Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SKIZOFRENIA
Biopsikologi

Disusun Oleh:
Khimayatul Khamidah (201910230311446)
Selma Dandy Imania (201910230311460)
Alfin Nur Anisa (201910230311470)
Reny Nadia Maharena (201910230311476)
Anditya Surya Gemilang (201910230311477)

Kelas-I 2019

Dosen Pengampu :

Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang
2020
SKIZOFRENIA

1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia berarti terbelahnya fungsi psikis atau suatu kelainan ditandai oleh
penurunan kemampuan menjalani hidup karena adanya kombinasi antara delusi,
halusinasi, gangguan pikiran, gangguan pergerakan, dan ekspresi emosi yang tidak sesuai
Skizofrenia merupakan gangguan mental serius yang menimpa skitar 1 persen orang
didunia.
Skizofrenia merupakan istilah psikologi yang paling kerap di salahgunakan. Kata
tersebut secara harfiah berarti “pikiran yang terpecah”, namun bukan berarti kepribadian
ganda. Orang-orang seringkali mengatakan kalau mereka “merasa skizofrenik” mengenai
suatu persoalan padahal sebenarnya yang mereka rasakan adalah perasaan campur aduk.
Gejala utama gangguan ini adalah rusaknya integrasi antara emosi, pikiran, dan tindakan.
Skizofrenia ditandai dengan 3 kategori gejala, yaitu :
a. Gejala Positif
Gejala positif membuat diri mereka dikenal karena kehadiran mereka. Adapun
gejala positif, yaitu :
a) Gejala pemikiran –tidak teratur, pemikiran tidak rasional- mungkin merupakan
gejala yang paling penting dari skizofrenia. Penderita skizofrenia sangat
kesulitan mengatur pikiran mereka secara logis dan memilah kesimpulan yang
masuk akal. Dalam percakapan, mereka akan melompat dari satu topik ke topik
yang lain. Kadang-kadang mereka mengucapkan kata-kata tak bermakna atau
memilih kata-kata bersajak daripada yang bermakna.
b) Delusi adalah keyakinan yang jelas bertentangan dengan fakta. Ada beberapa
macam delusi yaitu:
 Delusi dikejar-kejar (persecution) adalah keyakinan yang salah bahwa orang
lain sedang merencanakan dan bersekongkol melawan dirinya.
 Delusi keagungan (grandeur) adalah keyakinan salah yang menganggap
dirinya memiliki kekuasaan dan orang yang sangat penting, seperti yakin
bahwa dirinya memiliki kekuatan dewa atau memiliki pengetahuan khusus
yang tidak ada orang lain yang memilikinya.
 Delusi kontrol (control) adalah keyakiknan bahwa ia sedang dikendalikan
oleh orang lain.
c) Halusinasi adalah presepsi stimuli yang tidak benar-benar ada. Halusinasi
skizofrenia yang paling umum adalah pendengaran (auditoris), tetapi melibatkan
salah satu indra lainnya. Skizofrenia yang khas terdiri dari suara-suara berbicara
dengan orang tersebut, seperti memerintahkannya untuk melakukan sesuatu,
memarahinnya karena dia tidak berharga, atau hanya mengucapkan frase yang
tak bermakna. Halusinani penciuman (olfaktoris) juga cukup umum ditemui
seperti dia menciptakan delusi yang menyebutkan bahwa orang lain ingin
membunuhnya dengan menggunakan gas beracun.
b. Gejala Negatif
Gejala negatif skizofrenia dikenal dengan berkurangnya atau tidak adanya
perilaku yang normal seperti respon emosional yang datar, kemampuan bicara yang
buruk, kurangnya inisiatif dan ketekunan, anhedonia (ketikdakmampuan untuk
mengalami/merasakan kesenangan), dan menarik diri secara sosial.
c. Gejala Kognitif
Gejala kognitif skizofrenia berhubungan erat dengan gejala negatif dan dapat
dihasilkan oleh kelainan akibat tumpang tindihnya didaerah otak. Contoh dari gejala
ini adalah :
 Kesulitan dalam mempertahankan perhatian.
 Rendahnya tingkat kecepatan psikomotor (kemampuan untuk secara cepat dan
lancar untuk melakukan-melakukan gerakan jari-jari, tangan, dan kaki).
 Penerunan kemampuan dalam belajar dan memori.
 Buruknya kemampuan berpikiri secara abstrak.
 Buruknya kemampuan pemecahan masalah.
Gejala negatif dan kognitif tidak spesifik untuk skizofrenia, gejala-gejala tersebut
terlihat pada banyak gangguan yang melibatkan kerusakan otak, terutama pada lobus
frontal. Gejala yang positif muncul akibat aktivitas yang berlebihan dibeberapa saraf
sirkuit yang mencakup dopamin sebagai neurotransmiter. Gejala negatif dan kognitif
muncul disebabkan oleh proses perkembangan atau proses degenratif yang menganggu
fungsi normal beberapa wilayah di otak.
Gejala-gejala skizofrenia biasanya muncul secara bertahap dan biasa terjadi antara
3-5 tahun. Gejala yang negatif biasanya yang pertama muncul, dan diikuti oleh gejala
kognitif. Gejala positif mengikuti beberapa tahun kemudian.
2. Keterwarisan
Studi adopsi (Kety dkk., 1968, 1994) dan studi kembar (Gottesman dan Shields, 1982;
Tsuang, Gilbertson, dan Faraone, 1991) menunjukkan bahwa skizofrenia bersifat
diwariskan (heritable traits). Jika skizofrenia adalah suatu sifat yang disebabkan gen
tunggal, kemungkinan gangguan ini terjadi pada 75% anak-anak dari dua orangtua
skizofren jika gennya dominan. Jika itu resesif, semua anak dari orangtua skizofren akan
menderita skizofrenia. Namun kenyataannya adalah kurang dari 50%, berarti bahwa baik
beberapa gen yang terlibat atau yang memiliki gen “skizofrenia” menanamkan
kerentanan untuk mengembangkan skizofrenia, sedangkan penyakit itu sendiri dipicu
oleh factor lain.
Jika hipotesis kerentanan ini benar, maka perkiraan bahwa beberapa orang
menunjukkan “gen skizofrenia”, tetapi tidak menunjukkannya yaitu jika ia berada di
lingkungan yang tidak memicu skizofrenia. Cara logis untuk menguji hipotesis ini adalah
mengkaji anak dari pasangan kembar yang diskordan. Gottesman dan Bertelsen (1989)
menemukan bahwa persentase anak skizofrenik nyaris identic bagi kedua anggota
pasangan semacam itu: 16,8% bagi orangtua skizofrenik dan 17,4% bagi orangtua tidak
skizofrenik. Bagi kembar dizigotik, kedua persentase secara berturut-turut adalah 17,4%
dan 2,1%. Hal ini memberi bukti kuat dari keterwarisan skizofrenia dan juga mendukung
kesimpulan bahwa membawa “gen skizofrenia” bukan berarti seseorang pasti akan
menjadi skizofrenik.
Sejauh ini, peneliti belum menemukan “gen tunggal skizofrenia”, meski telah
menemukan banyak gen yang meningkatkan kemungkinan penyakit ini. Dalam sebuah
ulasan, Crow (2007) mencatat bukti hubungan kerentanan untuk skizofreniatelah
ditemukan pada 21 dari 23 pasang kromosom. Tidak ada gen tunggal yang terbukti dapat
menyebabkan skizofrenia, dengan cara mutasi pada gen protein prakursor amyloid yang
ternyata menghasilkan penyakit Alzheimer.
Satu mutasi langka melibatkan gen yang dikenal sebagai DISC1 (disrupted in
schizophrenia 1). Gen ini terlibat dalam pengaturan neurogenesis pada embrio dan orang
dewasa, migrasi neuronal selama perkembangan embrio, fungsi kepadatan pascasinapsis
dalam neuron rangsang (eksitasi), dan fungsi mitokondria (Brandon dkk., 2009; Kim
dkk., 2009; Park dkk., 2010, Wang dkk., 2010). Meskipun kejadian mutasi DISC1 sangat
rendah, kehadirannya terlibat meningkatkan kemungkinan skizofrenia sebanyak 50 kali
lipat (Blackwood dkk., 2001). Mutasi ini meningkatkan kejadian gangguan mental
lainnya, termasuk gangguan bipolar, gangguan depresi mayor, dan autism (Kim dkk.,
2009).
Pengaruh usia ayah memberikan bukti lebih lanjut mutasi genetic dapat
mempengaruhi kejadian skizofrenia (Brown dkk., 2002; Sipos dkk., 2004). Beberapa
studi menemukan bahwa anak dari ayah yang lebih tua lebih besar kemungkinannya
mengembangkan skizofrenia.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa mekanisme epigenetik, serta mutasi, dapat
berkontribusi dalam perkembangan skizofrenia. Mekanisme epigenetik “di atas gen”
mengendalikan ekspresi gen. untai-untai pamjang DNA menyusun kromosom membelit
mengelilingi protein yang dikenal dengan histon. Gugus-gugus atom bisa melekat
keasam amino pada protein histon dan mengubah ciri-ciri mereka. Dengan demikian,
metilasi protein histon mencegah ekspresi gen-gen tertentu. ( Gugus-gugus lain atom
juga dapat berkaitan dengan protein histon dan menghambat ataupun mendorong
ekspresi gen). banyak perubahan epigenetic diinisiasi oleh peristiwa lingkungan seperti
paparan terhadap toksin, dan sejumlah perubahan epigenetik bisa diteruskan kepada
keturuanan.

