OLEH :
NIM : 21310213
B. Etiologi
1. Teori somatogenik
a. Keturunan
Telah dibuktikan dengan penelitian bahwa angka kesakitan bagi saudara tiri
0,9-1,8 %, bagi saudara kandung 7-15 %, bagi anak dengan salah satu orang tua
yang menderita Skizofrenia 40-68 %, kembar 2 telur 2-15 % dan kembar satu
telur 61-86 % (Maramis, 1998; 215 ).
b. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya Skizofrenia pada
waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium.,
tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
c. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita Skizofrenia tampak pucat, tidak sehat,
ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun
serta pada penderita dengan stupor katatonik konsumsi zat asam menurun.
Hipotesa ini masih dalam pembuktian dengan pemberian obat halusinogenik.
d. Susunan saraf pusat
Penyebab Skizofrenia diarahkan pada kelainan SSP yaitu pada diensefalon
atau kortek otak, tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan
oleh perubahan postmortem atau merupakan artefakt pada waktu membuat
sediaan.
2. Teori Psikogenik
a. Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak disebabkan oleh penyakit badaniah sebab hingga sekarang
tidak dapat ditemukan kelainan patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada
SSP tetapi Meyer mengakui bahwa suatu suatu konstitusi yang inferior atau
penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya Skizofrenia. Menurut Meyer
Skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah, suatu maladaptasi, sehingga
timbul disorganisasi kepribadian dan lama kelamaan orang tersebut menjauhkan
diri dari kenyataan (otisme).
b. Teori Sigmund Freud
Skizofrenia terdapat
1) kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik ataupun somatik
2) superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id yamg berkuasa
serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme
3) kehilangaan kapasitas untuk pemindahan (transference) sehingga terapi
psikoanalitik tidak mungkin.
c. Eugen Bleuler
Penggunaan istilah Skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit ini yaitu
jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses
berfikir, perasaan dan perbuatan. Bleuler membagi gejala Skizofrenia menjadi 2
kelompok yaitu gejala primer (gaangguan proses pikiran, gangguan emosi,
gangguan kemauan dan otisme) gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala
katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).
d. Teori lain
Skizofrenia sebagai suatu sindroma yang dapat disebabkan oleh bermacam-
macam sebab antara lain keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan
jiwa, penyakit badaniah seperti lues otak, arterosklerosis otak dan penyakit lain
yang belum diketahui.
C. Patofisiologi
Prevalensi penderita schizophrenia di Indonesia adalah 0,3 – 1 % dan
biasanya timbul pada usia sekitar 18 - 45 tahun. Schizophrenia disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain: faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor keluarga.
Schizophrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi individu penderitanya
tetapi juga bagi orang-orang terdekat ( Arif, 2006). Penderita schizophrenia sering
kali mengalami gejala positif dan negatif yang memerlukan penanganan serius.
Penderita schizophrenia juga mengalami penurunan motivasi dalam berhubungan
sosial, perilaku ini sering tampak dalam bentuk perilaku autistic dan mutisme.
Akibat adanya penurunan motivasi ini sering tampak timbulnya masalah
keperawatan isolasi sosial menarik diri dan jika tidak diatasi dapat menimbulkan
perubahan persepsi sensoris halusinasi. Halusinasi yang terjadi pada penderita
schizophrenia tidak saja disebabkan oleh perilaku isolasi sosial tetapi juga dapat
disebabkan oleh gangguan konsep diri harga diri rendah. Dampak dari halusinasi
yang timbul akibat schizophrenia ini sangat tergantung dari isi halusinasi. Jika isi
halusinasi mengganggu, maka penderita schizophrenia akan cenderung melakukan
perilaku kekeeraan sedangkan halusinasi yang isinya menyenagkan dapat
mengganggu dalam berhubungan sosial dan dalam pelaksanaan aktivitas sehari-
hari termasuk aktivitas perwatan diri ( Stuart, 2007).
Schizophrenia sering dimanifestasikan dalam bentuk waham, perilaku
katatonik, adanya penurunan motivasi dalam melakukan hubungan sosial serta
penurunan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Waham yang dialami pasien
schizophrenia dapat berakibat pada kecemasan yang berlebihan jika isi wahamnya
tidak mendapatkan perlakuan dari lingkungan sehingga berisiko menimbulkan
perilaku kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Adanya perilaku katatonik, menyebabkan perasaan tidak nyaman pada diri
penderita, hal ini karena kondisi katatonik ini berdampak pada hambatan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari.
