Oleh:
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA KPERAWATAN
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2023
LAPORAN PENDAHULUAN (SKIZOFRENIA)
1) DEFINISI SKIZOFRENIA
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Schizein” yang artinya retak atau pecah
(split), dan “phren” yang artinya pikiran, yang selalu dihubungkan dengan fungsi emosi.
Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami
keretakan jiwa atau keretakan kepribadian serta emosi (Sianturi, 2014).
Menurut Yosep (2011) “skizofrenia adalah penyakit neurologis yang mempengaruhi
persepsi klien, cara berfikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya”.
2) ETIOLOGI
Videbeck (2008) menyatakan bahwa skizofrenia dapat disebabkan
oleh 2 faktor, yaitu:
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Biologis
a) Faktor genetika
Faktor genetik adalah faktor utama pencetus dari skizofrenia. Anak yang
memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia tetapi diadopsi pada saat
lahir oleh keluarga tanpa riwayat skizofrenia masih memiliki resiko genetik dari
orang tua biologis mereka. Hal ini dibuktikan dengan penelitian bahwa anak
yang memiliki satu orang tua penderita skizofrenia memiliki resiko 15%; angka
ini meningkat sampai 35% jika kedua orang tua biologis menderita skizofrenia
(Videbeck, 2008).
b) Faktor neuroanatomi
Penelitian menunjukkan bahwa individu penderita skizofrenia memiliki
jaringan otak yang relatif lebih sedikit, hal ini dapat memperlihatkan suatu
kegagalan perembangan atau kehilangan jaringan selanjutnya. Computerized
Tomography (CT Scan) menunjukkan pembesaran ventrikel otak dan atrofi
korteks otak. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan
bahwa ada penurunan oksigen dan metabolisme glukosa pada struktur korteks
frontal otak.Riset secara konsisten menunjukkan penurunan volume otak dan
fungsi otak yang abnormal pada area temporal dan frontal individu penderita
skizofrenia (Videbeck, 2008).
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik
dan ganglia basalis. Otak pada penderita skizofrenia terlihat sedikit berbeda
dengan orang normal, ventrikel terlihat melebar, penurunan massa abu-abu dan
beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan aktivitas metabolik.
Pemeriksaan mikroskopis dan jaringan otak ditemukan sedikit perubahan dalam
distribusi sel otak yang timbul pada massa prenatal karena tidak ditemukannya
sel glia, biasa timbul pada trauma otak setelah lahir (Prabowo, 2014).
c) Neurokimia
Penelitian neurokimia secara konsisten memperlihatkan adanya
perubahan sistem neurotransmitters otak pada individu penderita skizofrenia.
Pada orang normal, sistem switch pada otak bekerja dengan normal.Sinyal-
sinyal persepsi yang datang dikirim kembali dengan sempurna tanpa ada
gangguan sehingga menghasilkan perasaan, pemikiran, dan akhirnya melakukan
tindakan sesuai kebutuhan saat itu.Pada otak penderita skizofrenia, sinyal-
sinyal yang dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil mencapai
sambungan sel yang dituju (Yosep, 2016).
2) Faktor Psikologis
Skizofrenia terjadi karena kegagalan dalam menyelesaikan perkembangan awal
psikososial sebagai contoh seorang anak yang tidak mampu membentuk hubungan
saling percaya yang dapat mengakibatkan konflik intrapsikis seumur hidup.
Skizofrenia yang parah terlihat pada ketidakmampuan mengatasi masalah yang ada.
Gangguan identitas, ketidakmampuan untuk mengatasi masalah pencitraan,
ketidakmampuan untuk mengontrol diri sendiri juga merupakan kunci dari teori ini
(Stuart, 2013).
3) MANIFESTASI KLINIS
Gejala - gejala skizofrenia menurut Keliat (2012) adalah sebagai berikut :
a. Gejala positif :
1. Waham : keyakinan yang salah ,tidak sesuai dengan kenyataan,
dipertahankan dan disampaikan berulang-ulang (waham kejar,
waham curiga, waham kebesaran)
2. Halusinasi : gangguan penerimaan pancaindra tanpa ada stimulus
eksternal (halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan,
penciuman dan perabaan ).
3. Perubahan arus pikir :
a) Arus pikir terputus : dalam pembicaraan tiba-tiba tidak dapat
melanjutkan isi pembicaraan
b) Inkohoren : berbicara tidak selaras dengan lawan bicara ( bicara
kacau)
c) Neologisme : menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti
oleh diri sendiri tetapi tidak dimengerti oleh orang lain/
4. Perubahan perilaku :
a) Hiperaktif
b) Agitasi
c) Iritabilitas
b. Gejala negatif :
1) Sikap masa bodoh (apatis)
2) Pembicaraan terhenti tiba-tiba (blocking)
3) Menarik diri dari pergaulan sosial (isolasi sosial)
4) Menurunnya kinerja atau aktivitas sosial sehari-hari.
4) PATOFISIOLOGI
Skizofrenia dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu faktor predisposisi dan faktor
presipitasi. Yang termasuk faktor predisposisi ialah : faktor Respon Adaptif Respon Maladaptif
Pikiran logis Persepsi akurat Emosi konsisten dengan pengalaman. Perilaku sesuai Hubungan
social Gangguan pikiran (waham) Halusinasi Kesulitan untuk memproses emosi.
Ketidakteraturan perilaku Isolasi social Pikiran kadang menyimpang Ilusi Reaksi emosional
berlebihan atau kurang. Perilaku aneh atau tak lazim Menarik diri genetik, faktor neuroanatomi,
faktor neurokimia, faktor psikososial, dan faktor sosiokulturan dan lingkungan. Sedangkan yang
termasuk faktor presipitasi adalah biologis, lingkungan dan pemicu gejala (Stuart,2013).Faktor-
faktor tersebut baik faktor predisposisi maupun faktor presipitasi dapat menjadi penyebab
seseorang berespon yang maladaptif. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan penilaian
individu, kurang dukungan, dan mekanisme coping yang tidak efektif yang akan menyebabkan
masalah keperawatan ketidakefektifan koping individu (Hawari,2012). Skizofrenia dapat
menimbulkan gejala positif maupun gejala negatif. Gejala positif seperti waham, hausinasi,
perubahan arus pikir dan perubahan perilaku. Sedangkan gejala negatif seperti sikap masa bodoh
(apatis), pembicaraan terhenti tiba-tiba (blocking), menarik diri dari pergaulan sosial (isolasi
sosial), dan menurunnya kinerja atau aktivitas sosial sehari-hari. Dari gejala-gejala negatif
tersebut dapat memicu adanya perasaan hilang percaya diri, merasa gagal karena tidak mampu
mencapai keinginan sesuai ideal diri dapat menyebabkan harga diri rendah (Keliat,2012)
5) PENATALAKSANAAN
(Nurarif min huda & Kusuma Hardhi. (2015). Aplikasi Nanda NIC-NOC, edisi revisi jilid
3: Jogjakarta)
1) Penggunaan obat antipsikosis Terdapat 3 macam obat antipsikotik yaitu:
a. Antipsikotik konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunaanya disebut antipsikotik
konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering
menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional yaitu
antara lain:
1) Haldol (haloperidol)
Sediaan haloperidol tablet 0,5 mg, 1,5 mg, 5 mg dan injeksi 5 mg/ml, dosis 5-
15mg/hari
2) Stelazine (trifluoperazine)
Sediaan trifluoperazine tablet 1 mg dan 5 mg, dosis 10-15 mg/hari
3) Mellaril (thioredazine)
Sediaan thioredazine tablet 50 dan 100 mg, dosis 150-600 mg/hari
4) Thorazine (chlorpromazine)
Sediaan chlorpromazine tablet 25 dan 100 mg dan injeksi 25 mg/ml, dosis 150-
600 mg/hari.
5) Trilafon (perphenazine)
Sediaan perfenazin tablet 2,4,8mg, dosis 12-24 mg/hari.
6) Prolixin (fluphenazine)
2. Etiologi
Muhith (2015) menyatakan penyebab dari isolasi sosial adalah harga diri rendah, yaitu
perasaan negative terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan
yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, dan juga dapat mencederai diri sendiri.
Sedangkan menurut Damaiyanti & Iskandar (2014). Faktor yang memungkinkan mempengaruhi
isolasi sosial antara lain:
a. Faktor predisposisi
Beberapa faktor predisposisi (pendukung) terjadi hubungan sosial yaitu:
1) Faktor perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses,
apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi akan menghambat perkembangan
selanjutnya.
2) Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa dan juga memiliki peran
terjadinya gangguan jiwa pada seseorang yang menderita skizofrenia.
3) Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya dapat menjadi pendukung terjadinya gangguan dalam membina
hubungan dengan orang lain. Misalnya anggota keluarga yang tidak prodiktif yang
diasingkan oleh orang lain.
b. Faktor presipitasi
Stresor presipitasi sehingga seseorang mengalami terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan
oleh faktor internal atau eksternal meliputi:
1) Stressor sosial budaya
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam membina hubungan
dengan orang lain misalnya anggota yang labil saat dirawat di Rumah Sakit Jiwa.
2) Stressor psikologis
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk
berhubungan dengan oranglain.
3) Stressor biokimia
3. Mekanisme koping
Muhith (2015) mengatakan mekanisme koping digunakan oleh seseorang sebagai wahana
untuk mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.
Damaiyanti (2014) menyebutkan bahwa mekanisme koping yang sering digunakan pada seseorang
yang mengalami gangguan menarik diri antara lain:
a. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain
b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran yang tidak dapat diterima secara sadar
dibendung agar tidak tiba di kesadaran
c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya kegagalan
defensive dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau pertentangan antara sikap dan
perilaku
Sedangkan contoh sumber koping yang dapat digunakan misalnya keterlibatan dalam hubungan
yang luas dalam keluarga dan teman, hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan
kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian musik dan tulisan.
b. Respon Psikososial
1. Kesepian
Kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasing dari lingkungannya
2. Menarik diri
Suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara
terbuka dengan orang lain
3. Ketergantungan
Terjadi apabila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri atau kemampuannya
untuk berfungsi secara sukses. Pada gangguan hubungan sosial jenis ini orang lain
diperlukan sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan
individu cenderung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan pada orang lain
c. Respon Maladaptif
Respon maladaptive adalah respon seseorang dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang
dari norma sosial dan budaya setempat. Perilaku yang termasuk dalam respon maladaptive
antara lain:
1. Manipulasi
Orang lain diberlakukan sebagai objek, hubungan terpusat pada masalah pengendalian
orang lain, orientasi diri sendiri atau tujuan bukan pada orang lain.
2. Impulsive
Tidak dapat merencanakan sesuatu, tidak dapat belajar mengenai pengalaman sebelumnya,
dan tidak dapat diandalkan
3. Narkisisme
Harga diri rapuh, berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap egosentri,
pencemburu, dan marag apabila orang lain tidak mendukung.
6. Penatalaksanaan
Terdapat dua cara dalam penatalaksanaan pada pasien dengan isolasi sosial antara lain:
1. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi Farmakologi
Stuart (2013) menyebutkan bahwa obat-obatan yang biasanya diberikan pada seseorang
dengan isolasi sosial antara lain:
b. Chlorpromazine (CPZ)
CPZ digunakan untuk sindroma psikosis yaitu kesadaran terganggu dalam fungsi mental
seperti waham, halusinasi, gangguan perasaan, berperilaku aneh dan tidak mampu
melakukan hubungan sosial.
c. Haloperidol
Indikasi dalam pemberian haloperidol digunakan bagi pasien yang berdaya berat dalam
kemampuan menilai realita dalam fungsi kehidupan.
d. Trihexyphenidyl (TXP)
Diberikan pada pasien yang menderita segala jenis Parkinson termasuk paska ensepalitis
e. Electro Convulsive Therapy (ECT)
ECT atau yang lebih sering disebut dengan electro shock menurut Direja (2011), adalah
suatu terapi psikiatri yang menggunakan energy shock listrik dalam usaha pengobatannya.
Biasanya ECT ditujukan untuk pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepadaobat
psikiatri pada dosis terapinya. ECT bertujuan untuk menginduksikan suatu kejang klonik
yang dapat memberi efer terapi kurang lebih 15 detik. Kejang yang dimaksud adalah suatu
kejang dimana seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang
mekanisme pasti dari ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan, namun beberapa
penelitian menunjukan jika ECT dapat meningkatkan kadar serum Brain-Devired Factor
(BDNF) pada pasien yang mengalami depresi yang tidak responsive terhadap terapy
farmakologis.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Terapi Kelompok
Terapi Aktivitas Kelompok atau yang sering disebut dengan TAK menurut Dermawan
(2013), merupakan salah satu tindakan keperawatan untuk pasien dengan gangguan jiwa.
Pelaksanaan terapi ini merupakan tanggung jawab penuh dari seorang perawat. Keliat
(2014). TAK yang diberikan pada pasien dengan isolasi sosial terdiri dari tujuh sesi, yaitu:
Sesi 1 Kemampuan memperkenalkan diri, Sesi 2 Kemampuan dalam berkenalan, Sesi 3
Kemampuan bercakap-cakap, Sesi 4 Kemampuan bercakap-cakap dengan topik tertentu,
Sesi 5 Kemampuan dalam bercakap-cakap tentang masalah pribadi, Sesi 6 Kemampuan
bekerjasama, Sesi 7 Evaluasi kemampuan sosialisasi.
b. Terapi Lingkungan
Direja (2011) mengatakan manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek
lingkungan harus mendapatkan perhatian khusus dalam kaitanya untuk menjaga dan
memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan stimulus psikologi
seseorang yang akan berdampak pada kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan
memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian menurut Yosep (2009) merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari atas
pengumpulan data dan perumusan masalah. Adapun data yang diperoleh dari pasien dengan isolasi sosial antara lain:
a. Identitas pasien
Pada umumnya identitas pasien yang dikaji pada pasien dengan isolasi sosial masalah utama kerusakan interaksi sosial menarik diri
adalah biodata yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, alamat,
agama, pendidikan, dan pekerjaan.
b. Alasan Masuk Rumah Sakit
Keluhan biasanya adalah kontak mata kurang, selalu menyendiri, dan setiap diajak berbicara selalu menunduk, menjawab
pertanyaan dengan singkat, selalu menghindar dari orang lain, komunikasi kurang atau tidak ada, berdiam di kamar, menolak
berinteraksi dengan oranglain.
c. Faktor Predisposisi
Pernah atau tidaknya gangguan jiwa, usaha pengobatan bagi pasien yang telah mengalami gangguan jiwa terutama psikis seperti
penganiayaan, penolakan, kekerasan dalam keluarga, keturunan yang mengalami gangguan jiwa, serta pengalaman yang tidak
menyenangkan bagi pasien sebelumnya yang mengalami gangguan jiwa.
d. Aspek Fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital, adanya tekanan darah yang meningkat, nadi meningkat, suhu meningkat, pernafasan bertambah,
tinggi badan, berat badan menurun.
e. Aspek Psikososial
1) Genogram
Pada aspek psikososial terdapat genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri
Konsep diri merupakan satu kesatuan dari kepercayaan, pemahaman dan keyakinan seseorang terhadap dirinya yang
mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Pada umumnya pasien dengan kerusakan interaksi sosial pada kasus menarik
diri mengalami gangguan konsep diri seperti:
a) Citra diri : seseorang tidak mau untuk melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah dan seseorang tersebut tidak
terima dengan perubahan tubuh yang telah terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh presepsi negative tentang tubuh.
b) Identitas diri: ketidakpastian memandang diri, sulit menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan.
c) Peran diri: berubah fungsi peran yang disebabkan oleh penyakit, proses menua, putus sekolah, dan pemutusan hubungan
kerja.
d) Ideal diri: mengungkapkan keputusan karena penyakitnya, mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga diri: perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, dan kurangnya percaya diri, pasien
mempunyai gangguan atau hambatan dalam melakukan hubungan sosial dengan orang lain.
3) Hubungan Sosial
Hubungan sosial merupakan kebutuhan bagi setiap orang, karena seseorang tidak mampu hidup secara normal tanpa bantuan
orang lain. Pada umumnya pasien dengan kerusakan interaksi sosial pada kasus menarik diri mengalami gangguan seperti tidak
merasa memiliki teman dekat, tidak pernah melakukan kegiatan kelompok atau masyarakan, dan mengalami hambatan dalam
melakukan pergaulan.
4) Status mental
a) Penampilan diri
Penampilan: pada pasien dengan kerusakan interaksi sosial sering kali berpenampilan tidak rapi, rambut tidak beraturan,
kulit kotor, gigi, kuning, pasien tidak mengetahui kapan harus mandi dan dimana ia harus mandi.
b) Pembicaraan
Nada suara rendah, lambat, kurang bicara apatis
c) Ativitas motorik
Kegiatan yang dilakukan tidak bervariatif, kecendrungan mempertahankan pada satu posisi yang dibuatnya sendiri
(katalepsia)
d) Emosi
Emosi dangkal
e) Afek
Tumpul, tidak ada ekspresi muka
f) Interaksi selama wawancara
Cendrung tidak kooperatif, kontak mata kurang, tidak mau menatap lawan bicara, diam
g) Persepsi
Tidak terdapat halusinasi atau waham
h) Proses berfikir
Gangguan proses berfikir jarang ditemukan
i) Kesadaran
Kesadaran berubah, kemauan mengadakan hubungan serta pembatasan dengan dunia luar dan dirinya sendiri sudah
terganggu pada taraf tidak sesuai dengan kenyataan (secara kualitatif)
j) Memori
Tidak ditemukan gangguan spesifik, orientasi tepat, waktu dan orang
k) Kemampuan penilaian
Tidak dapat mengambil keputusan, tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan, selalu memberikan alasan meskipun tidak
jelas dan tidak tepat
l) Tilik diri
Tidak ada yang khas
Selain pengkajian diatas, adapun pengumpulan data yang dapat dilakukan untuk pasien isolasi sosial. Data yang perlu dikumpulkan
pada pasien dengan isolasi sosial menurut Damaiyanti (2014), antara lain:
a. Data Subjektif :
1) Pasien mengatakan malas bergaul dengan orang lain
2) Pasien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani oleh perawat dan selalu meminta untuk sendiri
3) Pasien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain
4) Tidak mau berkomunikasi
5) Data tentang pasien biasanya didapat dari keluarga (suami/istri, ibu, ayah, atau teman dekat pasien) yang mengetahui
keterbatasan pasien.
b. Data Obyektif :
1) Kurang spontan
2) Apatis (acuh terhadap lingkungan)
3) Ekspresi wajah kurang berseri
4) Kurang merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihhan diri
5) Tidak ada atau kurang sadar terhadap lingkungan yang ada disekitarnya
6) Asupan makanan dan minuman terganggu
7) Retensi urine dan feses
8) Kurang berenergi atau kurang bertenaga
9) Rendah diri
10) Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus atau janin (khususnya pada saat posisi tidur)
5) Pohon masalah
C. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah
b. Isolasi Sosial: Menarik Diri
c. Gangguan Presepsi Sensori: Halusin
A. Rencana keperawatan
5. Evaluasi keperawatan
Menurut Damaiyanti & Iskandar (2014), perawat kesehatan jiwa mengevaluasi
perkembangan pasien dalam mencapai hasil yang diharapkan asuhan keperawatan
adalah proses dinamik yang melibatkan perubahan dalam status kesehatan pasien
sepanjang waktu, pemicu kebutuhan, terhadap data baru, sebagai diagnose
keperawatan, dan modifikasi rencana asuhan sesuai dengan kondisi pasien.
Evaluasi dari asuhan keperawatan dengan isolasi sosial antara lain:
Pasien mampu membina hubungan saling percaya.
a. Pasien mampu mengatakan penyebab dari menarik diri.
b. Pasien mampu menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain
dan pasien dapat menyebutkan kerugian tidak berhubungan dengan orang
lain.
c. Pasien mampu melaksanakan hubungan sosial secara bertahap.
d. Pasien mampu mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan
orang lain.
e. Pasien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga mampu
mengembangkan kemampuan pasien untuk berhubungan dengan orang
lain
DAFTAR PUSTAKA
Damaiyanti, M., & Iskandar. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama.
Direja, A. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Keliat, B. A., & Akemat. (2014). keperawatan jiwa : Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta:
EGC.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi. (M. Dendetu, Ed.).
Yogyakarta: Cv Andi Offset.
Nasir, A., & Muhith, A. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa Pengantar dan Teori.
Jakarta: Salemba Medika.
Hastutiningtyas Wahidyanti Rahayu dan Setyabudi Irawan. 2016. Peran Terapi Aktivitas
Kelompok Sosialisasi (TAKS) terhadap kemampuan interaksi sosial dan isolasi sosial
pasien (Review Literatur). Malang. Jurnal Care. Volume 4, Nomor 3 (halaman 62-69)