3. Farmakologi Skizofrenia
Bukti farmakologis menunjukkan bahwa gejala positif skizofrenia disebabkan oleh
kelainan di neuron DNA. Hipotesis dopamine menunjukkan bahwa gejala positif
skizofrenia disebabkan oleh aktivitas berlebihan pada sinapsis DNA.
 Efek Dopamin Agonis dan Antagonis
Ahli bedah Prancis, Henri Laborit menemukan bahwa obat yang digunakan untuk
mencegah syok pembedahan tampaknya juga mengurangi kecemasan. Sebuah
perusahaan obat Prancis mengembangkan senyawa terkait yang disebut klorpromazin
yang tampaknya lebih efektif (Snyder, 1974). Klorpromazin ini diujikan pada pasien
dengan berbagai gangguan mental: maniak, depresi, kecemasan, neurosis, dan
skizofrenia. Obat ini memiliki efek yang dramatis pada skizofrenia. Penemuan
antipsikotik pada obat ini sangat mengubah cara dokter merawat pasien skizofrenia dan
membuat sebagian pasien tidak perlu menjalani perawatan terlalu lama di rumah sakit.
Obat-obatan ini benar-benar menghilangkan, atau setidaknya mengurangi gejala positif
pasien. Efek menguntungkan tidak hanya terjadi pada perubahan sikap pasien;
halusinasi dan delusi hilang atau setidaknya menjadi tidak parah. Sejak penemuan
klorpromazine, banyak obat lain yang dikembangkan, yang meringankan gejala positif
skizofrenia. Obat yang ditemukan ini memiliki satu kesamaan sifat yaitu memblokir
reseptor dopamine D2 dan D3 (Creese, dkk 1976; Strange, 2008).
Kategori obat lain memiliki efek sebaliknya yaitu penghasil gejala positif skizofrenia.
Obat yang dapat menghasilkan gejala ini dikenal memiliki satu kesamaan efek
farmakologis yaitu bertindak sebagai agonis dopamine. Obat-obatan ini termasuk
amfetamin, kokain, dan metilfenidat (yang memblokir pengambilan kembali dopamine)
dan L- DOPA (yang merangsang sintesis dopamine). Gejala yang dihasilkan obat-
obatan ini dapat dikurangi dengan obat-obatan antipsikotik. Obat yang bertindak
sebagai agonis pada sinapsis ini (seperti kokain dan amfetamin) sangat memperkuat
perilaku, jika dikonsumsi dalam dosis besar. Obat tersebut juga menghasilkangejala
positif skizofrenia. Fibiger (1991) mengajukan bahwa delusi paranoid mungkin
disebabkan oleh peningkatan aktivitas masukan dopamienergik. Amigdala menerima
proyeksi kuat dari sistem dopaminenergik mesolimbic, sehingga pemikiran yang
diajukan Fibiger tentunya masuk akal. Bahkan Pinkham et al. (2011) menemukan
bahwa orang-orang skizofrenik dengan paranoia aktif lebih besar kemungkinannya
salah mengidentifikasi ekspresi wajah netral sebagai wajah yang menunjukkan amarah.