Hambatan dalam aktivitas sehari-hari menyebabkan koping individu menjadi
tidak efektif yang dapat berlanjut pada gangguan konsep diri harga diri rendah dan
bila tidak diatasi berisiko menimbulkan perilaku kekerasan ( Ingram, 1996).
Penderita dapat mengalami ambivalensi, kondisi ini dapat menimbulkan
terjadinya penurunan motivasi dalam melakukan aktivitas perawatan diri dan
kemampuan dalam berhubungan sosial dengan orang lain. Adanya ambivalensi
membuat penderita menjadi kesulitan dalam pengambilan keputusan sehingga
dapat berdampak pada penurunan motivasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Penderita schizophrenia yang menunjukkkan adanya gejala negatif ambivalensi
ini, sering kali dijumpai cara berpakaian dan berpenampilan yang tidak sesuai
dengan realita seperti rambut tidak rapi, kuku panjang, badan kotor dan bau
( Rasmun, 2007). Prognosis untuk schizophrenia pada umumnya kurang begitu
menggembirakan sekitar 25 % pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya
dapat kembali pada tingkat sebelum munculnya gangguan tersebut. Sekitar 25%
tidak pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk, dan sekitar
50 % berada diantaranya ditandai dengan kekambuhan periodik dan
ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali akan waktu singkat ( Arif,
2006)
D. Manifestasi Klinis
Menurut Keltner et al (1995), gejala-gejala ini dapat dikelompokkan menjadi
4 kategori :
1. Gangguan Persepsi
a. Halusinasi
Adalah pengalaman sensori yang terjadi tanpa stimulus dari luas. Menurut
Moller dan Murphy dalam Stuart dan Sundeen (1997) tingkatan halusinasi dibagi
menjadi 4 tingkatan yaitu :
1) Tahap 1 Comforting
Tingkat cemas sedang, halusinasi secara umum adalah sesuatu yang
menyenangkan.Pengalaman halusinasi karena emosi yang meningkat seperti
cemas, kesepian, rasa bersalah, takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran
yang nyaman untuk melepaskan cemas. Individu mengenal bahwa pikiran dan
pengalaman sensori dalam kontrol kesadaran jika cemas dapat dikelola. Tingkah
laku yang dapat diobservasi :
a) Meringis atau tertawa pada tempat yang tidak tepat.
b) Menggerakkan bibir tanpa mengeluarkan suara.
c) Pergerakan mata yang cepat.
d) Respon verbal pelan seperti jika sedang asyik.
e) Diam dan tampak asyik.
2) Tahap II
Pengalaman sensori dari beberapa identifikasi indera terhadap hal yang
menjijikkan dan menakutkan. Halusinator mulai kehilangan control dan ada usaha
untuk menjauhkan diri dari sumber stimulus yang diterima . Individu mungkin
merasa malu dengan adanya pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.
Tingkah laku yang dapat diobservasi :
a) Meningkatnya system syaraf otonom, tanda dan gejala dari cemas seperti
meningkatnya nadi, pernafasan dan tekanan darah.
b) Lapang perhatian menjadi sempit
c) Asyik dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan untuk
membedakan halusinasi atau realitas.
3) Tahap III
Controlling tingkat kecemasan berat, pengalaman sensori menjadi hal yang
menguasai. Halusinator mencoba memberi perintah , isi halusinasi mungkin
menjadi sangat menarik bagi individu. Individu mungkin mengalami kesepian ,
jika sensori yang diberikan berhenti. Psychotic. Tingkah laku yang dapat
diobservasi :
a. Perintah langsung oleh halusinasi dapat diikuti.
b. Kesulitan berhubungan dengan orang lain.
c. Lapang perhatian hanya beberapa detik aau menit.
d. Gejala fisik dan cemas berat seperti berkeringat, tremor, ketidakmampuan
mengikuti perintah.
4) Tahap IV
Conquering, tingkat cemas, panik, umumnya halusinasi menjadi terperinci
dan khayalan tampak seperti kenyataan. Pengalaman sensori mungkin mengancam
jika individu tidak mengikuti perintah. Halusinasi mungkin memburuk dalam 4
jam atau sehari atau sehari jika tidak ada intervensi terapeutik. Tingkah laku yang
dapat diobservasi :
a) Teror keras pada tingkah laku seperti panic.
b) Potensial kuat untuk bunuh diri.
c) Aktivitas fisik yang menggambarkan isi dai halusinasi seperti kekerasan, agitasi,
menarik diri atau katatonia.
d) Tidak dapat berespon pada perintah yang kompleks.
e) Tidak dapat berespon pada lebih satu orang.
b. Delusi
Adalah gejala yang merupakan keyakinan palsu yang timbul tanpa stimulus
luar yang cukup dan mempunyai cirri-ciri realistic, tidak logis, menetap,
egosentris, diyakini kebenarannya oleh pasien sebagai hal yang nyata, pasien
hidup dalam wahamnya, keadaan atau hal yang diyakini itu bukan merupakan
bagian dari sosiokultural setempat. Maam-macam waham :
1) Waham rendah pikir, pasien percaya bahwa pikirannya, perasaannya, ingkah
lakunya dikendalikan dari luar.
2) Waham kebesaran, suatu kepercayaan bahwa penderita adalah orang yang
penting dan berpengaruh dan mungkin mempunyai kelebihan kekuatan yan
terpendam atau benar-benar merakanfiur orang kuat sepanjang sejarah.
3) Waham diancam, suatu keyakinan bahwa dirinya selalu diancam, diikti atau ada
sekelompok orang yang memenuhinya.
4) Waham tersangkut, adana kepercayaan bahwa seala sesatu yang terjadi di
sekelilngnya mempai hubungan pribadi seperti perinah atau pesan khusus.
5) Waham bizarre, pasien sering memperlihakan adanya waham soatik msalnya
pasien percaya adanya benda ang begerak-gerak di dalam ususnya. Yang termasuk
waham ini adalah waham sedot pikir, waham sisip pikir, waham siar pikir, waham
kendali pikir.
c. Paranoid dimanifestasikan dengan interpretasi yang menetap bahwa tindakan
orang lain sebagai suatu ancaman atau ejekan.
d. Ilusi adalah kesalahan dalam menginterpretasikan stimulus dari luar yang nyata.
E. KOMPLIKASI
Menurut Keliat (1996), dampak gangguan jiwa skizofrenia antara lain :
1. Aktifitas hidup sehari-hari
Klien tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya
kebersihan diri, penampila dan sosialisasi.
2. Hubungan interpersonal
Klien digambarkan sebagai individu yang apatis, menarik diri, terisolasi
dari teman-teman dan keluarga. Keadaan ini merupakan proses adaptasi klien
terhadap lingkungan kehidupan yang kaku dan stimulus yang kurang.
3. Sumber koping
Isolasi social, kurangnya system pendukung dan adanya gangguan fungsi
pada klien, menyebabkan kurangnya kesempatan menggunakan koping untuk
menghadapi stress.
4. Harga diri rendah
Klien menganggap dirinya tidak mampu untuk mengatasi kekurangannya,
tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan (takut gagal) dan
tidak berani mencapai sukses.
5. Kekuatan
Kekuatan adalah kemampuan, ketrampilan aatau interes yang dimiliki dan
pernah digunakan klien pada waktu yang lalu.
6. Motivasi
Klien mempunyai pengalaman gagal yang berulang.
G. Diagnosa Keperawatan
1. Perilaku Kekerasan
a. Definisi
Suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan
yang merupakan respon dari kecemasan dan kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai ancaman.(Yoseph,2007)
b. Faktor yang berhubungan :
1) Kurang rasa percaya : kecurigaan terhadap orang lain
2) Panik
3) Rangsangan katatonik
4) Reaksi kemarahan/amok
5) Instruksi dari halusinaasi
6) Pikiran delusional
7) Berjalan bolak balik
8) Rahang kaku; mengepalkan tangan, postur tubuh yang kaku
2. Perubahan Persepsi Sensoris : Halusinasi
a. Definisi
Pencerapan tanpa adanya rangsang apapun dari panca indera dimana orang
tersebut sadar dan dalam keadaan terbangun yang dapat disebabkan oleh psikotik,
gangguan fungsional, organik, atau histerik. (Maramis,2004)
b. Faktor yang berhubungan :
1) berbicara dan tertawa sendiri
2) bersikap seperti mendengarkaan sesuatu ( memiringkan kepala kesatu sisi seperti
jika seseorang sedang mendengarkan sesuatu ).
3) Berhenti berbicara ditengah-tengah kalimat unutk mendengarkaan sesuatu
4) Disorientasi
5) Konsentrasi rendah
6) Pikiran cepat berubah-ubah
3. Isolasi Sosial : Menarik Diri
a. Definisi
Keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan
kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain
tetapi tidak mampu untuk membuat kontak. (Carpenito, 1998)
b. Faktor yang Berhubungan
1) Menyendiri dalam ruangan.
2) Tidak berkomunikasi, menarik diri, tidak melakukan kontak mata ( mutisme,
autism).
3) Sedih, afek datar .
4) Adanya perhatian daan tindakan yang tidak sesuai dengan perkembangan usianya.
5) Berfikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri, tindakan yang berulang-ulang
dan bermakna.
6) Mendekati perawat untuk berinteraksi namun kemudian menmolak untuk berespons
terhadap penerimaan perawat terhadap dirinya.
7) Mengekspresikan perasaan penolakan atau kesepian kepada orang lain.
4. Gangguan Proses Pikir : Waham
a. Definisi
Menurut Townsend (1998) perubahan proses pikir waham merupakan suatu
keadaan dimana seseorang mengalami kelainan dalam mengoperasionalkan
kognitif dan aktivitas.
b. Faktor yang Berhubungan
1) Waham (ide-ide yang salah)
2) Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi
3) Kewaspadaan yang berlebihan
4) Kelainan rentang perhatian-distrakbilitas
5) Ketidaktepatan interpretasi lingkungan
6) Kelainan kemampuan mengambil / membuat keputusan , menyelesaikan masalah ,
alasan , pemikiran abstrak atau konseputulisasi , berhitung
7) Perilaku sosial yang tidak sesuai ( merefleksikan ketidaktepatan pemikiran ).
5. Defisit Perawatan Diri
a. Definisi
Suatu keadaan dimana seseorang mengalami kerusakan kemampuan untuk
melakukan atau menyelesaikan kegiatan hidup sendiri. (Townsend, 1998)
b. Faktor yang Berhubungan
1) mengalami kesukaraan daaalam mengambil atau ketidakmampuan untuk membawa
makanan dari piring kedaalam mulut.
2) ketidakmampuan / menolak untuk membersihkan tubuh atau bagian-bagian tubuh.
3) kelainan kemampuan atau kurangnya minat dalam memilih pakaiaan yang sesuai
untuk dikenakan, berpakaian, merawat atau mempertahankan penampilan pada
tahap yang emuaskan.
4) Ketidakmampuan atau tidak adanya keinginan untuk melakukan defekasi dan
berkemih tanpa bantuan.
H. Fokus Intervensi
1. Resiko tinggi perilaku kekerasan
a. Tujuan :
Setelah dilakuakn tindakan keperawatan, penderita dapat mengontrol perilaku
kekerasan dengan kriteria hasil :
1) Bersedia mengungkapkan perasaan
2) Mengungkapkan perasaan kesal dan marah
3) Dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan
4) Dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
5) Ansietas dipertahankan pada tingkat dimana pasien tidak menjadi agresif
6) Pasien memperlihatkan rasa percaya kepada oraang lain disekitarnya
7) Pasien mempertahankan orientasi realitanya.
b. Intervensi
1) Pertahankan agar lingkungan pasien pada tingkat stimulus yang rendah
(penyinaran rendah dan tingkat kebisingan rendah ).
Rasional :
Tingkat ansietas akan meningkat dalam lingkungan yang penuh stimulus.
Individu-individu yang ada mungkin dirasakan sebagai suatu ancaman karena
mencurigakan, sehingga akhirnya membuat pasien agitasi
2) Observasi secara ketat perilaku pasien (setiap 15 menit). Kerjakaan hal ini
sebagai suatu kegiatan yang rutin untuk pasien untuk menghindari timbulnya
kecurigaan dalam diri pasien
Rasional :
Dengan demikian intervensi yang tepat dapat diberikan segera dan untuik selalu
memastikan bahwa pasien beerada dalam keadaan aman.
3) Singkirkan semua benda-benda yang dapat membahayakan dari lingkungan
sekitar pasien
Rasional:
Jika pasien berada dalam keadaan gelisah, bingung, pasien tidak akan
menggunakan benda-benda tersebut untuk membahayakan diri sendiri maupun
orang lain.
4) Coba salurkan perilaku merusak diri ke kegiatn fisik untuk menurunkan ansietas
pasien (mis,memukuli karung pasir).
Rasional :
Latihan fisik adalah suatu cara yang aman dan efektf untuk menghilaangkan
ketegangan yang terpendam.
5) Staf harus mempertahankan daan menampilkan perilaku yang tenang terhadap
pasien.
Rasional :
Ansietas menular dan dapat ditransfer dari perawat kepada pasien.
6) Miliki cukup staf yang kuat secara fisik yang dapat membantu mengamankan
pasien jika dibutuhkan.
Rasional :
Hal ini dibutuhkan untuk mengontrol situasi dan juga memberikan keamanan fisik
kepada staf.
7) Berikan obat-obatan stranquliser sesuai program terapi pengobatan. Pantau
keefektifan obat-obatan dan efek sampingnya.
Rasional :
Cara mencapai batasaan alternatif yang paling sedikit harus diseleksi ketika
merencanakan intervensi untuk psikiatri.
8) Jika pasien tidak menjadi tenang dengan cara “ mengatakan sesuatu yang lebih
penting daripada yang dikatakan oleh pasien atau dengan obat-obatan, gunakan
alat-alat pembatasan gerak ( fiksasi ). Pastikan bahwa anda memiliki cukup
banyak staf untuk membantu. Jika pasien mempunyai riwayat menolak obat-
obatan, berikan obat setelah fiksasi dilakukan.
9) Observasi pasien yang dalam keadaan fiksasi setiap 15 menit ( sesuai kebijakan
institusi ). Pastikan bahwa sirkulasi pasien tidak terganggu ( periksa TTV dan
ekstremitas ). Bantu pasien untuk memenuhi , kebutuhannya untuk nutrisi, hidrasi
dan eliminasi. Berikan posisi yang memberikan rasa nyaman untuk pasien dan
dapat mencegah aspirasi.
Rasional :
Keamanan klien merupakn prioritas keperawatan. Begitu kegelisahan menurun,
kaji kesiapan pasien untuk dilepaskan dari fiksasi.Lepaskan satu persatu fiksasi
pasien atau dikurangi secara bertahap, jangan sekaligus, sambil terus mengkaji
respons pasien.
2. Perubahan Persepsi Sensoris : Halusinasi
a. Tujuan
1) Jangka Panjang :
Pasien dapat mendefinisikan dan memeriksa realitas, mengurangi terjadinya
halusinasi.
2) Jangka Pendek :
Pasien dapat mendiskusikan isi halusinasinya dengan perawat dalaam waaktu 1
minggu.
b. Kriteria hasil
1) Pasien dapat mengakui bahwa halusinasi terjadi pada saat ansietas meningkat
secara ekstrem.
2) Pasien dapat mengatakan tanda-tanda peningkatan ansietas dan menggunakan
tehnik-tehnik tertentu untuk memutus ansietas tersebut
c. Intervensi dan rasional :
1) Observasi pasien dari tanda-tanda halusinasi (sikap seperti mendengarkan
sesuatu, bicara atau tertawa sendiri, terdiam ditengah pembicaraan ).
Rasional :
Intervensi awal akan mencegah respons agresif yang diperintah dari
halusinasinyaa.
2) Hindari menyentuh pasien sebelum mengisyaratkan kepadanya bahwa kita juga
tidak apa-apa diperlakukan seperti itu
Rasional :
Pasien dapat saja mengartikan sentuhan sebagaai suatu ancaman dan berespons
dengan cara yang agresif.
3) Sikap menerima akan mendorong pasien untuk menceritakan isi halusinaasinya
dengan perawat.
Rasional:
Penting untuk mencegah kemungkinan terjadinya cedera terhadap pasien atau
orang lain karena adanya perintah dari halusinasi.
4) Jangan dukung halusinasi. Gunakan kata-kata “suara tersebut” daripada kata-kata
“mereka” yang secara tidak langsung akan memvalidasi hal tersebut. Biarkan
pasien tahu bahwa perawat tidak sedang membagikaan persepsi. Katakan
“meskipun saya menyadari bahwa suara-suara tersebut nyata untuk anda, saya
sendiri tidak mendengarkan suara-suara yang berbicara apapun.”
Rasional :
Perawat harus jujur kepada pasien sehingga pasien menyadari bahwa halusinasi
tersebut adalah tidak nyata.
1. Kondisi klien
a. Klien tampak ketakutan
b. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang memperingatkan bahwa ada ular di
sekelilingnya
c. Klien bicara sendiri dan tertawa
2. Diagnosa keperawatan
Halusinasi Dengar
3. Tujuan Khusus:
a. Klien dapat Membina hubungan saling percaya dengan perawat
b. Klien mengenal halusinasi yang dialaminya
4. Tindakan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya dengan teknik komunikasi terapeutik
b. Diskusikan tentang halusinasi yang sedang dialami klien
5. Strategi Komunikasi
a. Orientasi
1) Salam terapeutik : “Selamat pagi Mas. Perkenalkan nama saya Ni Made Raysita
Dewi. Saya senang dipanggil Made. Saya akan merawat Mas selama Mas di rumah
sakit ini. Nama lengkap Mas siapa ? Mas senang dipanggil apa ?
2) Evaluasi/validasi : “Bagaimana perasaan Mas hari ini ?”
3) Kontrak : “Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang suara-suara yang
sering Mas dengar? Berapa lama kita akan berbincang-bincang ? Bagaimana
kalau 30 menit ? Dimana tempat yang menurut Mas cocok untuk kita berbincang-
bincang ? Bagaimana kalau di teras depan ?
b. Kerja
1) “Coba ceritakan suara-suara yang Mas dengar.
2) Apakah Mas bisa mengenali suara-suara ?
3) Kalau Mas bisa mendengar, itu suara siapa?
4) Kapan suara tersebut muncul ?
5) Situasi yang bagaimana yang menurut Mas menjadi pencetus munculnya suara?
6) Berapa kali suara itu muncul dalam sehari ?
7) Apakah Mas merasa terganggu dengan suara-suara?
8) Apa yang Mas lakukan ketika suara-suara?
9) Apakah Mas mengikuti suara-suara?
10) Bagaimana perasaan Mas ketika suara-suara tersebut muncul ?
5. Terminasi
a. Evaluasi subyektif : “Saya senang sekali Mas sudah menceritakan tentang suara-
suara yang muncul selama ini. Bagaimana persaan Mas setelah kita berbincang-
bincang hari ini ?
b. Evaluasi obyektif : Jadi seperti Mas katakan tadi bahwa suara yang Mas dengar
adalah….. Suara itu muncul pada saat…. Dalam sehari Mas bisa mendengar suara
sebanyak….kali. yang Mas lakukan setelah mendengar suara tersebut adalah…..
Perasaan Mas pada saat mendengar suara tersebut adalah…
c. Tindak lanjut : “kalau Mas masih mendengar suara-suara, tolong panggil perawat
biar dibantu !”
d. Kontrak yang akan datang : “Besok kita akan berbincang-bincang lagi.” Kita akan
membicarakan tentang bagaimana mengendalikan suara-suara tersebut. Nanti kita
bercakap-cakap di sini dan sekitar 20 menit yamas. Setuju kan, Mas?“
e. Baiklah mas..sekarang Mas saya antar untuk melakukan aktivitas yang lainnya ya
mas .. Selamat Siang ya Mas..”.
1. Pengkajian
Adapun komponen data yang perlu dikaji pada klien skizofrenia hebefrenik antara
lain:
1) Identitas klien
2) Identitas informan atau yang bertanggung jawab terhadap klien
3) Keluhan utama
4) Riwayat perjalanan penyakit
5) Riwayat kekambuhan terakhir
6) Pertumbuhan dan perkembangan premorbid
7) Persepsi dan harapan klien dan keluarga
8) Keadaan kesehatan fisik
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan persepsi sensori : halusinasi
Bina hubungan saling percaya
Bantu klien mengenal halusinasi
Diskusikan dengan klien wktu, isi, frekuensi dan situasi pencetus
munculnya halusinasi
Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaanya.
Diskusikan cara baru untuk mengendalikan halusinasi.
2. Gangguan proses pikir
Bina hubungan saling percaya
Latihan mengingat memori yang telah dilalui
Ingatkan kembali masa lalu klien
Libatkan klien dalam TAK orientasi realitas
Beri kesempatam klien mendiskusikan wahamnya dengan petugas / perawat
Dukung klien untuk memfalidasi keyakinan terhadap wahannya
Berikan aktivitas reaksi atau aktivitas yang membutuhkan perhatian atau
dan ketrampilan di waktu luang klien.
3. Kerusakan Komunikasi Verbal
Bina hubungan saling percaya
Beri kesempatan klien untuk bicara
Dengarkan pembicaraan klien lalu identifikasi tema yang berkaitan
Kaji kemampuan klien menilai pesan pembicaraan orang lain
Kaji kemampuan klien menangkap dan menerima pesan non verbal dari lawan
bicara
Latihan daya ingat untuk mengungkapkan perasannya secara verbal atau non
verbal.
4. Isolasi Sosial
6. Ansietas
a. Definisi
DAFTAR PUSTAKA
Arif ,L. 2006. Skizofrenia, Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Jakarta:
Penerbit Refika Aditama