Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah dimana keadaan sejahtera mulai dari badan, jiwa
serta sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial
dan ekonomi World Health Organisation (WHO, 2015). Sedangkan
menurut undang-undang No.18 tahun 2014 kesehatan jiwa ialah dimana
kondisi seseorang individu dapat berkembang secara fisik, mental,
spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitas disekitarnya
(Kemenkumham, 2014)
Pasung merupakan tindakan pengekangan, pembatasan aktivitas
secara fisik, menggunakan berbagai jenis alat seperti rantai, belenggu, tali,
balok kayu, kurungan, diasingkan, atau dirantai pada ruangan terasing.
Tindakan pasung dilakukan oleh 14,3 % Keluarga di Indonesia yang salah
satu anggota keluarga mengalami gangguan jiwa berat (Kemenkes, 2013).
Menurut badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization
(WHO)tahun 2016 melaporkan sekitar 450 juta orang di dunia mengalami
gangguan jiwa. Menurut laporan dari Human Rights Watch Indonesia
dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta orang sakit jiwa, sedangkan
Indonesia memiliki 600-800 psikiatri, hal tersebut berarti satu orang
menangani 300.000 hingga 400.000 orang (Wijayanti, 2016). Di Cina
jumlah pemasungan di tahun 2012 mencapai 230 ini berlokais di daerah
demonstrasi di 26 provinsi (Guan, et all. 2015).
Dengan ini kelompok menyusun makalah untuk mengetahui legal
etik keperawatan jiwa pada pasien pasung.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan maka
dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Proses keperawatan jiwa pasien pasung?
2. Sociocultural context of psychiatric nursing care pasien pasung?
3. Apa Issue dan legal etik dalam keperawatan jiwa pasien pasung?
4. Apa Prinsip etik dalam keperawatan jiwa pasien pasung?
5. Apa Dilema etik dan proses pengambilan keputusan etik dalam
keperawatan jiwa pasung ?
6. Apa Hak-hak pasien jiwa pasien pasung?
7. Bagaimana Peran legal perawat dalam keperawatan jiwa pasien
pasung?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui proses keperawatan jiwa pasien pasung
2. Untuk mengetahui sociocultural context of psychiatric nursing care
pasien pasung
3. Untuk mengetahui issue dan legal etik dalam keperawatan jiwa pasien
pasung
4. Untuk mengetahui prinsip etik dalam keperawatan jiwa pasien pasung
5. Untuk mengetahui dilema etik dan proses pengambilan keputusan etik
dalam keperawatan jiwa pasien pasung
6. Untuk mengetahui hak-hak pasien jiwa pasien pasung
7. Untuk mengetahui peran legal perawat dalam keperawatan jiwa pasien
pasung

D. Manfaat
Manfaat disusun makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk Mahasiswa
a. Menambah pengetahuan tentang keperawatan jiwa pasien pasung.
b. Mengembangkan kreatifitas dan bakat penulis

2
c. Menilai sejauh mana penulis memahami teori yang sudah di dapat
tentang keperawatan jiwa pasien pasung
2. Untuk Institusi Stikes Zainul HasanGenggong
a. Makalah ini dapat menjadi audit internal kualitas pengajar
b. Sebagai tambahan informasi dan bahan kepustakaan dalam
pemberian materi tentang keperawatan jiwa pasien pasung.
3. Untuk pembaca
Pembaca dapat mengetahui, memahami dan menguasai tentang
keperawatan jiwa pasien pasung.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pasung
Pasung merupakan tindakan pengekangan, pembatasan aktivitas
secara fisik, menggunakan berbagai jenis alat seperti rantai, belenggu, tali,
balok kayu, kurungan, diasingkan, atau dirantai pada ruangan terasing
(Yusuf dkk, 2017).
Pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah balok kayu
pada tangan dan/atau kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada
suatu tempat tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan. Keluarga dengan
klien gangguan jiwa yang dipasung seringkali merasakan beban yang
berkaitan dengan perawatan klien. Alasan keluarga melakukan
pemasungan adalah mencegah perilaku kekerasan, mencegah risiko bunuh
diri, mencegah klien meninggalkan rumah dan ketidak mampuan keluarga
merawat klien gangguan jiwa (Suharto, 2014).
Mereka lebih memilih menyembunyikan penderita dibanding
mengobati. Kebanyakan pelaku dari kasus pemasungan ini adalah keluarga
dari si penderita gangguan jiwa itu sendiri. Keluarga penderita pada
umumnya tidak paham apa yang sebaiknya mereka lakukan terhadap para
penderita. Keluarga juga khawatir jika yang bersangkutan nantinya
melakukan tindakan merusak atau bahkan kekerasan kalau sakitnya itu
kambuh. Faktor keterbatasan ekonomi juga jadi faktor penting kenapa
penderita tidak dilarikan ke rumah sakit jiwa (Syarniah, 2014)

B. Proses Keperawatan Jiwa


Proses keperawatan merupakan suatu metode pemberian asuhan
keperawatan pada pasien, individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
yang logis, sitematis, dinamis, dan teratur(Depkes). Proses ini bertujuan
untuk memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan dan
masalah pasien sehingga mutu pelayanan keperawatan optimal. Kebutuhan
dan masalah pasien dapat diidentifikasikan dan di prioritaskan untuk di
penuhi dan di selesaikan. Dengan menggunakan proses keperawatan,

4
perawat dapat terhindar dari tindakan keperawatan yang bersifat rutin,
intuisi, tidak unik bagi individu klien (Yusuf, 2015).
Proses keperawatan jiwa pada klien dengan masalah kesehatan
jiwa merupakan tantangan yang unik karna masalah kesehatan jiwa
mungkin tidak dapat di lihat langsung seperti pada maslah kesehatan fisik,
memperlihatkan gejala yang berbeda, dan muncul oleh berbagai penyebab.
Kejadian masa lalu yang sama dengan kejadian saat ini, tetapi mungkin
muncul gejala yang berbeda. Banyak klien dengan maslah kesehatan jiwa
tidak dapat menceritakan masalahnya bahkan mungkin menceritakan hal
yang berbeda dan kontraindikasi. Kemampuan mereka untuk berperan
dalam menyelesaikan maslah juga bervariasi. Hubungan saling percaya
antara perawat dan klien merupakan dasar utama dalam melakukan asuhan
keperawatan pada klien gangguan jiwa. Hal ini penting karena peran
perawat dalam asuhan keperawatan jiwa adalah membantu klien untuk
dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan kemampuan yang di miliki.
Klien mungkin menghindar atau menolak berperan serta dan perawat
mungkin cenderung membiarkan, khususnya pada klien yang
menimbulkan keributan dan yang tidak membahayakan(Yusuf, 2015).
Pelaksanaan proses keperawatan jiwa bersifat unik, karna sering
kali pasien memperlihatkan gejala yang berbeda untuk kejadian yang
sama, masalah pasien tidak dapat dilihat secara langsung, dan
penyebabnya bervariasi. Pasien banyak yang mengalami kesulitan
menceritakan permasalahan yang di hadapi, sehingga tidak jarang pasien
menceritakan hal yang sama sekali berbeda dengan yang di alaminya .
perawat jiwa di tuntut memiliki kejelian yang dalam saat melakukan
asuhan keperawatan . proses keperawatan jiwa di mulai dari pengkajian
(termasuk analisis data dan pembuatan pohon masalah), perumusan
diagnosis, pembuatan kriteria hasil, perencanaan, implementasi dan
evaluasi(Stuart, 2013).

5
C. Sociocultural Context Of Psychiatric Nursing Care (Keadaan-
Keadaan Social Budaya Dalam Keperawatan Jiwa)
1. Kepekaan terhadap budaya adalah salah satu pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk kesuksesan dalam intervensi
keperatan pada kehidupan klien yang memiliki latar belaang budaya
yang berbeda-beda.
2. Faktor resiko untuk gangguan psikiatrik dari sosiokultural merupakan
faktor predisposisi yang dapat secara berarti meningkatkan potensial
kelainan psikiatrik, menurunkan potensi klien untuk sembuh, atau
sebaliknya. Hal tersebut meliputi umur, etnik, gender, pendidikan,
pendapatan, dan system keyakinan
3. Variasi dari stressor sosiokultural menghambat perkembangan
perawatan kesehatan mental meliputi : keadaan yang merugikan,
stereotype, intoleransi, stigma, prasangka, discrimination, rasisme
4. Respon coping dan gejala-gejala kelainan mental yang muncul
diekspresikan secara berbeda dalam budaya yang berbeda
5. Pengkajian kepada klien yang memiliki faktor resiko sosiokultural
menarik bagi perawat untuk mampu mengidentifikasi masalah-masalah
klien dan pengembangan tindakan keperawatan agar lebih akurat,
sesuai, dan memiliki kepekaan budaya
6. Bersama sama antara perawat dengan klien membutuhkan persetujuan
mengenai respon koping klien secara alami pemahaman dalam
memecahkan masalah, dan harapan akan hasil yang didapatkan dalam
konteks sosiokultural (Iyus dkk,2014).
D. Issue Dan Legal Etik Dalam Keperawatan Jiwa Pasien Pasung
Gangguan jiwa masih menjadi trend dan isu kesehatan mental yang
memerlukan perhatian dari pemerintah ataupun pihak terkait kesehatan
mental. Di Indonesia kesehatan jiwa masih belum menjadi agenda
prioritas. Masih rendahnya investasi pemerintah di bidang kesehatan dan
kesadaran masyarakat akan kesehatan jiwa dan pemberdayaan masyarakat
belum adekuat. Padahal adanya otonomi daerah memungkinkan
pemerintah daerah untuk meningkatkan status kesehatan jiwa di

6
wilayahnya baik di wilayah pedesaan dan pedalaman, dimana masyarakat
masih umum memasung anggota keluarganya yang menderita gangguan
jiwa (Syaifurrahman 2018).
Saat ini, pasung masih menjadi bentuk diskriminasi pada orang
dengan gangguan jiwa, dan bahkan hal tersebut telah menjadi “tradisi”
memasung bagi klien gangguan jiwa. Pentingnya dukungan dan
pendamping dimulai dari keluarga untuk menekan seminimal mungkin dan
mengembalikan keberfungsian sosialnya. Keluarga dapat menunjukkannya
dengan dukungan baik moril maupun materill emosional, materi, nasehat,
informasi, dan penilaian positif pada orang dengan gangguan jiwa
dirumah. Pendampingan keluarga merupakan perawatan paling penting
dalam penyembuhan klien yang akan berdampak baik secara fisiologis
maupun psikologis (Syaifurrahman 2018).

E. Prinsip Etik Dalam Keperawatan Jiwa Pasien Pasung


1. Otonomi
Otonomi adalah kebebasan untuk menentukan yang terbaik bagi klien.
Klien yang memiliki otonomi akan menghargai orang lain tanpa
adanya keterikatan atau mengharapkan keuntungan dari orang lain.
2. Benefisence
Benefisence merupakan wujud perbuatan baik atau menguntungkankan
orang lain
3. Nonmalefisience
Nonmalefisience adalah prinsip melakukan tindakan tanpa bahaya,
tidak menambah penderitaan, tidak membunuh dan tidak mengurangi
kebebasan orang lain.
4. Veracity
Perawat dituntut bicara jujur untuk menyampaikan hal yang
sebenarnya dan terkait dengan konsep bahwa seseorang harus
mengatakan secara meneyeluruh secara benar
5. Justice

7
Memperlakukan orang lain secara adil tanpa membedakan status
sosial, ras, agama dan sebagainya.
6. Fidelity
Mempertahankan komitmen atau janji (Suharyati,2020)

F. Dilema Etik Dan Proses Pengambilan Keputusan Etik Dalam


Keperawatan Jiwa Pasien Pasung
Pengambilan keputusan sesuai etik adalah upaya untuk
mengambilan keputusan dari kekurangan/kesalahan suatu situasi tanpa
guideline yang jelas. Menurut curtin (1978) yang dikutip oleh stuart
sundeen dalam principles and practice of psychiatric nursing care (1995),
membuat suatu model untuk critical ethical analysis/pengambilan
keputusan sesuai etik (Iyus Y & Titin S.2014) :
1. Meliputi pengumpulan informasi untuk mengklarifikasi latar belakang
issue tersebut.
2. Mengidentifikasi komponen etik atau keadaan dilemma yang terjadi,
seperti adakah faktor kebebasannya (di lihat dari sudut hak untuk
dapat meolak pelayanan)
3. Mengklarifikasi hak dan tanggung jawab yang ada pada seluruh pihak.
Ini meliputi klien, perawat, dan mungkin juga pihak lain seperti
keluarga klien, dokter, lembaga perawatan kesehatan, ulama/pendeta,
pekerja sosial, dan mungkin juga hakim. Hal ini adalah alternative
eliminasi agar tidak terjadi pelanggaran hak atau tampak
membahayakan.
Karena fungsi primer keperawatan jiwa berhubungan dengan manusia,
maka sangat penting untuk mengulas kembali bagaimana filosofi
merawat klien agar membantu perawat untuk membedakan
pendekatan mana yang akan digunakan. Untuk itu 4 pendekatan, yakni
:
a. Utilitarianism
b. Egoism
c. Formalism

8
d. Fairness
4. Yang terkahir adalah soslusi yang diimplementasikan ke dalam
tindakan. Dalam konteks memenuhi harapan sosial dan sesuai dengan
hukum yang beraku, perawat memutuskan ke dalam tujuan dan
metode Implementasi

G. Hak-Hak Pasien Jiwa Pasien Pasung


Klien kesehatan jiwa tetap memiliki semua hak sipil yang diberikan
kepada semua orang, kecuali hak untuk meninggalkan rumah sakit dalam
kasus komitmen involunter. Klien memiliki hak untuk menolak terapi,
mengirim dan menerima surat yang masih tertutup, dan menerima atau
menolak pengunjung. Setiap larangan ( misalnya : surat, pengunjung,
pakaian) harus ditetapkan oleh pengadilan atau instruksi dokter untuk
alasan yang dapat diverifikasi dan didokumentasikan. Contohnya sebagai
berikut :
a. Klien yang pernah berupaya bunuh diri tidak diizinkan menyimpan
ikat pinggang, tali sepatu, atau gunting, karena benda tersebut dapat
digunakan untuk membahayakan dirinya.
b. Klien yang menjadi agresif setelah kunjungan seseorang dilarang
dikunjungi orang tersebut selama suatu periode waktu.
c. Klien yang mengancam orang lain di luar rumah sakit melalui
telepon diizinkan menelepon hanya jika diawasi sampai kondisinya
membaik.
Hak pasien sangat bergantung pada peraturan perundangan.
Menurut Undang-Undang Kesehatan Pasal 144 mengatakan, “Menjamin
setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu
kesehatan jiwa”. Beberapa hak pasien yang telah diadopsi oleh banyak
Negara Bagian di Amerika antara lain sebagai berikut.
a. Hak untuk berkomunikasi dengan orang di luar rumah sakit.

9
Pasien bebas untuk mengunjungi dan berbicara melalui telepon
secara leluasa dan mengirim surat tertutup kepada siapapun yang
dipilihnya.
b. Hak terhadap barang pribadi.
Pasien berhak untuk membawa sejumlah terbatas barang
pribadi bersamanya. Namun, bukan menjadi tanggung jawab rumah
sakit untuk keamanan dan tidak membebaskan staf rumah sakit
tentang jaminan keamanan pasien.
c. Hak menjalankan keinginan.
Kemampuan seseorang untuk menyatakan keinginannya yang
dikenal sebagai “surat wasiat”. Pasien dapat membuat wasiat yang
apsah jika ia (1) mengetahui bahwa ia membuat surat wasiat, (2)
mengetahui sifat dan besar miliknya, dan (3) mengetahui siapa
teman dan keluarganya serta hubungannya dengan mereka. Tiap
kriteria ini harus dipenuhi dan didokumentasikan agar surat wasiat
tersebut dapat dianggap apsah.
d. Hak terhadap “Habeas Corpus”.
Semua pasien mempunyai hak, yang memperkenankan
pengadilan hukum, untuk mensyaratkan pelepasan secepatnya bagi
tiap individu yang dapat menunjukkan bahwa ia sedang kehilangan
kebebasannya dan ditahan secara tidak legal.
e. Hak terhadap pemeriksaan psikiatrik yang mandiri.
Pasien boleh menuntut suatu pemeriksaan psikiatri oleh dokter
yang dipilihnya sendiri. Jika dokter tersebut menentukan bahwa
pasien tidak menderita gangguan jiwa, maka pasien harus
dilepaskan.
f. Hak terhadap keleluasaan pribadi.
Individu boleh merahasiakan beberapa informasi tentang
dirinya dari orang lain. “Kerahasiaan” membolehkan pemberian
informasi tertentu kepada orang lain, tetapi sangat terbatas pada
orang yang diberi kewenangan saja. “Komunikasi dengan hak
istimewa” merupakan suatu pernyataan legal yang hanya dapat

10
digunakan dalam proses yang berkaitan dengan pengadilan. Ini
berarti bahwa pendengar tidak dapat memberikan informasi yang
diperoleh dari seseorang kecuali pembicara memberikan izin.
Komunikasi dengan hak istimewa tidak termasuk menggunakan
catatan rumah sakit, serta sebagian besar negara tidak memberikan
hak istimewa komunikasi antara perawat dan pasien. Selain itu,
terapis bertanggung jawab terhadap pelanggaran kerahasiaan
hubungan untuk memperingatkan individu yang potensial menjadi
korban tindak kekerasan yang disebabkan oleh pasien.
g. Hak persetujuan tindakan (informed consent).
Dokter harus menjelaskan tentang pengobatan kepada pasien,
termasuk potensial komplikasi, efek samping, dan risiko. Dokter
harus mendapatkan persetujuan pasien, yang harus kompeten,
dipahami, dan tanpa paksaan.
h. Hak pengobatan.
Kriteria untuk pengobatan yang adekuat didefinisikan dalam
tiga area, yaitu (1) lingkungan fisik dan psikologis manusia, (2) staf
yang berkualitas dan jumlah anggota yang mencukupi untuk
memberikan pengobatan, serta (3) rencana pengobatan yang bersifat
individual.
i. Hak untuk menolak pengobatan.
Pasien dapat menolak pengobatan kecuali jika ia secara legal
telah ditetapkan sebagai tidak berkemampuan. “Ketidakmampuan”
menunjukkan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa dapat
menyebabkan ketidakmampuannya untuk memutuskan dan
gangguan ini membuat ia tidak mampu untuk mengatasi sendiri
masalahnya. Ketidakmampuan hanya dapat dipulihkan melalui
sidang pengadilan lain (Yusuf, dkk., 2015).
H. Peran Legal Perawat Dalam Keperawatan Jiwa Pasien Pasung
Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran
legal:
a. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan

11
b. Perawat sebagai pekerja
c. Perawat sebagai warga Negara.
Perawat mungkin mengalami konflik kepentingan antara hak dan
tanggung jawab ini. Penilaian keperawatan propsesinal memerlukan
pemeriksaan yang teliti dalam konteks asuhan keperawatan,
kemungkinan konsekuensi tindakan keperawatan, dan alternative yang
mungkin dilakukan perawat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan sebagaimana di paparkan di atas, maka dapat di
tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Pemasungan dalam hukum positif yaitu orang gila yang memiliki
gangguan mental/kejiwaan tidak boleh di pasung karena mereka
dilindungi oleh undang-undang untuk memperoleh pengobatan dan
kehidupan layak. Tidak sepantasnya keluarganya memperlakukan
orang gila tersebut dengan cara mengurung atau memasungnya.
b. Tindakan pemasungan dilakukan oleh keluarga yang memiliki
penderita gangguan jiwa yang dilakukan oleh keluaga dengan
alasan agar keluarga lebih dapat mengawasi penderita supaya tidak
menyakiti diri sendiri dan orang lain serta keluarga tidak di buat
sulit jika pasien hilang/ pergi dari rumah. Pasung juga dipengaruhi
oleh faktor kultur (sosial, agama, dan budaya) dimana sebagian
masyarakat masih menganggap bahwa gangguan jiwa, sehingga
seseorang yang mengalami gangguan jiwa harus diasingkan atau
dikucilkan bahkan dipasung karena dianggap sebagai aib bagi
keluarga.
B. Saran
1. Keluarga Klien dengan Pasung
Berperan lebih aktif dalammerawat dan mencari sumber
pendukung untuk meningkatkan kemandirian klien pasung

12
sehingga hasil akhir yang diharapkan klien dapat terlepas adari
pasung.
2. Perlunya meningkatkan kerja sama dengan semua lapisan
masyarakat, stakeholder, tokoh agama, tokoh masyarakat dan
semua lintas sektoral, terutama pemerintah, untuk melaksanakan
program bebas pasung yang meliputi upaya preventif, promotif,
kuratif dan rehabilitatif agar masalah – masalah terkait dengan
penyakit jiwa dapat di tanggulangi.
3. Bagi pelayanan Keperawatan disarankan agar adanya asuhan
keperawatan pada keluarga, konseling atau pendidikan kesehatan
terkait stigma yang terjadi diantara keluarga yang mempunyai
penderita gangguan jiwa sehingga kelaurga berguna untuk
pengetahuan keluarga dan mengerti dalam sikap yang akan diambil
dalam tindak lanjut pengobatan pada keluarga yang sakit. Selain
itu, perlu dukungan dari berbagai pihak terutama dari petugas
kesehatan dan keperawatan di masyarakat untuk tetap memberi
semangat kepada keluarga yang mempunyai gangguan jiwa
agartetap sabar dan berusaha untuk menerima kondisinya sehingga
tetap memiliki semangat dalam memberi pengobatan pada keluarga
yang sakit.

13
DAFTAR PUSTAKA
Guan, lili et al. 2015. Unlocking patients with mental disorders who were in
restrain at home: A national follow-up study of china’s new public mental
health initiatives. Plos ONE 10(4): 1-14
Iyus Yosep, Titin Sutini. 2014. Buku ajar keperawatan jiwa dan advance mental
health nursing. Bandung : PT Refika Adimata
Suharyati. 2020. Model simple integrasi etik dalam pelayanan kesehatan.
Yogyakarta: CV budi utama
Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Stuart, G. W, Sundeen, S.J. 2013. Buku saku ilmu keperawatan jiwa. 5th ed.
Jakarta:EGC
Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Syaifurrahman Hidayat dkk. 2018. Pendampingan keluarga dan perawatan orang
dengan gangguan jiwa bebas pasung. Jurnal akses pengabdian indonesia.
Vol.3 No.2 e-ISSN 2548-3463
Syarniah, et. all..2014. “Studi deskriptif persepsi masyarakat tentang pasung pada
klien gangguan jiwa berdasarkan karakteristik demografi di desa sungai
arpat kecamatan karang intan kabupaten banjar”, Jurnal Skala Kesehatan.
Volume 5 No. 2
Yusuf, A, dkk. 2015. Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: salemba
medika

14
Yusuf AH dkk. 2017. Fenomena pasung dan dukungan keluarga terhadap pasien
gangguan jiwa pasca pasung. JKP. Vol.5 No.3
Wijayanti dkk. 2016. Lepas untuk kembali dikungkung: study kasus pemasungan
kembali Eks pasien. Jurnal Empati. Vol.5 (4): 786-798

15

Anda mungkin juga menyukai