Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Skizofrenia

Bab ini akan membahas mengenai definisi Skizofrenia paranoid, etiologi,

tanda dan gejala, psikopatologi skizofrenia, faktor predisposisi dan presipitasi,

macam-macam skizofrenia, penatalaksanaan, diagnosa keperawatan, rencana asuhan

keperawatan dan evaluasi keperawatan.

2.1.1 Definisi Skizofrenia

Elvira Mengatakan (2013) Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik

dengan distorsi has proses pikir, kadang - kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya

sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang - kadang

aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau

sebenarnya, dan autism. Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering

terjadi.

Ibrahim (2011) mengatakan bahwa Skizofrenia merupakan sekelompok

gangguan psikotik dengan gangguan dasar kepribadian, distorsi khas pada proses,

kadang - kadang merasa dirinya dikendalikan oleh kekuatan dari luar, terdapat

waham, gangguan persepsi, afek abnormal dan autisme.

8
9

2.1.2 Etiologi Skizofrenia

Terdapat pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia ,

antara lain :

1. Faktor Genetik. Menurut maramis (2010), faktor keturunan juga menentukan

timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang

keluarga - keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur.

2. Faktor Biokimia. Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi

otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan

neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa

skizofrenia berasal dari aktivitas otak atau dikarenakan sensitivitas yang

abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas

dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa

neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga

memainkan peranan (Durand, 2017).

3. Faktor psikologis dan sosial. Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan

herediter yang semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat

kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang

patogenik dalam keluarga. Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana

interaksi dalam keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh,

istilah schizophrenogenic mother kadang kadang digunakan untuk

mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak,
10

yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak anaknya. Keluarga

pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan

kepribadian. Orang tua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak

memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak

terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau memberi bimbingan dan anjuran

yang dibutuhkannya (Durand, 2017).

2.1.3 Tanda dan Gejala Skizofrenia

Bleuler dalam Maramis, (2010) menyatakan bahwa gejala skizofrenia terbagi

dalam dua bagian yaitu:.

1. Gejala primer yaitu : gangguan proses pikir, gangguan emosi.

2. Gejala sekunder yaitu : waham, halusinasi, gejala katatonik atau gangguan

psikomotor.

Hawari dalam Jenal, (2016) menyatakan bahwa gejala skizofrenia dibagi

menjadi dua yaitu :

1. Gejala positif meliputi:

Delusi, kekacauan alam pikir, halusinasi, suara – suara atau bisikan- bisikan tetapi

tidak ada sumber atau bisikan itu, gaduh, gelisah, tidak dapat diam, bicara dengan

semangat dan gembira berlebihan, merasa dirinya orang besar, pikirannya penuh

dengan kecurigaan.

2. Gejala negatif meliputi:


11

Alam perasaan (Affect) yang tumpul dan mendatar ini terlihat dari wajah yang tidak

menunjukan ekspresi, menarik diri atau mengasingkan diri, tidak mau bergaul, suka

melamun, sukar diajak bicara, pendiam, pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan

sosial, kesulitan dalam berpikir abstrak, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada

inisiatif, tidak ada spontanitas, monoton serta tak ingin apa – apa dan pola pikir

stereotip.

2.1.4 Psikopatologi Skizofrenia

Gambar 2.2 psikopatologi Skizofrenia


12

Sumber,(Ikawati, 2009)

Psikopatologi pada skizofrenia berasal dari faktor eksternal yaitu faktor

keluarga, faktor sosiokultural dan faktor lingkungan.

Faktor keluarga berawal dari adanya konflik dalam keluarga sehingga tumbuh

kembang anak tidak optimal merasa anak tidak diperhatikan, sehingga anak

memiliki sifat introvert (sifat menutup diri dari kehidupan luar) menimbulkan sifat

menarik diri, sifat ekstrovert (sifat yang cenderung membuka diri dengan kehidupan

luar) menimbulkan resiko perilaku kekerasan.

Faktor sosiokultural bisa disebabkan pernikahan lintas budaya yaitu perbedaan

adat istiadat dan kebiasaan sehingga menimbulkan konflik yang meningkat

mengakibatkan stres yang berkepanjangan karena pendapat tidak dihargai

menimbulkan amarah maka terjadi resiko perilaku kekerasan.

Faktor lingkungan berawal dari tuntutan hidup, keinginan yang tidak

terpenuhi sebab tekanan ekonomi. Kebutuhan meningkat pendapatan tidak ada

akibatnya dikucilkan masyarakat sehingga terjadi isolasi sosial.

2.1.5 Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi


13

Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang menjadi sumber terjadinya stres

yang mempengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik yang

biologis, psikososial, dan sosiokultural. Faktor ini akan mempengaruhi seseorang

dalam memberikan arti dan nilai terhadap stres pengalaman stres yang dialaminya.

Macam-macam faktor predisposisi meliputi hal sebagai berikut (Yoseph, 2009).

1. Biologi: latar belakang genetik, status nutrisi, kepekaan biologis, kesehatan

umum, dan terpapar racun.

2. Psikologis: kecerdasan, keterampilan verbal, moral, personal, pengalaman masa

lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, dan kontrol.

3. Sosiokultural: usia, gender, pendidikan, pendapatan, okupasi, posisi sosial, latar

belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman sosial, dan tingkatan sosial.

Faktor presipitasi adalah stimulus yang mengancam individu. Faktor presipitasi

memerlukan energi yang besar dalam menghadapi stres atau tekanan hidup. Faktor

presipitasi ini dapat bersifat biologis, psikologis, dan sosiokultural. Waktu merupakan

dimensi yang juga mempengaruhi terjadinya stres, yaitu berapa lama terpapar dan

berapa frekuensi terjadinya stres. Faktor presipitasi yang sering terjadi adalah :

1. Kejadian yang menekan (stressful). Kategori kejadian yang menekan

kehidupan, yaitu aktivitas sosial, lingkungan sosial, dan keinginan sosial.

Aktivitas sosial meliputi keluarga, pekerjaan, pendidikan, sosial, kesehatan,

keuangan, aspek legal, dan krisis komunitas. Lingkungan sosial adalah kejadian

yang dijelaskan sebagai jalan masuk dan jalan keluar. Jalan masuk adalah
14

seseorang yang baru memasuki lingkungan sosial. Keinginan sosial adalah

keinginan secara umum seperti pernikahan.

2. Ketegangan hidup. Stres dapat meningkat karena kondisi kronis yang meliputi

ketegangan keluarga yang terus-menerus, ketidakpuasan kerja, dan kesendirian.

Beberapa ketegangan hidup yang umum terjadi adalah perselisihan yang

dihubungkan dengan hubungan perkawinan, perubahan orang tua yang

dihubungkan dengan remaja dan anak-anak, ketegangan yang dihubungkan

dengan ekonomi keluarga, serta overload yang dihubungkan dengan peran

(Yoseph, 2009).

2.1.6 Macam – Macam Skizofrenia

Maramis (2010) menuliskan macam – macam Skizofrenia yaitu:

1. Skizofrenia simplek, sering timbul pertama kali pada masa pubertas.

Gejala utamanya adalah kedangkalan emosi, kemunduran kemauan

dan timbulnya perlahan-lahan sekali.

2. Skizofrenia akut, timbul mendadak sekali dan pasien seperti dalam

keadaan mimpi, kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini

timbul perasaan seakan dunia luar maupun dirinya berubah. Semuanya

seakan punya arti khusus.

3. Skizofrenia hebefrenik, permulaannya perlahan-lahan dan sering

timbul pada masa remaja antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok
15

adalah gangguan proses pikir, gangguan kemauan dan adanya

depersonalisasi waham dan halusinasi banyak sekali.

4. Skizofrenia paranoid gejalanya didominasi oleh waham yang relatif

stabil dan halusinasi.

5. Skizofrenia residual, keadaan skizofrenia dengan gejala primernya

tetapi tidak jelas adanya gejala sekunder.

6. Jenis skizo-efektif, jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa

efek, tetapi mungkin juga timbul lagi serangan.

2.1.7 Penatalaksanaan Skizofrenia

Ikawati (2011) menuliskan bahwa ada tiga fase pengobatan dan pemulihan

skizofrenia yaitu:

1. Terapi fase akut . Pasien menunjukkan gejala psikotik yang intensif, ditandai

dengan munculnya gejala positif dan negatif. Pengobatan pada fase ini

bertujuan untuk mengendalikan gejala psikotik sehingga tidak membahayakan

terhadap diri sendiri maupun orang lain. Terapi utamanya adalah dengan

menggunakan obat dan biasanya dibutuhkan rawat inap. Pemilihan antipsikotik

yang benar dan dosis yang tepat dapat mengurangi gejala psikotik dalam waktu

enam minggu.

2. Terapi fase stabilisasi. Pasien masih mengalami gejala psikotik dengan

intensitas yang lebih ringan. Pasien masih memiliki kemungkinan yang besar
16

untuk kambuh sehingga membutuhkan pengobatan yang rutin untuk menuju ke

tahap pemulihan yang lebih stabil.

3. Terapi fase pemeliharaan. Terapi jangka panjang dilakukan dengan harapan

dapat mempertahankan kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi risiko

kekambuhan, mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan keterampilan

untuk hidup mandiri. Terapinya meliputi obat-obatan, terapi suportif,

pendidikan keluarga dan konseling, serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial.

APA (American Psychiatric Association) (2013) menjelaskan

Ada 2 jenis terapi yang dapat dilakukan pada penderita skizofrenia paranoid yaitu:

1. Terapi Non Farmakologi. Terapi Non Farmakologi dilakukan melalui

pendekatan psikososial yang dapat digunakan untuk pengobatan skizofrenia.

Intervensi psikososial merupakan bagian dari perawatan yang komprehensif

dan dapat meningkatkan kesembuhan jika diintegrasikan dengan terapi

farmakologis. Intervensi psikososial ditujukan untuk memberikan dukungan

emosional pada pasien. Pilihan pendekatan dan intervensi psikososial

didasarkan kebutuhan khusus pasien sesuai dengan keparahan penyakit

seperti:

a. Program for Assertive Community Treatment (PACT), PACT

merupakan program rehabilitasi yang terdiri dari manajemen kasus dan

intervensi aktif oleh satu tim menggunakan pendekatan yang sangat

terintegrasi. Program ini dirancang khusus untuk pasien yang fungsi

sosialnya buruk dan bertujuan untuk mencegah kekambuhan dan


17

memaksimalkan fungsi sosial dan pekerjaan. Unsur-unsur kunci dalam

PACT adalah menekankan kekuatan pasien dalam beradaptasi dengan

kehidupan masyarakat, penyediaan dukungan dan layanan konsultasi

untuk pasien, memastikan bahwa pasien tetap dalam program

perawatan. Laporan dari beberapa penelitian menunjukan bahwa

PACT efektif untuk memperbaiki gejala, mengurangi lama perawatan

di rumah sakit dan memperbaiki kondisi kehidupan secara umum.

b. Intervensi keluarga. Prinsip intervensi ini adalah keluarga pasien harus

dilibatkan dan terlibat dalam penyembuhan pasien. Anggota keluarga

diharapkan berkontribusi untuk perawatan pasien dan memerlukan

pendidikan, bimbingan dan dukungan serta pelatihan membantu

mereka mengoptimalkan peran mereka.

c. Terapi perilaku kognitif. Terapi ini dilakukan koreksi atau modifikasi

terhadap keyakinan (delusi), fokus terhadap halusinasi pendengaran

dan menormalkan pengalaman psikotik pasien sehingga mereka bisa

tampil secara norma. Penelitian menunjukkan bahwa terapi perilaku

efektif dalam mengurangi frekuensi dan keparahan gejala positif,

namun ada resiko penolakan yang mungkin disebabkan oleh

pertemuan mingguan yang mungkin terlalu membebani pasien-pasien

dengan gejala negatif yang berat.

d. Terapi pelatihan keterampilan sosial. Terapi ini didefinisikan sebagai

penggunaan teknik perilaku atau kegiatan pembelajaran yang


18

memungkinkan pasien untuk memenuhi tuntutan interpersonal,

perawatan diri dan menghadapi tuntutan masyarakat. Tujuannya adalah

memperbaiki kekurangan tertentu dalam fungsi sosial pasien.

e. Terapi Elektrokonvulsif (ECT), Sebuah kajian sistematik menyatakan

bahwa penggunaan ECT dan kombinasi dengan obat-obat antipsikotik

dapat dipertimbangkan sebagai pilihan bagi penderita skizofrenia

terutama jika menginginkan perbaikan umum dan pengurangan gejala

yang cepat .

2. Terapi Farmakologi

Terapi penderita skizofrenia dibagi menjadi tiga tahap yakni terapi akut, terapi

stabilisasi dan terapi pemeliharaan. Terapi akut dilakukan pada tujuh hari pertama

dengan tujuan mengurangi agitasi, agresi, ansietas. Benzodiazepin biasanya

digunakan dalam terapi akut. Penggunaan benzodiazepin akan mengurangi dosis

penggunaan obat antipsikotik. Terapi stabilisasi dimulai pada minggu kedua atau

ketiga. Terapi stabilisasi bertujuan untuk meningkatkan sosialisasi serta perbaikan

kebiasaaan dan perasaan. Pengobatan pada tahap ini dilakukan dengan obat-obat

antipsikotik. Terapi pemeliharaan bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Dosis

pada terapi pemeliharaan dapat diberikan setengah dosis akut. Klozapin merupakan

antipsikotik yang hanya digunakan apabila pasien mengalami resistensi terhadap

antipsikotik yang lain (Crismon dkk., 2008).


19

Maramis (2008) mengatakan bahwa penanganan medis pada pasien dengan

skizofrenia adalah dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain yaitu:

a. Psikofarmakologis

Obat-obatan yang lazim digunakan pada klien yang mengalami gangguan

skizofrenia paranoid pada umumnya adalah obat-obat anti psikosis. Beberapa contoh

obat yang dapat digunakan adalah: Fenotiazin dengan jenis-jenis nama generik

sebagai berikut: Asetofenazin (Tindal) dengan dosis harian 60-120 mg, klorpromazin

dengan dosis harian 30-800 mg dan masih banyak jenis-jenis obat yang lain.

b. Terapi kejang listrik atau Electro Compulsive Therapy (ECT)

Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandmall

secara artifisial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektroda yang dipasang

pada satu atau dua tempat. Terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizofrenia

paranoid yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi.

3. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena

berhubungan dengan praktis dengan maksud mempersiapkan klien kembali ke

masyarakat, selain itu terapi kerja sangat baik untuk mendorong klien bergaul dengan

orang lain, klien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya klien tidak

mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik,

mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti terapi modalitas Keliat dan

Akemat (2010).

2.2 Konsep Dasar Keperawatan Skizofrenia Paranoid


20

2.2.1 Definisi

Skizofrenia paranoid adalah jenis skizofrenia yang paling sering dijumpai di negara

manapun. Gambaran klinis didominasi oleh waham yang secara relatif stabil, sering

kali bersifat paranoid disertai oleh halusinasi, terutama halusinasi pendengaran.

Gangguan-gangguan afektif, dorongan kehendak (volition) dan pembicaraan serta

gejala-gejala katatonik tidak menonjol (Maramis, 2009). Sedangkan menurut

Sumarjono (2010) menyebutkan bahwa skizofrenia paranoid adalah penderita yang

mempunyai kepercayaan atau sesuatu yang dianggap aneh, ganjil, salah tapi tidak

dibenarkan, curiga, dan sering kali cemas. Para penderita skizofrenia paranoid

seringkali menderita waham yang berkembang menjadi masalah lebih kompleks.

2.2.2 Etiologi

Yoseph (2009) menuliskan faktor pencetus dibagi menjadi dua yaitu faktor

predisposisi dan faktor presipitasi.

2.2.2.1 Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi pada skizofrenia paranoid adalah sebagai berikut:

1. Biologis. Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan

respon neurobiologis yang maladaptif ini ditunjukkan dengan:

a. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan adanya

atrofi otak.

b. Neurotransmiter dopamin yang berlebihan, ketidakseimbangan antara

dopamin dan neurotransmiter lain terutama serotonin, masalah-masalah pada

sistem reseptor dopamin.


21

c. Kembar identik yang dibesarkan secara terpisah mempunyai angka kejadian

skizofrenia yang lebih tinggi dari pada pasangan saudara sekandung yang

tidak identik. Studi terhadap orang kembar (twin) menyebutkan angka

kejadian skizofrenia pada kembar identik sekitar 59,20%, sedangkan pada

kembar fraternal sekitar 15,2%.

2. Psikologis. Carpenito (2011) menjelaskan bahwa klien dengan waham

memproyeksikan perasaan dasarnya dengan mencurigai. Pada klien dengan

waham kebesaran terdapat perasaan yang tidak adekuat serta tidak berharga.

Pertama kali mengingkari perasaannya sendiri, kemudian memproyeksikan

perasaannya kepada lingkungan dan akhirnya harus menjelaskan kepada orang

lain. Beberapa perubahan dalam berpikir, perasaan atau perilaku akan

mengakibatkan perubahan yang lain. Dampak dari perubahan itu salah satunya

adalah halusinasi, dapat muncul dalam pikiran seseorang karena secara nyata

mendengar, melihat, merasa, atau mengecap fenomena tersebut.

3. Sosial budaya. Stres yang menumpuk dapat menunjang awitan skizofrenia dan

gangguan klienikotik lain, tapi tidak diyakini sebagai penyebab utama.

2.2.2.2 Faktor presipitasi

Faktor presipitasi pada skizofrenia paranoid adalah sebagai berikut:

1. Biologis. Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis

maladaptif meliputi:
22

a. Gangguan dalam komunikasi dan putaran umpan balik otak, yang mengatur

proses informasi.

b. Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak (komunikasi saraf

yang melibatkan elektrolit), yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk

secara selektif menanggapi stimulus.

2. Lingkungan. Perubahan pada lingkungan membuat otak tidak mampu untuk

bertoleransi dengan perubahan tersebut sehingga mengakibatkan stres. Stres yang

menumpuk terus menerus akan mengakibatkan perubahan perilaku.

3. Pemicu. Pemicu gejala respon neurobiologis maladaptif adalah kesehatan, kurang

olahraga, hambatan dalam mengakses pelayanan kesehatan, rasa bermusuhan/

lingkungan yang penuh kritik, masalah perumahan (perumahan yang tidak

memuaskan), tekanan dalam bertindak (kehilangan kemandirian dalam

kehidupan), perubahan dalam kejadian kehidupan dan pola aktivitas sehari-hari,

kesukaran interpersonal, gangguan dalam hubungan interpersonal, isolasi sosial

dan dukungan sosial yang kurang, tekanan pekerjaan, kemiskinan, kurang

transportasi, stigmatisasi dan sikap atau perilaku.

2.2.3 Tanda dan gejala Skizofrenia Paranoid.

Tanda dan gejala yang muncul pada skizofrenia paranoid adalah waham

kejar atau waham kebesaran, keagamaan dan kadang-kadang halusinasi yang

berlebihan atau perilaku agresif yang berlebihan (Sheila,2012:349). Gejala


23

primer yang muncul adalah gangguan proses pikir, gangguan afek dan emosi,

gangguan kemauan psikomotor (gejala katatonik atau gangguan perbuatan).

Gejala sekunder yang muncul adalah waham dan halusinasi (Maramis,

2010:219).

Hawari (2009) menjelaskan bahwa skizofrenia paranoid adalah gangguan

jiwa yang paling umum ditemukan, dimana 40% dari semua kasus skizofrenia

adalah skizofrenia paranoid. Tanda dan gejala gejala skizofrenia paranoid:

1. Halusinasi pendengaran seperti suara-suara

2. Kecurigaan yang sangat berlebihan.

3. Kemarahan

4. Meyakini akan adanya motif-motif tersembunyi dari orang lain.

5. Merasa akan dimanfaatkan atau dikhianati oleh orang lain.

6. Ketidakmampuan dalam melakukan kerjasama dengan orang lain.

7. Isolasi sosial.

8. Gambaran yang buruk mengenai diri sendiri.

9. Sikap tidak terpengaruh.

10. Rasa permusuhan.

11. Secara terus menerus menanggung dendam yaitu dengan tidak memaafkan.

2.2.4 Diagnosa Keperawatan

Riyadi, (2009) menuliskan diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan

skizofrenia paranoid yaitu: waham, halusinasi, isolasi sosial, risiko perilaku


24

kekerasan. Riyadi, (2009) menuliskan ciri  utama dari skizofrenia ini adalah waham

yang  mencolok,  halusinasi pendengaran, perilaku kekerasan dan juga gangguan

perilaku sosial menarik diri yaitu isolasi sosial. Diagnosa keperawatan yang mungkin

muncul adalah gangguan proses pikir: waham, gangguan persepsi sensori: halusinasi,

resiko perilaku kekerasan ,harga diri rendah,dan gangguan perilaku sosial menarik

diri: isolasi sosial.

2.2.5 Rencana Tindakan Keperawatan

Kusumawati dan Yudi (2010) menuliskan rencana tindakan keperawatan

merupakan serangkaian tindakan yang dapat mencapai setiap tujuan khusus

perencanaan keperawatan meliputi perumusan tujuan, tindakan dan penilaian

rangkaian asuhan keperawatan pada pasien berdasarkan analisis pengkajian agar

masalah kesehatan dan keperawatan pasien dapat diatasi.


25

Rencana tindakan asuhan keperawatan dapat dilihat pada waham tabel:2.1

Rencana Asuhan keperawatan pada waham

Tabel:2.1

Rencana Tindakan Keperawatan

Tujuan Kriteria Hasil Intervensi


26

Sumber: Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat (2019).


27

Rencana asuhan keperawatan pada: Halusinasi

Tabel 2.2
28

Sumber: Rumah Sakit Jiwa Propinsi Jawa Barat 2018


29

Rencana asuhan keperawatan pada perilaku kekerasan


Tabel 2.3
30
31

Sumber: Rumah Sakit Jiwa Propinsi Jawa Barat (2019)

Rencana asuhan keperawatan pada Isolasi Sosial


Tabel 2.4
32

· Evaluasi Keperawatan

Evaluasi perkembangan kesehatan klien dapat dilihat dari hasil, tujuan yang

telah di tentukan dan dapat dicapai seperti pada diagnosa gangguan proses pikir

wahan, pasien mampu berorientasi pada realitas secara bertahap, berinteraksi dengan

orang lain dan lingkungan , menggunakan obat dengan 5 benar. Diagnosa halusinasi,

pasien mampu menggenali halusinasi, menggontrol halusinasi, mengikuti program

secara optimal. Diagnosa resiko perilaku kekerasan, pasien mampu mengidentifikasi

penyebab dan tanda perilaku kekerasan, menyebutkan jenis-jenis perilaku kekerasan,

cara menggontrol perilaku kekerasan secara fisik, sosial, spiritual dan obat. Diagnosa

isolasi sosial, pasien mampu membina hubungan saling percaya, menyadari penyebab

isolasi sosial dan mau berinteraksi dengan orang lain. (Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Jawa Barat 2019).

Anda mungkin juga menyukai