 Penelusuran Abnormalitas Transmisi Dopamin Pada Otak Pasien Skizofrenik

Apakah terdapat bukti bahwa aktivitas dopaminergik di otak pasien


skizofrenia memang normal? Studi telah menemukan bukti bahwa neuron
dopaminergik memang dapat melepaskan lebih banyak dopamin.  Sebuah studi
pencitraan fungsional oleh Laurelle dan koleganya mengukur pelepasan dopamin
yang disebabkan oleh suntikan intravena amfetamin. Seperti yang kita lihat
amfetamin merangsang pelepasan dopamin, rupanya dengan menyebabkan
transporter dopamin yang ada di kenop ujung bekerja terbalik memompa dopamin
keluar alih-alih mengambilnya kembali setelah dikeluarkan. Tentu saja, efek ini
menghambat pengembalian kembali dopamin. Laurelle dan rekan-rekannya
menemukan bahwa amfetamin menyebabkan pengeluaran lebih banyak dopamin di
striatum pasien skizofrenik dibandingkan subjek normal. Mereka juga menemukan
bahwa pasien dengan jumlah pelepasan dopamin yang lebih besar menunjukkan
peningkatan gejala positif yang lebih besar. 

Kemungkinan lain bahwa otak pasien skizofrenia mengandung sejumlah


besar reseptor dopamin mendapat banyak perhatian selama beberapa tahun. Karena
obat antipsikotik yang paling awal muncul bekerja dengan menghalangi reseptor D2,
studi awal mencari peningkatan jumlah reseptor ini dalam otak penderita
skizofrenia. Para peneliti telah melakukan dua jenis analisis pengukuran post
mortem pada otak penderita skizofrenia yang telah meninggal dengan pemindaian
PET setelah pengobatan dengan ligan radioaktif untuk reseptor dopamin. Ulasan
dari studi ini menyimpulkan bahwa mungkin ada peningkatan jumlah reseptor D2
yang tidak terlalu tinggi di otak penderita skizofrenia tetapi tampaknya tidak
mungkin bahwa peningkatan ini adalah penyebab utama dari gangguan ini .

 Konsekuensi Jangka Panjang Pengobatan Skizofrenia

Penemuan obat yang mengurangi atau menghilangkan gejala skizofrenia


telah memberikan pengaruh revolusioner pada pengobatan gangguan ini. Selama
bertahun-tahun, semua obat yang biasa digunakan untuk mengobati skizofrenia
menyebabkan setidaknya beberapa gejala menyerupai gejala penyakit Parkinson.
Kelambatan gerakan, Kurangnya ekspresi wajah, dan kelemahan secara umum. Pada
sebagian besar pasien, gejala ini bersifat sementara. Sayangnya efek samping yang
lebih serius terjadi pada sekitar sepertiga pasien yang minum obat antipsikotik
“klasik” dalam periode yang cukup panjang. 

Sebagai akibat dari minum obat antipsikotik, Larry, Seorang skizofrenik


yang digambarkan pada pembukaan bab ini, mengembangkan gangguan neurologis
yang disebut diskinesia tardif. kardus berarti lambat dan dyskinesia berarti gerakan
yang keliru, dengan demikian dyskinesia adalah gangguan gerakan yang terlambat
berkembang( dalam kasus larry,  itu sebenarnya datang lebih awal).

Diskinesia tardif tampaknya berkebalikan dengan penyakit parkinson.


Dengan penyakit parkinson mengalami kesulitan bergerak, pasien dengan diskinesia
tardif tidak berhenti bergerak. Memang diskinesia biasanya terjadi ketika pasien
dengan penyakit parkinson menerima terlalu banyak l-dopa. Penjelasan yang
diterima untuk dyskinesia tardif telah menjadi fenomena yang dikenal dengan
fenomena super sensitifitas mekanisme kompensasi. 

Saat beberapa jenis reseptor menjadi lebih sensitif jika mereka dihambat
untuk jangka waktu tertentu oleh obat yang menghambat mereka. Agaknya, ketika
reseptor D2 di nukleus kaudata dan putamen secara kronis diblokir oleh obat
antipsikotik, reseptor itu menjadi sangat peka Sehingga dalam beberapa kasus
memberi kompensasi berlebih terhadap efek obat, menyebabkan terjadinya gejala
neurologis.

Untungnya,  keinginan dokter pasien Larry telah menjadi kenyataan.Para


peneliti telah menemukan obat untuk gejala skizofrenia tanpa efek samping
neurologis dan tampak bahwa dyskinesia tardif telah menjadi masa lalu. Lebih bagus
lagi, pengobatan antipsikotik atipikal mengurangi baik gejala positif maupun negatif
bahkan bagi pasien yang secara signifikan tidak terbantu oleh obat antipsikotik
terdahulu.  clozapine, yang pertama dari obat antipsikotik atipikal telah bergabung
dengan beberapa obat lain termasuk respirodone, olanzapine, ziprasidone dan
aripiprazole. Untuk memahami Bagaimana obat ini bekerja, pertama-tama kita perlu
tahu lebih banyak tentang hasil penelitian neuropatologi skizofrenia yang membawa
kita ke bagian berikutnya.

4. Skizofronia Sebagai Gangguan Neurologis


Banyak bukti yang menunjukkan bahwa gejala skizofrenia ini memang merupakan
hasil dari kelainan otak, terutama di korterks prafrontal.
a) Bukti Kelainan Otak Pada Skizofrenia
Sebagian besar pasien skizofrenia menunjukkan gejala neurologis yang
menunjukkan adanya kerusakan otak, khusunya gejala yang dikategorikan sebagai
gejala negatif dan kognitif. Meskipun gejala-gejala ini dapat disebabkan oleh
berbagai kondisi neuropatologis dimana keberadaanya menunjukkan bahwa
skizofrenia mungkin terkait dengan beberapa jenis kerusakan otak atau mungkin
perkembangan otak yang abnormal.
Banyak penelitian telah menemukan bukti hilangnya jaringan otak pada hasil
pemindaian CT dan MRI pada pasien skizofrenia. Tanpa sepengetahuan tentang
diagnosis pasien, para peneliti ini mengukur area ventrikel lateral dalam pemindaian
dengan memotong bagian terbesarnya, dan mereka membandingkan area ini dengan
area jaringan otak pada pemindaian yang sama. Ukuran ventrikel pada pasien adalah
relatif dua kali lebih besar dibandingkan dengan pasien skizofrenia dengan kontrol
normal. Penyebab yang paling mungkin dari ventrikel yang membesar adalah
hilangnya jaringan otak, dengan demikian pemindaian pembuktian memberikan
bukti bahwa skizofrenia kronis dikaitkan dengan kelainan otak.
Gutierrez-Galve dkk. (2010) menemukan bahwa baik pasien skizofrenia
maupun kerabat mereka yang non skizofrenik memperlihatkan kehilangan materi
abu-abu dikorteks frontal dan temporal. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik
mempengaruhi perkembangan kortikal yang menyebabkan skizofrenia.
b) Kemungkinan Penyebab Kelainan Otak
Seperti yang kita lihat sebelumnya, skizofrenia adalah penyakit yang
diturunkan (diwariskan), tapi faktor itu kurang sempurna. Menurut hipotesis ini,
orang yang memiliki “gen skizofrenia” membuatnya lebih mungkin
mengembangakn skizofrenia jika ia terpapar faktor tersebut. Dengan kata lain,
skizofrenia disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Tapi,
tidak adanya “gen skizofrenia” tidak menjamin bahwa seseorang tidak akan
mengembangkan skizofrenia seperti beberapa kasus skizofrenia terjadi bahkan
dalam keluarga yang tidak memiliki riwayat skizofrenia atau yang terkait penyakit
mental.
Ada beberapa faktor lingkungan yang meningkatkan resiko skizofrenia, yaitu :
a. Studi Epidemiologis
Epidemiologi adalah studi distribusi dan penyebab penyakit pada populasi.
Dengan demikian, studi epidemiologi meneliti frekuensi relatif penyakit pada
kelompok masyarakat dilingkungan yang berbeda dan mencoba untuk
mengkorelasikan frekuensi penyakit dengan faktor-faktor yang ada dilingkungan
tersebut. Bukti dari studi ini menunjukkan bahwa insiden skizofrenia terkait
dengan beberapa faktor yaitu : musim kelahiran, epidemi virus, kepadatan
penduduk, malnutrisi prenatal, stress ibu, dan penyalahgunaan zat terlarang.
Banyak penilitian telah menunjukkan bahwa bayi yang lahir pada akhir musim
dingin dan awal musim semi 5-8% lebih mungkin untuk mengembangkan
skizofrenia, fenomena ini disebut dengan efek musiman.
Adapun faktor-faktor dari efek musiman ini adalah bahwa ibu hamil (biasanya
pada trimester kedua) sepertinya lebih mungkin untuk terkena virus selama fase
kritis perkembangan bayi mereka. Perkembangan otak janin dapat terpengaruh
baik oleh racun yang dihasilkan oleh virus atau –lebih mungkin- oleh antibodi ibu
terhadap virus yang menerobos penghalang plasenta dan menyerang sel dari janin
yang sedang berkembang.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Brown dkk. (2004) meneliti sampel yang
disimpan dari serum darah yang diambil selama kehamilan para ibu dari anak-
anak yang kemudian menderita skizofrenia. Mereka menemukan peningkatan
kadar interleukin-8 yakni sebuah protein yang dikeluarkan oleh sel-sel sistem
kekebalan tubuh. Kehadiran zat kimia ini menunjukkan adanya infeksi atau
proses inflamasi lainnya, dan mendukung pendapat yang menyatakan bahwa
infeksi ibu selama trimester kedua dapat meningkatkan kejadian skizofrenia pada
anak-anak dari ibu tersebut.
Brown (2006) mencatat bahwa penelitian telah menemukan bahwa infeksi
maternal dengan setidaknya dua penyakit infeksi lainnya, yaitu : rubella dan
toksoplasmosis, terkait dengan peningkatan kejadian skizofronia.
Adapun variabel lain yang juga mungkin berperan adalah kekurangan vitamin
D, karena vitamin D ini penting dalam perkembangan otak, maka apabila
kekurangan vitamin ini mungkin bisa menjadi faktor resiko untuk skizofrenia.
Efek prenatal lain ditemukan oleh Susser dkk (1992) yang menemukan
peningkatan dua kali lipat kejadian skizofenia pada anak dari perempuan yang
sedang hamil selama kelaparan di musim dingin (Hunger Winter). Davis dan
Bracha (1996) menunjukkan bahwa penyebab spesifik dari skizofrenia terkait
kelaparan mungkin kekurangan tiamin, atau lebih tepatnya, penumpukan racun
secara tiba-tiba dalam otak janin yang sedang berkembang ketika ibu mereka
tiba-tiba mulai makan makanan normal saat blokade berakhir pada bulan Mei
1945. Pemulihan jumlah dan pola makan secara tiba-tiba setelah defiensi tiamin
dapat menyebabkan kerusakan otak.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap perkembangan skizofrenia adalah
penyalahgunaan zat-zat oleh ibu disaat kehamilan, khusunya merokok.
b. Komplikasi Kehamilan dan Persalinan
Bukti menunjukkan bahwa komplikasi obstetrik (kandungan) juga dapat
menyebabkan skizofrenia. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jika
seorang penderita skizofrenia tidak memiliki kerabat yang mengalami gangguan
skizofrenia, maka lebih besar kemungkinannya ia memliki sejarah komplikasi
pada saat atau pada sekitar waktu kelahirannya.
Connon, Jones, dan Murray (2002) menemukan bahwa faktor yang paling
penting adalah
 Komplikasi kehamilan seperti diabtes pada ibu, ketidakcocokan antara Rh ibu
dan janin, pendarahan, dan preeklampsia (dikenal sebagai toksenia yaitu, suatu
kondisi yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, edema, dan protein dalam
urin).
 Perkembangan janin abnormal termasuk berat badan lahir rendah, cacat
bawaan, dan lingkar kepala kecil.
 Komplikasi persalinan dan melahirkan seperti operasi Caesar darurat, rahim
lemah, dan kekurangan oksigen pada janin.
c. Abnormalitas Otak pada Penderita Skizofrenia
Sejumlah penderita skizofrenia memperlihatkan adanya abnormalitas ringan
pada anatomi otak. Abnormalitas ini berbeda-beda dan hasilnya tergantung pada
umur, gejala, dst. Para peneliti berbeda pendapat mengenai lokasi abnormalisasi
tersebut. Kekurangan terbesar terjadi pada korteks temporal frontal kiri. Selain
itu, ukuran ventrikel (ruang berisi cairan dalam otak) lebih besar daripada
individu normal (wolkin dkk., 1998;wright dkk., 2000) peningkatan ini
mengindikasikan bahwa terjadi penurunan ruang yang digunakan oleh sel-sel
otak. Tanda-tanda umum komplikasi saat dilahirkan (stefanis dkk., 1999).
Selain itu, ada bukti prilaku yang menunjukkan adanya perkembangan janin
abnormal terkait dengan skizofrenia. Abnormalitas otak yang berkembang waktu
prenatal menyebabkan cacat dalam perilaku sosial dan kinerja akademik yang
buruk yang terlihat pada orang-orang yang nantinya menjadi skizofrenik.
Kemudian, suatu waktu setelah pubertas, ketika banyak perubahan perkembangan
yang terjadi di otak, degenerasi yang lebih parah terjadi dan gejala-gejala
skizofrenik mulai muncul.
Area yang memiliki tanda-tanda abnormalitas konstan mecakup area yang
mengalami pendewasaan lambat, misalnya korteks prafrontal bagian dorsolateral
dimana memori kerja bergantung pada bagian ini (berman, torrey, daniel, &
weinberger, 1992). Sebagian besar penderita memperlihatkan kurangnya memori
dan perhatian serupa dengan penderita kerusakan pada korteks temporal atau
prafrontal. Penemuan yang paling dapat diandalkan adalah, Neuron penderita
skizofrenia memiliki ukuran badan sel yang lebih.
Pada sebagian besar individu, ukuran belahan otak kiri sedikit lebih besar dari
belahan otak kanan, terutama pada bagian planum temporal pada lobus temporal.
Pada penderita skizofrenia, planum temporal belahan otak kanan ukurannya sama
dengan planum temporal belahan otak kiri atau lebih besar. Penderita skizofrenia
memiliki aktifitas belahan otak kiri secara keseluruhan lebih rendah dari normal.
Dan kemungkinan penderita menjadi individu kidal. Semua hasil tersebut
mengidentifikasikan adanya perubahan terpendam pada perkembangan otak.
Para peneliti menggunakan MRI untuk memeriksa otak para pasien tidak lama
setelah mereka malporkan gejala-gejala skizofrenik kepada dokternya dan
memeriksa otak remaja dengan kecenderungan skizofrenik sebelum gejala-gejala
lengkapnya berkembangan. Penelitian ini terhalangi oleh kenyataan bahwa
mengukur volume daerah-daerah otak dengan MRI hanya berupa ukuran kasar
untuk kerusakannya. Bagaimanapun dua fakta telah muncul dari metanalisis yang
terpisah : fakta pertama yadalah kerusakan substansial sudah ada pada penderita
skizofrenia episode pertama (Steen et al., 2006) dan fakta yang kedua
adalahperkembangan kerusakan di daerah-daerah otak yangberbeda tidak
mengikuti perjalanan waktu yang sama pada semua pasien (Vita et al., 2006).
Studi yang dilakukan oleh Thompson dkk (2001) menemukan bukti hilangnya
materi kelabu kortikal selama masa remaja pada pasien yang menderita
skizofrenia sejak dini.
Dari bukti tersebut menunjukkan bahwa penyebab paling penting dari
skizofrenia adalah gengguan perkembangan otak prenatal normal yang dalam
banyak kasus akhirnya memanifestasikan dirinya setelah pubertas. Agaknya
faktor genetik membuat beberapa janin lebih sensitif terhadap peristiwa yang
dapat menganggu perkembangan. Selain itu, kerusakan yang disebabkan oleh
komplikasi kehamilan dapat menyebabkan skizofrenia, bahkan tanpa adanya
faktor keturunan. Pengaruh faktor-faktor ini tercermin dalam perkembangan
korteks dan mungkin pada perubahan aktivitas dalam sinapsis dopaminergik.
d. Hubungan antara Gejala Positif dan Negatif Peran Korteks Prafrontal.
Gejala positif dapat disebabkan oleh hiperaktivitas sinapsis dopaminergik.
Gejala negatif dan kognitif dapat disebabkan oleh perkembangan atau perubahan
degeneratif pada otak.
Weinberger (1988) meyakini bahwa gejala negatif skizofrenia disebabkan
terutama oleh hypofrontality, yakni penurunan aktivitas pada korteks prefrontal
otak yang mengarah ke masalah kognitif seperti gangguan memori dan kesulitan
mengambil keputusan.
Penyebab hypofrontality, seperti yang kita lihat dalam diskusi hipotesis
dopamin skizofrenia, dopamin agnosis seperti kokain dan amfetamin dapat
menyebabkan gejala positif skizofrenia. Dua obat-obatan lainnya yaitu PCP dan
ketamin, dapat menyebabkan gejala skizofrenia positif, negatif, dan kognitif.
Gejala negatif dan kognitif yang dihasilkan oleh ketamin dan PCP tampaknya
disebabkan oleh penurunan aktivitas metabolik lobus frontal.
Pada bagian ini dilakukan sebuah penelitian dimana dijelaskan mengapa obat
antiseptik “klasik” gagal mengurangi gejala negatif dan kognitif, salah satu
penyebabnya gejala ini adalah menurunnya aktivitas reseptor dopamin dikonteks
prafrontal, dan obat-obatan yang mengahambat reseptor dopamin aka (jika ada)
membua gejala ini lebih buruk. Penyebab obat antipsikotik atipikal yang lebih
baru mengurangi ketiga kategori gejala skizofenia karena obat-obatan antipsikotik
atipikal tampaknya melakukan hal yang mustahil. Obat tersebut meningkatkan
aktivitas dopaminergik dikorteks prafrontal dan menguranginya dalam sistem
mesolimbik. Antisikotik ini disebut sebgai antipsikotik generasi ketiga atau
aripiprazole (Winans, 2003)
Aripiprazole bertindak sebagai agonis parsial pada reseptor dopamin. Agonis
parsial adalah obat yang memiliki afinitas (daya tarik menarik) sangat tinggi
untuk reseptor tertentu, tetapi kurang mengaktifkan reseptor dibandingkan dengan
yang dilakukan oleh ligan normal. Artinya,bahwa pada pasien dengan skizofrenia,
aripiprazole berfungsi sebagai antagonis dalam sistem mesolimbik, tempat
keberadaan dopamin yang terlalu sedikit. Oleh karena itu, tindakan ini tampaknya
memperhitungkan kemampuan aripiprazole untuk mengurangi gejala skizofrenia.
DAFTAR PUSTAKA
Carlson, Neil R. (2015). Fisiologi Perilaku Edisi ke-11 Jilid 2. Jakarta : Penerbit Erlangga
Kalat, James W. (2010). Biopsikologi Edisi ke-9. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika.
Pinel, John P.J. (2009). Biopsikologi Edisi ke-7. Yogtakarta : Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai