SKIZOFRENIA
Biopsikologi
Disusun Oleh:
Khimayatul Khamidah (201910230311446)
Selma Dandy Imania (201910230311460)
Alfin Nur Anisa (201910230311470)
Reny Nadia Maharena (201910230311476)
Anditya Surya Gemilang (201910230311477)
Kelas-I 2019
Dosen Pengampu :
Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang
2020
SKIZOFRENIA
1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia berarti terbelahnya fungsi psikis atau suatu kelainan ditandai oleh
penurunan kemampuan menjalani hidup karena adanya kombinasi antara delusi,
halusinasi, gangguan pikiran, gangguan pergerakan, dan ekspresi emosi yang tidak sesuai
Skizofrenia merupakan gangguan mental serius yang menimpa skitar 1 persen orang
didunia.
Skizofrenia merupakan istilah psikologi yang paling kerap di salahgunakan. Kata
tersebut secara harfiah berarti “pikiran yang terpecah”, namun bukan berarti kepribadian
ganda. Orang-orang seringkali mengatakan kalau mereka “merasa skizofrenik” mengenai
suatu persoalan padahal sebenarnya yang mereka rasakan adalah perasaan campur aduk.
Gejala utama gangguan ini adalah rusaknya integrasi antara emosi, pikiran, dan tindakan.
Skizofrenia ditandai dengan 3 kategori gejala, yaitu :
a. Gejala Positif
Gejala positif membuat diri mereka dikenal karena kehadiran mereka. Adapun
gejala positif, yaitu :
a) Gejala pemikiran –tidak teratur, pemikiran tidak rasional- mungkin merupakan
gejala yang paling penting dari skizofrenia. Penderita skizofrenia sangat
kesulitan mengatur pikiran mereka secara logis dan memilah kesimpulan yang
masuk akal. Dalam percakapan, mereka akan melompat dari satu topik ke topik
yang lain. Kadang-kadang mereka mengucapkan kata-kata tak bermakna atau
memilih kata-kata bersajak daripada yang bermakna.
b) Delusi adalah keyakinan yang jelas bertentangan dengan fakta. Ada beberapa
macam delusi yaitu:
Delusi dikejar-kejar (persecution) adalah keyakinan yang salah bahwa orang
lain sedang merencanakan dan bersekongkol melawan dirinya.
Delusi keagungan (grandeur) adalah keyakinan salah yang menganggap
dirinya memiliki kekuasaan dan orang yang sangat penting, seperti yakin
bahwa dirinya memiliki kekuatan dewa atau memiliki pengetahuan khusus
yang tidak ada orang lain yang memilikinya.
Delusi kontrol (control) adalah keyakiknan bahwa ia sedang dikendalikan
oleh orang lain.
c) Halusinasi adalah presepsi stimuli yang tidak benar-benar ada. Halusinasi
skizofrenia yang paling umum adalah pendengaran (auditoris), tetapi melibatkan
salah satu indra lainnya. Skizofrenia yang khas terdiri dari suara-suara berbicara
dengan orang tersebut, seperti memerintahkannya untuk melakukan sesuatu,
memarahinnya karena dia tidak berharga, atau hanya mengucapkan frase yang
tak bermakna. Halusinani penciuman (olfaktoris) juga cukup umum ditemui
seperti dia menciptakan delusi yang menyebutkan bahwa orang lain ingin
membunuhnya dengan menggunakan gas beracun.
b. Gejala Negatif
Gejala negatif skizofrenia dikenal dengan berkurangnya atau tidak adanya
perilaku yang normal seperti respon emosional yang datar, kemampuan bicara yang
buruk, kurangnya inisiatif dan ketekunan, anhedonia (ketikdakmampuan untuk
mengalami/merasakan kesenangan), dan menarik diri secara sosial.
c. Gejala Kognitif
Gejala kognitif skizofrenia berhubungan erat dengan gejala negatif dan dapat
dihasilkan oleh kelainan akibat tumpang tindihnya didaerah otak. Contoh dari gejala
ini adalah :
Kesulitan dalam mempertahankan perhatian.
Rendahnya tingkat kecepatan psikomotor (kemampuan untuk secara cepat dan
lancar untuk melakukan-melakukan gerakan jari-jari, tangan, dan kaki).
Penerunan kemampuan dalam belajar dan memori.
Buruknya kemampuan berpikiri secara abstrak.
Buruknya kemampuan pemecahan masalah.
Gejala negatif dan kognitif tidak spesifik untuk skizofrenia, gejala-gejala tersebut
terlihat pada banyak gangguan yang melibatkan kerusakan otak, terutama pada lobus
frontal. Gejala yang positif muncul akibat aktivitas yang berlebihan dibeberapa saraf
sirkuit yang mencakup dopamin sebagai neurotransmiter. Gejala negatif dan kognitif
muncul disebabkan oleh proses perkembangan atau proses degenratif yang menganggu
fungsi normal beberapa wilayah di otak.
Gejala-gejala skizofrenia biasanya muncul secara bertahap dan biasa terjadi antara
3-5 tahun. Gejala yang negatif biasanya yang pertama muncul, dan diikuti oleh gejala
kognitif. Gejala positif mengikuti beberapa tahun kemudian.
2. Keterwarisan
Studi adopsi (Kety dkk., 1968, 1994) dan studi kembar (Gottesman dan Shields, 1982;
Tsuang, Gilbertson, dan Faraone, 1991) menunjukkan bahwa skizofrenia bersifat
diwariskan (heritable traits). Jika skizofrenia adalah suatu sifat yang disebabkan gen
tunggal, kemungkinan gangguan ini terjadi pada 75% anak-anak dari dua orangtua
skizofren jika gennya dominan. Jika itu resesif, semua anak dari orangtua skizofren akan
menderita skizofrenia. Namun kenyataannya adalah kurang dari 50%, berarti bahwa baik
beberapa gen yang terlibat atau yang memiliki gen “skizofrenia” menanamkan
kerentanan untuk mengembangkan skizofrenia, sedangkan penyakit itu sendiri dipicu
oleh factor lain.
Jika hipotesis kerentanan ini benar, maka perkiraan bahwa beberapa orang
menunjukkan “gen skizofrenia”, tetapi tidak menunjukkannya yaitu jika ia berada di
lingkungan yang tidak memicu skizofrenia. Cara logis untuk menguji hipotesis ini adalah
mengkaji anak dari pasangan kembar yang diskordan. Gottesman dan Bertelsen (1989)
menemukan bahwa persentase anak skizofrenik nyaris identic bagi kedua anggota
pasangan semacam itu: 16,8% bagi orangtua skizofrenik dan 17,4% bagi orangtua tidak
skizofrenik. Bagi kembar dizigotik, kedua persentase secara berturut-turut adalah 17,4%
dan 2,1%. Hal ini memberi bukti kuat dari keterwarisan skizofrenia dan juga mendukung
kesimpulan bahwa membawa “gen skizofrenia” bukan berarti seseorang pasti akan
menjadi skizofrenik.
Sejauh ini, peneliti belum menemukan “gen tunggal skizofrenia”, meski telah
menemukan banyak gen yang meningkatkan kemungkinan penyakit ini. Dalam sebuah
ulasan, Crow (2007) mencatat bukti hubungan kerentanan untuk skizofreniatelah
ditemukan pada 21 dari 23 pasang kromosom. Tidak ada gen tunggal yang terbukti dapat
menyebabkan skizofrenia, dengan cara mutasi pada gen protein prakursor amyloid yang
ternyata menghasilkan penyakit Alzheimer.
Satu mutasi langka melibatkan gen yang dikenal sebagai DISC1 (disrupted in
schizophrenia 1). Gen ini terlibat dalam pengaturan neurogenesis pada embrio dan orang
dewasa, migrasi neuronal selama perkembangan embrio, fungsi kepadatan pascasinapsis
dalam neuron rangsang (eksitasi), dan fungsi mitokondria (Brandon dkk., 2009; Kim
dkk., 2009; Park dkk., 2010, Wang dkk., 2010). Meskipun kejadian mutasi DISC1 sangat
rendah, kehadirannya terlibat meningkatkan kemungkinan skizofrenia sebanyak 50 kali
lipat (Blackwood dkk., 2001). Mutasi ini meningkatkan kejadian gangguan mental
lainnya, termasuk gangguan bipolar, gangguan depresi mayor, dan autism (Kim dkk.,
2009).
Pengaruh usia ayah memberikan bukti lebih lanjut mutasi genetic dapat
mempengaruhi kejadian skizofrenia (Brown dkk., 2002; Sipos dkk., 2004). Beberapa
studi menemukan bahwa anak dari ayah yang lebih tua lebih besar kemungkinannya
mengembangkan skizofrenia.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa mekanisme epigenetik, serta mutasi, dapat
berkontribusi dalam perkembangan skizofrenia. Mekanisme epigenetik “di atas gen”
mengendalikan ekspresi gen. untai-untai pamjang DNA menyusun kromosom membelit
mengelilingi protein yang dikenal dengan histon. Gugus-gugus atom bisa melekat
keasam amino pada protein histon dan mengubah ciri-ciri mereka. Dengan demikian,
metilasi protein histon mencegah ekspresi gen-gen tertentu. ( Gugus-gugus lain atom
juga dapat berkaitan dengan protein histon dan menghambat ataupun mendorong
ekspresi gen). banyak perubahan epigenetic diinisiasi oleh peristiwa lingkungan seperti
paparan terhadap toksin, dan sejumlah perubahan epigenetik bisa diteruskan kepada
keturuanan.
3. Farmakologi Skizofrenia
Bukti farmakologis menunjukkan bahwa gejala positif skizofrenia disebabkan oleh
kelainan di neuron DNA. Hipotesis dopamine menunjukkan bahwa gejala positif
skizofrenia disebabkan oleh aktivitas berlebihan pada sinapsis DNA.
Efek Dopamin Agonis dan Antagonis
Ahli bedah Prancis, Henri Laborit menemukan bahwa obat yang digunakan untuk
mencegah syok pembedahan tampaknya juga mengurangi kecemasan. Sebuah
perusahaan obat Prancis mengembangkan senyawa terkait yang disebut klorpromazin
yang tampaknya lebih efektif (Snyder, 1974). Klorpromazin ini diujikan pada pasien
dengan berbagai gangguan mental: maniak, depresi, kecemasan, neurosis, dan
skizofrenia. Obat ini memiliki efek yang dramatis pada skizofrenia. Penemuan
antipsikotik pada obat ini sangat mengubah cara dokter merawat pasien skizofrenia dan
membuat sebagian pasien tidak perlu menjalani perawatan terlalu lama di rumah sakit.
Obat-obatan ini benar-benar menghilangkan, atau setidaknya mengurangi gejala positif
pasien. Efek menguntungkan tidak hanya terjadi pada perubahan sikap pasien;
halusinasi dan delusi hilang atau setidaknya menjadi tidak parah. Sejak penemuan
klorpromazine, banyak obat lain yang dikembangkan, yang meringankan gejala positif
skizofrenia. Obat yang ditemukan ini memiliki satu kesamaan sifat yaitu memblokir
reseptor dopamine D2 dan D3 (Creese, dkk 1976; Strange, 2008).
Kategori obat lain memiliki efek sebaliknya yaitu penghasil gejala positif skizofrenia.
Obat yang dapat menghasilkan gejala ini dikenal memiliki satu kesamaan efek
farmakologis yaitu bertindak sebagai agonis dopamine. Obat-obatan ini termasuk
amfetamin, kokain, dan metilfenidat (yang memblokir pengambilan kembali dopamine)
dan L- DOPA (yang merangsang sintesis dopamine). Gejala yang dihasilkan obat-
obatan ini dapat dikurangi dengan obat-obatan antipsikotik. Obat yang bertindak
sebagai agonis pada sinapsis ini (seperti kokain dan amfetamin) sangat memperkuat
perilaku, jika dikonsumsi dalam dosis besar. Obat tersebut juga menghasilkangejala
positif skizofrenia. Fibiger (1991) mengajukan bahwa delusi paranoid mungkin
disebabkan oleh peningkatan aktivitas masukan dopamienergik. Amigdala menerima
proyeksi kuat dari sistem dopaminenergik mesolimbic, sehingga pemikiran yang
diajukan Fibiger tentunya masuk akal. Bahkan Pinkham et al. (2011) menemukan
bahwa orang-orang skizofrenik dengan paranoia aktif lebih besar kemungkinannya
salah mengidentifikasi ekspresi wajah netral sebagai wajah yang menunjukkan amarah.
Saat beberapa jenis reseptor menjadi lebih sensitif jika mereka dihambat
untuk jangka waktu tertentu oleh obat yang menghambat mereka. Agaknya, ketika
reseptor D2 di nukleus kaudata dan putamen secara kronis diblokir oleh obat
antipsikotik, reseptor itu menjadi sangat peka Sehingga dalam beberapa kasus
memberi kompensasi berlebih terhadap efek obat, menyebabkan terjadinya gejala
neurologis.