Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KLIEN SCHIZOFRENIA DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI


DI WISMA ARIMBI RSJ GRHASIA

TUGAS MANDIRI
STASE KEPERAWATAN JIWA

Disusun oleh :

Litani Az Zahra (22/511190/KU/24466)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN
MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN UNIVERSITAS
GADJAH MADA YOGYAKARTA
2023
Schizofrenia

A. Definisi
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan
timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang aneh dan terganggu
(Videbeck, 2018). Pengertian yang lebih ringkas diungkapkan oleh Hawari (2018),
dimana skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya retak atau pecah (spilt),
dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian skizofrenia adalah orang yang
mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splitting of personality),
sedangkan pengertian yang lebih lengkap diungkapkan oleh Direja (2016) bahwa
skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses
pikir serta disharmoni (keretakan, perpecahan) antara proses pikir, afek atau emosi,
kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan
halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi.
Skizofrenia adalah gangguan psikis dengan adanya pemisahan antara pikiran,
emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya ditandai dengan penyimpangan
realitas, penarikan diri dari interaksi sosial, serta disorganisasi persepsi, pikiran, dan
kognitif. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian
(Sadock, 2003).
B. Tanda dan Gejala
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu
gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan
pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam
perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan,
‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh,
sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif.
Menurut Hawari (2018), gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam 2 (dua)
kelompok yaitu gejala positif dan gejala negatif. Selengkapnya seperti pada uraian
berikut:
a. Gejala positif skizofrenia
Gejala positif merupakan gejala yang mencolok, mudah dikenali, menganggu
keluarga dan masyarakat serta merupakan salah satu motivasi keluarga untuk
membawa pasien berobat (Hawari, 2018). Gejala-gejala positif yang diperlihatkan
pada pasien skizofrenia yaitu:
1) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal).
Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinan itu tidak rasional, namun
pasien tetap meyakini kebenarannya.
2) Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa rangsangan (stimulus). Misalnya
pasien mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada
sumber dari suara atau bisikian itu.
3) Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya
bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat
dan gembira berlebihan, yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan.
5) Merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya.
6) Pikiran penuh dengan ketakutan sampai kecuringaan atau seakan-akan ada
ancaman terhadap dirinya.
7) Menyimpan rasa permusuhan.
b. Gejala negatif skizofrenia
Gejala negatif skizofrenia merupakan gejala yang tersamar dan tidak menggangu
keluarga ataupun masyarakat, oleh karenanya pihak keluarga seringkali terlambat
membawa pasien berobat (Hawari, 2018). Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan
pada pasien skizofrenia yaitu :
1) Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini
dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
2) Isolasi sosial atau mengasingkan diri (withdrawn) tidak mau bergaul atau kontak
dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).
3) Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.
4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
5) Sulit dalam berpikir abstrak.
6) Pola pikir stereotip.

C. Tipe – Tipe Skizofrenia


Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation, 1980) dan berlanjut
dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan DSM-IV-TR (American
Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah ipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu (Davison, 2006):
a. Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku
kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat
disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi
pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang
serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.
b. Tipe Katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat
meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang
berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).
c. Tipe Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan
pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia.
Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak
dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah
atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi,
depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.
d. Tipe Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi
masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti
keyakinankeyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar
yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi
menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
D. Faktor Penyebab
Menurut Maramis (2002), faktor-faktor yang berisiko untuk terjadinya Skizofrenia adalah
sebagai berikut :
a. Keturunan
Faktor keturunan menentukan timbulnya skizofrenia, dibuktikan dengan
penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak
kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 – 1,8%, bagi
saudara kandung 7 – 15%, bagi anak dengan salah satu anggota keluarga yang
menderita Skizofrenia 7 – 16%, bila kedua orang tua menderita Skizofrenia 40 –
68%, bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 – 15%, bagi kembar satu telur
(monozigot) 61 – 86%.
b. Endokrin
Skizofrenia mungkin disebabkan oleh suatu gangguan endokrin. Teori ini
dikemukakan berhubung dengan sering timbulnya skizofrenia pada waktu
pubertas, waktu kehamilan atau peuerperium dan waktu klimakterium.
c. Metabolisme
Ada yang menyangka bahwa skizofrenia disebabkan oleh suatu gangguan
metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat.
d. Susunan saraf pusat
Ada yang berpendapat bahwa penyebab skizofrenia ke arah kelainan susunan
saraf pusat, yaitu pada diensefalon atau kortex otak.
e. Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit badaniah tetapi merupakan suatu
reaksi yang salah, suatu maladaptasi. Oleh karena itu timbul suatu disorganisasi
kepribadian dan lama-kelamaan orang itu menjauhkan diri dari kenyataan
(otisme).
f. Teori Sigmund Freud
Terjadi kelemahan ego, yang dapat timbul karena penyebab psikogenik ataupun
somatik. Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga lagi dan Id yang
berkuasa serta terjadi suatu regresi ke fase narsisisme.
g. Teori Eugen Bleuler
Skizofrenia, yaitu jiwa yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni
antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan.
E. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan skizofrenia adalah mengembalikan fungsi
normal klien dan mencegah kekambuhannya. Belum ada pengobatan yang spesifik dalam
masing-masing subtipe skizofrenia (Prabowo, 2014). Menurut Maramis (2006)
penatalaksanaan skizofrenia adalah :
a. Terapi Farmakologi
Obat-obatan yang digunakan dalam terapi farmakologi klien skizofrenia adalah
golongan obat antipsikotik. Penggunaan obat antipsikotik digunakan dalam
jangka waktu yang lama dikarenakan obat antipsikotik berfungsi untuk terapi
pemeliharaan, pencegah kekambuhan, dan mengurangi gejala yang timbul pada
orang dengan skizofrenia (Prabowo, 2014). Obat antispikotik terdiri dari dua
golongan yaitu :
1) Antipsikotik Tipikal
Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama
yangmempunyai aksi mengeblok reseptor dopamin. Antipsikotik inilebih
efektif untuk mengatasi gejala positif yang muncul padaklien
skizofrenia.
2) Antipsikotik Atipikal
Antipsikotik atipikal merupakan antipsikotik generasi baru yang muncul
pada tahun 1990-an. Aksi obat ini adalah mengeblok reseptor dopamin
yang rendah. Antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama dalam
terapi skizofrenia. Antipsikotik atipikal efektif dalam mengatasi gejala
positif maupun negatif yang muncul pada orang dengan skizofrenia.
b. Menurut Ikawati (2011) pengobatan dan pemulihan skizofrenia terdiri dari
beberapa tahap pengobatan dan pemulihan, yaitu :
1) Terapi fase akut Pada fase akut ini, klien menunjukkan gejala psikotik
yang jelas dengan ditandai gejala positif dan negatif. Pengobatan pada
fase ini bertujuan mengendalikan gejala psikotik yang muncul
padaorang dengan skizofrenia. Pemberian obat pada fase akutdiberikan
dalam waktu enam minggu.
2) Terapi fase stabilisasi Pada fase stabilisasi klien mengalami gejala
psikotik dengan intensitas ringan. Pada fase ini klien mempunyai
kemungkinan besar untuk kambuh sehingga dibutuhkan pengobatan
rutin menuju tahap pemulihan.
3) Terapi fase pemeliharaan Terapi pada fase pemeliharaan diberikan
dalam jangka waktu panjang dengan tujuan dapat mempertahankan
kesembuhan klien, mengontrol gejala, mengurangi resiko kekambuhan,
mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan ketrampilan untuk
hidup mandiri. Terapi pada fase ini dapat berupa pemberian obat-obatan
antipsikotik, konseling keluarga, dan rehabilitasi.
c. Terapi Non Farmakologi
Menurut Hawari (2006) terapi non farmakologi yang diberikan padaklien dengan
skizofrenia antara lain :
1) Pendekatan psikososial Pendekatan psikososial bertujuan memberikan
dukungan emosional kepada klien sehingga klien mampu meningkatkan
fungsi sosial dan pekerjaannya dengan maksimal. Menurut Prabowo
(2014) pendekatan psikososial yang dapat diberikan pada klien
skizofrenia dapat berupa :
- Psikoterapi suportif
Psikoterpi suportif merupakan salah satu bentuk terapi yang
bertujuan memberikan dorongan semangat dan motivasi agar
penderita skizofrenia tidak merasa putus asa dan mempunyai
semangat juang dalam menghadapi hidup (Prabowo, 2014). Pada
klien skizofrenia perlu adanya dorongan berjuang untukpulih dan
mampu mencegah adanya kekambuhan.
- Psikoterapi re-edukatif
Bentuk terapi ini dimaksudkan memberi pendidikan ulang untuk
merubah pola pendidikan lama dengan yang baru sehingga
penderita skizofrenia lebih adaptif terhadap dunia luar (Prabowo,
2014).
- Psikoterapi rekonstruksi
Psikoterapi rekontruksi bertujuan memperbaiki kembali
kepribadian yang mengalami perubahan disebabkan adanya stresor
yang klien tidak mampu menghadapinya (Ikawati,2011).
- Psikoterapi kognitif
Psikoterapi kognitif merupakan terapi pemulihan fungsi kognitif
sehingga penderita skizofrenia mampu membedakan nilai-nilai
sosial etika.
F. Asuhan Keperawatan
Diagnosa NOC NIC
Defisit perawatan diri Perawatan diri : mandi Bantuan perawatan diri :
Perawatan diri : mandi/ berpakaian
Definisi : Hambatan berpakaian/ berdandan Berpakaian
kemampuan untuk melakukan Perawatan diri : makan Bantuan perawatan diri:
atau menyeIesaikan aktivitas Perawatan diri : eliminasi pemberian makan
perawatan diri untuk diri Bantuan perawatan diri :
sendiri. eliminasi
Gangguan rasa nyaman dan Tingkat Kecemasan Penurunan Kecemasan
perlindungan Kontrol Kecemasan
Koping
Definisi : Merasa kurang
senang, lega, dan sempurna
dalam dimensi fisik,
psikospiritual, lingkungan, dan
social.
Resiko perilaku kekerasan Self mutilation Bantuan control marah
pada diri sendiri Impuls Self Control Manajemen lingkungan
Latihan mengontrol
Definisi : Perilaku kekerasan rangsangan
adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan.
secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun
lingkungan.

Resiko perilaku kekerasan Abuse Protektion Manajemen perilaku


pada orang lain dan Impulse self
lingkungan

Definisi : Beresiko melakukan


perilaku, yakni individu
menunjukkan bahwa ia dapat
membahayakan orang lain
secara fisik, emosional,
dan/atau seksual.
Gangguan Persepsi Sensori

A. Definisi
Ganguan Persepsi Sensori (Halusinasi) adalah perubahan persepsi terhadap
stimulus baik internal maupun eksternal yang disertai dengan respon yang berkurang,
berlebihan atau terdistorsi (PPNI, 2016). Halusinasi merupakan salah satu gejala yang
sering ditemukan pada klien dengan gangguan jiwa. Halusinasi identik dengan
skizofrenia, seluruh klien dengan skizofrenia diantaranya mengalami halusinasi.
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi. Suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi
melalui panca indra tanpa stimulus eksternal, persepsi palsu. Berbeda dengan ilusi
dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada
halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi. Stimulus internal di
persepsikan sebagai suatu yang nyata ada oleh klien.
B. Pengkajian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana pasien mengalami
perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya
tidak ada. Pada proses pengkajian, data penting yang perlu didapatkan adalah:
1) Jenis halusinasi
Berikut adalah jenis-jenis halusinasi, data obyektif dan subyektifnya. Data
objektif dapat Saudara kaji dengan cara mengobservasi perilaku pasien,
sedangkan data subjektif dapat Saudara kaji dengan melakukan wawancara
dengan pasien. Melalui data ini perawat dapat mengetahui isi halusinasi
pasien.
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjekti
Halusinasi Bicara atau tertawa Mendengar suara-suara atau
sendiri kegaduhan.
Pendengaran
Marah-marah tanpa Mendengar suara yang
sebab mengajak bercakap-cakap.
Menyedengkan Mendengar suara menyuruh
telinga ke arah melakukan sesuatu yang
tertentu berbahaya
Menutup telinga

Halusinasi Penglihatan Menunjuk-nunjuk ke Melihat bayangan, sinar,


arah tertentu bentuk geometris, bentuk
Ketakutan pada kartoon, melihat hantu atau
sesuatu yang tidak monster
jelas.

Halusinasi Penghidu Menghidu seperti Membaui bau-bauan seperti


sedang membaui bau darah, urin, feses,
bau-bauan tertentu. kadang-kadang bau itu
Menutup hidung. menyenangkan.

Halusinasi Pengecapan Sering meludah Merasakan rasa seperti


Muntah darah, urin atau feses

Halusinasi Perabaan Menggaruk-garuk Mengatakan ada serangga


permukaan kulit di permukaan kulit
Merasa seperti tersengat
listrik

2) Isi halusinasi
Data tentang  isi halusinasi dapat saudara ketahui dari hasil pengkajian tentang
jenis halusinasi (lihat nomor 1 diatas). 
3) Waktu, frekwensi dan situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi 
Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya
halusinasi yang dialami oleh pasien. Kapan halusinasi terjadi? Apakah pagi,
siang, sore atau malam? Jika mungkin jam berapa? Frekuensi terjadinya
apakah terus-menerus atau hanya sekali-kali? Situasi terjadinya apakah kalau
sendiri, atau setelah terjadi kejadian tertentu. Hal ini dilakukan untuk
menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari
situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi. Sehingga pasien tidak larut
dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi
dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
4) Respons halusinasi
Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika halusinasi itu muncul.
Perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau dilakukan
saat halusinasi timbul. Perawat dapat juga menanyakan kepada keluarga atau
orang terdekat dengan pasien. Selain itu dapat juga dengan mengobservasi
perilaku pasien saat halusinasi timbul.
Daftar Pustaka
Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC), Edisi 6 Philadelpia: Elsevier.
Dalami, Ernawati, dkk. (2014). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa, Jakarta :
Trans Info Media
Gottesman, I. I., Shields, J., & Hanson, D. R. (1982). Schizophrenia. CUP Archive.
Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and classification
2018-2020. Jakarta: EGC.
Hesti Wulandari. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Klien Gangguan Jiwa Dengan Defisit
Perawatan Diri Di Ruang Jalak Rsj Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang.
file:///C:/Users/Sufi%20Indokom/Downloads/818-2671-1-SM%20(2).pdf. Diakses
tanggal 20 Maret 2018.
Kurniasari, C. I., Dwidiyanti, M., & Padmasari, S. (2019). Terapi Keperawatan Dalam Mengatasi
Masalah Interaksi Sosial pada Pasien Skizofrenia: Literatur Review. Jurnal Ilmu
Keperawatan Jiwa, 2(1), 41-46.
Kuzman, M. R., Medved, V., Terzic, J., & Krainc, D. (2009). Genome-wide expression analysis
of peripheral blood identifies candidate biomarkers for schizophrenia. Journal of
psychiatric research, 43(13), 1073-1077.
McCutcheon, R. A., Marques, T. R., & Howes, O. D. (2020). Schizophrenia—an
overview. JAMA psychiatry, 77(2), 201-210.
Moorhead, Sue., Johnson, Marion., Maas, M.L., & Swanson, Elizabeth. (2016). Nursing
Outcomes Classification (NOC), Edisi 5.Philadelpia: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai