Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III GANGGUAN SISTEM SARAF SKIZOFRENIA

Disusun oleh : KELOMPOK II RAKHMAWATI H. ARUM WINDA ARINI RUFAIDA M. FIKARROTALA NURLAILI AGUSTINE FANDI DWI CAHYO SETIAWAN RENATHA DESKA HAQOIROH G1F010006 G1F010020 G1F010028 G1F010040 G1F010044 G1F010062 G1F010068 G1F010072 G1F010080

Asisten

: Irma Dwi Anggraini

Dosen Jaga : Hanif Nasyiatul B, M.Sc., Apt

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI PURWOKERTO 2013

A. JUDUL Skizofrenia

B. DASAR TEORI 1. Patofisiologi Definisi Skizofrenia Skizofrenia adalah salah satu bentuk gangguan psikosis yang

menunjukkan beberapa gejala psikotik, ditambah dengan cerita lain seperti jangka waktu, konsekuensi dari gangguan tersebut dan tidak tumpang tindih dengan gangguan lain yang mirip. Pasien psikotik tidak dapat mengenali atau tidak memiliki kontak dengan realitas. Beberapa gejala psikotik adalah delusi, halusinasi, pembicaraan kacau, tingkah laku kacau (Setiadi, 2006). Menurut Stuart dan Sundeen (2002) skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah. Etiologi Menurut teori model diathesis, stress skizofrenia dapat timbul karena adanya integrasi antara faktor biologis, faktor psikososial dan lingkungan. Seseorang yang rentan jika dikenai stressor akan lebih mudah untuk menjadi skizofrenia. Lingkungan emosional yang tidak stabil mempunyai risiko yang besar pada perkembangan skizofrenia. Stressor sosial juga mempengaruhi

perkembangan suatu skizofrenia. Diskriminasi pada komunitas minoritas mempunyai angka kejadian skizofrenia yang tinggi (Sinaga, 2007). Tampaknya skizofrenia tidak disebabkan oleh penyebab yang tunggal, tetapi dari berbagai faktor. Sebagaian besar ilmuwan meyakini bahwa skizofrenia adalah penyakit biologis yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik,

ketidakseimbangan kimiawi di otak, abnormalitas struktur otak, atau abnormalitas dalam lingkungan prenatal. Berbagai peristiwa stress dalam hidup dapat memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia pada meraka yang telah memiliki predisposisi pada penyakit ini (Setiadi, 2006).

Keturunan dapat dipastikan bahwa ada faktor keturunan yang juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama pada anak-anak kembar satu telur (Maramis, 2004). Patofisiologi Schizoprenia Secara terminologi, schizophrenia berarti skizo adalah pecah dan frenia adalah kepribadian. Scizophrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada kepribadian, distorsi perasaan pikir, waham yang aneh, gangguan persepsi, afek yang abnormal. Meskipun demikian kesadaran yang jernih, kapasitas intelektual biasanya tidak terganggu, mengalami hendaya berat dalam menilai realitas (pekerjaan, sosial dan waktu senggang). Patofisiologi schizophrenia dihubungkan dengan genetic dan lingkungan. Faktor genetic dan lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi terjadinya schizophrenia. Neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologinya adalah DA, 5HT, Glutamat, peptide, norepinefrin (Price, 2006). Pada pasien skizoprenia terjadi hiperreaktivitas system dopaminergik (hiperdopaminergia pada sistem mesolimbik berkaitan dengan gejala positif, dan hipodopaminergia pada sistem mesocortis dan nigrostriatal bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal). Reseptor dopamine yang terlibat adalah reseptor dopamine-2 (D2) yang akan dijumpai peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien skizoprenia. Peningkatan aktivitas sistem dopaminergik pada sistem mesolimbik yang bertanggungjawab terhadap gejala positif. Sedangkan peningkatan aktivitas serotonergik akan menurunkan aktivitas dopaminergik pada sistem mesocortis yang bertanggung-jawab terhadap gejala negatif (Ikawati, 2009). Gejala-gejala yang terdapat dalam skizofrenia : a. Gejala Positif Skizofrenia : 1) Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional. Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.

2) Halusinansi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan. Misalnya penderita mendengar bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari bisikan itu. 3) Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya. 4) Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan. 5) Merasa dirinya Orang Besar, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya. 6) Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya. 7) Menyimpan rasa permusuhan. (Hawari, 2007). b. Gejala negatif skizofrenia : 1) Alam perasaan tumpul dan mendatar. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi. 2) Menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun. 3) Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam. 4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial. 5) Sulit dalam berfikir abstrak. 6) Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif dan serba malas. (Hawari, 2007). Adapun jalur dopaminergik saraf yang terdiri dari beberapa jalur, yaitu : 1. Jalur nigrostriatal: dari substantia nigra ke basal ganglia fungsi gerakan, EPS 2. Jalur mesolimbik : dari tegmental area menuju ke sistem limbik memori, sikap, kesadaran, proses stimulus 3. Jalur mesocortical : dari tegmental area menuju ke frontal cortex kognisi, fungsi sosial, komunikasi, respons terhadap stress

4. Jalur tuberoinfendibular: dari hipotalamus ke kelenjar pituitary pelepasan prolaktin. (Ikawati, 2009)

Dalam anatomi manusia, sistem ekstrapiramidal adalah jaringan saraf yang terletak di otak yang merupakan bagian dari sistem motor yang terlibat dalam koordinasi gerakan. Sistem ini disebut "ekstrapiramidal" untuk membedakannya dari saluran dari korteks motor yang mencapai target mereka dengan melakukan perjalanan melalui "piramida" dari medula. Para piramidal jalur (kortikospinalis dan beberapa saluran corticobulbar) langsung dapat innervate motor neuron dari sumsum tulang belakang atau batang otak (sel tanduk anterior atau inti saraf kranial tertentu), sedangkan ekstrapiramidal sistem pusat sekitar modulasi dan peraturan (tidak langsung kontrol) sel tanduk anterior (Ikawati, 2009). Saluran ekstrapiramidal yang terutama ditemukan dalam formasi reticular pons dan medula, dan neuron sasaran di sumsum tulang belakang yang terlibat dalam refleks, penggerak, gerakan kompleks, dan kontrol postural. Ini adalah saluran pada gilirannya dimodulasi oleh berbagai bagian dari sistem saraf pusat, termasuk jalur nigrostriatal, ganglia basal, otak kecil, inti vestibular, dan daerah sensorik yang berbeda dari korteks serebral. Semua komponen tersebut dapat dianggap sebagai bagian dari sistem ekstrapiramidal, karena mereka memodulasi aktivitas motorik tanpa langsung menginervasi neuron motor (Ikawati, 2009).

Pemeriksaan

CT

scan

dan

MRI

pada

penderita

schizophrenia

menunjukkan atropi lobus frontalis yang menimbulkan gejala negatif dan kelainan pada hippocampus yang menyebabkan gangguan memori (Price, 2006). Skizofrenia merupakan penyakit yang mempengaruhi otak. Pada otak terjadi proses penyampaian pesan secara kimiawi (neurotransmitter) yang akan meneruskan pesan sekitar otak. Pada penderita skizofrenia, dopamin produksi tersebut

neurotransmitter-dopamin-berlebihan,

sedangkan

kadar

berperan penting pada perasaan senang dan pengalaman mood yang berbeda. Bila kadar dopamin tidak seimbang, berlebihan atau kurang, penderita dapat mengalami gejala positif dan negatif seperti yang disebutkan di atas. Penyebab ketidakseimbangan dopamin ini masih belum diketahui atau dimengerti sepenuhnya. Pada kenyataannya, awal terjadinya skizofrenia kemungkinan disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya skizofrenia, antara lain: sejarah keluarga, tumbuh kembang ditengah-tengah kota, penyalahgunaan obat seperti amphetamine, stres yang berlebihan, dan komplikasi kehamilan. Saat ini belum terdapat uji laboratorium dan fisik yang dapat secara pasti mendiagnosis skizofrenia. Diagnosis skizofrenia dilakukan secara klinis dengan anamnesis gejala.

Tipe-tipe Schizoprenia a. Skizofrenia Tipe Paranoid Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah adanya waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan efek yang relatif masih terjaga. Wahamnya biasanya adalah waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain misalnya waham kecemburuan, keagamaan mungkin juga muncul (Setiadi, 2006). Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe paranoid : 1) Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau sering mengalami halusinasi auditorik. 2) Tidak ada ciri berikut yang mencolok : bicara kacau, motorik kacau atau katatonik, efek yang tak sesuai atau datar. b. Skizofrenia Tipe Disorganized Ciri utama disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak berkaitan dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku misalnya : kurangnya orientasi pada tujuan dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup seharihari (Setiadi , 2006). Kriteria diagnostik skizofrenia tipe disorganized: 1) Gejala ini cukup menonjol : Pembicaraan kacau, tingkah laku kacau. 2) Tidak memenuhi untuk tipe katatonik. c. Skizofrenia Tipe Katatonik Ciri utama pada skizofrenia tipe katatonik adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidak-bergerakan motorik, aktivitas motor yang berlebihan, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi, gerakangerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain atau mengikuti tingkah laku orang lain (Setiadi , 2006). Kriteria diagnostik skizofrenia tipe katatonik : 1) Aktivitas motor yang berlebihan.

2) Negativisme yang ekstrim (tanpa motivasi yang jelas, bersikap sangat menolak pada segala instruksi atau mempertahankan postur yang kaku untuk menolak dipindahkan) atau sama sekali diam. 3) Gerakan-gerakan yang khas dan tidak terkendali. 4) Menirukan kata-kata orang lain atau menirukan tingkah laku orang lain. (Setiadi , 2006). d. Skizofrenia tipe undifferentiated Skizofrenia jenis ini gejalanya sulit untuk digolongkan pada tipe skizofrenia tertentu (Setiadi , 2006). e. Skizofrenia tipe residual Diagnosa skizofrenia tipe residual diberikan bilamana pernah ada paling tidak satu kali episode skizofrenia, tetapi gambaran klinis saat ini tanpa simtom positif yang menonjol. Terdapat bukti bahwa gangguan masih ada sebagaimana ditandai oleh adanya negatif simtom atau simtom positif yang lebih halus. Kriteria diagnostik untuk skizofrenia tipe residual : 1) Tidak ada yang menonjol dalam hal delusi, halusinasi, pembicaraan kacau, tingkah laku kacau atau tingkah laku katatonik. 2) Terdapat bukti keberlanjutan gangguan ini, sebagaimana ditandai oleh adanya simtom-simtom negatif atau dua atau lebih simtom yang erdaftar di kriteria A untuk skizofrenia, dalam bentuk yang lebih ringan. (Setiadi, 2006)

Seringkali pasien yang jelas skizophrenia tidak dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut ke dalam tipe tak terinci atau tak terperinci, seperti yang dialami oleh pasien dalam kasus ini. Kriteria diagnostik menurut PPDGJ III yaitu (Maslim, 2003): Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.

Pemilihan antipsikotik (AP) sebaiknya mempertimbangkan tanda-tanda klinis dari penderita profil khasiat dan efek samping dari obat-obatan yang akan digunakan. Tiap-tiap dapat di lewati tergantung pada gambaran klinis atau riwayat kegagalan pemberian antipsikotik. 2. Guideline Terapi ALGORITMA

(Dipiro et. al., 2005)

C. PAPARAN KASUS 1. Kasus Nama Usia MRS KRS Keluhan : Tn. X : 23 tahun : 3-4-2009 : 28-7-2009 : Dibawa ke rumah sakit oleh keluarga karena mengamuk dan merusak barang. Riwayat Penyakit : 1. 7 bulan yang lalu mengalami perubahan tingkah laku, mudah lupa, diam, tremor, bingung, sulit tidur, rigiditas kurang, tidak mau berkomunikasi,

menangis tanpa sebab. 2. 1 bulan terakhir mengamuk, memukul, merusak barang, bingung. 3. Pernah diopname selama beberapa hari dan setelah pulang opname tidak pernah control dan tidak pernah minum obat lagi.

2. Dokumen Farmasi Pasien a. DATA KLINIK 1. Pemeriksaan psikiatrik Keadaan umum Kesadaran Orientasi Sikap dan tingkah laku Roman muka Afektif Proses Pikir : Rigiditas < hubungan jiwa sulit : Sedang : Sedang : Tidak kooperatif, mutisme : Sedikit mimik : Tumpul : - bentuk pikir : autistik

- progresi pikir kualitatif : - kuantitatif - isi pikir Daya ingat : Berkurang : mutisme : sedang

Persepsi Halusinasi Ilusi Hubungan Jiwa Perhatian Insight

:::: Sukar : Sulit untuk memperhatikan : Jelek

2. Diagnosa Multiaksial Axis I Axis II Axis III Axis IV Axis V : F. 20. 3 disertai F. 20.2 : Introvert : Tidak ada diagnose : Tidak jelas : Jelek

Hubungan Data Klinik Dengan Diagnosa 1. Dari keluhan dan riwayat penyakit pasien, pasien mengalami gangguan kejiwaan selama lebih dari 6 bulan yang disebut scizophrenia, yang ditandai dengan gejala waham, halusinasi, pembicaraan kacau, perilaku kacau atau keadaan yang menonjol atau gejala negatif. 2. Keluhan Pasien Termasuk gejala positif merusak barang. Termasuk gejala negatif kooperatif Termasuk gejala kognitif memperhatikan Sikap agresif : merusak barang : daya ingat berkurang, sulit untuk : rigiditas, mutisme, anhedonia, tidak : perilaku kacau, mengamuk,

3. Dari gejala yang timbul, pasien berada pada fase aktif, dengan tanda : Gejala psikosis (perilaku kacau) Gejala positif Gejala negatif : menonjol : menonjol : ada

4. Diagnosa multiaksial Axis I perhatian. Pada kasus ini nilai axis I pasien adalah F. 20. 3 disertai F. 20. 2, berarti F. 20 F. 29 menunjukkan schizophrenia, schizotipal, dan gangguan waham. F. 20. 2 dan F. 20. 3 menunjukkan pasien didiagnosa schizophrenia katatonik dan tak terinci. Schizophrenia katatonik memiliki tanda-tanda seperti, hampir tidak bergerak, menunjukkan kegelisahan, gerakan yang tidak ada tujuannya. Axis II : menggambarkan gangguan kepribadian. : menggambarkan gangguan klinis dan focus

Pasien menunjukkan introvert (menutup diri) jika diberikan skor pada axis II skor introvert adalah F. 60. 2 menunjukkan gangguan kepribadian disosial. Axis III : menunjukkan kondisi medis umum.

Pasien tidak memiliki diagnose pada axis ini, artinya pasien tidak memiliki diagnosa penyakit parasit, infeksi, neoplasma, endokrin, atau kondisi medik lain. Axis IV lingkungan Diagnosa axial IV pasien tidak jelas artinya pasien tidak menunjukkan adanya masalah pekerjaan, perumahan, akses dengan pelayanan kesehatan. Hasil diagnose axis IV berkaitan dengan kemampuan pasien berkomunikasi dan menangkap informasi. Hasil tidak jelas dapat terjadi karena perhatian dan daya ingat pasien menurun. Axis V : menggambarkan penilaian fungsi secara umum : menggambarkan masalah psikososial dan

Hasil axis IV pada pasien menunjukkan fisik pasien jelek, artinya disabilitas dalam beberapa fungsi tubuh, dan gejala berat lainnya.

b. DATA LABORATORIUM Tidak ada data laboratorium yang spesifik yang berhubungan dengan diagnose dan data laboratorium yang ada menunjukkan nilai normal.

D. PEMBAHASAN ASSESMENT DAN PLAN No. 1. 2. 3. 4. 5. Paparan Problem Terapi Tanpa Indikasi Indikasi Tanpa Terapi Low Dose High Dose Interaksi Obat a. Obat makanan b. Obat minuman c. Obat herbal d. Obat obat 6. 7. Gagal Menerima Obat Efek yang Tidak Paparan Rekomendasi -

Diharapkan 8. Pemberian Tepat Obat Tidak -

TUJUAN TERAPI 1. Mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi 2. Mengurangi resiko kekambuhan dan meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat

TERAPI FARMAKOLOGI Terapi dari dokter Obat Dosis

3/5

4/5

4/5 2/6

3/6

4/6 27/7

28/7

Persidal 2 mg PO THP 2 mg PO

2x1 (1-0-1) 2x1 (1-0-1)

CPZ 100 mg PO Modecate inj IM

(1/2-0-1/2) 1x1 bulan

Terapi yang direkomendasikan Obat Dosis 3/5

4/5

4/5 2/6

3/6

4/6 27/7

28/7

Persidal 2 mg PO THP 2 mg PO CPZ 100 mg PO Modecate inj IM

2x1 (1-0-1) 2x1 (1-0-1) (1/2-0-1/2) 1x1 bulan

Obat-obat yang direkomendasikan antara lain : 1. Persidal Kandungan Indikasi : Risperidon 2 mg/kaplet : Skizofrenia akut dan kronik serta keaadaan psikotik

lainnya dengan gejala positif dan/ atau gejala negatif terlihat nyata Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap risperidon atau komponenkomponen lain sediaan Efek Samping : Frekuensi>10% : SSP : insomnia, agitasi, cemas, sakit kepala, gejala ekstra piramidal,

pusing (injeksi) Saluran cerna : berat badan naik Pernapasan : rhinitis (injeksi) Frekuensi 1-10% : KV : hipotensi, terutama ortostatik, takikardia

SSP : sedasi, pusing, gelisah, reaksi distoni, pseudoparkinson, diskinesia tardif, sindroma neurolepsi malignan, perubahan pengaturan suhu tubuh, nervous, lelah, somnolen, halusinasi. Dermatologi : fotosensitivitas, rash, kulit kering, seborea, akne. Endokrin-metabolisme : amenore, galaktorea, ginekomastia, disfungsi seks. Saluran cerna : konstipasi, xerostomia, dispepsia, muntah, nyeri abdominal, mual, anoreksia, diare, perubahan berat badan. Genitourinari : poliuria, otot-saraf: mialgia Mata : penglihatan abnormal Pernafasan : rinitis Frekuensi <1% ( hanya yang berbahaya) diabetes, hiperglikemia, stroke, transient ischemic attack (TIA), reaksi anafilaksis. Interaksi Obat : Efek risperidon dapat ditingkatkan oleh korpromazin, delavirdin, fluoksetin, mikonazol, paroksetin, pergolid, kuinidin, kuinin, ritonavir, ropinirol dan inhibitor CYP2D6 lainnya. Risperidon

meningkatkan efek hipotensif antihipertensi. Klozapin menurunkan bersihan risperidon. Kombinasi dengan metoklopramid akan dapat meningkatkan resiko gejala ekstrapiramidal. Efek levodopa dapat diantagonis oleh risperidon, Karbamasepin menurunkan konsentrasi serum risperidon. Dosis :

Dewasa: Pasien harus dititrasi mencapai 3 mg 2 kali sehari bertahap selama 3 hari. Semua pasien apakah akut atau kronik harus mulai dengan 1 mg 2xsehari, dosis harus ditingkatkan pada hari kedua menjadi 2 mg 2xsehari, pada hari ketiga menjadi 3 mg 2xsehari; selanjutnya dosis dapat dipertahankan atau disesuaikan dengan kondisi pasien; dosis optimum adalah 2-4 mg 2xsehari (LacyCF, 2005).

2. THP (Trihexyphenidyl) Sediaan : Tablet 2 mg

Indikasi

: Gangguan ekstrapiramidal yang disebabkan oleh obatobatan SSP dan Parkinson.

Kontraindikasi : Hipersensitifas terhadap triheksifenidil atau komponen lain dalam sediaan, glaukoma sudut tertutup, obstrusksi duodenal atau pyloric, peptik ulcer, obstruksi saluran urin, achalasia; myastenia gravis.

Dosis

: Parkinson idiopatik : Dosis awal 1 mg (hari pertama), kemudian ditingkatkan menjadi 2 mg, 2-3 x sehari selama 3-5 hari atau sampai tercapai dosis terapi;

Pasca ensefalitis: 12-15 mg/hari Parkinson karena obat (gangguan ekstrapiramidal): Dosis harian total 5-15mg/hr, pada awal terapi dianjurkan 1 mg/dosis. Pasien > 65 thn perlu dosis lebih kecil.

Efek samping : Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, cemas, konstipasi, retensi urin, takikardi, dilatasi pupil, TIO meningkat, sakit kepala.

Triheksifenidil adalah antikolinergik yang mempunyai efek sentral lebih kuat daripada perifer, sehingga banyak digunakan untuk terapi penyakit parkinson. Senyawa ini bekerja dengan menghambat pelepasan asetil kolin endogen dan eksogen. Efek sentral terhadap susunan saraf pusat akan merangsang pada dosis rendah dan mendepresi pada dosis toksik. ( Anonim, 2012 ).

3. CPZ ( Chlorpromazine ) Indikasi : Skizofrenia dan kondisi yang berhubungan dengan

psikosis, trankuilisasi dan kontrol darurat untuk gangguan perilaku, terapi tambahan untuk gangguan perilaku karena retardasi mental. Kontraindikasi : Penekanan sumsum tulang, gangguan hati atau ginjal berat, sindrom Reye, koma karena barbiturate atau alkohol, anak < 6 tahun.

Dosis

: Dewasa = 10-25 mg tiap 4-6 jam Psikosis = 200-800 mg/hari Anak = 0,5 mg/kgBB tiap 4-6 jam

Efek samping : Ikterus, hipotensi postural & depresi pernafasan, diskrasia darah, distonia akut, diskinesia tardive, gangguan penglihatan, reaksi ekstrapiramidal (dosis tinggi).

Interaksi obat : Alkohol, depresan SSP, guanetidin, antikolinergik, propranolol.

Perhatian

: Penyakit karodiovaskular, feokromositoma & kondisi lain

dimana terjadi penurunan tekanan darah secara mendadak, takikardia atau insufisiensi jantung, disfungsi hati, riwayat icterus atau parkinsonisme, epilepsi, hipotiroidisme, miastenia grafis, hipertrofi prostat, glaucoma. Lansia, hamil & laktasi ( Anonim, 2012 ).

4. Modecate injeksi IM Kandungan Indikasi : Flufenazin dekanoat : Gangguan psikotik, skizofrenia kronis, terapi

pemeliharaan jangka panjang skizofrenia kronis. Dosis : pada psikosis akut i.m. 1,25 mg (HCl), lalu setiap 4-8 jam

2-5 mg sampai gejala terkendali, pemeliharaan 25 mg enantat setiap 2 minggu, atau 25 mg (1ml) dekanoat setiap 3-4 minggu Kontraindikasi : Pasien Parkinson, pasien yang menerima dosis besar hipnotik senyawa fenotiazin tidak diberikan, depresi berat, kerusakan hati, hipersensitivitas pada fenotiazin, kehamilan dan menyusui, anak-anak, pasien terkena insektisida organofosfat. Efek samping : SSP : reaksi ekstrapiramidal termasuk pseudoparkinsonisme, distonia, diskinesia, akatisia, hiperefleksia. Metabolik dan endokrin : perubahan berat badan, edema perifer, hiponatremia, ginekomastia, meningkatkan libido wanita.

Reaksi alerg : kelainan kulit seperti gatal-gatal, eritema, urtikuria, fotosensitivitas, dermatitis. Interaksi obat : Antidepresan trisiklik : modecate merusak metabolisme

antidepresan trisiklik. ACE-I/Thiazid Diuretik : hipotensi dapat melalui aditif atau aktivitas farmakologi sinergis. Beta Blockers : Plasma kedua obat dapat meningkat. Levodopa : Modecate dapat merusak efek anti-Parkinson-L-Dopa. Antikolinergik : efek antikolinergik yang berlebihan. Simetidin : dapat mengurangi konsentrasi plasma modecate. Antikoagulan : modecate dapat mengubah efek antikoagulan. Antidiabetik : hilangnya kontrol glukosa darah pada pasien diabetes (Anonim, 2005).

TERAPI NON FARMAKOLOGI 1. Program rehabilitasi yang berorientasi pada perkembangan fungsional adaptif pasien. Terapi ini penting diberikan pada pasien skizoprenia agar keadaan psikologis dan sosial pasien dapat membaik, bahkan diharapkan dapat kembali normal, misalnya living skill, social skill, basic education, work program, supported housing. 2. Terapi prilaku kognitif. Terapi ini diberikan sama pentingnya dengan terapi rehabilitasi psikososial agar kemampuan kognitif pasien membaik atau meningkat. 3. Terapi psikoreligius dengan kegiatan kegiatan keagamaan seperti sembahyang, berdoa, dll. 4. Terapi psikososial dengan memperbaiki hubungan dengan keluarga dan lingkungan. 5. Terapi fisik berupa olahraga (Crismon et al., 2008).

MONITORING 1. Monitoring perkembangan kondisi pasien. 2. Monitoring efek samping obat. 3. Monitoring interaksi obat. 4. Monitoring kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat

KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) 1. Sarankan untuk menjalin hubungan yang baik dengan keluarga dan lingkungan sekitar. 2. Sarankan untuk banyak berinteraksi dengan orang lain. 3. Sarankan untuk menjalani terapi psikoedukatif, terapi psikososial, dan terapi psikoreligius. 4. Sarankan untuk olahraga secara teratur. 5. Sarankan untuk melakukan berbagai kegiatan seperti kursus atau les, dan lain lain. 6. Edukasi kepada keluarga pasien agar lebih memperhatikan pasien.

E. JAWABAN PERTANYAAN 1) Yessy Khoiriyani Apakah penggunaan obatnya aman selama pasien dirawat di rumah sakit, kan dalam waktu yang lama (3 bulan) menimbulkan toksik apa tidak? 2) Bu Hanif Diagnosis sewaktu pasien dipulangkan, diketahui terdapat tremor (+), menurut kalian pengatasan tremornya bagaimana? 3) Glorya S. Perlu penggunaan obat penenang tidak dalam kasus kalian seperti diazepam dan lain-lain? JAWABAN 1. Yessy Khoiriyani Penggunaan obatnya aman, tidak menimbulkan toksik walau dipakai dalam waktu yang lama, dibuktikan dengan progresivitas pasien yang membaik selama dirawat di rumah sakit, dan berdasarkan diagnosa ketika pasien

diperbolehkan pulang menunjukkan pasien sudah bisa kooperatif, serta tetap diberikan obatnya untuk terapi pemeliharaan. 2. Bu Hanif Pengobatan tremor dalam kasus skizofrenia biasanya menggunakan obat antikolinergik seperti benztropin dll. Tetapi dalam kasus ini tidak disebutkan apakah tremornya merupakan efek samping dari obat atau tidak, karena pada data klinik sebelumnya tidak disebutkan adanya tremor pada pasien sehingga kami tidak memberikan obat lagi, disamping itu dalam terapi yang direkomendasikan sudah terdapat obat antikolinergik yaitu THP yang berfungsi untuk mengatasi efek samping dari obat seperti ekstrapiramidal effect. 3. Glorya Bisa diberikan obat penenang untuk mengatasi agar pasien tidak mengalami stres dan mengamuk.

F. KESIMPULAN 1. Pasien pada kasus ini mengalami skizofrenia tipe katatonik yaitu pasien menunjukkan gerakan yang tidak ada tujuannya (mengamuk), gelisah berlebih, kemudian dalam data klinik pasien juga mengalami mutisme (diam). 2. Terapi farmakologi yang disarankan yaitu Persidal 2 mg PO, THP (Trihexyphenidyl) 2 mg PO, CPZ (Chlorpromazine) 100 mg PO, dan Modecate inj IM. Sedangkan terapi nonfarmakologinya yaitu Program rehabilitasi yang berorientasi pada perkembangan fungsional adaptif pasien agar keadaan psikologis dan sosial pasien dapat membaik, bahkan diharapkan dapat kembali normal, misalnya living skill, social skill, basic education, work program, supported housing, kemudian terapi perilaku kognitif agar kemampuan kognitif pasien membaik atau meningkat, dan terapi psikoreligius dengan kegiatan kegiatan keagamaan seperti sembahyang, berdoa, dll, terapi psikososial dengan memperbaiki hubungan dengan keluarga dan lingkungan, serta terapi fisik berupa olahraga.

3. Monitoring yang dilakukan yaitu monitoring perkembangan kondisi pasien, monitoring efek samping obat, monitoring interaksi obat, dan monitoring kepatuhan pasien terhadap penggunaan obat.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2005, Modecate Injection, http://home.intekom.com/pharm/bmsquib/ modecate.html, Pharmaceutical industry, South Africa. Anonim, 2012, MIMS edisi 11, ISFI, Jakarta. Anonim, 2012, Trihexylphenydil, http://publichealthnote.blogspot.com/2012/03/ triheksifenidil-trihexyphenidyl-thp.html diakses tanggal 1 Juni 2013. LacyCF. Et.al, 2005, Drug Information Handbook international, Lexicomp. Crismon ML, Argo TR, Buckley PF. 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Seventh edition. New York: Mc Graw Hill Company. Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yees, G. C., Matake, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M., 2005, Pharmacotherapy A Pathophysiology Approach Sixth Edition, New York : McGraw-Hill, Medical Publishing Division. Hawari D, 2007, Pendekatan Holistic Pada Gangguan Jiwa: Skizofrenia, FK-UI, Jakarta. Ikawati, Zullies, 2009, Zullies Ikawatis Lecture Notes: Skizophrenia, UGM, Yogyakarta. Maslim R, 2003, Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. Mansjoer dkk, 1999, Kapita Selekta Kedoktera,. Edisi 3. Jakarta: FK UI. Maramis WF, 2004, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya: Airlangga University Press. Price W, 2006, Patofisiologi, Jakarta: EGC. Setiadi AI. 2006. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluraga Pasien. Jakarta: Revika Aditiya. Sinaga J, 2007, Hubungan Faktor Penyalahgunaan NAPZA dengan Pemakaian NAPZA pada Remaja Putra di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan, Skripsi, Tidak dipublikasikan, Medan: PSIK FK USU. Stuart, Sundeen, 2002, Buku Saku Keperawatan, Edisi 3, Jakarta: EGC. III,

Anda mungkin juga menyukai