHO (2001)
menyatakan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah
mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan
kesehatan jiwa. Pada masyaralakat umum terdapat 0,2 0,8 % penderita skizofrenia dan
dari 120 juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira-kira 2.400.000 orang anak
yang mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2004). Penderita gangguan jiwa yang
dirawat di RSJD Surakarta pada tahun 2002 sebanyak 2. 420 pasien dengan prosentasi
hunian (BOR) 74%, tahun 2003 sebanyak 2. 560 pasien dengan prosentasi hunian
84,49%. Pada tahun 2004 sebanyak 2.605 pasien dengan prosentase hunian 75,6%
(Rekam Medik RSJD, 2005). Penderita semakin bertambah setiap tahunnya. Hasil
wawancara dan observasi pada ruang Ayodya tanggal 5 September 2008 didapatkan
data bahwa bulan September terdapat 20 orang pasien, 10 pasien menggalami gangguan
perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pasien adalah marah dan
amuk. Asuhan keperawatan jiwa memiliki peranan yang sangat penting untuk
meningkatkan kualitas mental, intelektual, emosianal, sosial, dan fisik serta ekonomi
sebagai sumber kesejahteraan klien. Sistem asuhan keperawatan jiwa berbeda dengan
asuahan keperawatan pada orang sakit fisik dan orang normal pada umumnya. Jenis
pelayanan kesehatan yang dilakukan pada penanganan pasien dengan perilaku
kekerasan di atas adalah isolasi ruangan, pemberian mediak mentosa (pengobatan),
pengikatan, dan pembentukan tim krisis (Stuart and Sundeen, 1998). Kesemuanya
masih mengarah pada aspek keselamatan pada pasien dan juga orang lain di sekitarnya.
Seperti pelaksanaan komunikasi terapiutik yang berusaha mengekspresikan persepsi,
pikiran, dan perasaan serta menghubungkan hal tersebut untuk mengamati dan
melaporkan kegiatan yang dilakukan, (Stuart and Sundeen, 1998). Komunikasi
2
terapiutik dapat menjadi jembatan penghubung antara perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan dan pasien sebagai pengguna asuhan keperawatan. Karena komunikasi
terapiutik dapat mengakomodasikan perkembangan status kesehatan yang dialami
pasien. Komunikasi terapiutik memperhatikan pasien secara holistik meliputi aspek
keselamatan, menggali penyebab, tanda-tanda dan mencari jalan terbaik atas
permasalahan pasien. Juga mengajarkan cara-cara sehat yang dapat dipakai untuk
mengekspresikan kemarahan yang dapat diterima oleh semua pihak tanpa harus
merusak (asertif) dan tidak mencelakai diri sendiri, orang lain, lingkungan. Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut di atas, penulis ingin memberikan asuhan keperawatan
jiwa khususnya perilaku kekerasan dengan pelayanan kesehatan secara holistik dan
komunikasi terapiutik dalam meningkatkan kesejahteraan serta mencapai tujuan yang
diharapkan.
II.
Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan selama 1 x 30 menit, diharapkan peserta
penyuluhan diharapkan mampu memahami tentang pengertian prilaku kekerasan,
penyebab, tanda dan gejala, dll.
III.
Tujuan Khusus
Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan, peserta penyuluhan diharapkan mampu:
1.
2.
3.
IV.
1.
Ceramah
2.
Diskusi
3.
Tanya jawab
V.
Media
1.
Laptop
2.
LCD
3.
Leaflet
3
VI.
VII.
Isi Materi
1.
2.
3.
4.
No
Waktu
Kegiatan
Sasaran
Penyajian
1.
5 menit
Pembukaan
Pasien dan
Keluarga Pasien
salam a. Menjawab
a. Menyampaikan
a. Salam pembuka
pembuka,
b. Perkenalan
c. Menyampaikan
pelaksanaan
tujuan
maksud
dan
kegiatan
kepada
peserta
d. Kontrak waktu
penyuluhan
dengan
e. Melakukan
apersepsi
jelas
serta
salam
b. Memperhatika
n dan terlihat
antusias
mengikuti
penyuluhan
penggunaan
beberapa
20Kegiatan Inti
(tekanan
darah tinggi)
a. Menyampaikan
Penyampaian
memperhatikan
materi
sesuai
penyuluhan
dengan
metode
yang dipilih
b. Menyampaikan
materi
sehingga
kekurangan
waktu
c. Memanfaatkan
media
semua
yang
untuk
tersedia
menyampaikan
15 menit
Penutup
a. Melalukan
dialog a. Peserta
penyuluhan
b. Melakukan
penyuluhan.
dengan antusias
evaluasi
b. Menanyakan
c. Menyimpulkan
materi
yang
didiskusikan
d. Mengakhiri
beberapa
bertanya
dan
berdialog
pasien
materi
tentang
untuk
penyuluhan.
tentang
penyuluhan
mengetahui
feed
back.
kegiatan dengan
Misalnya
dengan
salam
bisa
menjawab
dengan benar.
dengan
dan
salam
ucapan
b. Bersama
penyaji
menyimpulkan
materi.
c. Mengerti
dan
mempunyai
c. Menyampaikan
kesimpulan
materi
pengetahuan
baru
tentang
materi
penyuluhan
ditandai dengan
hampir
keseluruhan
peserta
dapat
menjawab studi
kasus.
d. Menjawab
salam.
VIII.
Setting Tempat
Penyuluhan dilaksanakan di Ruang Arjuna, RSJ Bangli
5
Papan nama
operator
Ketua
Sekretaris
Penyaji
Moderoto
Operator
Keluarga
keluarga
Keluarga
keluarga
Keluarga
Keluarga
Fasilitator
keluarga
Fasilitator
IX.
Pengorganisasian
A.
Ketua
: Juliastuti
B.
Moderator
: Arik
C.
Penyaji
: Lisna
D.
Sekretaris
: Puriasih
E.
Fasilitator :
a.
Adyasa
b.
Rudi
F.
Observer
:Sila
G.
Operator
:Dewiyani
H.
Keluarga pasien
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Raysa
Itha
Yuli
Meta
Intan
Diah
Fery
X.
Evaluasi
A.
Evaluasi Struktur
1. SAP sudah siap 1 minggu sebelum penyuluhan.
2. Media (Laptop, LCD, Leaflet dan Lembar Studi Kasus) dan tempat sudah siap
3. Pengorganisasian sudah tersusun.
4. Penyaji sudah menyiapkan materi.
5. Moderator dan sekretaris sudah siap.
6. Peserta siap mengikuti penyuluhan.
B.
Evaluasi Proses
1. Media (Laptop, LCD, Leaflet dan Lembar Studi Kasus) sudah disiapkan sesuai
rencana.
2. Tempat siap dan disusun sesuai dengan setting tempat yang telah direncanakan.
3. Penyaji, moderator, sekretaris dan peserta siap mengikuti penyuluhan.
C.
Evaluasi Hasil
1. Penyuluhan berjalan sesuai rencana dan tepat waktu.
2. Masalah yang muncul saat pelaksanaan penyuluhan dapat diatasi dengan baik.
3. Tujuan penyuluhan tercapai yaitu peserta penyuluhan dapat memahami tentang
isi penyuluhan dan diharapkan akan terjadi perubahan.
XI.
Referensi
Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I. Jakarta
: EGC
Keliat Budi Ana. 2002. Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan. Jakarta :
FIK UI
Stuart GW, Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5
th ed.). St.Louis Mosby Year Book
LAMPIRAN MATERI
I.
PENGERTIAN
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal
atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995)
1. Prillaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
A.
II.
PENYEBAB
Untuk menegaskan keterangan diatas, pada klien gangguan jiwa, perilaku
kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga
diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat
digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan
diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak
enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri,
kebutuhan akan status dan prestise yang tidak terpenuhi.
A. Frustasi, sesorang yang mengalami hambatan
dalam
mencapai
statusnya.
TANDA DAN GEJALA
Perilaku kekerasan/amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut, manipulasi
atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik emosional yang
belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga menggambarkan rasa tidak
aman, kebutuhan akan perhatian dan ketergantungan pada orang lain.
1. Gejala klinis
Gejala klinis yang ditemukan pada klien dengan perilaku kekerasan
didapatkan melalui pengkajian meliputi :
A.
Wawancara : diarahkan penyebab marah, perasaan marah, tandatanda marah yang diserasakan oleh klien.
B.
Gejala Klinis
A.
B.
C.
D.
E.
Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan
yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
(Budiana Keliat, 1999)
IV.
FAKTOR PREDISPOSISI
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang mungkin menjadi faktor
predisposisi yang mungkin/ tidak mungkin terjadi jika faktor berikut dialami oleh
individu :
A. Psikologis; kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk.
B. Perilaku, reinforcement yang diteima ketika melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan, merupakan aspek yang menstimuli mengadopsi
perilaku kekerasan.
C. Sosial budaya; budaya tertutup, control sosial yang tidak pasti terhadap
perilaku kekerasan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima.
D. Bioneurologis; kerusakan sistem limbic, lobus frontal/temporal dan
ketidakseimbangan neurotransmiser.
V.
FAKTOR PRESIPITASI
Bersumber dari klien (kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, percaya
diri kurang), lingkungan (ribut, padat, kritikan mengarah penghinaan, kehilangan
10
11