Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawat merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan
kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat. Sebagai salah satu tenaga
profesional, keperawatan menjalankan dan melaksanakan kegiatan praktek keperawatan
dengan mengunakan ilmu pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat dipertanggung
jawabkan. Dimana ciri sebagai profesi adalah mempunyai body of knowledge yang dapat
diuji kebenarannya serta ilmunya dapat diimplementasikan kepada masyarakat
langsung(Kozier, 2010).
Etika merupakan peraturan dan prinsip bagi perbuatan yang benar. Etika berhubungan
dengan hal yang baik dan hal yang tidak baik dan dengan kewajiban moral. Etika merupakan
metode  penyelidikan yang membantu orang memahami moralitas perilaku manusia (yaitu
ilmu yang mempelajari moralitas), praktik atau keyakinan kelompok tertentu (misalnya,
kedokteran, keperawatan, dan sebagainya), dan standar perilaku moral yang diharapkan dari
kelompok tertentu sesuai dalam kode etik profesi kelompok tersebut (Kozier, 2010).
Pelayanan kepada umat manusia merupakan fungsi utama perawat dan dasar adanya
profesi keperawatan. "kebutuhan pelayanan keperawatan adalah universal. Pelayanan
profesional  berdasarkan kebutuhan manusia) karena itu tidak membedakan kebangsaan,
warna kulit, politik, status sosial dan lain-lain. Keperawatan adalah pelayanan vital terhadap
manusia yang menggunakan manusia juga, yaitu perawat. Pelayanan ini berdasarkan
kepercayaan bahwa  perawat akan berbuat hal yang benar, hal yang diperlukan, dan hal yang
menguntungkan pasien dan kesehatannya. Oleh karena manusia dalam interaksi bertingkah
laku berbeda-beda maka diperlukan pedoman untuk mengarahkan bagaimana harus bertindak.
Asuhan keperawatan jiwa ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan klien dan
kemandirian klien serta membantu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya baik
fisik maupun  psikologis, baik pada individu, keluarga maupun kelompok masyarakat
(komunitas). Dalam upaya penanganan masalah kesehatan jiwa salah satu terapi spesialis
yang dapat diberikan pada klien dengan gangguan jiwa adalah berupa terapi kelompok
atau therapeutic community. Oleh akrenaitulah asuhan keperawatan harus bersifat holistik.

1
Selain bersifat holistik, pendekatan humanistik dalam mengimplementasikan berbagai terapi
harus benar-benar diperhatikan. Dengan demikian, siapapun yang melakukan terapi
keperawatan, khususnya psychoterapiharus mempunyai kemampuan dalam mengatasi
masalah pasien secara ilmiah, memperhatikan legasl dan etis agar tindakannya tidak
bertentangan dengan norma yang ada baik dalam menjalankan standar asuhan,dalam
berhubungan dengan profesi lain dan juga secara humanistik dalam memperlakukan  pasien
sebagai subjek dan objek dalam pelaksanaan asuhan (Stuart. G. W, 2013).
Restraint (fisik) merupakan alternative terakhir intervensi jika dengan intervensi verbal,
chemical restraint mengalami kegagalan. Seklusi merupakan bagian dari restraint fisik  yaitu
dengan menempatkan klien di sebuah ruangan tersendiri untuk membatasi ruang gerak
dengan tujuan meningkatkan keamanan dan kenyamanan klien.

Tujuan dari  pembuatan makalah ini adalah untuk memahami mengenai restrain, aspek
legal dan etik keperawatan jiwa serta trend issue yang sedang marak di kalangan masyarakat
yaitu seklusi pada pasien dengan gangguan jiwa.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka ditemukan beberapa rumusan masalah
adalah sebagai berikut :
1. Jelaskan tentang proses keperawatan jiwa?
2. Apa saja social cultural conteks of psychiatry nursing care?
3. Apa saja issue dan legal etik keperawatan jiwa?
4. Apa saja prinsip etik keperawatan jiwa?
5. Bagaimana dilema etik dan proses pengambilan keputusan etik dalam keperawatan jiwa?
6. Apa saja hak-hak pasien keperawatan jiwa?
7. Bagaimana peran dan legal perawat dalam keperawatan jiwa?
8. Apa yang di maksud dengan restrain ?
1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Keperawatan Jiwa I

2
Tujuan Khusus
a. Untuk memahami dan mengetahui proses keperawatan jiwa
b. Untuk memahami dan mengetahui social cultural conteks of psychiatry nursing care
c. Untuk memahami dan mengetahui issue dan legal etik keperawatan jiwa
d. Untuk memahami dan mengetahui prinsip etik keperawatan jiwa
e. Untuk memahami dan mengetahui dilema etik dan proses pengambilan keputusan etik
dalam keperawatan jiwa
f. Untuk memahami dan mengetahui hak-hak pasien keperawatan jiwa
g. Untuk memahami dan mengetahui peran dan legal perawat dalam keperawatan jiwa
h. Untuk memahami dan mengetahui tentang restrain
1.4 Manfaat
Bagi Institusi Pendidikan
Makalah ini bagi Institusi pendidikan kesehatan adalah untuk mengetahui tingkat
kemampuan mahasiswa sebagai peserta didik dalam mempelajari teori aspek legal etik
keperawatan jiwa dan trend issue keperawatan jiwa : seklusi di Indonesia.
Bagi Tenaga Kesehatan (Perawat)
Makalah ini bagi tenaga kesehatan khususnya untuk perawat adalah untuk mengetahui
pentingnya bagaimana teori aspek legal etik keperawatan jiwa dan trnd issue keperawatan
jiwa : seklusi di Indonesia.
Bagi Mahasiswa
Manfaat makalah ini bagi mahasiswa baik menyusun maupun pembaca adalah untuk
menambah wawasan tentang teori aspek legal etik keperawatan jiwa dan trnd issue
keperawatan jiwa : seklusi di Indonesia.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses keperawatan jiwa
Proses keperawatan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan
yang unik karena masalah kesehatan jiwa mungkin tidak dapat dilihat langsung seperti pada
masalah kesehatan fisik, memperlihatkan gejela yang berbeda, dan muncul oleh berbagai
penyebab. Kejadian masa lalu yang sama dengan kejadian saat ini, tetapi mungkin muncul
gejala yang berbeda.banyak klien dengan masalah kesehatan jiwa tidak dapat menceritakan
masalahnya bahkan mungkin menceritakan hal yang berbeda dan kontradiksi. Kemampuan
mereka untuk berperan dalam menyelesaikan masalah juga bervariasi.
Hubungan saling percaya antara perawat dan klien merupakan dasar utama dalam
melakukan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa. Hal ini penting karena pera
perawat dalam asuhan keperawatan jiwa adalah membantu klien untuk dapat menyelesaikan
masalah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Klien mungkin menghindar atau menolak
berperan serta dan perawat mungkin cenderung membiarkan, khususnya pada klien yang
tidak menimbulkan keributan dan yang tidak membahayakan.
Proses keperawatan jiwa antara lain:

1. Pengkajian
Terdiri dari:
a) Keluhan utama / alasan masuk
b) Faktor predisposisi
c) Aspek fisik/biologi
d) Aspek psikosoisal
e) Status mental
f) Kebutuhan persiapan pulang
g) Mekanisme koping
h) Masalah psikososial dan lingkungan
i) Pengetahuan
j) Aspek medic

4
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah pengenalan dan pengidentifikasian pola respons
terhadap masalah kesehatan jiwa atau penyakit psikiatri yang aktual atau potensial.
Diagnosis keperawatan di tetapkan melalui tahapan:
a) Analisa data yang ditemukan: subjektif dan objektif
b) Tetapkan rumusan diagnosis dalam bentuk rumusan diagnosis tunggal

Ada beberapa masalah utama klien yang ditemukan pada proses keperawatan jiwa , yaitu

a) Isolasi sosial : menarik diri


b) Perilaku kekerasan
c) Gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran
3. Rencana tindakan keperawatan
Perencanaan keperawatan terdiri dari 3 aspek yaitu : tujuan umum, tujuan khusus,
dan rencana tindakan keperawatan. Tujuan umum berfokus pada penyelesaian masalah
dari diagnose yang akan tercapai jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai. Tujuan
khusus berfokus pada penyellesaian etiologi dari diagnosa. Tujuan khusus merupakan
rumusan kemampuan yang perlu dicapai atau yang perlu dimiliki klien. Umumnya
kemampuan klien pada tujuan khusus dapat di bagi menjadi 3 aspek (Stuart & Laraia,
2001), yaitu kemapuan kognitif yang diperlukan untuk menyelesaikan etiologi dari
diagnose keperawatan, kemampuan psikomotor yang diperlukan agar etiologi dapat
teratasi, dan kemampuan afektif yang perlu dimiliki agar klien percaya pada kemampuan
menyelesaikan masalah.
4. Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan. Pada situasi nyata, implementasi seringkali jauh berbeda dengan rencana.
Hal itu terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam
melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa dilakukan perawat adalah menggunakan
rencana tidak tertulis, yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal itu
sangat membahayakan klien dan perawat jika tindakan berakibat fatal, dan juga tidak
memenuhi aspek legal.

5
Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memfalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhan oleh
klien saat ini. Perawat juga menilai diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan
interpersonal, intelektual, dan teknikal yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan.
Perawat juga menilai kembali apakah tindakan aman bagi klien. Setelah tidak ada
hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan melaksanakan
tindakan keperawatan, perawat membuat kontrak dengan klien yang isinya menjelakan
apa yang akan dikerjakan dan peran serta yang diharapkan dari klien. Dokumentasikan
semua tindakan yang telah dilaksanakan beserta respon klien.
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus-menerus pada respon klien
terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dibagi 2, yaitu: evaluas
i proses/formatyang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan,
evalusi hasil/sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara repon klien dan
tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan.
Klien dan keluarga perlu dilibatkan dalam evaluasi agar dapat melihat adanya
perubahan, serta berupaya mempertahankan dan memelihara perubahan terssebut. Pada
evaluasi sangat diperlukan reinforcement untuk menguatkan perubahan yang positif. Kien
dan keluarga juga dimotivasi untuk melakukan self-reinforcement.
2.2 Sosciocultural context of psychiatric nursing care
1. Kepekaan terhadap budaya adalah salah satu pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan untuk kesuksesan dalam intervensi keperawatan pada kehidupan klien yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda.
2. Faktor resiko untuk gangguan psikiatri dari sosiokultural merupakan factor predisposisi
yang dapat secara berarti meningkatkan potensial kelainan psikiatri, menurunkan potensi
klien untuk sembuh atau kebalikanya. Hal tersebut meliputi umur, etnik, gender,
pendidikan, pendapatan, dan system keyakinan.
3. Variasi dan stressor sosiokultural menghambat perkembangan perawataan kesehatan
mental meliputi : keadaan yang merugikan, stereotype, intoleransi, stigma, prasangka,
discrimination, rasisme.

6
4. Respon coping dan gejala-gejala kelainan mental yang muncul dieksperesikan secara
beberda dalam budaya yang berbeda.
5. Pengkajian kepada klien yang memiliki factor resiko sosiokultular menarik bagi perawat
untuk mampu mengidentifikasi masalah- masalah klien dan pengembangan tindakan
keperawatan agar lebih akurat, sesuai, dan memiliki kepekaan budaya.
6. Bersama- sama antara perawat dengan klien membutuhkan persetujuan mengenai respon
koping klien secara alami pemahaman dalam mememcahkan masalah, dan harapan akan
hasil yang didapatkan dalam konteks sosiokultural.

2.3 Issue dan Legal Etik Keperawatan Jiwa


Legal adalah suatu yang dianggap sah oleh hukum dan undang-
undang (Kamus Besar Bahasa Indonesia) (Ermawati, 2015).
Etika keperawatan adalah nilai-nilai dan prisip-prisip yang diyakini oleh profesi
keperawatan dalam melaksanakan tugasnya yang bberhubungan dengan pasien, masyarakat,
teman sejawatmaupun dengan organisasi propesi, serta pengaturan praktik dalam
keperawatan itu sendiri (Barger&Wiliams, 1999). Etika keperawatan merupakan suatu acuan
dalam melaksanakan prakktik keperawatan, tidak terkecuali keperawatan jiwa. Keputusan
dan tindakan perawat psikiarti kepada klien dibedakan oleh apa yang dinamakan dengan
ethical manner (cara yang sesuai denagan etik) (Ermawati, 2015).
a. Menurut Beeker(Dalam Kozier, Erb 1990) empat hal yang harus
ditanyakan perawat untuk melindungi mereka secara hukum
(Ermawati, 2015) :
a) Tanyakan pesanan yang ditanyakan pasien.
b) Tanyakan setiap pesanan setiap kondisi pasien berubah.
c) Tanyakan dan catat pesan verbal untuk mencegah kesalahan
komunikasi.
d) Tanyakan pesanan (Standing Order), terutama bila perawat tidak
berpengalaman.
b. Melaksanakan intervensi keperawatan mandidri atau yang di
Delegasi.Dalam melaksanakan intervensi keperawatan, perawat
memperhatikan beberapa prekausi (Ermawati, 2015) :

7
a) Ketahuai pembagian tugas ( Job Deskription) mereka.
b) Ikuti kebijakan dan prosedur yang diterapkan ditempat kerja.
c) Selalu identifikasi pasien, terutama sebelum melaksanakan
intervensi utama .
d) Pastikan bahwa obat yang benar diberikan dengan dosis, rute,
waktu, dan pasien yang benar.
e) Lakukan setiap prosedur secara tepat.
f) Catat semua pengkajian dan perawatan yang diberikan dengan
tepat dan akurat.
g) Catat semua kecelakaan yang mengenai pasien.
h) Jalin dan pertahankan hubungan saling percaya yang baik(raport)
dengan pasien.
i) Pertahankan kompetisi praktik keperawatan
j) Mengetahui kekuatan dan kelemahan perawat.
k) Sewaktu mendelegasikan tanggungjawab keperawatan, pastikan
bahwa orang yang diberikan delegasi tugas mengetahui apa yang
harus dikerjakan dan orang tersebut memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan.
l) Selalu waspada saat melakukan intervensi keperawatan dan secara
penuh setiap tugas yang dilaksanakan.
c. Berbagai aspek legal dalam keperawatan
Fungsi hukum dalam praktik keperawatan yaitu (Ermawati, 2015) :
a) Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan
keperawatan mana yang sesuai dengan hukum.
b) Membedakan tanggungjawab perawat dengan tanggung jawab
profesi yang lain
c) Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan
keperawatan mandiri
d) Membantu dalam mempertahankan standar praktik-praktik
keperawatan dengan posisi perawat memiliki akuntabilitas dibawah
hukum(Kozier, Erb)

8
d. Perlindungan legal untuk perawat
Untuk menjalankan praktik secara hukum perawatan harus
dilindungi dari tuntutan malpraktik dan kelahiran pada keadaan
darurat. Contoh (Ermawati, 2015) :
a) UU di AS yang bernama Good Samaritan Acts yang memberikan
perlindungan tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan
pada keadaan darurat.
b) Di kanada terdapat UU lalu lintas yang memperbolehkan setiap
untuk menolong korban pada setiap situasi kecelakaan yang
bernama Traffic Acrt.
c) Di indonesia UU kesehatan No.23 tahun 1992.
Menurut curtin (1978) yang dikutuip oleh Stuart Sundeen dalam Principles and Pratice
of Psychiatrtic Nursing Care (1995), membuat suatu model untuk pengambilan keputusan
suatu etik yaitu sebagai berikut (Direja, 2011) :
1. Meliputi pengumpulan informasi untuk mengklarifikasi latar belakang isu tersebut.
2. Mengidentifikasi komponen etik atau atau keadaan dilema yang terjadi, seperti adakah
faktor ancamannya (dilihat dari sudut hak untuk dapat menolak pelayanan).
3. Mengklarifikasi hak dan tanggung jawab yang ada pada seluruh pihak, meliputi klien,
perawat, dan pihak lain seperti kuluarga klien, dokter, lembaga perawatan
kesehatan,ulama/pendeta, pekrja sosial, dan mungkin juga hakim.
4. Yang terakhir adalah solusi yang diimplementasikan ke dalam tindakan . dalam konteks
memenuhi harapan sosial dan sesuai dengan hukum yang berlaku, perawat memutuskan
kedalam tujuan dan metode implementasi.
Terdapat dua penerimaan klien dirumah sakit jiwa yaitu kesepakatan yang
disadari dan kesepakatan yang tidak disadari, meliputi isu mengenai hukum dan aspek
etik, serta legal dan aspek propesional. Perawat psikiartri mempunyai peran dalam tugas
propesional dan tugas pribadi yaitu sebagai berikut (Direja, 2011) :
1. Pemberian pelayanan
2. Pekerjaan dari rumah sakit
3. Sebagai warga negara pribadi

9
Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang
sedang hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat
dianggap ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa
baik dalam tatanan regional maupun global (Direja, 2011).
Ada beberapa trend penting yang rnenjadi perhatian dalam Keperawatan Jiwa di
antaranya adalah masalah berikut (Direja, 2011) :
1. Kesehatan jiwa dimutai masa konsepsi Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa
biasanya dimulai pada saat onset terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala
2. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa Masalah jiwa akan meningkat di era
globalisasi
3. Kecenderungan Faktor Penyebab Gangguan Jiwa
4. Kecenderungan situasi di Era Globalisasi. Era globalisasi adalah suatu era dimana
tidak ada lagi pembatas antar Negara-negara khususnya di bidang informasi, ekonomi,
dan politik.
5. Globalisasi dan Perubahan Orientasi Sehat Globalisasi atau era pasar bebas disadari
atau tidak telah berdampak pada pelayanan kesehatan.
6. Kecenderungan Penyakit
a) Meningkatnya post traumatic syndrome disorder
b) Meningkatnya masalah psikososial
c) Trend bunuh diri pada anak dan remaja
d) Masalah Napza dan HlV/AIDS
7. Issue Seputar Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri
a) Pelayanan keperawatan mental psikiatri yang ada kurang bisa dipertanggung
jawabkan secara ilmiah hal ini karena masih kurangnya hasil-hasit riset
keperawatan tentang keperawatan jiwa klinik.
b) Perawat psikiatri yang ada kurang siap menghadapi pasar bebas karena pendidikan
yang rendah dan belum adanya lisensi untuk praktek yang bisa diakui secara
internasional.
c) Pembedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman seringkai
tidak jelas dalam “Position Description", job responsibility dan system reward di
dalam pelayanan keperawatan dimana mereka bekerja (Stuart Sudeen,1998).

10
d) Menjadi perawat psikiatri bukanlah pilihan bagi peserta didik (mahasiswa
keperawatan)
2.4 Prinsip Etik Keperawatan Jiwa
a. Otonomi
Otonomi adalah hak untuk membuat keputusan sendiri. Menghormati otonomi
menyangkut penghormatan terhadap otonomi individu untuk dengan bebas menentukan
sendiri apa yang akan dilakukan. Ini menunjukkan bahwa setiap individu tidak hanya
membuat pilihan untuk membuat keputusan sendiri, tetapi juga bebas dalam menerima
setiap konsekuensi dari keputusan yang dibuat. Otonomi berarti individu mampu
bertindak untuk diri mereka sendiri sesuai dengan kemampuannya (Fowler, 1989; Potter
and Perry, 1992). Menurut Potter dan Perry (1992), konsep manusia sebagai individu
yang bebas menuntut perawat untuk menghargai nilai dan pilihan mereka. Otonomi
adalah kebebasan individu dalam bertindak dan menentukan diri sendiri. Menghargai
otonomi berarti menghargai individu sebagai seseorang yang mempunyai harga diri dan
martabat yang mampu menentukan sesuatu bagi dirinya. Prinsip otonomi sering menjadi
isu yang kontroversial. Setiap orang mempunyai hak dasar untuk membuat suatu
keputusal‘ yang penting dalam program pengobatan. Pada situasi tertentw seseorang
mungkin tidak dapat membuat keputusan sendiri dalan1 menentukan program
pengobatannya, ketika menderita gangguan jiwa yang akut (Gardner dkk., 1999 dalam
Wulan, 2011).
b. Non-maleficience
Nonmaleficence (tidak merugikan orang lain atau jangan mencelakakan) berarti
tidak melukai atau tidak menimbulkan bahaya atau cedera bagi orang lain. Prinsip
nonmaleficence meliputi ungkapan moral yang terkenal ”Above all, do not harm" (yang
terpenting dari semuanya, jangan merugikan atau mencelakan). Prinsip ini menambahkan
kesem~ bronoan, kedengkian, kurang hati-hatidan ketidaktahuan yang seharusnya tidak
diizinkan memengaruhi perawatan pasien (Bailey dan Schwartzberg, 1995). Johnson
(1989, dalam Suhaemi [2003]) me.ngatakan bahwa prinsip untuk tidak melukai orang
lain berbeda dan lebih keras daripada prinsip untuk melakukan kebaikan. Munson (1988,
dalam Bailey 8: Schwartzberg [1995]) membuat susunan frase yang baru: ”Kita
seharusnya bertindak dengan cara yang tidak menimbulkan kerugian atau cedera bagi

11
orang lain.” Dengan kata lain, kita seharusnya bertindak dengan cara yang benar sehingga
tidak menyebabkan kecelakaan terhadap lainnya. Menurut hukum, hal ini adalah
merupakan pokok-pokok (standar) ”hak keperawatan”. Dengan tidak sesuainya standar
ini, para perawat kesehatan membuat diri mereka terlibat dalam moral maleficence yang
sah (Seedhouse, 1992). Contoh prinsip nonmaleficence dapat terjadi dalam pemberian
kemoterapi kepada pasien kanker, diketahui bahwa kemoterapi dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien dan dapat juga mem'mbulkan ”kerugian” (efek samping) pada
pasien(Wulan, 2011).

c. Beneficience
Prinsip beneficence (memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian)
berasal dari tulisan-tulisan Hipocrates dan menekankan pada profesi medis yang
mempunyai tugas untuk menolong (Bailey, 1995). Prinsip ini sudah menjadi salah satu
prinsip yang mendasar dalam etika medis sejak zaman sumpah Hipocrates(Wulan, 2011).
d. Justice
Justice (keadilan) merupakan prinsip moral berlaku adil untuk semua individu,
tindakan yang dilakukan untuk semua orang sama. Tindakan yang sama tidak selalu
identik, tetapi dalam hal ini persamaan berarti mempunyai kontribusi yang relatif sama
untuk kebaikan kehidupan seseorang. Justice adalah prinsip etik, yaitu perawat secara
langsung menghormati hak dan pengobatan yang adil (Greipp, 1992). Menurut Hitler
(1981) kebutuhan kesehatan harus menerima number pelayanan kesehatan dalam jumlah
yang sama. Prinsip keadilan menurut Beauchamp dan Childress dalam Priharjo (1995)
adalah mereka yang sederajat harus diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak
sederajat diperlakukan secara tidak sederajat, sesuai dengan kebutuhan
mereka.Sedangkan yang tidak aederajat diperlakukan secara tidak sederajat, sesuai
dengan kebutuhan mereka. Hal ini berarti bahwa kebutuhan kesehatan dari mereka yang
sederajat harus menerima sumber pelayanan kesehatan dalam jumlah sebanding ketika
seseorang mempunyai kebutuhan kesehatan yang besar, maka ia harus mendapatkan
sumber-sumber kesehatan yang besar pula (Priharjo, 1995 dalam Wulan, 2011).

12
e. Veracity
Prinsip veracity (kejujuran) menurut Veatch dam Fry (1987) didefinisL kan untuk
menyatakan hal yang sebenamya dan tidak berbohong.Kejujuran merupakan dasar
terbinanya hubungan saling percaya antara perawat-pasien. Perawat sering tidak
memberitahukan kejadian yang sebenarnya pada pasien yang sakit parah. Namun
penelitian pada pasien dalam keadaan terminal menjelaskan bahwa pasien ingin diberi
tahu tenmng kondisinya secara jujur (Priharjo, 1995). Mengatakan yang sebenamya,
mengarahkan perawat untuk menghindari kebohongan pada pasien atau menipu
pasien(Wulan, 2011).

f. Confidentiality
Confidentiality (kerahasiaan) merupakan bagian dari privasi, seseorang bersedia
untuk menjaga kerahasiaan informasi. Confiden tiality adalah sesuatu yang profesional
dan merupakan kewajiban yang etis dalam menggunakan penggalian pengetahuan pasien
untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien dan bukan untuk tujuan lain, seperti gosip,
kepentingan orang lain, dan memberikan informasi pasien pada orang lain. Perawat harus
mempertahankan kerahasiaan tentang data pasien baik secara verbal maupun informasi
tertulis. Menjaga kerahasiaan data pasien adalah sesuatu yang khusus dan penting dalam
perawatan pasien gangguan jiwa. Meskipun pada kenyataannya, masyarakat memberikan
label atau stigma kepada setiap orang yang didiagnosis menderita gangguan jiwa. Setiap
pelanggaran terhadap prinsip confidentiality sepertj memberitahukan data pasien,
diagnosis pasien, gejala yang ditun jukkan pasien, perilaku, dan hasil pengobatan tanpa
mendapat persetujuan dari pasien akan memengaruhi kualitas hidup pasien. Tenaga
kesehatan khususnya perawat seringkali kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan
ini (Mohr, 2003). Menurut Winslade (1995) praktik confidentiality terdiri dari tiga aspek
berupa subjek individu atau perawatan kesehatan berhubungan dengan informasi pasien,
hubungan profesional antara perawat dan pasien serta menjelaskan prosedur pertukaran
informasi pasien yang secara logis dapat menerima, mengizinkan dan mengakses
informasi yang bertujuan untuk memfasilitasi komunikasi sensitif dan mengeluarkan

13
larangan individu (Registered Nursing Association British Columbia, 2000 dalam Wulan,
2011).
g. Fidelity
Menurut Veatch dan Fry (Priharjo, 1995) prinsip fidelity (kesetiaan/ ketaatan)
didefinisikan sebagai tanggung jawab dalam konteks hubungan perawatan pasien yang
meliputi tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan kerahasiaan dan memberikan
perhatian/kepedulian. Mempertahankan kerahasiaan secara moral dapat diterima.
Kadang-kadang dengan alasan moral yang tepat, janji dapat dibatalkan untuk
memberikan keuntungan bagi yang lain (Pujiastuti, 2004).

Menurut Purba dan Marlindawati (2010) pada keperawatan jiwa prinsip etik dan moral
yang harus dilaksanakan dalam melaksanakan asuhan keperawatan jiwa adalah sebagai
berikut :
1) Outonomy (penentuan diri) yang merupakan hak para individu untuk mengatur kegiatan-
kegiatan mereka menurut alasan dan tujuan mereka sendiri
2) Beneficience (melakukan hal yang baik) berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik
3) Juctice (keadilan) dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan
4) Non malfience (tidak merugi) berarti segala tindakan yang dilakukan pada klien tidak
menimbulkan bahaya/cedera secara fisik dan psikologik
5) Veracity (kejujuran) berarti penuh dengan kebenaran
6) Fidelity (menepati janji) dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain
7) Confidentiality (kerahasiaan) yaitu apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan
klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien
2.5 Dilema Etik dan Proses Pengambilan Keputusan Etik Keperawatan Jiwa
a. Definisi Dilema Etik
Dilema etik adalah realitas sehari hari dalam praktek keperawatan. Dilema etik
selalu ada bersama dengan manusia termasuk perawatan, tetapi sifat alami mereka dalam
seting keperawatan kesehatan dapat berubah secara radikal sesuai dengan perkembangan

14
ilmu pengetahuan dan teknologi (Aroskar, 1980). Dilema etik dapat terjadi pada saat
perawat-pasien berinteraksi dirumah sakit, keluarga, dan masyarakat. Untuk mengetahui
berbagai dilema etik yang dihadapi oleh perawat, pemahaman yang menyeluruh
mengenai sifat dari dilema etik termasuk definisi dari dilema etik dan dilema eik dalam
praktik asuhan keperawatan merupakan hal penting (Purba, 2009).
Thompson dan Thompson (1985, dalam Kozier, Erb, dan Bufalino [1989])
menggambarkan beberapa kriteria untuk menjelaskan dilema etik dalam praktik klinik,
yaitu (Purba, 2009) :
1) Kesadaran pada perbedaan pilihan. Individu harus sadar pada pilihan yang berbeda
secara terbuka baik berupa kognitif (mengetahui bahwa sesuatu salah) maupun
berupa efektif (perasaan bahwa sesuatu salah)
2) Sifat moral dilema, apa dilema perawat yang muncul dalam menghadapi isu moral?
Tidak semua situasi yang terlihat membingungkan bagi perawat adalah dilema etik.
3) Dua atau lebih pilihan dengan pilihan yang tepat; untuk situasi yang menjadi dilema
moral, salah satunya harus memilih dua atau lebih tindakan
b. Klasifikasi Dilema Etik
Gold, Chambers, dan Dvorak (1995) mengemukakan dilema etik terbesar yang
dialami oleh 12 perawat yang bekerja untuk penyakit akut, jangka panjang, dan
perawatan rumah dalam empat kategori (Purba, 2009) :
1) Menyimpan informasi dan memberikan perhatian (veracity, kebulatan tekad diri).
2) Keadilan dalam memberi perawatan (justice).
3) Perbedaan antara bisnis dan nilai profesional (beneficence, justice).
4) Aturan yang rusak dan pelaporan aturan yang rusak (veracity, kebulatan tekad diri).
Berdasarkan studi terdahulu, dilema etik mahasiswa perawat dalam praktik klinik
terdiri dari (Pujiastuti, 2004 dalam Purba, 2009):
1) Kewajiban profesional vs. proteksi terhadap bahaya
Dilema etik yang berhubungan dengan konflik antara kewajiban profesional
dengan perlindungan diri dari kecelakaan yang sering dihadapi dalam praktik
keperawatan. Kewajiban tugas, hak, dan tanggung jawab sering diaplikasikan dalam
setiap aspek kehidupan (Beuchamp & Childres, 2001: Catalano, 2003). Konflik
dalam kewajiban profesional dan tugas sering muncul dalam diri sendiri saat perawat

15
dan mahasiswa perawat bekerja dalam kondisi yang berbahaya bagi mereka
(Burkhardt & Nathaniel, 2001; Catalano, 2003). Kurangnya sumber-sumber seperti
keterbatasan peralatan, lingkungan yang tidak aman, pakaian pelindung yang tidak
layak dipakai, semuanya berisiko terhadap perawat saat memberikan asuhan
keperawatan pada pasien (Purba, 2009).
Sebuah studi yang dilakukan oleh Ahn dan Han (2000) menemukan bahwa
mahasiswa perawat sering menghadapi dilema yang berhubungan dengan risiko
perawat seperti proses keperawatan yang menyimpang dari prinsip, tidak menjaga
sterilitas teknik dengan benar, dan kurangnya staf keperawatan. Bagaimanapun juga,
semua tindakan perawat harus berdasarkan standar keperawatan dan dalam mengkaji
pasien, perawat dapat mengalami perubahan emosional (Purba, 2009).
Kesimpulannya, kewajiban profesional vs. perlindungan diri terhadap kecelakaan
sering terjadi dalam praktik keperawatan. Dalam melakukan kewajiban profesional
mahasiswa perawat kadang-kadang akan berhadapan dengan beberapa risiko (Purba,
2009).
2) Kerahasiaan pasien vs. peringatan lainnya terhadap bahaya
Menurut Cassells dan Redman (1989), mempersiapkan perawat menjadi agens
moral dalam praktik klinik dibutuhkan karena sebagai perawat mereka akan
memainkan peran dalam menjamin data pasien atau mempertahankan kerahasiaan.
Setiap kode etik perawat menekankan bahwa perawat mempunyai kewajiban untuk
melindungi dan menggunakan informasi yang diterima dari pasien secara tepat. Juga,
mempertahankan kerahasiaan dan privacy sebagai prinsip atau standar tanggung
jawab praktisioner perawatan kesehatan adalah untuk melindungi pasien dari
interaksi yang tidak menyenangkan (Botes & Otto [2003] dalam Davis, Aroskar,
Liaschencko, 8: Drought [1997] dalam Purba, 2009).
Snider dan Hood (2001), memberikan dua argumen untuk membenarkan
ketidakmampuan perawat memegang prinsip konfidensial. Pertama, prinsip risiko
yang menyatakan ketika seseorang tidak dapat menyimpan informasi yang dapat
melindungi ketidaktahuan pihak ketiga tentang sesuatu yang merugikan dapat terjadi
tanpa alasan yang jelas. Sebagai contoh, perintah untuk melahirkan prematur pada
penderita sifilis adalah untuk mencegah penyakit menular yang serius. Kedua, prinsip

16
risiko menyarankan bahwa ada tanggung jawab yang lebih besar untuk melindungi
dirinya sendiri dari sesuatu yang merugikan. Contohnya, perawat mempunyai
tanggung jawab untuk melaporkan perilaku kekerasan pada anak (Purba, 2009).
Praktisi perawatan kesehatan mempunyai hak untuk memutuskan kerahasiaan
pada beberapa institusi, seperti menginformasikan pihak ketiga tentang sesuatu yang
merugikan dapat terjadi, mencegah bahaya dari individu, atau ketika ketertarikan
pada publik melebihi dari ketertarikan pada individu (Beauchamb & Chilldress,
2001; Purtillo, 1999). Pelanggaran terhadap prinsip konfidensial biasanya akan
berisiko terhadap terciptanya ketidakpercayaan dalam hubungan profesi kesehatan-
pasien dan kemampuan menjaga kerahasiaan sebagai area penuh dengan masalah
dalam profesi keperawatan (Gulley, 1999 dalam Purba, 2009).
3) Mengatakan yang sebenarnya vs. tidak mengatakan yang sebenarnya
Burkhardt dan Nathaniel (2001) menjelaskan bahwa kejujuran dapat membantu
pasien mengambil keputusan pengobatan termasuk diagnosis yang tepat dan
komunikasi terbuka/jujur. Prinsip veracity digunakan sebagai suatu kewajiban untuk
mengatakan kebenaran dan tidak berbohong atau menipu orang lain (Fry &
Johnstone, 2002 dalam Purba, 2009).
Sementara itu, Surakul (2002) menyatakan bahwa kejujuran tidak selamanya
memberikan dampak positif pada individu. Beberapa dampak negatif dari kejujuran
antara lain ketidakmampuan dalam makan/ tidur, takut, stres, dan khawatir tentang
kesembuhan. Situasi-situasi seperti ini menyebabkan pasien tidak mampu
berpartisipasi untuk membuat keputusan atau menggunakan hak mereka dalam
memilih, dan hal ini akan memengaruhi kualitas perawatan (Purba, 2009).
Dilema etik yang berkaitan dengan kejujuran vs. tidak menyatakan informasi
yang sebenarnya dapat memengaruhi perasaan perawat. Studi yang dilakukan
Sukmak (2001) memfokuskan pada perilaku ketidakjujuran perawat tentang
kebenaran diagnosis pada penderita kanker. Menyembunyikan kondisi klien mungkin
akan menimbulkan pengalaman dan kecemasan yang lebih besar serta depresi pada
perawat (Purba, 2009).
Kesimpulannya, masalah etika yang berkaitan dengan kejujuran yaitu mencoba
memfokuskan pada apa yang dilakukan dan kapan seharusnya diakhiri. Tenaga

17
kesehatan profesional percaya bahwa cara mereka dapat melindungi pasien dari
kecelakaan dengan menyembunyikan kebenaran atau mengatakan hal lain an tidak
benar(Veatch & Fry, 1987 dalam Purba, 2009).
4) Advokasi pasien vs. kurangnya otoritas
Penasehat adalah seseorang yang mendukung untuk mempertahankan atau
mengatakan rencana atau tindakan publik. Perawat berada pada posisi terbaik dalam
perawatan kesehatan yang bertindak sebagai penasehat untuk pasien, perawat harus
mempunyai pengetahuan untuk mengadvokasi dan perawat-pasien dapat menjadi
mitra dalam advokasi (Mallik, 1997; Milton, 2000; Snowball, 1996; Pujiastuti,
2004). Profesi keperawatan mempunyai otoritas dalam mengadvokasi pasien yang
dihubungkan dengan konsep moral, etik, otonomi, dan kekuatan pasien, menekankan
penghargaan untuk manusia, martabat mereka, kepribadian, dan harga diri. (Dinc 8:
Gorgulu, 2003; Tabak & Reches, 1996 dalam Purba, 2009).
Bagaimanapun wewenang baik staf perawat maupun mahasiswa perawat sering
tersembunyi atau samar karena beberapa alasan seperti level staf yang rendah,
pelatihan staf yang tidak adekuat, dan informasi yang tidak efektif (Aroskar, 1993;
Kelly, 1993), sehingga meteka mengikuti otoritas senior mereka, perawat, dan dosen.
Mereka merasa bahwa mereka tidak mempunyai wewenang untuk mengambil
tindakan dalam situasi konflik etika medis di bawah hierarki birokrasi (Aroskar,
1993; Gaul, 1987). Pada kenyataannya, ada bukti yang kuat yang mengatakan
perawat sebagai kelompok yang tertindas dan kurang otoritas (George & Grypdonck,
2002 dalam Hyland, 2002 dalam Purba, 2009).
5) Konflik nilai dalam peran profesional
Nilai adalah ideal yang dapat dipegang individu/kelompok. Individu berpikir,
merasakan, membuat pilihan, dan melakukan suatu nilai yang dianggap baik, yang
berarti seorang individu mempunyai moral (Altun, 2002; Cignacco, 2002). Konflik
nilai terjadi saat seseorang harus memilih di antara dua hal, yang kedua hal tersebut
penting untuk menekankan rasa hormat, martabat pasien dan individu (Post, 1996;
Pujiastuti, 2004 dalam Purba, 2009).
Menutut Handel dan Steinmen (2002), konflik nilai berasal dari perbedaan
ideologi atau filosofi. Konflik nilai adalah konflik internal/ interpersonal yang

18
muncul saat nilai moral telah dilanggar dalam beberapa situasi ketika nilai seseorang
dianggap ganjil terhadap pasien, rekan, ataupun institusi (Purba, 2009).
Dalam beberapa dilema etik, tugas perawat profesional menjadi sangat kompleks
dengan nilai yang mereka anut yang dapat memengaruhi/ menimbulkan frustrasi
dalam pekerjaan, tidak puas, marah, perlawanan yang terus-menerus dengan nilai-
nilai yang lain seperti perbedaan nilai antara dokter dan perawat, komunikasi yang
terbatas dengan pasien, perasaan ketidakmampuan perawat, dan otoritas dokter
(Davis, Aroskar, Liaschencko, & Drought, 1997). Oleh karena itu, perawat merasa
frustrasi, kecewa, dan mengalami ketidakmampuan karena konflik interpersonal
tentang nilai dantujuan profesional perawat terhambat (Corley, 2002; Kelly, 1993
dalam Purba, 2009).
Kesimpulannya, konflik nilai dalam peran profesional terjadi ketika perawat
memberikan hal yang terbaik kepada pasien. Hal ini dapat mem'mbulkan konflik
dengan yang lain dan tugas profesional (Purba, 2009).
6) Keputusan untuk memperpanjang kehidupan vs. Mengakhiri
Profesi kesehatan sering berhadapan dengan isu yang berhubungan dengan
memperpanjang vs. mengakhiri kehidupan (Musgrave, Margalith, 8r. Goldsmidt,
2001). Kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan telah memungkinkan untuk
memulihkan/ memperpanjang hidup pasien yang akan meninggal (Jones & Fitz-
Gerald, 1998). Kenyataannya, beberapa pasien yang sangat bergantung pada
teknologi seperti pemasangan ventilator tetapi pasien tidak mengharapkan
kesembuhan.Keputusan untuk memperpanjang atau mengakhiri kehidupan
menciptakan pilihan yang sulit pada beberapa pasien, keluarga, dan penyedia
kesehatan yang terlibat. Situasi ini dapat menimbulkan dilema etik (Ferrel et al.,
2000). Perawat seharusnya mempertahankan kehidupan, tetapi perawat harus
menyadari penderitaan fisik dan emosional yang dihadapi pasien, mengurangi
penderitaan, menghargai kebebasan pasien, dan hak untuk memilih (Baggs 8:
Schimitt, 2000; Jones 8: Fitz-Gerald, 1998). Dilema etik meningkat ketika perawat
menyadari perlu untuk menghargai kehidupan pasien dalam beberapa keadaan,
seperti kematian pasien, eutanasia, aborsi, dan pengobatan aktif pasien dengan
prognosis jelek (Han & Ahn, 2000 dalam Purba, 2009).

19
Kesimpulannya, perawat akan menghadapi dilema etik yang berhubungan dengan
keputusan memperpanjang dan mengakhiri kehidupan ketika mereka seharusnya
mempertahankan kehidupan pasien, mengurangi penderitaan pasien, dan menghargai
kebebasan pasien (Purba, 2009).
c. Pengambilan Keputusan Etis
Pengambilan keputusan etis adalah suatu keterampilan kognitif, yang
membutuhkan pendidikan tentang prinsip etika dan pemahaman akan isu etika yang
spesifik dan tinjauan pustaka yang relevan. Pengambilan keputusan etis dapat juga
didefinisikan sebagai suatu proses psikodinamika yang melibatkan personal, motivasi,
persepsi, dan opini-opini (Salladay & Haddad, 1986 dalam Purba, 2009).
Pengambilan keputusan dipengaruhi oleh banyak faktor. Terkalt dengan Wlody
(1990), faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan etis adalah kebutuhan pasien,
proses penyakit, hat pasien, keinginan/ perasaan pasien, keinginan keluarga, tujuan yang
dibuat tim pengobatan, dan faktor sosial. Berhadapan dengan ddemi ehk, staf perawat dan
mahasiswa perawat dapat menggunam pengambllan keputusan etis untuk mengatasinya
(Purba, 2009).
Menurut Yung (1997), pengambilan keputusan etis merupakan proses rasional
dan analitik karena aksi terbaik secara moral dalam situasi yang melibatkan pilihan yang
berbeda ditentukan. Pembuatan keputusan etis oleh perawat merupakan proses yang
panjang sehingga perawat perlu mengidentifikasi dan mengevaluasi pilihan tindakan serta
menentukan apa yang hams dilakukan (Erlen & Sereika, 1997 dalam Purba, 2009).
Pengambilan keputusan etis adalah suatu penilaian katika faktafakta dapat
memberikan kontribusi tetapi keputusan akhirnya harus diambil dengan menimbang-
nimbang berbagai nilai atau metode untuk menjawab pertanyaan tentang dilema etik dan
untuk mengorganisasi pemikiran dengan cara yang lebih logis dan sistematis (Maramis,
1990 dalam Purba, 2009).
Berbagai faktor mempunyai pengaruh terhadap seseorang dalam membuat
keputusan yang etis. Faktor tersebut antara lain faktor agama, sosial, ilmu pengetahuan
dan teknologi, legislasi atau keputusan yuridis, dana/keuangan, peke’rjaan/posisi klien
maupun perawat, kode etik keperawatan, dan hak-hak pasien. Pembuatan keputusan etis
memerlukan penalaran etika yang bertanggung jawab, sistematis dan bukan berdasarkan

20
emosi, intuisi, fixed policy, dan lain-lain (Suhaemi, 2003). Dapat disimpulkan bahwa
pengambilan keputusan yang etis merupakan suatu proses yang sistematis atau strategi
atau metoda yang digunakan oleh staf perawat maupun mahasiswa perawat ketika
berhadapan dengan dilema etik di praktik keperawatan berdasarkan konsep dan prinsip
etika untuk melakukan tindakan moral(Purba, 2009).
d. Teori yang melandasi Pengambilan Keputusan Etis
Etika adalah standar studi untuk perilaku profesional yang berhubungan dengan
”kebenaran dan kesalahan" tingkah laku profesional (Potter & Perry, 1992). Teori etika
merupakan prinsip moral atau serangkaian prinsip moral yang dapat digunakan untuk
mengkaji apa yang benar apa yang salah secara moral (Ellis 8: Hartley, 2001). Menurut
Fry (1991, dalam Suhaemi [2003]) teori dasar/prinsip etika merupakan penuntun untuk
membuat keputusan yang etis dalam praktik profesional. Menurut Burkhardt dan
Nathaniel, (2002), teori etika mempakan teori utama dalam pengobatan, keperawatan,
dan bioetik. Teori etika memberikan petunjuk dasar untuk menemukan pertanyaan moral.
Ada dua dasar teori yang sering digunakan untuk menganalisis dilema etik yaitu (Purba,
2009) :
1) Teleologi
Teleologi merupakan suatu doktrin yang menjelaskan fenomena berdasarkan
akibat yang dihasilkan atau konsekuensi yang dapat terjadi. Pendekatan ini sering
disebut the end justifies themcans atau makna suatu tindakan ditentukan oleh hasil
akhir yang terjadi . (Suhaemi, 2003). Menurut Kelly (1987, dalam Suhaemi [2003])
pencapaian hasil yang dengan kebaikan maksimal dan keburukan sekecil mungkin
bagi manusia. Teologi juga disebut the end justifies the means and the greatest
goodfor the greatest number (keputusan moral yang dibuat berdasarkan konsekuensi
tindakan dan bukan kebenaran tindakan (Ismani, 2001 dalam Purba, 2009).
Teori teleologi atau utilitarianisme dapat dibedakan menjadi 'rule utilitarianism
dan act utilitarianism, rule utilitarianism berprinsip bahwa manfaat atau nilai suatu
tindakan bergantung pada sejauh mana tindakan tersebut memberikan kebaikan atau
kebahagiaan kepada manusia. Act utilitarianism bersifat lebih terbatas, tidak
melibatkan aturan umum, tetapi berupaya menjelaskan pada suatu situasi tertentu
dengan pertimbangan terhadap tindakan apa yang dapat memberikan kebaikan

21
sebanyak-banyaknya atau keburukan sekecil-kecilnya pada individu. Contoh
penerapan teori ini misalnya bayi-bayi yang lahir cacat lebih baik diizinkan
meninggal daripada nantinya menjadi beban di masyarakat (Priharjo, 1995 dalam
Purba, 2009).
2) Deontologi
Deontologi merupakan suatu teori atau studi tentang kewajiban moral (Ismani,
2001). Pernyataan ini didukung juga olch Catalano (1992) yang menjelaskan bahwa
deontologi scbagai sistem pembuatan kcputusan euka odalah prinsip dasar moral dan
ttdak berubah, Menurut Kant, benar atau salah bukan ditentukan oleh hasil akhir atau
konsekuensi dari suatu tindakan, melaikan oleh nilai moral. Dalam konteks int
perhatian dlfokuakan Padatindakan melakukan tanggung awab moral yang dapat
memberi penentu apakah tindakan tersebut secara moral benar atau salah. Kant
berpendapat bahwa prinsip moral atau yang terkait dengan mgas hams bersifat
universal, tindakan kondisional dan imperatif (Ptiharjo, 1995 dalam Purba, 2009).
2.6 Hak-Hak Pasien Jiwa
Hak pasien sangat bergantung pada peraturan perundangan. Menurut Undang-Undang
Kesehatan Pasal 144 mengatakan, “Menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan
kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat
mengganggu kesehatan jiwa”. Beberapa hak pasien yang telah diadopsi oleh banyak Negara
Bagian di Amerika antara lain sebagai berikut (Yusuf, 2015).
1. Hak untuk berkomunikasi dengan orang di luar rumah sakit.
Pasien bebas untuk mengunjungi dan berbicara melalui telepon secara leluasa dan
mengirim surat tertutup kepada siapapun yang dipilihnya (Yusuf, 2015).
2. Hak terhadap barang pribadi.
Pasien berhak untuk membawa sejumlah terbatas barang pribadi bersamanya.
Namun, bukan menjadi tanggung jawab rumah sakit untuk keamanan dan tidak
membebaskan staf rumah sakit tentang jaminan keamanan pasien (Yusuf, 2015).
3. Hak menjalankan keinginan.
Kemampuan seseorang untuk menyatakan keinginannya yang dikenal sebagai
“surat wasiat”. Pasien dapat membuat wasiat yang apsah jika ia (1) mengetahui bahwa ia
membuat surat wasiat, (2) mengetahui sifat dan besar miliknya, dan (3) mengetahui siapa

22
teman dan keluarganya serta hubungannya dengan mereka. Tiap kriteria ini harus
dipenuhi dan didokumentasikan agar surat wasiat tersebut dapat dianggap apsah (Yusuf,
2015).
4. Hak terhadap “Habeas Corpus”.
Semua pasien mempunyai hak, yang memperkenankan pengadilan hukum, untuk
mensyaratkan pelepasan secepatnya bagi tiap individu yang dapat menunjukkan bahwa ia
sedang kehilangan kebebasannya dan ditahan secara tidak legal (Yusuf, 2015).

5. Hak terhadap pemeriksaan psikiatrik yang mandiri


Pasien boleh menuntut suatu pemeriksaan psikiatri oleh dokter yang dipilihnya
sendiri. Jika dokter tersebut menentukan bahwa pasien tidak menderita gangguan jiwa,
maka pasien harus dilepaskan (Yusuf, 2015).
6. Hak terhadap keleluasaan pribadi.
Individu boleh merahasiakan beberapa informasi tentang dirinya dari orang lain.
“Kerahasiaan” membolehkan pemberian informasi tertentu kepada orang lain, tetapi
sangat terbatas pada orang yang diberi kewenangan saja. “Komunikasi dengan hak
istimewa” merupakan suatu pernyataan legal yang hanya dapat digunakan dalam proses
yang berkaitan dengan pengadilan. Ini berarti bahwa pendengar tidak dapat memberikan
informasi yang diperoleh dari seseorang kecuali pembicara memberikan izin. Komunikasi
dengan hak istimewa tidak termasuk menggunakan catatan rumah sakit, serta sebagian
besar negara tidak memberikan hak istimewa komunikasi antara perawat dan pasien.
Selain itu, terapis bertanggung jawab terhadap pelanggaran kerahasiaan hubungan untuk
memperingatkan individu yang potensial menjadi korban tindak kekerasan yang
disebabkan oleh pasien (Yusuf, 2015).
7. Hak persetujuan tindakan (informed consent)
Dokter harus menjelaskan tentang pengobatan kepada pasien, termasuk potensial
komplikasi, efek samping, dan risiko. Dokter harus mendapatkan persetujuan pasien,
yang harus kompeten, dipahami, dan tanpa paksaan (Yusuf, 2015).
8. Hak pengobatan

23
Kriteria untuk pengobatan yang adekuat didefinisikan dalam tiga area, yaitu (1)
lingkungan fisik dan psikologis manusia, (2) staf yang berkualitas dan jumlah anggota
yang mencukupi untuk memberikan pengobatan, serta (3) rencana pengobatan yang
bersifat individual (Yusuf, 2015).
9. Hak untuk menolak pengobatan
Pasien dapat menolak pengobatan kecuali jika ia secara legal telah ditetapkan
sebagai tidak berkemampuan. “Ketidakmampuan” menunjukkan bahwa orang yang
mengalami gangguan jiwa dapat menyebabkan ketidakmampuannya untuk memutuskan
dan gangguan ini membuat ia tidak mampu untuk mengatasi sendiri masalahnya.
Ketidakmampuan hanya dapat dipulihkan melalui sidang pengadilan lain (Yusuf, 2015).
2.7 Peran Legal Perawat Keperawatan Jiwa
Keperawatan jiwa mulai menjadi profesi pada awal abad ke- 19 dan pada masa tersebut
berkembang menjadi spesialis dengan pera dan fungsi-funsi yang unik. Keperawatan jiwa
adalah suatu proses interpersonal dengan tujan untuk meningkatkan dan memelihara prilaku-
prilaku yang mendukung terwujudnya suatu kesatuan yang harmonis (integrated). Kliennya
dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, masyarakat. Tiga wilayah praktik
keperawatan jiwa meliputi perawatan langsung, komunikasi, dan menajemen. Ada empat
faktor yang dapat menentuukan tingkat penampilan perawat jiwa, yaitu aspek
hukum,kualifikasi perawat, lahan praktik, dan inisiatif dari perawat sendiri (Farida, 2012).
Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran legal yaitu perawat
sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat sebagai pekerja, dan perawat sebagai warga
negara. Perawat mungkin mengalami konflik kepentingan antara hak dan tanggung jawab ini.
Penilaian keperawatan profesional memerlukan pemeriksaan yang teliti dalam konteks
asuhan keperawatan, kemungkinan konsekuensi tindakan keperawatan, dan altematif yang
mungkin dilakukan perawat (Farida, 2012).
Malpraktik mencakup kegagalan seorang profesional untuk memberikan jenis asuhan
yang dilakukan oleh anggota profesi di masyarakat, yang membahayakan pasien.
Kebanyakan tuntutan malpraktik diarsipkan dalam hukum tentang kesalahan karena
kelalaian. Kesalahan merupakan suatu kesalahan sipil yang di dalamnya pihak yang
dirugikan memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi. Di bawah hukum tentang kesalahan
karena kelalaian, penggugat harus membuktikan Farida, 2012) :

24
a) Ada kewajiban legal untuk melakukan asuhan.
b) Perawat melakukan tugasnya dengan kelalaian.
c) Gangguan yang dialami pasien sebagai akibatnya.
d) Gangguan bersifat substansial.
Peran dan fungsi perawat jiwa saat ini telah berkembang secara kompleks da ri elemen
historis aslinya (Stuart, 2002). Peran perawat jiwa sekarang mencakup parameter kompetensi
klinik, advokasi pasien, tanggung jawab fiskal (keuangan), kolaborasi profesional,
akuntabilitas (tanggung gugat) sosial, serta kewajiban etik dan legal. Dengan demikian,
dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa perawat dituntut melakukan aktivitas pada tiga
area utama yaitu(Farida, 2012) :
a. aktivitas asuhan langsung, seperti
b. aktivitas komunikasi, dan
c. aktivitas pengelolaan/penatalaksanaan manajemen keperawatan.
2.8 Restrain
1. Pengertian
Restraint (dalam psikiatrik) secara umum mengacu pada suatu bentuk tindakan
menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang
berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan fisik dan psikologis
individu.(Stuart,2001)
Restraint (fisik) merupakan alternative terakhir intervensi jika dengan intervensi
verbal, chemical restraint mengalami kegagalan. Seklusi merupakan bagian dari restraint
fisik  yaitu dengan menempatkan klien di sebuah ruangan tersendiri untuk membatasi
ruang gerak dengan tujuan meningkatkan keamanan dan kenyamanan klien.
a) Indikasi Penggunaan Restrain
Penggunaan tekhnik pengendalian fisik (restrain) dapat siterapkan dalam keadaan:
Pasien yang membutuhkan diagnosa atau perawatan dan tidak bisa menjadi
kooperatif karena suatu keterbatasan misalnya : pasien dibawah umur, pasien agresif
atau aktif dan pasien yang memiliki retardasi mental. Ketika keamanan pasien atau
orang lain yang terlibat dalam perawatan dapatterancam tanpa pengendalian fisik
(restraint). Sebagai bagian dari suatu perawatan ketika pasien dalam pengaruh obat
sedasi.

25
b) Kontraindikasi Pengunaan Restrain
Penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) tidak boleh diterapkan dalam
keadaan yaitu: Tidak bisa mendapatkan izin tertulis dari orang tua pasien untuk
melakspasienan prosedur kegiatan. Pasien pasien kooperatif. Pasien pasien memiliki
komplikasi kondisi fisik atau mental Penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint)
pada pasien dalam penatalaksanaanya harus memenuhi syarat-syarat yaitu sebagai
berikut: Penjelasan kepada pasien pasien mengapa pengendalian fisik (restraint)
dibutuhkandalam perawatan, dengan harapan memberikan kesempatan kepada pasien
untuk memahami bahwa perawatan yang akan diberikan sesuai prosedur dan aman
badi pasien maupun keluarga yang bersangkutan. Memiliki izin verbal maupun izin
tertulis dari psikiater yang menjelaskan jenis teknik  pengendalian fisik yang boleh
digunakan kepada pasien pasien dan pentingnya teknik  pengendalian fisik yang dapat
digunakan terhadap pasien berdasarkan indikasi-indikasi yang muncul.
2. Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam penggunaan Restraint
Pada kondisi gawat darurat, restrain/seklusi dapat dilakukan tanpa order dokter.
Sesegera mungkin (< 1jam) setelah melakukan restrain, perawat melaporkan pada dokter
untuk mendapatkan legalitas tindakan baik secara verbal maupun tertulis.
Intervensi restrain dibatasi waktu yaitu: 4 jam untuk klien berusia >18 tahun, 2
jam untuk usia 9-17 tahun, dan 1 jam untuk umur <9 tahun. Evaluasi dilakukan 4 jam
untuk klien >18tahun, 2 jam untuk pasien-pasien dan usia 9-17 tahun. Waktu minimal
reevaluasi oleh dokter adalah 8 jam untuk usia>18 tahun dan 4 jam untuk usia <17 tahun.
Selama restrain klien di observasi tiap 10-15 menit, dengan fokus observasi: Tanda-tanda
cedera yang berhubungan dengan restrain : Nutrisi dan hidrasi sirkulasi dan rentang
gerak eksstremitas tanda penting kebersihan  dan eliminasi status fisik dan psikologis
kesiapan klien untuk dibebaskan dari restrain.
Alat restrain bukan tanpa resiko dan harus diperiksa dan di dokumentasikan setiap
1-2 jam untuk memastikan bahwa alat tersebut mencapai tujuan pemasangannya, bahwa
alat tersebut dipasang dengan benar dan bahwa alat tersebut tidak merusak sirkulasi,
sensai, atau integritas kulit.
Selekman dan Snyder (1997) merekomendasikan intervensi keperawatan yang
tepat untuk pasien yang direstrain adalah:

26
1. Lepaskan dan pasang kembali restrain secara periodic.
2. Lakukan tindakan untuk memberi rasa nyaman, gunakan pelukan terapeutik bukan
restrain mekanik.
3. Lakukan latihan rentan gerak jika diperlukanTawarkan makanan, minuman dan
bantuan untuk eliminasi, beri pasien dot.
4. Diskusikan kriteria pelepasan restrain .
5. Berikan analgesik dan sedatif jika diinstruksikan atau di mintaHindari kemarahan
psikologik kepada pasien lain.
6. Berikan distraksi (membaca buku) dan sentuhan pertahankan harga diri pasien lakukan
pengkajian keperawatan yang kontinu dokumentasikan penggunaan restrain
3. Jenis-jenis Restrain
Pengendalian fisik (physical restraint) dengan menggunakan alat pengendalian
fisik dengan menggunakan alat merupakan bentuk pengendalian dengan menggunakan
bantuan alat bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien maupu nmenahan
gerakan rahang dan mulut pasien.
1) Alat bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien
a. Sheet and ties
Penggunaan selimut untuk membungkus tubuh pasien supaya tidak
bergerak dengan cara melingkarkan selimut ke seluruh tubuh pasien dan menahan
selimutnya dengan perekat atau mengikatnya dengan tali.
b. Restraint Jaket
Restraint jaket digunakan pada pasien dengan tali diikat dibelakang tempat
tidur sehingga pasien tidak dapat membukanya.Pita panjang diikatkan ke bagian
bawah tempat tidur, menjaga pasien tetap di dalam tempat tidur. Restrain jaket
berguna sebagai alat mempertahankan pasien pada posisi horizontal yang
diinginkan.
c. Papoose board  
Papoose board merupakan alat yang biasa digunakan untuk menahan
gerak pasien saat melakukan perawatan gigi. Cara penggunaannya adalah
pasien ditidurkan dalam  posisi terlentang di atas papan datar dan bagian atas
tubuh, tengah tubuh dan kaki pasien diikat dengan menggunakan tali kain yang

27
besar. Pengendalian dengan menggunakan papoose board dapat diaplikasikan
dengan cepat untuk mencegah pasien berontak dan menolak perawatan.Tujuan
utama dari penggunaan alat ini adalah untuk menjaga supaya pasien pasien tidak
terluka saat mendapatkan perawatan.
d. Restraint Mumi atau Bedong
Selimut atau kain dibentangkan diatas tempat tidur dengan salah satu
ujungnya dilipat ke tengah.Pasien diletakkan di atas selimut tersebut dengan bahu
berada di lipatan dan kaki ke arah sudut yang berlawanan.
Lengan kanan pasien lurus kebawah rapat dengan tubuh, sisi kanan
selimut ditarik ke tengah melintasi bahu kanan pasien dan dada diselipkan
dibawah sisi tubuh bagian kiri.Lengan kiri pasien diletakkan lurus rapat dengan
tubuh pasien, dan sisi kiri selimut dikencangkan melintang bahu dan dada dikunci
dibawah tubuh pasien bagian kanan.Sudut bagian bawah dilipat dan ditarik kearah
tubuh dan diselipkan atau dikencangkan dengan pinpengaman.
e. Restraint Lengan dan Kaki
Restraint pada lengan dan kaki kadang-kadang digunakan untuk
mengimobilisasi satu atau lebih ekstremitas guna pengobatan atau prosedur, atau
untuk memfasilitasi penyembuhan.Beberapa alat restraint yang da di pasaran atau
yang tersedia, termasuk restraint pergelangan tangan atau kaki sekali pakai, atau
dapat dibuat dari pita kasa, kain muslin, atau tali stockinette tipis.Jika restraint
jenis ini di gunakan, ukurannya harus sesuai dengan tubuh pasien.Harus dilapisi
bantalan untuk mencegah tekanan yang tidak semestinya, konstriksi, atau cidera
jaringan.Pengamatan ekstremitas harus sering dilakukan untuk memeriksa adanya
tanda-tanda iritasi dan atau gangguan sirkulasi. Ujung restraint tidak boleh diikat
ke penghalang tempat tidur, karena jika penghalang tersebut diturunkan akan
mengganggu ekstremitas yang sering disertai sentakan tiba-tiba yang dapat
menciderai pasien.
f. Restraint siku
Adalah tindakan mencegah pasien menekuk siku atau meraih kepala atau
wajah.Kadang-kadang penting dilakukan pada pasien setelah bedah bibir atau
agar pasien tidak menggaruk pada kulit yang terganggu.Bentuk restraint siku

28
paling banyak digunakan, terdiri dari seutas kain muslin yang cukup panjang
untuk mengikat tepat dari bawah aksila sampai ke pergelangan tangan dengan
sejumlah kantong vertikal tempat dimasukkannya depresor lidah. Restraint di
lingkarkan di seputar lengan dan direkatkan dengan plester atau pin.
g. Pedi-wrap 
Pedi-wrap merupakan sejenis perban kain yang dilingkarkan pada leher
sampai pergelangan kaki pasien pasien untuk menstabilkan tubuh pasien serta
menahan gerakan tubuh pasien.Pedi-wrap mempunyai berbagai variasi ukuran
sesuai dengan kebutuhan. Alat bantu untuk menahan gerakan mulut dan rahang
pasien
h. Molt Mouth Prop
Molt mouth prop merupakan salah satu alat yang paling penting dalam
melakukan perawatan gigi. Alat ini biasanya digunakan dalam anestesi umum
untuk mencegah supaya mulut tidak tertutup saat perawatan dilakukan.Alat
ini juga sangat cocok dalam penanganan pasien yang tidak bisa membuka mulut
dalam jangka waktu lama karena suatu keterbatasan. Penggunaan molt
mouth prop  harus memperhatikan posisi  rahang pasien saat pasien membuka
mulutnya, supaya tidak terjadi dislokasi temporomandibular. Sebagai tambahan,
dokter gigi harus memindahkan molt mouth prop dari mulut pasien setiap sepuluh
hingga lima belas menit agar rahang dan mulut pasien dapat beristirahat.
i. Molt Mouth Gags
Molt mouth gags juga merupakan salah satu alat bantu yang dapat
digunakan untuk menahan mulut pasien.
j. Tongue Blades
Tongue blades merupakan alat bantu yang digunakan untuk menahan
lidah pasien supaya tidak mengganggu proses perawatan
2) Pengendalian fisik (physical restraint)  tanpa bantuan alat
Pengendalian fisik tanpa bantuan alat merupakan bentuk pengendalian
fisik tanpa menggunakan bantuan alat, pengendalian bentuk ini merupakan bentuk
pengendalian yang menggunakan bantuan perawat maupun bantuan orang tua atau
pihak keluarga pasien. Pengendalian fisik dengan bantuan tenaga kesehatan

29
pengendalian fisik dengan menggunakan bantuan tenaga kesehatan merupakan
bentuk  pengendalian fisik dimana diperlukan tenaga kesehatan, misalnya perawat
untuk menahan gerakan pasien pasien dengan cara memegang kepala, lengan, tangan
ataupun kaki pasien pasien.
Pengendalian fisik dengan bantuan orang tua pasien pengendalian fisik
dengan bantuan orang tua sebenarnya sama dengan pengendalian fisik dengan
bantuan tim medis (tenaga kesehatan). Hanya saja peran perawat digantikan oleh
orang tua pasien pasien. Cara pengendalian dengan menggunakan bantuan orang tua
lebih disukai pasien apabila dibandingkan dengan menggunakan bantuan tim medis,
sebab pasien lebih merasa aman apabila dekat dengan orang tuanya.
4. Resiko Penggunaan Restraint pada Pasien
Terdapat beberapa laporan ilmiah mengenai kematian pasien pasien yang
disebabkan oleh penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint). Hubungan kematian
pasien dengan gangguan psikologi yang disebabkan penggunaan restraint adalah dimana
ketika pengendalian fisik (restrain) dilakukan, pasien pasien mengalami reaksi psikologis
yang tidak normal, yaitu seperti menigkatnya suhu tubuh, cardiac arrhythmia yang
kemudian dapat menyebabkan timbulnya positional asphyxia, excited delirium, acute
pulmonary edema, atau pneumonitis yang dapat menyebabkan kematian pada pasien.

30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Legal etika keperawatan adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang sah menurut
Undang-undang keperawatan yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya yang
berhubungan dengan pasien, masyarakat, teman sejawat maupun dengan organisasi
profesi, serta pengaturan praktik dalam keperawatan itu sendiri. Sehinggalegal etika
keperawatan dijadikan acuan dalam melaksanakan prakktik keperawatan, tidak
terkecuali keperawatan jiwa. Keputusan dan tindakan perawat psikiarti kepada klien
dibedakan oleh apa yang dinamakan dengan ethical manner (cara yang sesuai dengan
etik).
Salah satu prinsip etik perawat dalam menjalankan tugasnya yaitu prinsip otonomi
yang berarti hak untuk membuat keputusan sendiri. Menghormati otonomi
menyangkut penghormatan terhadap otonomi individu untuk dengan bebas
menentukan sendiri apa yang akan dilakukan. Ini menunjukkan bahwa setiap individu
tidak hanya membuat pilihan untuk membuat keputusan sendiri, tetapi juga bebas
dalam menerima setiap konsekuensi dari keputusan yang dibuat. Namun, dalam
keadaan tertentu jika pasien jiwa mengalami depresi sampai membuat tindakan yang
membahayakan maka perawat jiwa melakukan Seklusi atau pengurungan pasien
dalam suatu ruang untuk mencegah kerusakan atau bahaya terhadap orang lain,
lingkungan, fasilitas rumah sakit serta dirinya sendiri.

31
Restraint (fisik) merupakan alternative terakhir intervensi jika dengan intervensi
verbal, chemical restraint mengalami kegagalan. Seklusi merupakan bagian dari
restraint fisik  yaitu dengan menempatkan klien di sebuah ruangan tersendiri untuk
membatasi ruang gerak dengan tujuan meningkatkan keamanan dan kenyamanan
klien.
3.2 Saran
Demikian isi makalah ini, kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna dan banyak kekurangan baik dari segi bentuk maupun materi yang
kami uraikan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca untuk memperbaiki makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Kusumawati, Farida, dkk. 2012. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika

Stuart, Gail. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC.

Purba, Jenny Marlindawani, dkk. 2009. Dilema Etik dan Pengambilan Keputusan Etik dalam
Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Simpson, A. Scott. 2014. Journal General Hospital Psychiatriy : Risk for physical restraint or
seclusion in the psychiatric emergency service (PES). Vol.36. England : Elsevier.

Janssen. W. A. 2013. Differences in Seclusion Rates Between Admission Wards: Does Patient
Compilation Explain?. Vol. 52. DOI 10.1007/s11126-012-9225-3. Spinger : Netherland.

Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2001).Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (Ed ke-7).
St. Louis: Mosby, Inc.

Gail Wiscarz Stuart dan Sandra J. Sundeen (1998). Keperawatan Jiwa : buku saku. Edisi
3.Jakarta : EGC

32
33

Anda mungkin juga menyukai