Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep skizofrenia

1. Pengertian skizofrenia

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang parah, ditandai

dengan gangguan yang mendalam dalam berpikir, mempengaruhi bahasa,

persepsi, dan rasa diri. Ini termasuk pengalaman psikotik, seperti

mendengar suara atau delusi, sehingga dapat menyebabkan gangguan

dalam proses belajar, bekerja maupun kegiatan sehari - hari (WHO,

2019).

Gangguan jiwa yang menyebabkan penderita tidak mampu menilai

realitas dengan baik serta buruknya pemahaman diri oleh Hawari (2014)

disebut skizofrenia.

2. Tipe – tipe skizofrenia

Hawari (2014) membagi skizofrenia menjadi 5 tipe yang memiliki

spesifikasi yang berbeda, yaitu :

a. Skizofrenia tipe hebefrenik

Seorang penderita Skizofrenia tipe Hebefrenik, disebut juga

disorganized type atau “kacau balau” ditandai dengan gejala – gejala

antara lain sebagai berikut :

7
8

1) Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, sehingga ucapannya

tidak dapat dimengerti, biasanya ucapan klien tidak ada

hubungannya antara satu dengan lainnya.

2) Alam perasaan (mood, affect) yaitu ketidaksesuaian antara

stimulus dan respond yang ditunjukkan klien.

3) Perilaku dan tertawa kekanak – kanakan (giggling), senyum

yang menunjukkan rasa puas diri atau senyum yang hanya

dihayati sendiri.

4) Waham (delusion) tidak jelas dan tidak sistematik (terpecah –

pecah) tidak teroganisir sebagai suatu kesatuan.

5) Halusinasi yang terpecah – pecah yang isi temanya tidak

teroganisir sebagai satu kesatuan.

6) Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, menunjukkan

gerakan – gerakan aneh, berkelekar, pengucapan kalimat yang

diulang – ulang dan kecenderungan untuk menarik diri secara

ekstrim dari hubungan sosial.

Oleh karena itu sebaiknya pihak keluarga mewaspadai

apabila terdapat anggota keluarga yang mengalami gejala tersebut

dan segera membawa ke dokter, karena yang bersangkutan tidak

merasa dirinya sakit sehingga tidak ada motivasi untuk berobat.

b. Skizofrenia tipe katatonik

Orang yang mengalami tipe katatonik akan menunjukkan gejala –

gejala sebagai berikut:


9

1) Stupor katatonik, yaitu sikap klien yang tidak peduli dengan

lingkungan, malas beraktivitas sehingga nampak seperti

“patung”, atau diam membisu (mute).

2) Negativisme katatonik, yaitu perlawanan yang nampaknya tanpa

motif terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan

dirinya.

3) Kekakuan (rigidity) katatonik, merupakan sikap

mempertahankan kekakuan dari berbagai upaya untuk

menggerakka dirinya.

4) Kegaduhan katatonik, yaitu aktivitas motorik yang gaduh, tidak

bertujuan, dan tidak ada rangsangan dari luar.

5) Sikap tubuh katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar atau aneh.

Penderita juga sering tidak makan dan minum, bahkan tidak tidur

berhari – hari sehingga dapat menyebabkan dehidrasi dan

memburuknya kondisi fisik dapat berakhir kematian.

c. Skizofrenia tipe paranoid

Seseorang yang menderita skizofrenia tipe paranoid menunjukkan

gejala – gejala sebagai berikut :

1) Waham (delusion) kejar atau waham kebesaran, penderita

mengaku dirinya sebagai orang besar tetapi tidak masuk akal

seperti penyelamat bangsa atau agama. Waham cemburu juga

seringkali ditemukan.

2) Halusinasi yang mengandung isi kebesaran.


10

3) Gangguan alam perasaan dan perilaku, seperti kecemasan yang

tidak menentu, kemarahan, suka bertengkar, berdebat dan

tindakan kekerasan. Penderita juga merasa bingung tentang

identitas jenis kelamin dirinya (gender identity) atau takut

diduga sebagai seorang homoseksual.

d. Skizofrenia tipe residual

Merupakan sisa – sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang

tidak begitu menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan

mendatar serta tidak serasi (inappropriate), penarikan diri dari

pergaulan sosial, tingkah laku eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak

rasional atau pelanggaran asosiasi pikiran. Meski gejala skizofrenia

tidak aktif atau tidak menampakkan gejala – gejala positif

skizofrenia, sebaiknya pihak keluarga tetap mewaspadai dan

membawa berobat agar dapat menjalankan fungsi kehidupan sehari–

hari secara optimal.

e. Skizofrenia tipe tak tergolongkan

Tipe ini tidak dapat dimasukkan dalam tipe – tipe yang telah

diuraikan dimuka, hanya gambaran klinisnya terdapat waham,

halusinasi, inkoherensi atau tingkat kacau. Gejala – gejala tersebut di

atas cukup jelas untuk dikenali, sehingga keluarga segera membawa

penderita berobat ke dokter (psikiater) agar tidak menjadi bertambah

parah.
11

3. Etiologi

Stuart (2013) membagi gejala skizofrenia menjadi 2 yaitu :

a. Faktor predisposisi

1) Biologis

Baru dipahaminya respons neurobiologis yang maladaptif

karena abnormalitas perkembangan sistem saraf, hal ini

dibuktikan dalam beberapa penelitian yaitu :

a) Lesi area frontal, temporal, dan limbik akan menyebabkan

perubahan dalam perilaku psikotik, juga terdapat

pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal

menunjukkan atrofi otak.

b) Zat kimia otak yang berkaitan dengan skizofrenia seperti

dopamin neurotransmiter berlebihan, dopamin dan

neurotransmiter lainnya tidak seimbang terutama serotonin

serta dapat juga karena sistem reseptor dopamin yang

bermasalah.

c) Gen dalam keluarga juga memiliki pengaruh yang besar

terjadinya skizofrenia, kembar identik yang dibesarkan

terpisahpun memiliki angka kejadian skizofrenia lebih

tinggi daripada saudara sekandung yang tidak identik.

Penelitian terbaru berfokus pada gene mapping (pemetaan

gen) dalam keluarga menunjukkan keturunan pertama lebih


12

rentan terjadi skizofrenia dibandingkan populasi secara

umum.

2) Psikologis

Teori psikodinamika terjadinya respon neurobiologis yang

maladaptif belum didukung penelitian, faktor psikologis lebih

menyalahkan keluarga sebagai penyebabnya hal ini menjadikan

keluarga kurang percaya dengan tenaga kesehatan jiwa

profesional.

3) Sosiobudaya

Penumpukan stress dapat menunjang awitan skizofrenia dan

gangguan lain, tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama.

b. Faktor pencetus

1) Biologis

Stressor biologis yang menyebabkan respons neurobiologis

maaladaptif seperti gangguan saat komunikasi, abnormalitas

pada mekanisme otak sehingga mengakibatkan ketidakmampuan

seseorang menanggapi stimulus secara selektif.

2) Lingkungan

Gangguan perilaku dapat disebabkan pula oleh ambang toleransi

terhadap stress yang secara bilogis berinteraksi terhadap stressor

lingkungan.
13

3) Pemicu gejala

Pemicu merupakan prekursor dan stimuli yang sering

menimbulkan penyakit baru, biasanya pemicu akan muncul dari

berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan, lingkungan,

sikap, dan perilaku individu.

1) Penilaian stressor

Stres, penilaian individu terhadap stressor, dan masalah

koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan

gejala. Meski tidak ada riset ilmiah tetapi model diatesis

stress menjelaskan bahwa gejala skizofrenia akan muncul

dari hubungan antara beratnya stress dan ambang toleransi

terhadap stress itu sendiri.

2) Sumber koping

Keluarga sangat berperan dalam hal ini, orang tua perlu

mendidik anak – anak dan dewasa muda mengenai

keterampilan koping karena sumber koping tidak hanya

didapatkan dari pengalaman. Keluarga memiliki peran

sangat penting dalam memberikan pengetahuan mengenai

penyakit, finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan

tenaga.

3) Mekanisme koping

Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari

pengalaman menakutkan meliputi :


14

a) Regresi, hubungannya dengan masalah proses

informasi dan upaya untuk mengatasi ansietas.

b) Proyeksi, upaya menjelaskan kerancuan persepsi.

c) Menarik diri

4. Tanda dan gejala

Lisa dan Nengah (2019) menjelaskan berbagai ciri – ciri umum

skizofrenia yaitu :

a Gangguan Delusi

Gangguan yang ditandai gangguan pikiran, keyakinan kuat

ditandai adanya gangguan pikir.

Ciri – ciri klinis dari ganguan delusi yaitu :

1) Keyakinan persisten dan berlawanan dengan kenyataan tetapi

tidak disertai dengan kebenaran sebenarnya.

2) Terisolasi secara sosial dan bersikap curiga pada orang lain.

Bentuk – bentuk delusi yang berkaitan dengan skizofrenia yaitu:

1) Delusions of persecution adalah penderita skizofrenia ditandai

waham kebesaran.

2) Delusions of persecution adalah gangguan adanya prasangka

buruk terhadap dirinya atupun orang lain yang tidak realistis.

3) Contard’s syndrome (somatic) adalah angggapan penderita

bahwa kondisi fisiknya ada yang rusak atau mengalami kondisi

abnormal.
15

4) Cogras syndrome yaitu penderita merasa ada yang menyerupai

dirinya.

5) Erotomatic adalah keyakinan penderita skizofrenia mencari

membututi orang-orang tersohor ataupun orang yang

dicintainya. Penderita merasa dirinya dicintai.

6) Jealous yaitu keyakinan penderita skizofrenia bahwa pasangan

seksualnya melakukan selingkuh atau tidak setia pada dirinya.

b Halusinasi

Merupakan gejala pada skizofrenia berupa gangguan persepsi

(meliputi panca indra ) ataupun adanya perasaan dihina meskipun

sebenarnya tidak realitas.

Ciri – ciri klinis dari penerita halusinasi yaitu :

1) Tidak memiliki insight yang jelas dan kesalahan dalam

persepsi.

2) Adanya associative spilitting dan cognitive splitting.

Bentuk – bentuk halusinasi yang berkaitan dengan penderita

skizofrenia :

1) Halusinasi pendengaran (audiotory hallucination) merupakan

gangguan adanya suara – suara tertentu.

2) Halusinasi pada bagian otak (brain imaging) yaitu gangguan

daerah otak terutama bagian broca’s area adalah daerah bagian

otak yang selalu memberikan halusinasi pada penderita

skizofrenia.
16

c Disorganisasi

Gangguan psikotik yang ditandai kehilangan arah bicara, reaksi

emosional dan perilaku motoriknya.

Bentuk gangguan psikotik dari gangguan pikiran disorganisasi yaitu:

1) Tangentiality ditandai dengan penyimpangan jauh setiap arah

pembicaraan karena penderita tidak mampu mengikuti arah

pembicaraan.

2) Lose association merupakan gangguan dalam topik pembicaraan

yang sama sekali tidak berkaitan dengan apa yang dibicarakan.

3) Derailment merupakan pola pembicaraan penderita sama sekali

keluar dari alur pembicaraan.

d Pendataran Afek

Merupakan gejala dengan ketidakmampuan mengatur antara reaksi

emosional dan pola perilaku (inappropriate affect) atau afektif yang

tidak sesuai dengan pelaku. Seperti reaksi emosi tidak sesuai dengan

cara menimbun barang yang tidak lazim.

Adapun ciri – ciri klinis pendataran afek yaitu :

1) Tidak adan reaksi emosional dalam komunikasi.

2) Selalu menatap kosong pandangannya.

3) Berbicara datar tanpa ada nada pembicaraan.

e Alogia

Gejala ini ditandai dengan minimnya pembicaraan, biasanya

penderita memberi jawaban singkat, tidak tertarik bicara, lebih


17

banyak berdiam, kata-kata tidak sesuai formulasi pikiran dan

ketidakadekuatan komunikasi.

f Avolisi

Penderita tidak mampu mempertahankan atau memulai kegiatan –

kegiatan penting.

Ciri – ciri klinis gangguan avolisi adalah :

1) Tidak berminat merawat kesehatan diri dan beraktivitas.

2) Cenderung menjadi pemalas dan kotor.

g Anhedonia

Gangguan psikotik yang ditandai ketidakadaan perasaan senang,

sikap tidak peduli terhadap kegiatan sehari – hari, cenderung tidak

suka makan dan ketidakpedulian terhadap hubungan interaksi sosial

atau seks.

Menurut Hawari (2014) gejala skizofrenia menjadi dua yaitu

gejala negatif dan positif, gejala positif meliputi delusi/waham,

halusinasi, disorganisasi, gaduh gelisah, untuk gejala negatif meliputi

affect, mengasingkan diri (withdrawn), alogia, anhedonia, avolition, sulit

berpikir abstrak dan pola pikir stereotip. Gejala negatif skizofrenia sering

tidak disadari atau kurang di perhatikan oleh pihak keluarga pasien,

dianggap tidak “mengganggu” sebagaimana halnya pada penderita

skizofrenia yang menunjukkan gejala – gejala positif. Oleh karena itu

seringkali terlambat membawa penderita untuk berobat.


18

5. Rentang respon neurobiologis

Respons Adaptif Respons Maladaptif

Pikiran kadang Gangguan


Pikiran logis nyambung pikiran/waham
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Reaksi emosional Kesulitan
dg pengalaman berlebihan atau memproses
kurang emosi
Perilaku sesuai
Perilaku aneh Ketidakteraturan
Hubungan sosial perilaku
Menarik diri
Isolasi sosial

Gambar 1.1 Rentan Respon Neurobiologis

Sumber : Stuart (2013)

Risiko perilaku kekerasan tidak secara ekplisit terhadap rentang

neurobiologis, tetapi reaksi emosional yang berlebihan dapat memicu

timbulnya perilaku kekerasan.

6. Penatalaksanaan

Pengobatan penderita skizofrenia zaman dulu sangatlah mengerikan,

tidak sedikit pasien tinggal menetap di rumah sakit jiwa hingga akhir

maut, akan tetapi seiring perkembangan zaman metode terapi skizofrenia

sudah mengalami kemajuan, sehingga sudah tidak mengalami

pemasungan dan mendapatkan perawatan yang lebih manusiawi Hawari

(2014).
19

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia menurut Hawari (2014)

meliputi:

a. Terapi Psikofarmaka

Belum ditemukan obat ideal untuk penderita skizofrenia

sampai saat ini, setiap obat memiliki kelebihan dan kekurangan,

terdapat obat yang lebih berkhasiat menghilangkan gejala negatif

skizofrenia daripada gejala positif skizofrenia atau sebaliknya.

Obat psikofarmaka dosis rendah dengan efektivitas terapi

singkat, memiliki efek samping relatif kecil, dapat menghilangkan

dalam waktu singkat gejala negatif dan positif, lebih cepat

memulihkan fungsi kognitif, memperbaiki pola tidur serta tidak

menyebabkan kantuk, tidak melemaskan otot, dan kalau

memungkinkan pemakaiannya dosis tunggal (single dose) apabila

obat psikofarmaka memenuhi syarat tersebut maka dapat dikatakan

obat ideal.

Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar hanya dapat

diperoleh dengan resep dokter, dapat dibagi menjadi dua golongan

yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan generasi

kedua (atypical), berikut pembagiannya pada tabel 2.1 dan 2.2


20

Tabel 2.1 Jenis dan obat psikotik generasi pertama (typical)

Nama Generik Nama Dagang

1. Chlorpromazine HCL Largactil, Promactil, Meprosetil


2. Trifluoperazine HCL Stelazine
3. Thioriazine HCL Melleril
4. Haloperidol Haldol, Govontil, Serenace

sumber : Hawari (2014)

Tabel 2.2 Jenis dan obat psikotik generasi kedua

Nama Generik Nama Dagang

1. Risperidone Risperdal, Rizodal, Nophreia


2. Paliperidone Invega
3. Clozapine Clozaril
4. Quetiapine Seroquel
5. Olanzapine Zyprexa, Olandoz, Remital
6. Aripiprazole Abilify

Sumber : Hawari (2014)

Meski relatif kecil dan jarang obat psikofarmaka memberikan

efek samping berupa gejala ekstra piramidal (Extra-Pyramidal

Syndrome/EPS) seperti penyakit Parkinson (parkinsonism), seperti

kedua tangan gemetar (tremor), kekakuan alat gerak (berjalan seperti

robot), otot leher kaku sehingga kepala seolah – olah terpelintir atau

“ketarik” dan lain sebagainya. Efek samping tersebut dapat diberikan

obat penawar yaitu dengan nama generik Trihexyphenidyl HCl,

Benzhexol HCl, Levodopa + Benzerazide dan Bromocriptine

Mesilate.
21

Tabel 2.3 Efek samping obat

Obat Efek Efek samping

Klorpromazin Mengurangi Mulutkering,pandang


hiperaktif, an kabur,konstipasi
agresif, agitas sedasi, hipotensi
ortostatik
Haloperidol Mengurangi Mulut kering, panda
Halusinasi ngan kabur,konstipasi,
Sedasi,hipotensi
ortostatik

Sumber : Keliat, Akemat & Herni (2015)

Yusuf, Rizky & Hanik (2015) menjelaskan berbagai peran perawat

dalam penatalaksanaan obat di rumah sakit sebagai berikut :

1) Mengumpulkan data sebelum pengobatan.

Latar belakang pengetahuan biologis dan perilaku perawat

mengumpulkan data riwayat penyakit, diagnosis medis, hasil

pemeriksaan laboratorium yang berkaitan, riwayat pengobatan,

jenis obat yang digunakan (dosis, cara pemberian, waktu

pemberian), dan juga terapi lain. Hal ini bertujuan agar dapat

memberikan perawatan secara menyeluruh.

2) Mengoordinasikan obat dengan terapi modalitas.

Ketepatan program pengobatan akan memberikan hasil yang

lebih baik.

3) Pendidikan kesehatan.

Klien perlu mengerti manfaat, dosis, cara minum dan dapat

minum obat secara mandiri di rumah maka perlu mendapatkan


22

pendidikan kesehatan saat di rumah sakit, hal ini juga dapat

mencegah risiko kekambuhan karena ketidaktepatan minum

obat.

4) Memonitor efek samping obat.

Pengoptimalan dalam pemberian obat, perawat perlu

mengetahui reaksi – reaksi efek samping dari obat yang

diberikan.

5) Melaksanakan prinsip pengobatan psikofarmakologi.

Perawat sebagai kunci memaksimalkan efek terapeutik obat dan

meminimalkan efek samping obat, karena yang memberikan

obat dan mewaspadai efek sampingnya.

6) Melaksanakan program pengobatan berkelanjutan.

Penghubung antara klien dengan fasilitas kesehatan di

masyarakat seperti puskesmas, klinik jiwa, dan sebagainy juga

dilakukan oleh perawat, disamping kerjanya di rumah sakit.

7) Menyesuaikan dengan terapi nonfarmakologi.

Perawat dapat menggabungkan beberapa program terapi bagi

klien dengan didasari ilmu pengetahuan dan kemampuan

perawat.

8) Ikut serta dalam riset interdisipliner

Perawat dapat berperan sebagai pengumpul data, sebagai asisten

peneliti, atau sebagai peneliti utama. Peran perawat dalam riset

mengenai obat ini sampai saat ini masih terus digali.


23

B. Konsep perilaku kekerasan

1. Pengertian

Risiko perilaku kekerasan adalah sikap seseorang membahayakan

diri sendiri, orang lain atau lingkungan yang dilakukan secara fisik,

emosional, seksual juga verbal, biasanya seseorang berbuat agresif dan

membahayakan (Sutejo, 2019). Tindakan melukai seseorang secara fisik

atau psikologis disebut perilaku kekerasan atau agresif, perilaku ini dapat

berupa tindakan secara verbal maupun fisik Muhith (2015), Yosep &

Titin (2016) berpendapat lain bahwa perilaku kekerasan merupakan

campuran dari frustasi dan benci atau marah, perasaan marah ini biasanya

karena keadaan emosi dalam diri kita dan dilampiaskan pada lingkungan,

kepada diri sendiri maupun secara destruktif.

2. Etiologi

Faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku kekerasan klien dibagi

menjadi dua menurut Damaiyanti & Iskandar (2014) yaitu :

a. Faktor predisposisi

1) Teori biologis

a) Neurologic factor

Komponen sistem syaraf yang dapat mempengaruhi sifat

agresif ada berbagai macam seperti sinap, neurotransmitter,

dendrit, akson terminalis. Sistem limbik akan sangat terlibat

dalam menstimulasi timbulnya perilaku permusuhan dan

respon agresif.
24

b) Genetic factor

Gen dari orang tua akan sangat berpengaruh menjadi

potensi perilaku agresif, hal ini seperti potensi yang sedang

tidur dan akan terbangun saat adanya rangsangan.

c) Cycardian Rhytm

Irama sirkandian tubuh akan mempengaruhi tindakan

agresif, biasanya seseorang akan mudah bersikap agresif

saat jam – jam masuk kerja dan menjelang berakhirnya

pekerjaan.

d) Biochemistry factor

Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di

otak (epineprin, norepineprin, dopamin, asetilkolin dan

serotonin) berperan dalam menyampaikan informasi melalui

sistem persyarafan, stimulus yang mengancam dari luar

akan disampaikan ke otak dan direspon melalui serabut

efferent. Perilaku agresif akan muncul saat terjadi

peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta

menurunnya serotonin dan GABA pada cairan

cerebrospinal vertebra.

e) Brain area disorder

Gangguan pada otak yang sangat mempengaruhi terjadinya

perilaku agresif seperti gangguan sistim limbik dan lobus


25

temporal, sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak,

penyakit ensepalitis dan epilepsi.

2) Teori psikologis

a) Teori psikoanalisa

Perilaku kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat

tumbuh kembang yang tidak maksimal, seperti

ketidakpuasan masa oral usia 0-2 tahun dimana anak

biasanya tidak mendapatkan kasih sayang penuh ataupun air

susu yang kurang. Hal ini menyebabkan munculnya sikap

tidak percaya terhadap lingkungan, tidak terpenuhinya

kepuasan dan keamanan, membuat konsep diri rendah dan

berdampak pada tindakan agresif.

b) Imitation, modeling, and information processing theory

Lingkungan akan sangat berpengaruh pada perilaku agresif,

seperti anak – anak yang sering melihat kejadian kekerasan

maka besar kemungkinan ia juga akan mengikuti.

c) Learning theory

Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar dari

lingkungan, ia akan mengamati respon yang diberikan

orang terdekat saat menerima kekecewaan, dan respon saat

marah, ia juga akan belajar dari kepedulian lingkungan

terhadap dirinya.
26

b. Faktor presipitasi

Faktor – faktor pencetus perilaku kekerasan sering berkaitan dengan:

1) Ekspresi diri ingin menunjukkan ekstensi diri atau simbolis

solidaritas, biasanya saat ada event tertentu seperti konser dll.

2) Pelampiasan dari tidak terwujudnya kebutuhan dasar atau

ekonomi.

3) Sulitnya mengkomunikasi sesuatu dalam keluarga serta tidak

membiasakan dialog untuk memecahkan masalah tetapi memilih

tindakan kekerasan sebagai respondnya.

4) Riwayar perilaku anti sosial seperti penyalahgunaan obat dan

alcoholisme serta tidak mampu mengontrol emosi saat frustasi.

5) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan

pekerjaan, perubahan bentuk keluarga.

3. Rentang respon marah

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


G

Gambar 3.1 Rentang respon marah

Keterangan

Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.

Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan, tidak realitas/terhambat.


27

Pasif :Respons lanjutan yang pasien tidak mampu

mengungkapkan perasaan.

Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol.

Kekerasan : Perilaku destruktif yang tidak terkontrol.

Tabel 2.3 Perbandingan perilaku asertif, pasif, dan amuk.

Karakteristik Pasif Asertif Amuk

Nada bicara 1. Negatif 1.Positif 1.Berlebihan


2.Menghina diri 2.Menghargai diri 2.Menghina
3.Dapatkan saya sendiri orang lain
lakukan? 3.Saya dapat/akan 3.Anda selalu/
4.Dapatkan ia lakukan tidak pernah
lakukan?

Nada suara 1.Diam 1.Diatur 1.Tinggi


2.Lemah 2.Menuntut
3.Merengek

Sikap tubuh 1.Melotot 1.Tegak 1.Tegang


2.Menundukkan 2.Relaks 2.Bersandar ke
kepala depan

Personal 1.Orang lain 1.Menjaga jarak 1.Memiliki


space dapat masuk yang menyenangkan teritorial
pada teritorial 2.Mempertahankan hak orang lain
pribadinya tempat/teritorial

Gerakan 1.Minimal 1.Memperlihatkan 1.Mengancam,


2.Lemah gerakan sesuai ekspansi
3.Resah gerakan

Kontak 1.Sedikit/tidak 1.Sekali-kali (intermiten) 1.Melotot


mata ada sesuai kebutuhan
interaksi

Dikutip dari Yusuf, Rizky & Hanik ( 2015).


28

4. Tanda dan gejala

Kemarahan diwujudkan dengan berbagai bentuk, ada yang berupa

tindakan ada pula sikap diam, berikut gejala – gejala atau perubahan

sikap seseorang saat marah menurut Muhith (2015) :

a. Perubahan fisiologik

Berkaitan dengan keadaan fisik seseorang seperti meningkatnya

tekanan darah, denyut nadi dan pernafasan meningkat, kadang terjadi

konstipasi, tonus otot meningkat.

b. Perubahan emosional

Sikap mudah tersinggung, tidak sabar, frustasi ekspresi wajah tegang

dan bila mengamuk akan kehilangan kontrol diri.

c. Perubahan perilaku

Menarik diri, bermusuhan, agresif pasif, curiga hingga mengamuk,

nada suara keras dan kasar.

d. Perilaku

Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan seperti :

1) Menyerang atau menghindar (fight of flight), keadaan ini

merupakan timbunya respon fisiologis karena sistem saraf

otonom beraksi terhadap epinephrin yang menyebabkan tekanan

darah meningkat, takikardi, wajah memerah, kewaspadaan

disertai meningkatnya ketegangan otot sehingga tubuh menjadi

kaku dan reflek yang cepat.


29

2) Menyatakan secara asertif (assertiveness), perilaku yang sering

ditampilkan pelaku adalah tindakan asertif, yaitu

mengeskpresikan marah tanpa menyakiti orang lain secara fisik

ataupun psikis, selain itu juga dapat mengembangkan diri klien.

3) Memberontak (acting out), biasanya muncul karena konflik

perilaku untuk menarik perhatian orang lain.

4) Perilaku kekerasan, sudah berupa tindakan kekerasan atau

amukan yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun

lingkungan.

Tanda dan gejala lain dijelaskan oleh Sutejo (2019) sebagai berikut:

a. Data subjektif

1) Ungkapan berupa ancaman

2) Ungkapan kata-kata kasar

3) Ungkapan ingin memukul/melukai

b. Data objektif

1) Wajah memerah dan tegang

2) Pandangan tajam

3) Mengatupkan rahang dengan kuat

4) Mengepalkan tangan

5) Bicara kasar

6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak

7) Mondar mandir

8) Melempar atau memukul benda/orang lain


30

5. Mekanisme perilaku agresi

Tindakan kekerasan pada agresi permusuhan timbul karena

kombinasi antara frustasi yang intens dengan stimulasi (impuls) dari luar

sebagai pemicu. Ciri kepribadian seseorang sejak masa balita hingga

remaja berkembang melalui tahapan perkembangan kognitif

(intelegensia), respon perasaan, dan pola perilaku yang terbentuk melalui

interaksi faktor herediter, gen, karakter tempramen (nature) dan pola

asuh, pendidikan, kondisi sosial lingkungan (nuture) yang membentuk

ciri kepribadiannya saat dewasa. Pola kepribadian tersebut akan

membentuk refleks respon pikiran dan perasaan seseorang saat menerima

stimulus dari luar, khususnya saat menerima ancaman. Bila refleks yang

telah terpola berupa tindakan kekerasan maka saat menghadapi ancaman

ia akan berespon tindakan kekerasan (Muhith, 2015).

6. Sumber koping

Sumber koping dapat berupa aset ekonomi, kemampuan dan

keterampilan, teknik defensive, dukungan sosial, dan motivasi. Hubungan

antar individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat sangat berperan

penting. Sumber koping lainnya seperti kesehatan dan energi, dukungan

spiritual, keyakinan positif, keterampilan menyelesaikan masalah dan

sosial, sumber daya sosial dan materi, juga kesejahteraan fisik.

Keyakinan spiritual dan melihat diri positif sangat berpengaruh sebagai

dasar harapan dan dapat mempertahankan usaha seseorang mengatsi hal

buruk. Sumber koping meningkatkan pilihan seseorang untuk mengatasi


31

hampir semua situasi stres, dasar pengetahuam dan kecerdasan juga dapat

mempengaruhi cara pandang berbeda dalam menghadapi stres

(Damaiyanti & Iskandar, 2014).

7. Mekanisme koping

Mekanisme koping adalah setiap upaya untuk mengatasi stres, dan

termasuk upaya pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri,

beberapa mekanisme koping menurut Muhith (2015) sebagai berikut:

a. Sublimasi, yaitu menerima dorongan pengganti sebagai sasaran,

penyaluran ke arah lain.

b. Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain mengenai masalahnya atau

keinginannya yang tidak baik.

c. Represi, yaitu mencegah adanya pikiran jelek atau membahayakan

masuk ke alam sadarnya.

d. Reaksi formasi, merupakan pencegahan keinginan yang berbahaya

bila diekspresikan dengan sikap yang berlebihan dan

menggunakannya sebagai tantangan.

e. Displacement, sikap melepaskan perasaan yang tertekan, dengan

melampiaskan pada obyek yang tidak begitu berbahaya.

8. Psikopatologi

Skizofrenia disebabkan dua faktor yaitu faktor predisposisi dan

faktor pencetus. Faktor predisposisi meliputi faktor biologis, psikologis,

dan sosial budaya. Faktor pencetus antara lain dari stressor biologis,

dimana klien mengalami gangguan umpan balik otak dalam mengatur


32

banyak informasi yang akan di proses, sedangkan faktor pemicunya

meliputi lingkungan, kesehatan, sikap, sumber coping dan mekanisme

coping. Apabila individu tidak dapat menilai stress, kurangnya dukungan

dari keluarga dan orang lain, serta mekanisme coping yang tidak efektif

dimana individu akan merespon dengan berbagai hal. Rentang respon

neurobiologis maladaptif yang merupakan gejala skizofrenia meliputi

ganggguan pikiran/waham, halusinasi, kesulitan memproses emosi,

ketidakteraturan periaku dan isolasi sosial (Stuart, 2013).

Hawari (2014) mengatakan klien skizofrenia sering mengalami

gejala negatif dan gejala positif. Lisa & Nengah (2019) menjabarkan

gejala positif menunjukkan delusi/waham ditandai dengan gangguan

pikir. Halusinasi menyebabkan gangguan persepsi berbagai hal yang

dianggap dapat dilihat, didengar ataupun adanya perasaan dihina

meskipun sebenarnya tidak realitas sehingga klien tidak memiliki insight

yang jelas dan kesalahan dalam persepsi. Disorganisasi sendiri

merupakan gejala ketidakmampua klien mengatur arah bicaranya, dan

perilaku motorik sehingga klien menunjukkan sikap gaduh gelisah.

Manifestasi klinis dari gejala negatif antara lain affect, mengasingkan diri

(withdrawn), alogia, anhedonia, avolition, sulit berpikir abstrak dan pola

pikir stereotip. Sikap tidak mampu mengontrol emosi, sedikit bicara dan

ketidak pedulian terhadap lingkungan akan mengakibatkan individu

menarik diri dari lingkungan dan berujung isolasi sosial. Respon tersebut

akan menimbulkan perasaan tidak peduli terhadap diri sendiri serta tidak
33

adanya keinginan melakukan tugas – tugas akan menyebabkan individu

tidak terawat ( tidak mampu menjaga kebersihan, berpakaian, makan )

dan harga diri rendah.

Yosep & Titin (2016) mengatakan individu yang merasa terancam

akan berespon terhadap marah, ancaman tersebut dapat berupa injury

secara psikis atau ancaman konsep diri seseorang, apabila tidak dapat

mengatur emosi dan mengontrol emosi maka individu akan berbuat

agresi, Damaiyanti & Iskandar (2012) menambahkan, perilaku agresi

tersebut dapat berupa verbal, diarahkan pada diri sendiri ataupun orang

lain.

Setiap individu memiliki keunikan dalam mengatasi masalah

kemarahannya ada yang dapat mengungkapkan dan tidak. Perilaku asertif

merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan atau

mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyakiti atau

menyalahkan orang lain. Dengan perasaan tersebut dapat membuat

perasaan lega, memberikan kepuasan dan menurunkan ketegangan

sehingga masala teratasi. Sedangkan perilaku tidak asertif seperti

menekan perasaan marah dilakukan individu seperti pura – pura tidak

marah atau melarikan diri dari perasaan marahnya sehingga marah tidak

terungkap. Kemarahan yang ditunjukkan pada diri sendiri akan

menimbulkan depresi dan penyakit fisik sedangkan kemarahan yang

ditunjukkan ke luar (orang lain dan lingkungan) menyebabkan individu

berperilaku agresif dan perilaku kekerasan (Purwanto, 2015).


34

Faktor predisposisi: Faktor pencetus:


Faktor biologis, psikologis, Stressor biologis, lingkungan,
sosial budaya pemicu gejala, penilaian
stressor, sumber koping,
mekanisme koping

Gangguan penilaian individu, kurang dukungan, dan mekanisme


koping tidak efektif

Menarik diri, proyeksi, regresi


MK
Respon Maladaptif
Ketidakefektifan
koping individu SKIZOFRENIA

Gejala Positif Gejala Negatif

Halusinasi Disorganisasi Afek tak sesuai,


avolisi
Waham Kekacauan Anhedonia, Alogia

MK Perilaku
MK
Perubahan Kecenderungan
MK
persepsi Perilaku bicara sedikit dan Defisit Perawat
sensori Proses Diri
pikir Menyimpang/ tidak ada rasa senang
Agresi
MK
Menarik diri
Kerusakan
Komunikasi
Verbal
MK MK

MK Isolasi Harga diri


menggangu rendah
Perilaku Kekerasan sosial

Menyenangkan
35

Mengungkapkan kemarahan Tidak dapat mengekspresikan kemarahan

Rasa marah tidak terungkap

Marah teratasi

Bermusuhan
Diri sendiri Orang la
lingkun

Depresi & Penyakit


Agresif & Per
kekerasa

Gambar 2.1 Skema Psikopatologi


Dikembangkan dari : Stuart (2013), Hawari (2014), Lisa & Nengah
(2019), Yosep & Titin (2016), Purwanto (2015).
36

9. Aggression questionaire

Aggression questionaire terdapat 5 item yang setiap itemnya terdapat

pertanyaan untuk menunjukkan seperti apa orang yang mengalami risiko

perilaku kekerasan termasuk/cenderung melakukan risiko perilaku

kekerasan dalam bentuk physical aggression, verbal aggression, anger,

hostility, indirect aggression dengan jawaban angka 5 (sepenuhnya

seperti saya), 4 (sangat banyak seperti saya), 3 (agak seperti saya), 2

(sedikit seperti saya), 1 (sama sekali tidak seperti saya). Score Agrression

Questionnare >45 dikatakan risiko perilaku kekerasan. Dimana rentang

tersebut akan di hitung tiap pointnya dengan rentang skor < 29 sangat

rendah, 30-39 rendah, 40-44 rata-rata rendah, 45-55 rata-rata, 56-59 rata-

rata tinggi, tinggi 60-69 dan >70 sangat tinggi (Western psychological

services, 2000). Saya menggunakan skala aggression questionaire untuk

membandingkan klien sebelum dan sesudah diberikan intervensi Terapi

Aktivitas Kelompok (TAK) penyaluran energi dengan senam aerobic low

imapact.

B. Manajemen asuhan keperawatan klien skizofrenia dengan fokus studi risiko

perilaku kekerasan

1. Pengkajian

Pengkajian klien risiko perilaku kekerasan pada skizofrenia menurut

Sutejo (2019) sebagai berikut:


37

a. Faktor predisposisi

Faktor – faktor yang mendukung terjadinya perilaku kekerasan

adalah faktor biologis dan psikologis.

1) Faktor biologis

a) Teori dorongan naluri (instinctual drive theory)

Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan muncul

karena dorongan kebutuhan dasar yang kuat.

b) Teori psikomatik (psycomatic theory)

Respons psikologi terhadap stimulus eksternal maupun

internal dapat memunculkan pengalaman marah.

2) Faktor psikologis

a) Teori agresif frustasi (frustasion aggresion theory)

Perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi frsutasi.

Biasanya individu yang mengalami frustasi akan

berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang

dengan perilaku kekerasan.

b) Teori perilaku (behaviororal theory)

Kemarahan merupakan bagian proses belajar, hal ini akan

tercapai apabila ada fasilitas yang mendukung.

Reinforcement yang diterima saat melakukan kekerasan

sering menimbulkan kekerasan di dalam maupun di luar

rumah.
38

c) Teori eksistensi (existential theory)

Bertindak sesuai perilaku merupakan salah satu kebutuhan

dasar, apabila hal tersebut tidak terpenuhi maka akan

memenuhi kebutuhannya melalui perilaku destruktif.

b. Faktor presipitasi

Faktor pencetus dapat disebabkan dari dalam maupun dari

luar, stresor dari luar dapat berupa serangan fisik, kehilangan,

kematian. Stresor dari dalam seperti kehilangan keluarga, atau

sahabat yang dicintai, dan ketakukan terhadap penyakit. Selain itu

lingkungan yang kurang kondusif seperti penuh penghinaan,

tindakan kekerasan, dapat memicu perilaku kekerasan.

c. Mekanisme koping

Perawat perlu mempelajari mekanisme koping untuk

membantu klien mengembangkan mekanisme koping yang

konstruktif dalam mengekspresikan marah. Mekanisme yang sering

digunakan antara lain mekanisme pertahanan ego, seperti

displacement, sublimasi, proyeksi, depresi, denial dan reaksi

formasi.

d. Perilaku

Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain

menyerang atau menghindar, menyatakan secara asertif,

memberontak dan perilaku kekerasan.


39

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan akan ditetapkan sesuai data yang diperoleh,

berikut diagnosa keperawatan menurut Herdman & Shigemi, (2018)

terdiri dari 2 macam antara lain:

a. Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (00138, 416)

Definisi : rentan melakukan perilaku yang individu menunjukkan

bahwa ia dapat membahayakan orang lain secara fisik, emosional,

dan/atau seksual.

Faktor risiko :

1) Akses pada senjata

2) Impulsif

3) Bahasa tubuh negatif

4) Pola kekerasan tidak langsung

5) Pola kekerasan diarahkan pada orang lain

6) Pola ancaman kekerasan

7) Pola perilaku kekerasan antisosial

8) Perilaku bunuh diri

Populasi beresiko :

1) Riwayat penganiayaan pada masa kanak – kanak

2) Riwayat kasar pada binatang

3) Riwayat merencanakan pembakaran


40

4) Riwayat pelanggaran kendaraan bermotor

5) Riwayat penyalahgunaan zat

6) Riwayat menyaksikan kekerasan dalam keluarga

Kondisi terkait :

1) Gangguan fungsi kognitif

2) Gangguan neurologis

3) Intoksikasi patologis

4) Komplikasi perinatal

5) Komplikasi prenatal

6) Gangguan psikosis

b. Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (00140, 417)

Definisi : rentan berperilaku yang individu menunjukkan bahwa ia

dapat membahayakan dirinya sendiri secara fisik, emosional,

dan/atau seksual.

Faktor risiko :

1) Isyarat perilaku niat bunuh diri

2) Konflik orientasi seksual

3) Konflik hubungan interpersonal

4) Masalah pekerjaan

5) Menjalani tindakan seksual autoerotik

6) Kurang sumber personal

7) Isolasi sosial
41

8) Ide bunuh diri

9) Rencana bunuh diri

10) Petunjuk verbal niat bunuh diri

Populasi berisiko :

1) Usia ≥45 tahun

2) Usia 15 – 19 tahun

3) Riwayat upaya bunuh diri berulang

4) Status perkawinan

5) Pekerjaan

6) Pola kesulitan dalam keluarga

Kondisi terkait :

1) Masalah kesehatan mental

2) Masalah kesehatan fisik

3) Gangguan psikologis

3. Intervensi keperawatan pada klien

Yusuf, Rizky & Hanik (2015) menjelaskan sebagai berikut :

a. Tujuan

1) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.

2) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.

3) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah

dilakukannya.
42

4) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang

dilakukannya.

5) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku

kekerasannya.

6) Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya

secara fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.

b. Tindakan

1) Bina hubungan saling percaya.

a) Mengucapkan salam terapeutik.

b) Berjabat tangan.

c) Menjelaskan tujuan interaksi.

d) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali

bertemu pasien.

2) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini

dan masa lalu.

3) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku

kekerasan.

a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.

b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara

psikologis.

c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara

sosial.
43

d) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara

spiritual.

e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara

intelektual.

4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa

dilakukan pada saat marah secara: verbal, terhadap orang lain,

terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan.

5) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.

6) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan

secara:

a) Fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam

b) Obat

c) Sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa

marahnya

d) Spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan

pasien.

7) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu

latihan napas dalam dan pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal,

secara spiritual, dan patuh minum obat.

8) Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi

persepsi mengontrol perilaku kekerasan.


44

c. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

Menurut Purwanto, (2015) Kelompok adalah kumpulan

individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain, saling

ketergantungan. Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai

latar belakang yang harus ditangani sesuai keadaanya seperti agresif,

takut, kebencian, kompetitif. Tujuan dari kelompok adalah

membantu anggota yang berperilaku destruktif dalam berhubungan

dengan orang lain dan mengubah perilaku yang maladaptif. Terapi

aktivitas kelompok adalah metode pengobatan dimana klien ditemui

dalam rancangan waktu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan.

Terapi aktivitas kelompok menurut Dermawan & Rusdi

(2013) yang diberikan kepada pasien dengan perilaku kekerasan

adalah TAK stimulasi persepsi yang terdiri dari :

a. Sesi I : Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

b. Sesi II : Mencegah perilaku kekerasan fisik.

c. Sesi III : Mencegah perilaku kekerasan sosial.

d. Sesi IV : Mencegah perilaku kekerasan dengan patuh minum

obat.

4. Evaluasi

Mengukur apakah tujuan dan kriteria hasil sudah tercapai dapat

menggunakan evaluasi, berikut beberapa perilaku yang dapat

mengidentifikasikan evaluasi yang positif menurut Muhith (2015) :

a. Identifikasi situasi yang dapat membangkitkan kemarahan klien


45

b. Bagaimana keadaan klien saat marah dan benci pada orang

c. Sudahkan klien menyadari akibat dari marah dan pengaruhnya

d. Buatlah komitmen yang kritikal

e. Apakah klien sudah mampu mengekspresikan sesuatu yang berbeda

f. Klien mampu menggunakan aktivitas secara fisik untuk mengurangi

perasaan marah

g. Mampu mentoleransi rasa marah

h. Konsep diri klien sudah meningkat

i. Kemandirian dalam berpikir dan aktivitas meningkat

C. Intervensi Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) penyaluran energi melalui

senam aerobic low impact

1. Pengertian

Senam aerobik merupakan salah satu variasi keragaman jenis

senam gerakan nya variatif dan tersusuan secara sistematis sehingga

membuat peminatnya bersemangat dalam melakukan senam aerobik

tersebut. Gerakan aerobik yang sistematis mulai dari pemanasan, inti dan

pendinginan apabila dilakukan dengan menggunakan prinsip latihan maka

akan dapat mencapi target yang diinginkan, seperti mengencangkan otot,

menurunkan berat badan, serta menjaga kebugaran jasmani. Senam

aerobik banyak macamnya, dan secara umum terdiri dari senam aerobik

low impact dan high impact, senam aerobik di singkat LIA atau disebut

senam aerobik benturan ringan, dan senam aerobik high impact aerobik di
46

singkat HIA dan disebut senam aerobik benturan keras ( Schiff & Dicky,

2018).

Akhmad, Handoyo & Tulus (2011) menambahkan bahwa senam

aerobic adalah suatu terapi yang efektif untuk menyalurkan energi yang

tertahan pada klien jiwa, senam ini tidak hanya membantu merasa lebih

baik, tetapi juga membantu tidur lebih nyaman, menghilangkan stress dan

memberikan rasa senang selama latihan.

Hal yang harus dipehatikan dalam senam aerobik low impact

yaitu diawali pemanasan sebelum senam dan pedinginan saat selesai

senam, latihan harus dihentikan apabila timbul rasa sakit, sesak nafas dan

sediakan vidio untuk klien mengikuti ritme gerakan senam serta tetap

berikan obat farmakologi sesuai jadwal (Sari, 2017)

2. Tindakan

Mengontrol marah dengan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) penyaluran

energi melalui senam aerobic low impact akan dilakukan 3 kali dalam 1

minggu selama 15-20 menit dengan pembagian sebagai berikut :

a. Sesi 1 : Mengidentifikasi perasaan marah, penyebab marah, tanda

gejala yang dirasakan dan perilaku kekerasan yang dilakukan.

b. Sesi 2 : Mengidentifikasi manfaat penyaluran energi untuk

mengurangi tingkat agresi dan mengevaluasi kegiatan – kegiatan

yang sudah dilakukan

c. Sesi 3 : Menjelaskan rencana tindakan keperawatan


47

d. Sesi 4 : Melalukan tindakan keperawatan Terapi Aktivitas

Kelompok (TAK) penyaluran energi dengan senam aerobic low

impact

e. Sesi 5 : Menyusun jadwal latihan kegiatan berikutnya

Tindakan tersebut akan digunakan untuk membandingkan bagaimana

klien mengontrol marah sebelum dan sesudah dilakukan tindakan.

Anda mungkin juga menyukai