Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Skizofrenia

1. Definisi

Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu

menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan

pemahaman diri (self insight) yang buruk. Seorang penderita gangguan

jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau

keretakan kepribadian (splitting of personality) (Hawari, 2015).

Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan

menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, perilaku yang

aneh dan terganggu (Videbeck, 2015). Skizofrenia adalah suatu bentuk

psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir serta

disharmoni (keretakan, perpecahan) antara proses pikir, afek atau emosi,

kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena

waham dan halusinasi, asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul gangguan

dalam berfikir (Direja, 2011).

Berdasarkan pengertian para ahli diatas,maka dapat dikemukakan

jika skizofrenia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada otak yang

dapat menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan

perilaku yang aneh dan terganggu sehingga penderita skizofrenia

6
7

memiliki pemahaman diri yang buruk dan tidak mampu menilai realitas

dengan baik.

2. Tipe-tipe Skizofrenia

Menurut Hawari (2015) tipe-tipe Skizofrenia dibagi dalam 5 tipe

atau kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing, yang

kriterianya didominasi hal-hal berikut :

a. Skizofrenia Tipe Hebefrenik

Seseorang yang menderita Skizofrenia tipe Hibefrenik, disebut

juga disorganized type atau “kacau balau” yang ditandai dengan

tanda-tanda antara lain :

1) Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti

apa maksudnya.

2) Alam perasaan (mood, affect) yang datar tanpa ekspresi serta tidak

serasi (incongrous) atau ketolol-tololan (silly).

3) Perilaku dan tertawa kekanak-kanakan (ginggling), senyum yang

menunjukkan rasa puas diri atau senyum yang hanya dihayati

sendiri.

4) Waham (delusion) tidak jelas dan tidak sistematik (terpecah-pecah)

tidak terorganisir sebagai suatu kesatuan.

5) Halusinasi yang terpecah-pecah yang isi temanya tidak terorganisir

sebagai satu kesatuan.

6) Perilaku aneh, misalnya menyeringai sendiri, emnunjukkan

gerakan-gerakan aneh, berkelalar, pengucapan kalimat yang


8

diulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik diri secara

ekstrim dan hubungan sosial.

b. Skizofrenia Tipe Katatonik

Seseorang yang menderita skizofrenia tipe katatonik menunjukkan

gejala-gejala sebagai berikut :

1) Stupor katatonik, yaitu suatu pengurangan hebat dalam kreativitas

terhadap lingkungan dan atau pengurangan dari pergerakan atau

aktivitas spontan sehingga nampak seperti “patung” atau diam

membisu.

2) Negativisme katatonik, yaitu suatu perlawanan yang nampaknya

tanpa motif terhadap semua perintah atau upaya untuk

menggerakkan dirinya.

3) Kekakuan (rigidity) katatonik, yaitu mempertahankan suatu sikap

kaku terhadap semua upaya untuk menggerakkan dirinya.

4) Kegaduhan katatonik, yaitu kegaduhan aktivitas motorik yang

nampaknya tak bertujuan dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan

luaar.

5) Sikap tubuh katatonik, yaitu sikap yang tidak wajar atau aneh.

c. Skizofrenia Tipe Paranoid

Seseorang yang menderita skizofrenia tipe paranoid menunjukkan

gejala-gejala sebagai berikut :

1) Waham (delusion) kejar atau waham kebesaran, misalnya kelahiran

luar biasa, misi atau utusan sebagai penyelamat bangsa, dunia atau
9

agama, misi kenabian atau mesias, atau perubahan tubuh. Waham

cemburu juga biasanya ditemukan.

2) Halusinasi yang mengandung isi kejaran atau kebesaran.

3) Gangguan alam perasaan dan perilaku, misalnya kecemasan yang

tidak menentu, kemarahan, suka bertengkar dan berdebat dan

tindak kekerasan.

d. Skizofrenia Tipe Residual

Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang

tidak begitu menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar

serta tidak serasi, penarikan diri dari pergaulan sosial, tingkah laku

eksentrik, pikiran tidak logis dan tidak rasional atau pelonggaran asosiasi

pikiran.

e. Skizofrenia Tipe Tak Tergolongkan

Tipe ini tidak dapat dimasukkan dalam tipe-tipe yang telah

diuraikan dimuka, hanya gambaran klinisnya terdapat waham, halusinasi,

inkoherensi, atau tingkah laku kacau.


10

3. Etiologi

Skizofrenia terjadi karena berbagai faktor yang mempengaruhi

munculnya penyakit tersebut. Secara umum, penyebab skizofrenia adalah :

a. Faktor biologis

1) Genetik

Berdasarkan Videback (2015), Kebanyakan penelitian genetik

berfokus pada keluarga terdekat seperti orang tua, saudara kandung,

dan anak-cucu untuk melihat apakah skizofrenia diwariskan atau

diturunkan secara genetik. Penelitian yang paling penting memusatkan

pada penelitian anak kembar yang menunjukkan bahwa kembar

identik berisiko mengalami gangguan ini sebesar 50% sedangkan

kembar fraternal berisiko hanya 15%. Pada penelitian yang lain

menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki satu orang tua biologis

penderita skizofrenia memiliki risiko lebih rendah 35% dibandingkan

kedua orang tua biologis yang menderita skizofrenia. Dari semua hasil

penelitian tersebut didapatkan kesimpulan jika ada risiko genetik atau

kecenderungan skizofrenia, tetapi ini bukan merupakan faktor satu-

satunya.

2) Neurokimia

Perubahan sistem neurotransmitter otak pada pasien skizofrenia,

yang berhubungan dengan peningkatan kadar dari dopamin serta

aktivitas produksi atau pelepasan zat di saraf terminal meningkatkan

sensitivitas reseptor dopamin. Selain itu, obat amfetamin yang


11

mempengaruhi peningkatan kadar dopamin sehingga menginduksi

gejala skizofrenia. Kelebihan kadar serotonin juga berperan dalam

timbulnya gejala skizofrenia (Videback, 2015).

3) Imunovirologi

Paparan virus influenza pada ibu hamil mempengaruhi respon imun

tubuh yang dapat mengubah fisiologi otak (Videback, 2015).

b. Faktor Fisiologis

c. Faktor Psikologis

d. Faktor Sosiokultural dan Lingkungan

4. Gejala

Menurut Hawari (2015) gejala skizofrenia antara lain adalah

sebagai berikut :

a. Gejala Positif

1) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional

(tidak masuk akal).

2) Halusinasi, merupakan pengalaman panca indera tanpa rangsangan

(stimulus).

3) Kekacuan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya,

misalnya bicaranya kacau sehingga tidak dapat diikuti alur

pembicaraannya.

4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir,agresif, bicara

dengan semangat dan gembira yang berlebihan.


12

5) Merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serba hebat,

dan sebagainya.

6) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada

ancaman terhadap dirinya.

7) Menyimpan rasa permusuhan.

b. Gejala Negatif

1) Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendasar”. Gambaran alam

perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan

ekspresi.

2) Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn) tidak mau

bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun.

3) Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara dan

pendiam.

4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.

5) Sulit dalam berpikkir abstrak.

6) Pola pikir stereotip.

7) Tidak ada atau bahkan kehilangan dorongan kehendak (avolition)

dan tidak ada inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada

spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas

(kehilangan nafsu).
13

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada klien skizofrenia :

a. Psikofarmaka

Menurut Hawari (2015) terapi psikofarmaka ditunjukkan bagi klien

dengan gangguan neurotransmitter sehingga gejala klinis yang timbul

pada klien skizofrenia dapat dihilangkan dengan kata lain penderita

skizofrenia dapat diobati. Jenis obat yang ideal atau memenuhi syarat

antara lain :

1) Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam kurun waktu yang

relatif singkat.

2) Efek samping yang timbul sangat kecil bahkan tidak ada.

3) Dapat menghilangkan gejala positif dan negatif dengan kurun

waktu yang singkat.

4) Fungsi kognitif atau daya ingat lebih cepat pulih.

5) Tidak menyebabkan kantuk.

6) Memperbaiki pola tidur.

7) Tak menyebabkan habituasi, adiksi, dan dependensi.

8) Tidak menyebabkan kantuk.

9) Pemakaian dosis tunggal (single dose).

Jenis obat dibagi menjadi 2 tipe yaitu generasi pertama (tipikal)

misalnya Chlorpromazine, Trifluoperazine, dan Haloperidol serta

golongan generasi kedua (atipikal) misalnya Risperidone, Clozapine,

Olanzepin. Efek samping yang sering dijumpai saat penggunaan obat


14

psikotik adalah Extra-Pyramidal Syndrome (EPS) yang serupa dengan

penyakit Parkinson. Gejala yang muncul antara lain kedua tangan yang

gemetar, kekakuan ekstremitas, otot leher kaku sehingga kepala seolah-

olah terpelintir dan sebagainya. Bila efek samping dari obat EPS ini

muncul, maka diberikan obat penawarnya yaitu TrihexypenidylHCl,

BenzhexolHCl, Levodopa+Benserazide dan Bromocriptin Mesilate.

Obat golongan tipikal mempunyai kelemahan dan kelebihan. Kelebihan

obat ini ialah bermanfaat dalam mengatasi gejala positif pada

skizofrenia, sehingga meninggalkan gejala negatif skizofrenia namun,

penggunaan obat tipikal kurang memberikan respon yang baik dalam

mengatasi gejala negatif pada klien skizofrenia. Selain itu, obat tipe ini

tidak memberikan efek yang baik pada pemulihan fungsi kognitif dan

sering menimbulkan efek samping yaitu EPS. Sebaliknya, golongan

obat atipikal dapat menghilangkan gejala positif maupun negatif, efek

samping EPS sangat minimal dan memulihkan fungsi kognitif. Obat

psikotik tipe tipikal maupun atipikal pada pemakaian jangka panjang

umumnya menyebabkan penambahan berat badan.

b. Psikoterapi

Menurut Hawari (2015), psikoterapi diberikan apabila klien dengan

terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan pemulihan kemampuan

menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dan insight yang sudah

baik dengan catatan, klkien masih mendapatkan terapi psikofarmaka.

Jenis psikoterapi sangat beragam. Penggunaannya tergantung


15

kebutuhan dan latar belakang klien sebelum sakit (Premorbid),

misalnya :

1) Psikoterapi Suportif

Jenis terapi ini dimaksudkan untuk memberi dorongan, semangat dan

motivasi agar penderitanya tidak merasa putus asa dan semangat

juangnya dalam menghadapi kehidupan tidak kendur dan menurun.

2) Psikoterapi Re-eduktif

Memberikan pendidikan ulang yang maksudnya memperbaiki

kesalahan pendidikan di waktu lalu, dan pendidikan ini bertujuan

untuk mengubah pola pendidikan lama dengan yang baru sehingga

penderita lebih adaptif terhadap dunia luar.

3) Psikoterapi Re-konstruktif

Memperbaiki (rekonstruksi) kepribadian yang telah mengalami

keretakan menjadi pribadi yang utuh seperti semula sebelum sakit.

4) Psikoterapi Kognitif

Memulihkan kembali fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat)

rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilali moral

etika, mana yang baik dan buruk, yang halal dan haram.

5) Psikoterapi Psiko-dinamik

Menganalisis dan menguraikan proses analisis dann menguraikan

proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh

sakit dan upaya untuk mencari jalan keluarnya.


16

6) Psikoterapi Perilaku

Memulihkan gangguan perilaku yang terganggu (maladaptif)

menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).

7) Psikoterapi Keluarga

Memulihkan hubungan penderita dengan keluarganya. Dengan

psikoterapi ini diharapkan keluarga dapat memahami mengenai

gangguan jiwa skizofrenia dan dapat mempercepat proses

penyembuhan penderita. Tujuan psikoterapi ini adalah untuk

memperkuat struktur kepribadian, mematangkan kepribadian,

memperkuat ego, memulihkan kepercayaan diri untuk mencapai

kehidupan yang berarti dan bermanfaat.

c. Terapi Psikososial

Menurut Hawari (2015) tujuan terapi psikososial yaitu agar

penderita mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial

sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak bergantung

pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan

masyarakat. Penderita yang hendaknya tetap mengkonsumsi obat

psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi.

Kepada pendeerita diupayakan untuk menyendiri, tidak melamun,

banyak kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul (silaturahmi atau

sosialisasi).
17

d. Terapi Psikoreligius

Menurut Hawari (2015) terapi keagamaan berupa ritual

keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian

kepada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian kitab suci. Melalui

terapi psikoreligius gejala patologis dengan pola sentral keagamaan

dapat meluruskan pemahaman keagamaan yang salah, hingga kembali

ke jalan yang benar.

e. Terapi Kejang Listrik (Electro Convulsive Therapy)

f. Terapi Aktivitas Kelompok

B. Konsep Risiko Perilaku Kekerasan

1. Definisi

Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang

menunjukkan bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain

atau lingkungan, baik secara fisik, emosional, seksual, dan verbal

(NANDA, 2018). Risiko perilaku kekerasan terbagi memnjadi dua, yaitu

risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed

violence) dan risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-

directed violence). Dalam NANDA, (2018) menyatakan bahwa risiko

perilaku kekerasan terhadap diri sendiri merupakan perilaku yang rentan

dimana seorang individu bisa menunjukkan atau mendemonstrasikan

tindakan yang membahayakan dirinya ssendiri, baik secara fisik,

emosional, maupun seksual. Hal yang sama juga berlaku untuk risiko
18

perilaku kekerasan terhadap orang lain, hanya saja ditujukan langsung

kepada orang lain.

Berbeda dengan risiko perilaku kekerasan, perilaku kekerasan

memiliki definisi sendiri. Perilaku kekerasan didefinisikan sebagai suatu

keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang yang diarahkan pada diri

sendiri, orang lain, atau lingkungan (Sutejo, 2015).

Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap

stresor yang dihadapi oleh seseorang. Respon ini dapat menimbulkan

kerugian baik kepada diri sendsiri, orang lain, maupun lingkungan.

Melihat dampak dari kerugian yang ditimbulkan, maka penanganan

pasien dengan perilaku kekerasan perlu dilakukan secara cepat dan

tepat oleh tenaga-tenaga yang profesional (Keliat dalam Muhith,

2015). Pendapat yang dikemukakan oleh Muhith (2015), perilaku

kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai

seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini

maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan

pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan

dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung

perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan.


19

2. Rentang Respon Marah

Respon marah berfluktuasi sepanjang respon adaptif dan

maladaptive.

Respon adaptif Respon Maladaptif

Asertif Pasif Perilaku Kekerasan


Gambar 2.1 Rentang Respon Marah
Sumber : Stuart dan Laraia dalam Dermawan, 2013

Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk berperilaku pasif,

asertif, dan agresif / perilaku kekerasan (Stuart dan Laraia dalam

Dermawan, 2013).

a. Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu

menyatakan atau mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju

tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain sehingga perilaku

ini dapat menimbulkan kelegaan pada individu.

b. Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu

untuk mengungkapkan perasaan merah yang sedang dialami,

dilakukan dengan tujuan menghindari suatu ancaman nyata.

c. Agresif / perilaku kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan

yang sangat tinggi atau ketakutan (panik).

Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat

menimbulkan kemarahan yang dapat mengarah pada perilaku

kekerasan. Respon rasa marah bisa diekspresikan secara eksternal

(perilaku kekerasan) maupun internal (depresi dan penyakit fisik).


20

Dalam buku Sutejo (2015) disebutkan mengekspresikan marah

dengan perilaku konstruktif, menggunakan kata-kata yang dapat

dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, akan

memberikan perasaan lega, menurunkan ketegangan sehingga perasaan

marah dapat teratasi. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan

perilaku kekerasan biasanya dilakukan individu karena ia merasa

kuat. Cara demikian tidak menyelesaikan masalah, bahkan dapat

menimbulkan kemarahan berkepanjangan dan perilaku destruktif.

Perilaku yang tidak asertif seperti menekan perasaan marah

dilakukan individu seperti pura-pura tidak marah atau melarikan diri

dari perasaan marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap.

Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama

dan suatu saat akan menimbulkan perasaan destruktif yang ditujukan

kepada diri sendiri.

3. Tanda dan Gejala

Menurut (Deden & Rusdi, 2013) data perilaku kekerasan

dapat diperoleh melalui observasi atau wawancara tentang perilaku

berikut ini :

a. Muka merah dan tegang

b. Pandangan tajam

c. Mengatupkan rahang dengan kuat

d. Mengepalkan tangan
21

e. Bicara kasar

f. Suara tinggi, menjerit atau berteriak

g. Mengancam secara verbal dan fisik

h. Melempar atau memukul benda atau orang lain

i. Merusak barang atau benda

j. Tidak mempunyai kemampuan mencegah atau mengontrol perilaku

kekerasan

4. Faktor Risiko

Menurut Herdman dan Kamitsuru (2018) faktor risiko terbagi

menjadi dua, yaitu :

a. Risiko Perilaku Kekerasan terhadap orang lain

Definisi : berisiko melakukan perilaku, yakni individu menunjukkan

bahwa dirinya dapat membahayakan orang lain secara fisik, emosional,

dan/atau seksual.

1) Ketersediaan senjata

2) Bahasa tubuh (misal, sikap tubuh kaku/rigid, mengepalkan jari dan

rahang terkunci, hiperaktivitas, denyut jantung cepat, nafas

terengah-engah, cara berdiri mengancam)

3) Kerusakan kognitif (misal, gangguan defisit perhatian dan

penurunan intelektual)

4) Kejam pada hewan

5) Riwayat penganiayaan pada masa kanak-kanak

6) Riwayat melakukan kekerasan tak langsung


22

7) Riwayat penyalahgunaan zat

8) Riwayat ancaman kekerasan

9) Riwayat menyaksikan perilaku kekerasan dalam keluarga

10) Riwayat perilaku kekerasan terhadap orang lain

11) Simtomatologi psikosis (misal, perintah halusinasi pendengaran,

penglihatan, delusi paranoid; proses pikir tidak logis, tidak teratur,

atau tidak koheren)

b. Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri

Definisi : berisiko melakukan perilaku, yakni individu menunjukkan

bahwa dirinya dapat membahayakan dirinya sendiri secara fisik,

emosional, dan/atau seksual.

1) Usia 15-19 tahun

2) Usia 45 tahun atau lebih

3) Konflik hubungan interpersonal

4) Masalah emosional

5) Masalah pekerjaan

6) Menjalani tindakan seksual autoerotic

7) Latar belakang keluarga (misal: riwayat bunuh diri, kaotik, atau

penuh konflik)

8) Riwayat bunuh diri yang dilakukan berkali-kali

9) Status pernikahan

10) Masalah kesehatan mental

11) Masalah kesehatan fisik


23

12) Orientasi seksual

13) Ide bunuh diri

14) Rencana bunuh diri

15) Petunjuk verbal

5. Etiologi

Menurut Direja (2011) faktor-faktor yang menyebabkan perilaku

kekerasan pada pasien gangguan jiwa antara lain

a. Faktor Predisposisi

1) Faktor psikologis

a) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan

mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang

memotivasi perilaku kekerasan.

b) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa

kecil yang tidak menyenangkan.

c) Rasa frustasi.

d) Adanya kekerasan dalam rumah, keluarga, atau lingkungan.

e) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak

terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan

tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang

rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan

prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan

arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa

perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan


24

pengungkapan secara terbuka terhadap rasa

ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak

kekerasan.

f) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku

yang dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik

dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-

anak tanpa faktor predisposisi biologik.

2) Faktor sosial budaya

Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya

secara agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai

dengan teori menurut Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan

respon-respon yang lain. Faktor ini dapat dipelajari melalui

observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan

maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya juga dapat

mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat

membantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan

yang tidak dapat diterima.

Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima

perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaiannya masalah perilaku

kekerasan merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku

kekerasan.
25

3) Faktor biologis

Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya stimulus

elektris ringan pada hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata

menimbulkan perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi

limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran

rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indra penciuman

dan memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil

berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada di sekitarnya.

Selain itu berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang

dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan,

yaitu sebagai berikut

a) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem

neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan

menghambat impuls agresif. Sistem limbik sangat terlibat

dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan

respon agresif.

b) Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend

(1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter

(epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin, dan serotonin)

sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls

agresif. Peningkatan hormon androgen dan norepinefrin serta

penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan


26

serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang

menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang.

c) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat

erat kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe

XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak

kriminal (narapidana)

d) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan

berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada

limbik dan lobus temporal) trauma otak, apenyakit ensefalitis,

epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh

terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.

b. Faktor Presipitasi

Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam,

baik berupa injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri.

Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.

a. Klien

Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang

penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.

b. Interaksi

Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,

merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri

maupun eksternal dari lingkungan.


27

c. Lingkungan

Panas, padat, dan bising.

6. Manifestasi Klinis

Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku

kekerasan terdiri dari :

a. Fisik

Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,

wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.

b. Verbal

Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan

nada keras, kasar, ketus.

c. Perilaku

Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak

lingkungan, amuk/agresif.

d. Emosi

Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,

jengkel,tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,

menyalahkan, dan menuntut.

e. Intelektual

Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang

mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.


28

f. Spiritual

Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak

bermoral, dan kreativitas terhambat.

g. Sosial

Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.

h. Perhatian

Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual


29

7. Pathway Perilaku Kekerasan

Ancaman atau Kebutuhan

Stress

Marah

Merasa Berkuasa Mengungkapkan Merasa tidak


Kemarahan Adekuat

Menantang Menyadarkan OrLa Menantang


akan Kebutuhannya

Tidak ada Penyelesaian Memenuhi Mengingkari


Masalah Kebutuhannya Kemarahan

Marah Marah Tidak Meng-


Berkepanjangan Teratasi ekspresikan

Pengembangan Kemarahan

Bermusuhan Kronik

Kemarahan diarahkan kepada Kemarahan diarahkan


Diri sendiri Keluar

a. Depresi a. Agresif
b. Penyakit Fisik b. Perilaku Kekerasan
Gambar 2.2 Pathway Perilaku Kekerasan
Sumber : Rawlins dalam Dermawan, 2013
30

C. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Menurut Keliat (2014) data perilaku kekerasan dapat diperolah

melalui observasi atau wawancara tentang perilaku berikut ini:

a. Muka merah dan tegang

b. Pandangan tajam

c. Mengarupkan rahang dengan kuat

d. Mengepalkan tangan

e. Jalan mondar-mandir

f. Bicara kasar

g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak

h. Mengancam secara verbal atau fisik

i. Melempar atau memukul benda /orang lain

j. Merusak barang atau benda

k. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol

perilaku kekerasan.

2. Masalah Keperawatan

Menurut Keliat (2014) daftar masalah yang mungkin muncul pada

perilaku kekerasan yaitu :

a. Perilaku Kekerasan.

b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi.

d. Harga diri rendah kronis.


31

e. Isolasi sosial.

f. Berduka disfungsional.

g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.

h. Koping keluarga inefektif.

3. Intervensi Keperawatan

Menurut Fitria (2010) rencana tindakan keperawatan yang

digunakan untuk diagnosa perilaku kekerasan yaitu :

a. Tindakan keperawatan untuk klien

1) Tujuan

a) Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.

b) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku

kekerasan.

c) Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang

pernah dilakukannya.

d) Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku

kekerasannya.

e) Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan

yang dilakukannya.

f) Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik,

spiritual, sosial, dan terapi psikofarmaka.


32

2) Tindakan

a) Bina hubungan saling percaya

Dalam membina hubungan saling percaya perlu

dipertimbangkan agar klien merasa aman dan nyaman saat

berinteraksi dengan Saudara. Tindakan yang harus Saudara

lakukan dalam rangka membina hubungan salig percaya

adalah mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan,

menjelaskan tujuan interaksi, serta membuat kontrak topik,

waktu, dan tempat setiap kali bertemu klien.

b) Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan

yang terjadi di masa lalu dan saat ini.

c) Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku

kekerasan. Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan

gejala perilaku kekersan, baik kekerasan fisik, psikologis,

sosial, sosial, spiritual maupun intelektual.

d) Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa

dilakukan pada saat marah baik terhadap diri sendiri, orang

lain maupun lingkungan.

e) Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari

perilaku marahnya. Diskusikan bersama klien cara

mengontrol perilaku kekerasan baik secara fisik (pukul

kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-obat-

obatan, sosial atau verbal (dengan mengungkapkan


33

kemarahannya secara asertif), ataupun spiritual (salat atau

berdoa sesuai keyakinan klien).

b. Tindakan keperawatan untuk keluarga

1) Tujuan

Keluarga dapat merawat klien di rumah

2) Tindakan

a) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan

meliputi penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul,

serta akibat dari perilaku tersebut.

b) Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan

perilaku kekerasan.

(1) Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar

melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.

(2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada

klien bila anggota keluarga dapat melakukan kegiatan

tersebut secara tepat.

(3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus klien

menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.

c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang

perlu segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar

atau memukul benda/orang lain.


34

4. Strategi Pelaksanaan

Menurut Fitria (2010) strategi pelaksanaan tindakan keperawatan

dengan diagnosa keperawatan perilaku kekerasan

a. Membina hubungan saling percaya, pengkajian perilaku kekerasan

dan mengajarkan cara menyalurkan rasa marah.

b. Mengontrol perilaku kekerasan secara fisik

c. Mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal

d. Mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual

e. Mengontrol perilaku kekerasan dengan obat

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai tindakan

keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon

klien terhadap tindakan keperawatanyang telah dilaksanakan. Evaluasi

dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan

setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif

dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus

dan umum yang telah ditentukan.Evaluasi dapat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir.

Adapun hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan

perilaku kekerasan antara lain

a. Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku keekrasan.

b. Klien dapat membina hubungan saling pecaya.


35

c. Klien dapat mengenal penyebab perilaku kekerasan yang

dilakukakannya.

d. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.

e. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah

dilakukan.

f. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.

g. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam

mengungkapkan kemarahan.

h. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku

kekerasan.

i. Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk mengontrol

perilaku kekerasan.

j. Klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan.


36

D. Mendengarkan dan Membaca Ayat Suci Al-Qur’an

Intervensi yang dapat dilakukan kepada klien dengan risiko perilaku

kekerasan adalah aktivitas spiritual. aktivitas spiritual islam merupakan aktivitas

yang dilakukan agar pasien mampu fokus, tenang, ikhlas dan selalu bersyukur

kepada Allah atas masalah yang sedang dihadapi, agar dapat tenang dan bahagia

dalam menjalani aktifitas sehari hari maka pasien harus mempunyai target sehat

mandiri, target sehat mandiri yang ditentukan seperti senantiasa bersholawat,

berdzikir, mengaji dan menjalankan sholat 5 waktu secara rutin. Mampu menahan

emosi, selalu sabar dalam menghadapi ujian, ikhlas dan pasrah terhadap ketentuan

Allah. Aktivitas Spiritual ini mempunyai efek yang baik, dan dilakukan untuk

dapat menyadari tentang kondisi seseorang bertujuan untuk menyelesaikan

masalah yang dihadapinya dan dapat fokus terhadap masalah tersebut,

penyelesaian masalah yang dilakukan melalui perubahan perilaku, sadar dengan

kondisi yang dialami selalu bersikap tenang, mempunyai rasa sayang,

menghormati dan menghargai dirinya sendiri (Dwidiyanti, 2018).

Salah satu jenis aktivitas yang dapat dilakukan pada klien dengan risiko

perilaku kekerasan adalah dengan aktivitas spiritual mendengarkan ayat suci al-

qur’an sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Heru dalam Handayani (2014)

bahwa salah satu distraksi yang efektif adalah murottal (mendengarkan bacaan Al-

qur’an), yang dapat mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang, dan

sangat baik untuk menimbulkan ketenangan. Dengan demikian diberikan aktivitas

spiritual mendengarkan ayat suci al-qur’an agar menjadi lebih rileks dan tenang

sehingga menurunkan tingkat emosi pada pasien beresiko perilaku kekerasan.


37

Berdasarkan hasil kuesioner yang dilakukan oleh Herniyanti (2019),

setelah diberikan aktivitas mendengarkan ayat suci al-qur’an (murottal) pada

kelompok intervensi didapatkan bahwa perubahan perilaku dari tidak pernah

berpikiran positif/baik terhadap masalah setelah diberikan intervensi berubah

menjadi pernah berpikiran positif/baik terhadap masalah, selalu mudah

tersinggung setelah diberikan intervensi berubah menjadi tidak pernah

tersinggung, selalu merasa frustasi setelah diberikan intervensi berubah menjadi

tidak pernah merasa frustasi, selalu merasa jengkel, dendam, dan ingin memukul

setelah diberikan intervensi berubah menjadi tidak pernah merasa jengkel,

dendam, dan ingin memukul, selalu mengamuk, memukul bila diganggu orang

lain setelah diberikan intervensi berubah menjadi tidak pernah memukul,

mengamuk bila diganggu orang lain, selalu bicara kasar dan ketus setelah

diberikan intervensi berubah menjadi tidak pernah bicara kasar dan ketus.

Disebutkan juga dalam Faradisi (2012), pengaruh aktivitas pembacaan Al-Qur’an

bisa membuat perubahan-perubahan arus listrik di otot, perubahan sirkulasi darah,

perubahan detak jantung. Perubahan tersebut akan memberikan relaksasi atau

penurunan ketegangan saraf diotak. Sedangkan, aktivitas membaca Al Qur’an

dengan tempo yang lambat serta harmonis dapat menurunkan hormone stress dan

dapat meningkatkan perasaan rileks serta dapat menurunkan tekanan darah,

memperlambat pernapasan, dan menenangkan detak jantung (Wafiyah,2011).

Menurut Zakiyah Drajat dalam bukunya kesehatan mental bahwa

ketenangan jiwa diartikan sebagai kemampuan seseorang menyesuaikan diri

dengan orang lain, masyarakat dan lingkungan dimana ia tinggal dan hidup.
38

Indikator dari ketenagan jiwa adalah sabar, mengingat Allah, tidak gelisah atau

cemas, tidak putus asa, tidak ketakutan, tidak ragu-ragu. Adapun indikator

kebiasaan yang dipakai dalam membaca al-quran biasanya bersifat kontinuitas,

memiliki konsistensi, dan memiliki kesungguhan dalam membaca dan

menerapkan isi kandungan yang terdapat dalam alquran.

Saputri (2014) menyebutkan jika aktivitas spiritual yang dilakukannya

dapat diberikan selama 5 kali dan dalam waktu 30 menit setiap pertemuannya,

sedangkan menurut Herniyanti (2019) aktivitas spiritual ini dilakukan dalam

waktu yang berkelanjutan, aktivitas spiritual ini dilakukan ketika klien merasa

tidak mampu mengontrol emosinya. Julianto dan Subandi (2015) menjelaskan

bahwa sebelum klien memulai aktivitas spiritual dianjurkan untuk merilekskan

diri terlebih dahulu misalnya dengan mandi, berwudhu, atau mendengarkan

lantunan ayat al-qur’an. Setelah klien merasa lebih rileks kemudian klien diminta

untuk membaca Al Fatihah sebanyak tiga kali dengan mengeluarkan suara dan

klien dapat memilih tempat yang dapat membuat nyaman. Surah Al Fatihah

dipilih karena Al Fatihah adalah ayat yang paling populer dan paling dihafal

dikalangan umat muslim. Bahkan membaca Al Fatihah menjadi syarat sahnya

sholat bagi kaum muslimin. Selain itu, Al Fatihah memiliki sebutan sebagai

Ummul Kitab yang artinya induk dari seluruh Al Quran. Hal ini dikarenakan

didalam surat Al Fatihah terkandung seluruh pokok ajaran dan nilai. yang

terkandung dalam Al Quran. Selain itu, disebutkan juga dalam Saputri (2014),

membaca ayat kursi, meskipun tidak mengetahui artinya, pengaruh dari membaca
39

ayat kursi tersebut juga dapat dirasakan karena kandungan dari ayat kursi tersebut

yang berarti penyerahan diri terhadap kekuasaan-Nya.

Anda mungkin juga menyukai