Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ETIKA DALAM PERAWATAN PALIATIF

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Bridging Mata Kuliah “Keperawatan
Paliatif”
Dosen Pengampu Mata Kuliah: Dr. Catur Budi Susilo, S. Pd, S. Kp, M. Kes

Disusun Oleh:
1. Anisa Nurjannah P07120218009
2. Rizka Octaviana P07120218022
3. Purwanti Nurindah S P07120218027
4. Vidya Eka Dwi A P07120218028
5. Riza Firsty E P07120218037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWTAN
POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan
menyeluruh,dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Meski
Pada akhirnya pasien meninggal dunia, yang terpenting sebelum
meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual,serta tidak stres
menghadapi penyakit yang dideritanya. Prinsip perawatan
paliatif :menghargai setiap kehidupan, menganggap kematian sebagai
proses yang normal, tidak mempercepat atau menunda kematian,
menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan,
menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu,
mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam perawatan
pasien dan keluarga, menghindari tindakan medis yang sia sia,
memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai
dengan kondisinya sampai akhir hayat,memberikan dukungan kepada
keluarga dalam masa duka cita.
Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien
dalam kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru
perawatan paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif
lebih dini agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan
baik. Perawatan paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik
dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah
bahwa setiap pasien berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir
hayatnya. Keadaan sarana pelayanan perawatan paliatif di Indonesia
masih belum merata sedangkan pasien memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif dan holistik, maka
diperlukan kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang memberikan
arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan
perawatan paliatif.
B. Tujuan
1. Mengetahui Konsep Etika dalam Perawatan Paliatif
2. Mengetahui Pendekatan Pasien dalam Perawatan Paliatif
3. Mengetahui Komunikasi Pasien dalam Perawatan Paliatif
4. Mengetahui Intervensi Pasien dalam Perawatan Paliatif
5. Mengetahui Dukungan Keluarga dalam Perawatan Paliatif
6. Mengetahui Etika Individu dalam Perawatan Paliatif

C. Rumusan Masalah
1. Apa Konsep Etika?
2. Apa Konsep Etika dalam Perawatan Paliatif?
3. Bagaimana Pendekatan Pasien dalam Perawatan Paliatif?
4. Bagaimana Komunikasi Pasien dalam Perawatan Paliatif?
5. Bagaimana Intervensi Pasien dalam Perawatan Paliatif?
6. Bagaimana Dukungan Keluarga dalam Perawatan Paliatif?
7. Bagaimana Etika Individu dalam Perawatan Paliatif?
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno. Yang berasal dari kata
“Ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai arti kebiasaan – kebiasaan,
tingkah laku manusia, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara
berpikir. Arti terakhir inilah yang menurut Aristoteles menjadi latar
belakang – usul kata – kata ini, “Etika” berarti ilmu tentang apa yang
biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. (Farelya, G. &
Nurrobikha, 2018).
Etika yang berasal dari bahasa inggris “ethics” artinya ukuran
tingkah laku atau perilaku manusia yang baik, yakni tindakan yang tepat
yang harus dilakukan oleh manusia sesuai dengan moral pada umumnya.
(Wahyuningsih, 2005 dalam Ristica, O. D. & Widya Juliart, 2015).
Etika merupakan suatu ungkapan tentang bagaimana perawat wajib
bertingkah laku. Etika keperawatan merujuk pada standar etik yang
menentukan dan menuntun perawat dalam praktek sehari- hari. Etika
keperawatan mengidentifikasi, mengorganisasikan, memeriksa dan
membenarkan tindakan – tindakan kemanusiaan dengan menerapkan
prinsip – prinsip tertentu serta, menegaskan tentang kewajiban –
kewajiban yang secara sukarela diemban oleh perawat dan mencari
informasi mengenai dampak dari keputusan – keputusan perawat.
(Darwin, E., 2015).
Etika keperawatan adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang
diyakini oleh profesi keperawatan dalam melaksanakan tugasnya yang
berhubungan dengan pasien, masyarakat, teman sejawat maupun dengan
organisasi profesi, dan juga dalam pengaturan praktik keperawatan itu
sendiri. Prinsip-prinsip etika ini oleh profesi keperawatan secara formal
dituangkan dalam suatu kode etik yang merupakan komitmen profesi
keperawatan akan tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan oleh
masyarakat (Berger & Williams, 1999 dalam Pangaribuan, R., 2016).

B. Konsep Etika Keperawatan Paliatif


1. Autonomy (Kemandirian)
Hak individu dalam membuat keputusan terhadap tindakan yang
akan dilakukan atau tidak dilakukan setelah mendapatkan informasi
dari dokter serta memahami informasi tersebut secara jelas. Pada
pasien anak, autonomy tersebut diberikan pada orangtua atau wali.
(Kemenkes RI, 2015) Perilaku tanpa tekanan dari luar, memutuskan
sesuatu tanpa tekanan atau paksaan pihak lain (Facione et all, 1991
dalam Touwely, K. & Astuti Tuharea, 2016). Bahwa siapapun bebas
menentukan pilihan yang menurut pandangannya sesuatu yang
terbaik. Contoh: klien mempunyai hak untuk menerima atau menolak
asuhan keperawatan yang diberikan. (Touwely, K. & Astuti Tuharea,
2016)
2. Beneficence (Berbuat baik)
Tindakan yang dilakukan harus memberikan manfaat bagi pasien
dengan memperhatikan kenyamanan, kemandirian, kesejahteraan
pasien dan keluarga, serta sesuai keyakinan dan kepercayaannya.
(Kemenkes RI, 2015)
3. Non-maleficence (Tidak merugikan)
Tindakan yang dilakukan harus tidak bertujuan mencederai atau
memperburuk keadaan kondisi yang ada. (Kemenkes RI, 2015)
4. Justice (Keadilan)
Memperlakukan semua pasien tanpa diskriminasi. Tidak
membedakan ras, suku, agama, gender dan status ekonomi.
(Kemenkes RI, 2015). Hak setiap orang untuk diperlakukan sama
merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil bagi semua
individu. Artinya, individu mendapat tindakan yang sama mempunyai
kontribusi yang relatif sama untuk kebaikan kehidupan seseorang.
(Touwely, K. & Astuti Tuharea, 2016)
5. Veracity (Kejujuran)
Kejujuran merupakan hal yang fundamental dalam membangun
hubungan saling percaya dengan pasien. Perawat sering tidak 4
memberitahukan kejadian sebenarnya pada pasien yang memang sakit
parah. (Touwely, K. & Astuti Tuharea, 2016) Pada kondisi pasien
yang mengalami krisis atau pada tahap terminal perawat tidak
mengatakan hal yang sesungguhnya kepada keluarga pasien sehingga
dapat menimbulkan konflik antara perawat dengan keluarga pasien.
Seharusnya perawat harus mengatakan yang sejujurnya pada keluarga
tentang kondisi pasien yang sebenarnya. (Pangaribuan, R., 2016)
6. Fidelity (Menepati Janji)
Tanggung jawab dalam konteks hubungan perawat-pasien meliputi
tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan konfidensi dan
memberikan perhatian/kepedulian. Peduli kepada pasien merupakan
salah satu dari prinsip ketaatan. Rasa kepedulian perawat diwujudkan
dalam memberi asuhan keperawatan dengan pendekatan individual,
bersikap baik, memberikan kenyamanan dan menunjukan kemampuan
profesional. Bila perawat sudah berjanji untuk memberikan suatu
tindakan, maka tidak boleh mengingkari janji tersebut. (Touwely, K.
& Astuti Tuharea, 2016)
7. Confidentiality (Kerahasiaan)
Melindungi informasi yang bersifat pribadi, prinsip bahwa perawat
menghargai semua informasi tentang pasien dan perawat menyadari
bahwa pasien mempunyai hak istimewa dan semua yang berhubungan
dengan informasi pasien tidak untuk disebarluaskan secara tidak tepat
(Aiken, 2003 dalam Touwely, K. & Astuti Tuharea, 2016)
8. Inform Consent (Persetujuan)
Tindakan yang telah disetujui oleh pasien dan atau keluarga harus
dituangkan dalam “informed consent” dan ditandatangani oleh pasien
dan keluarga dan petugas kesehatan sebelum tindakan dilakukan atau
tidak dilakukan. (Kemenkes RI, 2015)

C. Pendekatan Pasien
Pendekatan pada pasien dalam perawatan paliatif yang seringkali
ditemukan yaitu pendekatan secara spiritual. Menurut penelitian
(Ardiyanti, 2021), pendekatan spiritual dalam perawatan paliatif yang
sering digunakan ada 3 yaitu meditasi, mendengarkan, dan apresiasi.
a. Meditasi
Meditasi secara umum dapat diartikan sebagai pemikiran atau
perenungan (contemplation) dan refleksi (reflection). Kemungkinan
seseorang melakukan meditasi adalah ketika batin melakukan sesuatu
yang dapat merefleksikan diri dan belajar menentukan untuk apa
tujuan dan misi hidup sebenarnya. Terapi meditasi merupakan salah
satu teknik terapi yang dapat mempengaruhi tubuh agar dapat
berespon positif dan membuat tubuh menjadi lebih tenang dan rileks.
Serta bermanfaat untuk perbaikan kesehatan, baik mental maupun
fisik. Ketika relaksasi pikiran akan terpusat sehingga pembuluh darah
menjadi lebih elastis dari sebelumnya. Pada kondisi tersebut sirkulasi
darah lebih lancar sehingga dapat merilekskan dan menghangatkan
tubuh, maka kerja jantung akan semakin ringan dan sangat
berpengaruh terhadap sistem kerja organ tubuh yang lain.
Meditasi biasanya berhubungan dengan kegiatan keagamaan atau
spiritual, namun banyak juga meditasi yang digunaan dalam dunia
medis tanpa adanya unsur keagamaan atau spiritual. Dalam
pendidikan islam meditasi dapat dilakukan dengan cara berdzikir
(Salsabila and Dahlan, 2020). Dzikir menimbulkan efek relaksasi
ketika dipadukan dengan kalimat ritmis. Selain berdzikir, dengan
melaksanakan shalat 5 waktu atau 17 rakaat dalam waktu satu hari.
Melaksanakan shalat 5 waktu dalam sehari sama dengan
melaksanakan aktivitas fisik dan psikis, yang di dalamnya terkandung
unsur bio-energi dan konsentrasi otot, gerakan otot-otot dalam sholat
merupakan proses relaksasi (Salsabila and Dahlan, 2020).
b. Mendengarkan
Satu kebutuhan manusia yang penting adalah kontak dengan orang
lain. Hubungan dianggap sebagai dimensi sosial dari kebutuhan
spiritual, yang diekspresikan dalam bentuk cinta, perasaan memiliki,
dan kontak dengan orang lain (Ketut and Ariani, 2017). Spiritualitas
merupakan strategi dukungan untuk mendapatkan harapan yang lebih
besar selama pengobatan. Harapan yang paling besar diinginkan
pasien kanker adalah dukungan dari kelompok dan pusat pelayanan
kesehatan dan selalu berkeinginan diajak untuk berbicara dengan
orang lain untuk mengatasi penyakit dan kerasnya efek pengobatan
(Yuliani et al., 2020). Pemenuhan kebutuhan sosial berarti
memberikan perlindungan dan meengembangkan kemampuan
penderita untuk menghadapi kondisi yang penuh tekanan dan mampu
menerima kondisi kesehatannya. Dukungan sosial tidak hanya dari
keluarga namun juga berasal dari teman dan komunitas tertentu
(Maryatun, 2020).
Selain dukungan dari orang lain dalam bentuk komunikasi,
mendengarkan music ternyata dapat membuat kenyamanan bagi
pasien. Terapi musik sangat mudah diterima organ pendengaran
penderita gangguan mental dan kemudian melalui syaraf pendengaran
disalurkan ke bagian otak yang memproses emosi (sistem limbik).
Rangsangan suara yang terdiri dari ritme, harmoni, timbre, bentuk dan
gaya yang diorganisir sedemikian rupa hingga tercipta terapi musik
yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh dan mental. Ketika pasien
mendengarkan musik alam (Nature Instrumental Music), seperti desau
angin, air mengalir, cuitan (asli) burung, gemerisik daun, atau suara
alam lain, maka tubuh akan merespon dengan melepaskan hormone
dopamine dan hormone endorphin (Direct and Scholar, 2020).

c. Apresiasi
Bentuk dari apresiasi yang dapat dilakukan pasien diantaranya
motivasi baik dari diri sendiri maupun orang lain, mendapatkan dan
memberikan kasih sayang, peduli dengan sesama, dan masih banyak
hal lain positif dalam bentuk dukungan untuk pasien. Pasien
diharapkan mengeluarkan kalimat positif, dan menghimbau kepada
pasien untuk menyebutkan kalimat positif setiap harinya. Kalimat
positif yang dilakukan oleh pasien disebut sebagai Positive Self talk.
Ketika seseorang menerapkan positive self talk, maka rantai saraf
akan mengeluarkan energy untuk memunculkan suatu energy motivasi
pada dirinya (Kim, Keck, Miller, & Gonzalez, 2012; Land, Michalos,
& Sirgy,2012).
Menciptakan struktur kalimat positif dapat memicu respon fisik
yang meningkatkan kekuatan. Mengatakan, "Ya, saya bisa melakukan
ini!" dapat membuat kalimat terwujud dengan sendirinya. Pia Aravena
dan rekan-rekannya dari Institute of Cognitive Sciences di Perancis
baru-baru ini menemukan bahwa saat manusia melakukan suatu
pekerjaan dan menerapkan kalimat positif, maka akan ada peningkatan
energy dari dalam tubuh untuk melaksanakannya, namun saat tidak
diberikan kalimat positif, maka energi tubuhpun tidak mengalami
suatu perubahan, begitu pula saat manusia tersebut menyebutkan
kalimat negatif, maka tubuh akan menunjukan adanya penurunan
energy (Anderson and Gustavson, 2016).

D. Komunikasi Pasien

Palliative care atau perawatan paliatif merupakan tipe perawatan


yang tidak hanya menekankan pada gejala fisik saja, tetapi perawatan ini
juga fokus terhadap aspek-aspek emosional, psikososial, dan ekonomis
serta spiritual untuk memenuhi kebutuhan akan perbaikan kualitas hidup
pasien. Pelayanan kanker merupakan salah satu bentuk pelayanan paliatif
di Indonesia, pelayanan ini berfokus pada pengobatan dan pengontrolan
progresi kanker (Deli and Ana, 2014; Sherwen, 2014; Selman et al., 2017).

Komunikasi bisa didefinisikan sebagai pembagian informasi secara


sukarela dan sengaja dua orang atau lebih dalam upaya menyampaikan dan
menerima pesan. Komunikasi pada pasien kanker sangat menantang
namun sejauh ini hal tersebut kurang diperhatikan dalam pelayanan
kanker sehingga sering bagi perawat onkologi melaporkan hambatan
substansial dan tantangan berkomunikasi dalam praktek mereka (Hasan
and Rashid, 2016). Hasil penelitian Virdun menyatakan bahwa komunikasi
terapeutik merupakan salah satu hal penting yang diinginkan oleh pasien
dan keluarganya dalam perawatan penyakitnya. Lebih lanjut komunikasi
terapeutik menurut pasien dan keluarga yaitu pemberian informasi yang
jujur dan jelas terkait penyakitnya, komunikasi dengan empati (Virdun et
al., 2017).

Komunikasi terapeutik adalah landasan dasar untuk kepastian


pengobatan, hasil kesehatan yang positif, kepatuhan pasien dan kualitas
perawatan secara keseluruhan (Hasan and Rashid, 2016). Sehingga
seorang perawat harus memiliki dan menguasai skill komunikasi yang
dibutuhkan supaya mereka bisa bekerja secara efektif dan membangun
hubungan interpersonal yang kontruktif dan sukses antara perawat dan
pasien (Sherwen, 2014; Lai, 2016).

1. Karakteristik komunikasi terapeutik dalam pelayanan paliatif dan


kanker
Komunikasi terapeutik merupakan elemen vital dalam pelayanan
paliatif dan kanker. Perawat memainkan peran penting dalam merawat
pasien kanker. Kemampuan yang harus dimiliki perawat adalah
kemampuannya untuk melakukan komunikasi yang terapeutik.

a) Menunjukan empati dan dukungan emosional

Penelitian yang dilakukan oleh (Banarjee et al., 2016 dan Selman et


al., 2017) mengemukakan bahwa menunjukan empati dan dukungan
emosional merupakan salah satu pusat dari Komunikasi terapeutik
Cara menunjukan empati dan dukungan emosi yaitu dengan cara
membantu mereka merasa dipahami dan didukung bisa dengan cara
mengakui emosi pasien contohnya saya bisa melihat “betapa
kewalahannya kamu”, mevalidasi emosi pasien seperti “ini pasti
sangat sulit”, menormalkan emosi pasien seperti “ kebanyakan
orang-orang yang berada disituasimu merasakan hal yang sama”
terakhir seperti saya sangat kagum bagaimana kamu telah menerima
penyakitmu”.

b) Menghargai pasien atau rasa hormat

Perawat mampu menjaga privasi pasien dan menghormati


keputusan pasien tentang keinginan dia mendiskusikan topik yang
sensitif, seperti diagnose atau kabar buruk. (Roscoe et al., 2013;
Strang et al., 2014; Milic et al., 2015; Murray, McDonald and
Atkin, 2015),

c) Memberikan informasi yang jelas, terbuka dan jujur

Tujuan memberikan informasi yang jelas, terbuka dan jujur adalah


untuk membantu pasien dalam memahami maksud tindakan
perawat dan informasi tersebut dapat membuat pasien merasakan
kemudahan dan mengurangi harapan yang tidak realistis.
(Krawczyk and Gallagher, 2016).

d) Menghindari pemberian harapan palsu and eupemisme


Menghindari pemberian harapan palsu dan eupemisme adalah
bertujuan untuk mengurangi harapan yang tidak realistis dari pasien
maupun keluarganya.(Krawczyk and Gallagher, 2016).

e) Fokus pada informasi yang dibutuhkan dan diinginkan

Sebelum informasi diberikan maka terlebih dahulu diklarifikasi


sejauh mana pemahaman pasien dan keinginan akan informasi
tersebut, sehingga ada koneksi informasi dan kebutuhan pasien.
(Strang et al., 2014; Coyle et al., 2015; Milic et al., 2015; Murray,
McDonald and Atkin, 2015).

f) Menggunakan bahasa yang mudah dipahami

Menggunakan bahasa awam akan mudah dipahami dan


meminimalisir misunderstanding serta penggunaan komunikasi non
verbal yang tepat contohnya sentuhan, duduk disamping pasien
bisa mendorong pasien memahami bahwa perawat siap membantu.
(Roscoe et al., 2013; Murray, McDonald and Atkin, 2015).

g) Aktif mendengarkan,

Perawat perlu mengetahui kapan harus bicara dan kapan harus


mendengar sehingga interaksi yang baik tercipta antara perawat dan
pasien selain itu, lebih banyak mendengar daripada berbicara di
salah satu waktu itu lebih baik. (Roscoe et al., 2013; Strang et al.,
2014; Seccareccia et al., 2015)

2. Hambatan dalam Melakukan Komunikasi Terapeutik dalam Perawatan


Paliatif
Terdapat 3 kategori utama terhambatnya komunikasi Terapeutik
perawat terhadap pasien yaitu:

a) Faktor Perawat

Faktor perawat merupakan hambatan mayor untuk menyediakan


komunikasi yang baik, dimana adanya kurang pengalaman dan
motivasi (Granek et al,2013; Ashehri and Ismaile, 2016), Kesulitan
dengan treatment atau paliatif, Ketidaknyamanan dan merasa tabu
mendiskusikan tentang kematian dan proses kematian sehingga
cenderung mengabaikan untuk berdiskusi(Asherhri and Ismaile,
2016), menyebarnya tanggung jawab antara kolega untuk
mendiskusikan isu-isu palatif, kurang bimbingan, dan kurangnya
pengetahuan dan skill dalam menyediakan komunikasi yang
terapeutik (Banerjee et al., 2016).

b) Faktor Pasien dan Keluarga

Faktor pasien dan keluarga seperti karakteristik individu, keluarga


yang tidak siap akan kehilangan, perbedaan keyakinan dan budaya,
hambatan dalam bahasa, dan keengganan pasien atau keluarga
untuk membicarakan kematian dan proses kematian dan cenderung
berdampak negatif (Banerjee et al., 2016; McDonald and Atkin,
2015)

c) Faktor Institusional

Faktor institusional yaitu stigma dalam pelayanan paliatif,


kurangnya protokol di pelayanan kanker dan paliatif, kurangnya
supervisi, kurangnya training untuk berkomunikasi baik bagi
perawat, beban kerja dan waktu tidak seimbang, kehilangan
autonomi berdiskusi terkait masalah paliatif (Granek et al., 2013;
Ghahramanian et al., 2014; Banerjee et al., 2016).
3. Strategi untuk Menyediakan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik sebagai strategi utama untuk meningkatkan


kemampuan dalam menyediakan komunikasi yang tepat dalam merawat
pasien paliatif. Skill training komunikasi memiliki efek positif yaitu
memperbaiki kemampuan perawat untuk menunjukan sempati dan
mendiskusikan emosi (Selman et al., 2017), meningkatkan kepercayaan
diri perawat untuk berkomunikasi dalam pelayaan kanker, dan
meningkatkan pemahaman dan kepercayaan diri perawat untuk
mendiskusikan terkait prognosis dan tujuan dari perawatan (Milic et al.,
2015). Sedangkan menurut Curtis (2013) menyatakan bahwa efek traini
komunikasi berdasarkan simulasi tidak memperbaiki kualitas komunikasi
jika dibandingkan dengan edukasi biasa.

E. Intervensi Pasien
Dalam meberikan perawatan paliatif harus dimulai saat didiagnosa dan
diberikan selama mengalami sakit da dukungan untuk keluarga pasien.
Penatalaksanaan awal secara total oleh tim paliatif akan memfasilitasi ke
peratawan yang baik. Tempat perawatan paliatif dapat dilaksanakan :
1. Di rumah sakit, perawatan dirumah sakit diperlukan jika pasien harus
mendapatkan perawatan yang memerlukan pengawasan ketat, tindakan
khusus atau peralatan khusus. Pemberian perawatan paliatif harus
memperhatikan kepentingan anak dan melaksanakan tindakan yang
diperlukan meskipunprognosis pasien buruk serta harus mempertimbangkan
manfaat dan resiko sehingga perlu meminta dan melibatkan keluarga.
2. Di Hospice, perawatan pasien yang berada dalam keadaan tidak memerlukan
pengawasan ketat atau tindakan khusus serta belum dapat dirawat di rumah
karena memerlukan pengawasan tenaga kesehatan. Perawatan hospice dapat
dilakukan di rumah sakit, rumah, atau rumah khusus perawatan paliatif,
tetapi dengan pengawasan dokter atau tenaga kesehatan yang tidak ketat atau
perawatan hospice homecare yaiutu perawatan dirumah dan secara teratur
dikunjungi oleh dokter atau petugas kesehatan apabila diperlukan.
3. Di rumah, perawatan dilakukan di rumah sehingga keluarga lebih berperan
karena sebagian perawatan dilakukan oleh keluarga sebagai caregiver
diberikan latihan pendidikan keperawatan dasar. Perawatan di rumah hanya
mungkin dilakukan bila pasien tidak memerlukan alat khusus atau
keterampilan khusus yang tidak dapat dilakukan oleh keluarga.
Perawatan paliatif merupakan pelayanan yang mencakup, pelayanan
berfokus pada kebutuhan pasien bukan pelayanan berfokus pada penyakit,
menerima kematian namun juga tetap berupaya untuk meningkatkan kualitas
hidup, pelayanan yang membangun kerjasama antara pasien dan petugas
kesehatan serta keluarga pasien, dan berfokus pada proses penyembuhan bukan
pada pengobatan (Muntamah, 2020). Perawatan paliatif akan membantu pasien
menemukan kualitas hidup selama paisen menjalankan pengobatan sampai pada
waktu yang tidak bisa ditentukan, salah satunya didapatkan dari layanan
psikososial (Arlita, Anandany, Putri & Suryanto, 2020). Peran perawatan
paliatif yaitu :
1. Praktek di klinik, perawat memanfaatkan pengalaman dalam
mengkaji dan mengevaluasi keluhan serta nyeri pasien. Perawat
dengan anggota tim berbagai keilmuan menggabungkan dan
mengimplementasikan rencana perawatan secara menyeluruh.
Perawat mengidentifikasi pendekatan baru untuk mengatasi nyeri
yang dikembangkan berdasarkan standar perawatan di rumah sakit
untuk melaksanakan tindakan. Adanya kemajuan ilmu pengetahuan
keperawatan, maka keluhan sindroma nyeri yang komplek dapat
perawat praktikan dengan melakukan pengukuran tingkat
kenyamanan disertai dengan memanfaatkan inovasi, etika dan
berdasarkan keilmuan.
2. Pendidik, perawat memfasilitasi filosofi yang komplek, etika dan
diskusi tentang penatalaksanaan keperawatan di klinik, mengkaji
anak dan keluarganya serta semua anggota tim menerima hasil
yang positif. Perawat memperlihatkan dasar
keilmuan/pendidikannya yang meliputi mengatasi nyeri neuropatik,
berperan mengatasi konflik profesi, mencegh dukacita, dan resiko
kehilangan. Perawat pendidik dengan tim lain seperti komite dan
ahli farmasi, berdasarkan pedoman dari tim perawat paliatif maka
memberikan perawatan yang berbeda dan khusus dalam
menggunakan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri
neuropatik yang tidak mudah diatasi.
3. Peneliti, perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui
pertanyaan pertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru
yang ditujukan pada pertanyaan-pertanyaan penelitian. Perawat
dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.
4. Bekerjasama, perawat sebagai nasehat anggota/staf dalam
mengkaji biopsiko-sosial-spiritual dan penatalaksanaan. Perawat
membangun dan mempertahankan hubungan kolaborasi dan
mengidentifikasi sumber dan kesempatan bekerja dengan tim
perawatan paliatif, perawat memfasilitasi dalam mengembangkann
dan mengimlementasikan anggota dalam pelayanan, kolaborasi
perawat/dokter dan komite penasehat. Perawat memperlihatkan
nilai-nilai kolaborasi dengan pasien dan keluarga pasien, dengan
tim antar disiplin ilmu, dan tim kesehatan lain dalam menfasilitasi
kemungkinan hasil terbaik.
5. Penasehat, perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter,
tim perawatan paliatif dan komite untuk menentukan tindakan yang
sesuai dalam pertemuan tentang kebutuhan pasien dan keluarga
pasien.
Prinsip pelayanan perawatan paliatif yaitu menghilangkan nyeri
dan gejala fisik lain, menghargai kehidupan dan menganggap kematian
sebagai proses normal, tidak bertujuan mempercepat atau menunda
kematian, mengintegrasikan aspek psikologis, sosial dan spritual,
memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungki,
memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita,
menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarga pasien, dan menghindari tindakan yang gegabah (Kementrian
Kesehatan RI, 2013).
Tujuan dari perawatan paliatif adalah untuk mengurangi
penderitaan, memperpanjang umur, meningkatkan kualitas hidup, dan
memberikan support kepada keluarga pasien. Meski pada akhirnya pasien
meninggal, yang terpenting sebelum meninggal pasien siap secara
psikologis dan spiritual, serta tidak stre menghadapi penyakit yang di
deritanya (Anita, 2016).

F. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah sikap dan tindakan terhadap anggota
keluarga yang sakit dan keluarga memberikan bantuan kepada anggota
keluarga lain baik berupa barang, jasa, informasi, dan nasihat sehingga
anggota keluarga merasa di sayangi, di hormati dan dihargai (Friedman,
2013).
1. Manfaat dukungan keluarga
Dukungan keluarga ini terjadi selama masa proses kehidupan
dengan sifat dan tipe dukungan yang bervariasi pada masing-masing
tahap siklus kehidupan keluarga, walapun demikian dalam semua
tahapan siklus kehidupan keluarga, dukungan keluarga dapat
memungkinkan keluarga berfungsi secara penuh dan dapat
meningkatkan adaptasi keluarga dalam memenuhi kesehatan keluarga
(Friedman, 2013).
2. Jenis Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan pengaruh positif yang
diberikan oleh anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya.
Dukungan keluarga dibutuhkan karena keluarga berperan penting
dalam tahap perawatan kesehatan pasien dan membawa dampak yang
baik untuk pasien. Jenis dukungan keluarga ada empat yaitu
(Harnilawati, 2013) dan Friedman (2013) :
a) Dukungan instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber
pertolongan praktis dan konkrit. Dukungan ini meliputi
penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan
finansial dan material berupa bantuan nyata, termasuk didalamnya
bantuan langsung, seperti saat seseorang memberi atau
meminjamkan uang, membantu kegiatan spiritual seperti
menyediakan keperluankeperluan yang bersangkutan dengan
ibadah.
b) Dukungan keluarga informasional, yaitu keluarga berfungsi
sebagai sebuah kolektor dan disseminator (penyebar informasi).
Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung
jawab bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari
masalah, memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan
balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Dimana
keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi.
Misalnya keluarga dapat memberikan atau menyediakan buku,
mendatangkan ulama atau rohaniawan.
c) Dukungan penilaian (appraisal), yaitu keluarga bertindak sebagai
sebuah umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan
masalah dan sebagai sumber dan validator identitas keluarga.
Misalnya anggota keluarga yang sakit tidak bisa atau tidak mampu
untuk melakukan sholat/ibadah maka tugas keluarga yaitu
membantu/mengajarkan cara melakukan sholat/ibadah.
d) Dukungan emosional, yaitu keluarga sebagai sebuah tempat yang
aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta penguasaan
terhadap emosi.
3. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga
Faktor-faktor yang mempengaruhi keluarga (Purnawan, 2008) :
a. Faktor internal
1) Tahap perkembangan. Setiap dukungan ditentukan oleh faktor
usia dimana termasuk pertumbuhan dan perkembangan,
dengan demikian setiap rentang usia memiliki pemahaman dan
respon terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.
2) Spiritual, aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana
seseorang itu menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan
keyakinan, hubungan dengan keluarga atau teman, dan
kemampuan mencari harapan serta arti dalam hidup.
3) Faktor emosional, factor ini juga dapat mempengaruhi
keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan dan cara
melaksanakannya. Seseorang yang mengalami respon stress
cenderung merasa khawatir bahwa penyakit tersebut dapat
mengancam kehidupannya. Seseorang yang secara umum
terlihat tenang mungkin mempunyai respon emosional yang
kecil selama ia sakit. Jadi seorang individu yang tidak mampu
melakukan koping secara emosional terhadap ancaman
penyakitnya mungkin akan menyangkal tentang penyakitnya.

G. Individu
Sikap pasien paliatif terhadap proses pengobatan yang dijalani harus
mendapat dukungan dari perawat agar pasien semangat dalam menjalani
setiap tahap proses pengobatan. Pasien paliatif akan merasa putus asa,
bosan, dan rasa ingin menyerah. Perlunya dukungan dari perawat dalam
memberikan motivasi dan support system. Tahap-tahap berduka menurut
Kubler Ross membagi tahap-tahap menghadapi ajal dalam 7 tahap, yaitu
1. Tahap Shock atau Tidak Percaya
Tahap ini merupakan reaksi pertama ketika mendengar pernyataan yang
tidak menyenangkan, atau dalam hal ini adalah diagnosa terminal yang
dialami. Ketika berada di tahap ini, kebanyakan orang justru tidak
merasakan apapun. Pengalaman ini bisa menjadi pengalaman yang
membuat shock karena individu tidak segera merasakan perasaan
hancur dengan berita tersebut.
2. Tahap Penyangkalan dan Isolasi.
Dalam tahap ini, pasien merasa tidak siap untuk menerima keadaan
yang sedang terjadi sebenarnya, dan reaksi yang ditunjukkan adalah
reaksi penolakan. Pada fase ini, bentuk bantuan yang bisa diberikan
perawat adalah waspada terhadap isyarat pasien yang menunjukkan
denial dengan cara menanyakan tentang keadaannya atau prognosisnya,
dan pasien bisa mengekspresikan perasaan yang dirasakan.
3. Tahap Kemarahan
Rasa marah bisa terjadi karena kondisi yang dialami pasien dinilai
mengancam kehidupannya dengan segala hal yang telah diperbuatnya,
sehingga dirinya merasa gagal untuk meraih cita-citanya. Umumnya,
pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaan marahnya.
Untuk hal ini, perawat perlu membantu pasien agar mengerti bahwa
perasaan yang dirasakanannya adalah respon yang normal.
4. Tahap Tawar Menawar/ Bargaining
Dalam fase ini, kemarahan biasanya sudah mulai mereda dan pasien
bisa mulai menerima apa yang tengah terjadi pada dirinya. Pada fase
ini, perawat perlu menjadi pendengar untuk keluhan pasien dan
mendukung pasien agar dapat berkomunikasi dengan baik tentang apa
yang dirasakannya, agar mengurangi rasa bersalah dan ketakutan yang
tidak masuk akal.
5. Tahap Penyesalan/ Guilt
Penyesalan bisa terjadi ketika pasien merasa menyesal atas apa yang
telah terjadi atau apa yang telah terlewatkan di masa lalu. Pada tahap
ini, pasien mungkin memiliki keinginan untuk memutar waktu kembali
dan melakukan beberapa hal dengan cara yang berbeda. Ini adalah fase
dimana pembinaan duka akan sangat membantu mereka, yang bisa
dilakukan untuk berbagi ingatan dan penyesalan dalam lingkungan yang
mendukung.
6. Tahap depresi
Pada tahap ini, pasien cenderung diam dan tidak banyak bicara, atau
mungkin justru banyak menangisi keadaannya. Inilah saat bagi perawat
untuk duduk dengan tenang di sisi pasien yang tengah menjalani
kesedihannya sebelum meninggal dunia. Dalam fase ini, perawat perlu
untuk selalu hadir di dekat pasien dan mendengarkan apa yang
dikeluhkan pasien. Komunikasi non verbal mungkin akan menjadi cara
yang baik untuk hal ini, dengan duduk tenang di samping pasien dan
mengamati reaksi non verbal yang ditunjukkan pasien, sehingga mampu
menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
7. Tahap Penerimaan/ Acceptance.
Dalam fase ini, terjadi penerimaan secara sadar oleh pasien maupun
keluarganya, tentang keadaan yang tengah terjadi dan kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. Fase ini akan
sangat membantu bila pasien bisa menyatakan reaksinya atau rencana
yang terbaik untuk dirinya saat menjelang ajal, seperti: ingin berkumpul
dengan keluarga terdekat atau menuliskan surat wasiat. Fase ini diawali
dengan ditandai pasien merasa tenang dan damai. Pada saat seperti itu,
pengertian dari keluarga dan teman mulai dibutuhkan bahwa pasien
sudah bisa menerima keadaan dan butuh dilibatkan semaksimal
mungkin dalam pengobatannya, dan bisa untuk menolong dirinya
sendiri sesuai dengan kemampuan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perawatan paliatif adalah kesehatan terpadu yang aktif dan
menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi.
Tujuannya untuk mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang
umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support
kepada keluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, sebelum
meninggal sudah siap secara psikologis dan spiritual. Etika keperawatan
adalah kesepakatan/peraturan tentang penerapan nilai moral dan
keputusan-keputusan yang ditetapkan untuk profesi keperawatan

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat untuk meningkatkan
pemahaman dan pengetahuan kita tentang etika dalam keperawatan
paliatif. Kami selaku penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca serta berharap bagi penulis selanjutnya
menggunakan literatur yang lebih banyak agar bisa menjadi referensi
dalam pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Farelya, G. & Nurrobikha. 2018. Etikolegal dalam Pelayanan


Kebidanan. Yogyakarta: Deepublish
Darwin, E. 2015. Etika Profesi Kesehatan. Yogyakarta: Deepublish.
Ristica, O. D. & Widya Juliart. 2015. Prinsip Etika dan Moralitas
dalam Pelayanan Kebidanan. Yogyakarta: Deepublish.
Touwely, K. & Astuti Tuharea. 2016. Hubungan Antara Tingkat
Pendidikan Perawat Dengan Penerapan Prinsip-Prinsip Etika Keperawatan.
Global Health Science (GHS), 1(1), 1-6. Diambil dari :
http://jurnal.csdforum.com/index.php/GHS/article/view/4
Kemenkes RI. 2015. Pedoman Nasional Program Paliatif Kanker.
Jakarta
Pangaribuan, R. 2016. Persepsi Perawat Terhadap Prinsip-Prinsip
Etik Dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Di Icu Rumah Sakit Tk. II
Putri Hijau Medan. Jurnal Riset Hesti Medan Akper Kesdam I/BB Medan,
1(1), 37-44. Diambil dari :
https://www.jurnal.kesdammedan.ac.id/index.php/jurhesti/article/view/6
Ardiyanti, Dyah Candra Anita and Edy Suprayitno, (2021)
Pendekatan Spiritual dalam Perawatan Palliative pada Pasien Kanker:
Literatur Review. Skripsi thesis, Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta.
Salsabila, S. S. and Dahlan, U. A. (2020) Pengaruh Meditasi dalam
Pendidikan Islam untuk Memperkuat Sistem Imun Sebagai Tindakan
Melawan Covid-19 Sonia Sinta Salsabila, Jurnal Pendidikan Islam. Available
at: http://ejournal.sunan-giri.ac.id/index.php/al-ulya/index
Ketut, N. and Ariani, P. (2017) ‘Kebutuhan Spiritual Pada Pasien
Kanker’.
Yuliani, E. et al. (2020) ‘Emosi positif berhubungan dengan kualitas
hidup pasien kanker’, 3(4), pp. 421–430.
Maryatun, S. (2020) ‘Pengaruh Spiritual Emotional Freedom
Tehnique Dan Supportive Therapy Terhadap Tingkat Stres Pasien Kanker
Serviks’, Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 7(1), pp. 14–25. doi:
10.32539/jks.v7i1.12220.
Direct, S. and Schoolar, G. (2020) ‘Self care management activities
untuk meningkatkan psychological serenity pasien kanker 1’, 8(3), pp. 337–
352.
Anderson, L. W. and Gustavson, C. U. (2016) ‘The impact of a
knitting intervention on compassion fatigue in oncology nurses’, Clinical
Journal of Oncology Nursing, 20(1), pp. 102–104. doi:
10.1188/16.CJON.102-104.
Kemp, Charles. (2009) ‘Klien Sakit Terminal, seri asuhan
keperawatan’. Edisi 2. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai