Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Halusinasi

1. Pengertian Halusinasi

Halusinasi adalah kesalahan persepsi yang berasal dari lima panca

indra yaitu pendengaran, penglihatan, peraba, pengecap, penghidu (Stuart &

Laraia, 2005). Sementara itu Keliat (2006) mengatakan halusinasi adalah

ketidakmampuan klien menilai dan merespon pada realitas tidak dapat

membedakan respon rangsangan internal dan eksternal, tidak dapat

membedakan lamunan dan kenyataan, klien tidak mampu memberi respon

secara akurat sehingga tampak berlaku yang sukar dimengerti dan

menakutkan. Sedangkan menurut NANDA (2005) juga menyatakan bahwa

halusinasi merupakan perubahan dalam jumlah dan pola stimulus yang

diterima disertai dengan penurunan berlebih distorsi atau kerusakan respon

beberapa stimulus.Jadi dapat disimpulkan bahwa halusinasi adalah dimana

seseorang mempersiapkan sesuatu tanpa adanya stimulus atau rangsangan

dari luar.

2. Proses Terjadinya Halusinasi

Halusinasi mayoritas ditemukan pada klien skizofrenia. Proses

terjadinya halusinasi pada klien skizofrenia dapat dijelaskan berdasarkan

model adaptasi model Stuart dan Laraia (2005) yaitu faktor predisposisi,

faktor presipitasi, sumber koping dan juga mekanisme koping.

10
11

a. Faktor Predisposisi

Menurut Stuart dan Laraia (2005) faktor predisposisi yang dapat

menyebabkan terjadinya halusinasi pada klien halusinasi meliputi faktor

biologis, psikologi dan juga sosial kultural.

1) Biologis

Menurut Videbeck (2008) faktor biologis yang menyebabkan

terjadinya skizofrenia adalah faktor genetik, neuro anatomi, neuro

kimia serta imunovirologi.

a) Genetik

Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang

mempredisposisikan individu mengalami skizofrenia (Copel,

2007). Sedangkan Buchanan dan Carpenter (2000) dalam Stuart

dan Laraia (2005) menyebutkan bahwa kromosom yang berperan

dalam menurunkan skizofrenia adalah kromosom 6. Sedangkan

kromosom lain yang berperan adalah kromosom 4, 8, 15 dan 22.

b) Neuro anatomi

Perubahan neuro anatomis neurokimia yang abnormal pada otak

juga akan mempengaruhi fungsi otak serta meningkatkan kepekaan

individu terhadap stressor lingkungan dan stressor personal. Copel

(2007) menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan Magnetic

Resonance Imaging (MRI), Computed Tomography (CT) dan

Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan bahwa

individu skizofrenia ditemukan jaringan otak yang relatif lebih


12

sedikit. Dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya kegagalan

perkembangan atau kehilangan jaringan pada klien skizofrenia.

c) Neuro kimia

Beberapa referensi menunjukkan bahwa neuro transmiter yang

berperan menyebabkan skizofrenia adalah dopamin dan serotonin.

Dan kedua neuro transmitter ini dapat ditemukan di sistem

limbik.Shives (2005) menyebutkan bahwa neuro transnmiter

dopamin di sistem limbik berfungsi dalam pengontrolan pergerakan

yang kompleks, motivasi, kognisi dan pengaturan respon

emosional. Sedangkan serotonin berperan dalam pengaturan emosi,

aktivitas, keagresifan dan iritabilitas, nyeri, bioritme, dan proses

neuro endokrin. Adanya overload neuro transmitter dopamin dan

serotonin mengakibatkan kerusakan komunikasi antar sel otak,

sehingga jalur penerima dan pengiriman informasi di otak

terganggu. Keadaan inilah yang mengakibatkan informasi tidak

dapat diproses sehingga terjadi kerusakan dalam persepsi yang

berkembang menjadi halusinasi dan keselahan dalam membuat

kesimpulan yang berkembang menjadi delusi.

d) Imuno virologi

Berdasarkan Shives (2005) faktor imuno virologi dapat

mempengaruhi terjadinya skizofrenia. Beberapa faktor imuno

virologi yang berpengaruh terhadap terjadinya skizofrenia adalah

infeksi virus, trauma, respon imun, gizi buruk, riwayat hipoksia

pada saat lahir atau pada masa janin, riwayat injuri pada saat
13

kehamilan, defisiensi vitamin BI, B6, B12 dan C, riwayat konsumsi

tembakau dan obat-obatan.

2) Faktor Psikologis

Berdasarkan Stuart dan Laraia (2005) faktor psikologis yang dapat

mempengaruhi adalah tingkat inteligensi, kemampuan verbal, moral,

kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri dan motivasi.

Sedangkan Towsend (2005) menyebutkan bahwa faktor psikologis

seperti pertahanan ego yang lemah pada individu, yang

mengakibatkan penggunaan mekanisme pertahanan ego pada waktu

ansietas yang ekstrem menjadi suatu yang maladaptif. Faktor

psikologis ini dapat menjadi predisposisi maupun presipitasi

terjadinya halusinasi pada klien.

3) Faktor Sosial Budaya

Berdasarkan Towsend (2005) faktor sosial kultural meliputi disfungsi

dalam keluarga, konflik keluarga, komunikasi double bind serta

ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangan.

Hal ini didukung juga oleh Seaward (1997) dalam videback (2008)

menyebutkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh faktor interpersonal

yang meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang

berlebihan atau menarik diri dari hubungan dan kehilangan kontrol

emosional. Pernyataan ini menunjukkan bahwa faktor sosial budaya

seperti pengalaman sosial dapat menjadi faktor penyebab terjadinya

skizofrenia.
14

b. Faktor Presipitasi

Pada kondisi normal, otak mempunyai peran penting dalam meregulasi

sejumlah informasi.Informasi normal diproses melalui aktivitas neuron.

Stimulus visual dan auditory dideteksi dan disaring oleh thalamus dan

dikirim untuk diproses dilobus frontal. Berdasarkan Stuart dan Laraia

(2005) faktor pencetus dari kondisi kesehatan individu yang dapat

menyebabkan terjadinya skizofrenia adalah asupan nutrisi yang kurang,

kurang istirahat, kelehan, infeksi dan lainnya. Sedangkan faktor

lingkungan yang menjadi faktor pencetus adalah lingkungan yang

bermusuhan, perumahan yang tidak memuaskan, kehilangan kebebasan

dan adanya tekanan, perubahan dalam kejadian kehidupan, permasalahan

dalam hubungan interpersonal, kurangnya dukungan sosial, isolasi sosial,

stigma, kemiskinan dan masalah dalam pekerjaan. Selain itu faktor sikap

dan perilaku yang juga dapat menjadi faktor pencetus terjadinya

skizofrenia adalah kurangnya kemampuan individu dalam berhubungan

sosial, perilaku yang agresif, kehilangan motivasi, harga diri yang rendah

serta kurangnya kepercayaan diri pada individu itu sendiri.

c. Sumber Koping

Berdasarkan Stuart dan Laraia (2005) sumber koping merupakan hal

yang penting dalam membantu klien dalam mengatasi stressor yang

dihadapinya. Sumber koping tersebut meliputi: aset ekonomi, dukungan

sosial, nilai dan kemampuan individu mengatasi masalah. Apabila

individu mempunyai sumber koping yang adekuat maka ia akan mampu

beradaptasi dan mengatasi stressor yang ada.


15

d. Mekanisme Koping

Menurut Fitria (2009) mekanisme koping merupakan tiap upaya yang

diarahkan pada pengendalian stres, termasuk upaya penyelesaian masalah

secara langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan untuk

melindungi diri.

1) Regresi berhubungan dengan masalah proses inflamasi dan upaya

untuk menanggulangi ansietas, hanya sedikit energi yang tertinggal

untuk aktifitas hidup sehari-hari.

2) Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan keracunan persepsi.

3) Menarik diri.

3. Tanda dan Gejala Halusinasi

Penilaian terhadap stressor merupakan penilaian individu ketika

menghadapi stressor yang datang. Menurut Stuart dan Sundeen (2006)

penilaian terhadap stressor atau yang sering disebut juga dengan tanda dan

gejala halusinasi meliputi 5 respon yaitu:

a. Respon fisiologis

1) Sistem Kardiovaskuler meliputi: Palpitasi, jantung berdebar-debar,

meningkatnya tekanan darah, rasa mau pingsan, tekanan darah

menurun, nadi menurun.

2) Sistem Pernafasan meliputi: Nafas cepat, sesak nafas, nafas dangkal,

rasa tertekan pada dada, perasaan tercekik, terengah-engah,

pembengkakan pada tenggorokan.


16

3) Sistem Gastrointestinal meliputi: Kehilangan nafsu makan, menolak

makan, rasa tidak nyaman, pada abdomen, mual, rasa terbakar pada

jantung, diare.

4) Sistem Neuromuskuler meliputi: Reflek meningkat, reaksi terkejut,

mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, mondar-

mandir, wajah tegang, kelemahan umum, tungkai lemah.

5) Sistem Urinary meliputi: Tidak dapat menahan kencing, sering

berkemih.

6) Sistem Integumen meliputi: Wajah kemerahan, berkeringat setempat

(telapak tangan), gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat,

berkeringat seluruh tubuh.

b. Respon Perilaku

Kelelahan, ketegangan fisik, tremor, koordinasi kurang, dan sering terjadi

kecelakaan.

c. Respon Kognitif

Gangguan perhatian, konsentrasi kurang, pelupa, salah dalam

memberikan penilaian, penurunan produktifitas, bingung, penurunan

kreatifitas, sangat waspada, kesadaran diri, takut kehilangan kendali,

takut cedera atau kematian, mimpi buruk.

d. Respon Afektif

Gelisah, tegang, mudah terganggu, tidak sabar, ketakutan, kecemasan,

rasa bersalah dan gugup.

e. Respon Sosial
17

Takut dengan penilaian orang lain, takut diejek, takut tidak diterima oleh

teman-temannya.

4. Rentang Respon Neurobiologis

Menurut Stuart dan Laraia (2005) rentang respon neurobiologis pada

klien halusinasi itu terbagi menjadi 3 yaitu: respon adaptif, respon

psikososial dan respon maladaptif, ketiga respon tersebut akan dijelaskan

pada skema 2.1 dibawah ini.

Respon adaptif Respon psikososial Respon Maladaptif

- Pikiran logis - Pikiran kadang - Gangguan proses


- Persepsi akurat menyimpang pikir/delusi/waham
- Emosi konsisten - Ilusi - Ketidakmampuan
Dengan pengalaman - Reaksi emosional untuk mengalami
- Perilaku sesuai berlebihan/kurang emosi
- Hubungan sosial - Perilaku ganjil - Ketidakteraturan
- Menarik diri - Isolasi sosial
Keterangan gambar:

a. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma

sosial budaya yang berlaku dengan kata lain individu tersebut dalam

batas normal jika menghadapi suatu akan dapat memecahkan masalah

tersebut.

1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.

2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.

3) Emosi konsisten merupakan manifestasi perasaan yang konsisten atau

efek keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya

berlangsung tidak lama.

4) Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas

yang wajar.
18

5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan

lingkungan.

b. Respon psikososial adalah respon respon diantara respon adaptif dan

respon maladaptif yang meliputi:

1) Proses pikir terganggu proses pikir yang menimbulkan gangguan.

2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang yang

benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indra.

3) Emosi berlebihan atau berkurang.

4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas

untuk menghindari interaksi dengan orang lain.

5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan

orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain.

c. Respon maladaptif adalah respon indikasi dalam menyelesaikan masalah

yang menyimpang dari norma-norma sosial, budaya dan lingkungan,

adapun respon maladaptif ini meliputi:

1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan

walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan

kenyataan sosial.

2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi

eksternal yang tidak realita atau tidak ada.

3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari

hati.

4) Perilaku tak terorganisi merupakan perilaku yang tidak teratur.


19

5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu

dan diterima sebagai ketentuan orang laindan sebagai suatu

kecelakaan negatif yang mengancam.

5. Fase Halusinasi

Menurut stuart& Laraia (2005) fase halusinasi terdiri dari 5 fase,

kelima fase tersebut akan di jelaskan dibawah ini:

a. Fase Pertama

Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan. Pada

tahap ini masuk dalam golongan non psikotik. Klien mengalami stress,

cemas, perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak,

dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-

hal yang menyenangkan, cara ini hanya menolong sementara. Perilaku

klien yaitu tersenyum atau tertawa yang tidak disukai, menggerakan bibir

tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika

sedang asyik dengan halusinasinya, dan suka menyendiri.

b. Fase Kedua

Disebut dengan fase condemming atau ansietas berat yaitu halusinasi

menjadi menjijikan. Termasuk dalam psikotik ringan. Karakteristik dari

fase ini yaitu pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan,

kecemasan meningkat, melamun dan berfikir sendiri jadi dominan.Mulai

dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu,

dan ia tetap dapat mengontrolnya. Perilaku klien yaitu meningkatkan

tanda-tanda system syaraf otonom seperti peningkatan denyut jantung


20

dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya dan tidak bisa

membedakan realitas.

c. Fase Ketiga

Adalah fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori

menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik, karakteristik dari

fase ini yaitu bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai

dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap

halusinasinya. Perilaku klien yaitu kemauannya dikendalikan halusinasi,

rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik

berupa klien berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi perintah.

d. Fase Keempat

Adalah fase conquering atau panik yaitu klien lebur dengan

halusinasinya. Termasuk dalam psikotik berat. Karakeristik pada fase ini

yaitu halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah dan

memarah klien, klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol dan

tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain dilingkungan.

Perilaku klien yaitu menjadi perilaku teror akibat panik, potensial bunuh

diri, perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak

mampu merespon terhadap perintah komplek, dan tidak mampu

merespon lebih dari satu orang

6. Jenis-Jenis Halusinasi

Menurut Copel (2007) respon terhadap realita tidak tepat dapat terjadi

pada kelima panca indera yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman,

perabaan dan pengecapan. Kelimanya akan dijelaskan dibawah ini:


21

a. Halusinasi Pendengaran (Auditory)

Halusinasi dengar merupakan gejala mayoritas yang sering dijumpai

pada klien skizofrenia. Tien (1991) dalam Mc.Leod dkk (2006)

menyatakan bahwa halusinasi dengar merupakan masalah utama yang

paling sering dijumpai. Hal ini diperkuat oleh Stuart dan Laraia (2005)

yang mengatakan bahwa pasien skizofrenia 70% mengalami halusinasi

dengar. Pada halusinasi dengar isi halusinasinya dapat berupa

mendengarkan suara-suara atau kegaduhan, mendengarkan suara yang

mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang menyuruh

melakukan sesuatu yang berbahaya.

b. Halusinasi Penglihatan (Visual)

Sedangkan pada klien halusinasi penglihatan, isi halusinasi berupa

melihat bayangan yang sebenarnya tidak ada sama sekali, misalnya

cahaya atau orang yang telah meninggal atau mungkin sesuatu yang

bentuknya menakutkan (Cancro dan Lehman, 2000 dalam Videbeck,

2008). Isi halusinasi penglihatan klien adalah klien melihat cahaya,

bentuk geometris, kartun atau campuran antara gambaran/bayangan yang

kompleks dan bayangan tersebut dapat menyenangkan klien atau juga

sebaliknya mengerikan (Stuart dan Laraia, 2005).

c. Halusinasi Penciuman (Olfactory)

Pada halusinasi penciuman isi halusinasi dapat berupa klien mencium

aroma atau bau tertentu seperti urine atau feses atau bau yang bersifat

lebih umum atau bau busuk atau bau yang tidak sedap (Cancro dan

Lehman, 2000 dalam Videbeck, 2008)’


22

d. Halusinasi Pengecapan (Gustatory)

Sementara itu pada halusinasi pengecapan isi halusinasi berupa klien

mengecap rasa yang tetap ada dalam mulut atau perasaan bahwa

makanan terasa seperti sesuatu yang lain. Rasa tersebut dapat berupa rasa

logam atau pahit atau mungkin rasa tertentu. Ada berupa rasa busuk, tak

sedap dan anyir seperti darah urin atau feses (Stuart dan Laraia, 2005).

e. Halusinasi Perabaan (Taktil)

Isi halusinasi perabaan adalah klien merasa sensasi seperti aliran listrik

yang menjalar ke seluruh tubuh atau binatang kecil yang merayap di kulit

(Cancro dan Lehman, 2000 dalam Videbeck, 2008). Klien juga dapat

mengalami nyeri atau tidak nyaman tanpa adanya stimulus yang nyata,

seperti sensasi listrik dari bumi, benda mati ataupun dari orang lain

(Stuart dan Laraia, 2005).

7. Pohon Masalah

Keliat (2006) menyusun pohon masalah dari pengkajian diatas sebagai

berikut:

Resiko perilaku kekerasan

Gangguan persepsi sensori: halusinasi

Isolasi sosial

8. Masalah Keperawatan

Dari pohon masalah diatas maka dapat disimpulkan bahwa masalah

keperawatan yang terdapat pada klien dengan gangguan sensori persepsi

halusinasi adalah sebagai berikut:


23

a. Gangguan sensori persepsi halusinasi

b. Isolasi sosial

c. Resiko perilaku kekerasan (Yosep, 2011).

9. Penatalaksanaan Halusinasi

a. Terapi Medis

Terapi medis untuk klien halusinasi adalah pemberian obat golongan

antipsikotik. Antipsikotik yang dikenal saat ini adalah antipsikotik tipikal

dan juga antipsikotik atipikal. Antipsikotik sangat bermanfaat dalam

mengurangi gejala psikotik yang terjadi pada klien skizofrenia.

Berdasarkan Videbeck (2008) kerja utama obat-obatan antipsikotik pada

sistem syaraf adalah menyekat reseptor neuro transmitter dopamin.

Reseptor dopamin diklasifikasikan kedalam sub kategori yaitu (D1, D2,

D3, D4 dan D5) dan D2, D3 dan D4 dikaitkan dengan skizofrenia.

Antipsikotik tipikal merupakan antagonis (bloker) yang kuat terhadap

D2, D3 dan D4. Hal ini membuat obat-obatan antipsikotik tipikal efektif

dalam menangani gejala target seperti halusinasi tetapi juga

menimbulkan efek samping ekstra piramidal akibat penyekatan reseptor

D2. Sedangkan pada antipsikotik atipikal, selain mengani gejala target

seperti halusinasi, obat tersebut juga mempunyai efek bloker D2 yang

relatif rendah sehingga efek ekstra piramidal yang ditimbulkan rendah.

Selain itu antipsikotik atipikal dapat menghambat reuptake serotonin

seperti pada beberapa obat-obatan anti depresan, yang menyebabkan

antipsikotik atipikal tersebut juga efektif digunakan untuk mengatasi

gejala-gejala negatif klien skizofrenia.


24

Hal ini juga diperkuat oleh Litrell dan Litrell (1998) dalam Videbeck

(2008) yang menyebutkan bahwa antipsikotik tipikal digunakan untuk

mengatasi tanda-tanda positif skizofrenia seperti halusinasi, waham,

gangguan pikiran dan gejala positif lain, tetapi tidak memiliki efek pada

gejala negatif. Sedangkan antipsikotik atipikal tidak hanya mengurangi

gejala psikotik, tetapi juga mengurangi gejala negatif seperti tidak

mempunyai kemauan dan motivasi, menarik diri dan anhedonia. Akan

tetapi pada beberapa individu pengobatan antipsikotik tersebut tidak

mendapat efek terapi, sehingga akhirnya gejala tersebut menimbulkan

terjadinya gangguan yang lebih lanjut seperti depresi, ansietas, harga diri

rendah, isolasi sosial dan akan menambah masalah serta beban bagi

klien skizofrenia itu sendiri.

b. Terapi Keperawatan

Tindakan keperawatan yang dapat menurunkan kekambuhan klien saat

halusinasi itu datang meliputi:

1) Kelompok

Melakukan terapi aktivitas kelompok (TAK) yang dapat dilakukan

adalah terapi aktivitas kelompok persepsi yang terdiri dari 5 sesi. Sesi

pertama berfokus untuk mengenal halusinasi, sesi kedua mengontrol

halusinasi dengan menghardik, sesi ketiga mengontrol halusinasi

dengan melakukan kegiatan, sesi keempat mencegah halusinasi

dengan cara bercakap-cakap, sesi kelima mengontrol halusinasi

dengan menggunakan obat secara teratur (Keliat dan Akemat, 2012).


25

2) Individu

Melakukan asuhan keperawatan sesuai standar asuhan keperawatan

halusinasi. Penerapan standar asuhan keperawatan yang dilakukan

oleh Carolina (2008) menunjukkan bahwa dapat meningkatkan

kemampuan klien dapat mengontrol halusinasi dan juga menurunkan

tanda dan gejala halusinasi. Standar asuhan keperawatan proses

pengkajian, diagnose keperawatan, identifikasi hasil, rencana tindakan

keperawatan, implementasi dan evaluasi. Rencana tindakan

keperawatan halusinasi dilakukan pada klien melalui pertemuan yang

direncanakan empat kali pertemuan dan melalui pertemuan tersebut

diharapkan klien dapat mengenal halusinasinya dan mempraktekkan

empat cara mengontrol halusinasi yaitu menghardik bercakap-cakap

dengan orang lain, melakukan aktivitas terjadwal dan menggunakan

obat secara teratur.

Berdasarkan standar asuhan keperawatan jiwa (2008) dalam Wahyuni

(2008) tindakan generalis keperawatan yang dilakukan pada halusinasi

meliputi tindakan keperawatan untuk klien dan keluarga. Tindakan

keperawatan pada klien bertujuan agar halusinasi yang dihadapi klien

teratasi, klien dapat mengenal halusinasinya dan juga mengontrol

halusinasinya. Dan tindakan keperawatan yang dilakukan adalah

mengidentifikasi jenis halusinasi klien, mengidentifikasi isi halusinasi,

mengidentifikasi waktu halusinasi klien, mengidentifikasi frekuensi

halusinasi klien, mengidentifikasi situasi yang menimbulkan

halusinasi, mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi,


26

mengajarkan klien cara menghardik, melatih klien mengendalikan

halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain, melatih klien

mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan terjadwal dan

memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara

teratur.

Berdasarkan varcarolis (1990) dalam Trimeilia (2011) kamampuan

yang harus dimiliki klien meliputi 2 aspek yaitu kognitif,

psikomotorik. Kemampuan kognitif adalah kemampuan klien

mengenal halusinasi dan mengenal cara mengontrol halusinasi.

Sedangkan kemampuan psikomotor adalah kemampuan klien dalam

melaksanakan cara-cara mengontrol halusinasi yang diharapkan pada

klien halusinasi adalah klien mampu mendemonstrasikan cara

mengontrol halusinasi, melatih cara yang diajarkan sesuai, dengan

jadwal dan juga mempraktekkan cara mengontrol halusinasi yang

diajarkan saat halusinasi muncul (Keliat dkk, 2005). Pelaksanaan cara-

cara mengontrol halusinasi yang harus dimiliki klien yaitu:

a) Menghardik

Salah satu mengontrol halusinasi adalah menghardik halusinasi.

Klien menghardik dengan cara mengatakan stop atau pergi hingga

halusinasi pergi. Hal ini sesuai dengan Millis (2000) dalam

Vorcalis. Carson dan Shoemaker (2006) yang menyatakan bahwa

koping yang harus dilakukan untuk mengontrol halusinasi dan juga

melawan kekhawatiran akibat halusinasi adalah dengan cara

interaksi yaitu menyuruh halusinasi pergi. Stuart dan Laraia (2005)


27

juga menyebutkan salah satu cara mengontrol halusinasi adalah

dengan melawan kembali halusinasi yang dapat dilakukan dengan

cara berteriak/menghardik halusinasi tersebut.

b) Bercakap-cakap dengan orang lain

Klien diajarkan bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain

tentang kondisi yang diaalaminya saat itu dan dianjurkan bercakap-

cakap dengan orang lain sebelum halusinasi muncul. Seperti halnya

yang dikatakan oleh Keliat dan Akemat (2012) ketika klien

bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi, focus

perhatian klien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang

dilakukan dengan orang lain tersebut.

c) Melakukan aktivitas terjadwal

Melakukan aktivitas merupakan salah satu mengontrol halusinasi.

Hal ini juga sesuai dengan Millis (2000) dalam Varcarolis Carson

dan Shoemaker (2006) yang menyatakan dengan aktivitas dapat

membantu klien mengontrol halusinasi dan juga melawan

kekhawatiran akibat halusinasi.

d) Menggunakan obat secara teratur

Menurut Keliat dan Akemat (2012) cara yang digunakan untuk

mengatasi halusinasi adalah dengan penggunaan obat. Agar klien

dapat menggunakan obat secara teratur dapat kita latih dengan cara

sebagai berikut: jelaskan kegunaan obat, jelaskan akibat putus obat,

jelaskan cara mendapatkan obat dan juga jelaskan cara


28

menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar klien,

benar cara, benar waktu dan benar dosis).

B. Penelitian Terkait

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sakdiyah, Yuliati,

Sudjarwo (2012) di ruang Nusa indah dan Kakak tua tentang pengaruh terapi

aktivitas individu menghardik terhadap kemampuan mengontrol halusinasi

pendengaran hasil penelitian diketahui bahwa ada pengaruh terapi aktifitas

individu menghardik terhadap kemampuan mengontrol halusinasi

pendengaran.

Sedangkan penelitian yang dilakukan Anggraini (2013) di RSJD Dr.

Amino Gondohutomo Semarang tentang pengaruh menghardik terhadap

penurunan tingkat halusinasi dengar pada pasien halusinasi didapat ada

pengaruh menghardik terhadap penurunan tingkat halusinasi dengar.

C. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka teoritis yang digunakan sebagai

landasan penelitian.Kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini disusun

berdasarkan pengembangan teori yang telah dikemukanan pada bab II (dua)

tentang konsep halusinasi: pengertian halusinasi, proses terjadinya halusinasi,

rentang respon neurobiologis, fase halusinasi, jenis-jenis halusinasi, pohon

masalah, masalah keperawatan, penatalaksanaan halusinasi.. Klien yang

mengalamani halusinasi dapat mengembangkan kemampuan untuk mengontrol

halusinasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah terapi yang

diberikan. Terapi keperawatan diberikan melalui asuhan keperawatan, baik

secara individu, keluarga maupun kelompok.Terapi medik yang diberikan


29

adalah psikofarmaka: pemberian obat golongan antipsikotik yang terbagi

menjadi dua yaitu antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal. Melalui asuhan

keperawatan halusinasi yang diberikan kepada klien diharapkan klien dapat

mengembangkan kemampuan mengontrol halusinasi, yaitu dengan cara

menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas terjadwal

dan minum obat sesuai aturan. Kerangka teori penelitian ini dapat diliat pada

skema 2.2 dibawah ini.

Skema 2.2 Kerangka Teori Penelitian


Tindakan Pada Klien Halusinasi
Medis Perawat
Psikofarmaka: Terapi generalis
pemberian obat Sesi 1: menghardik
golongan Sesi 2: bercakap-cakap dengan orang lain
antipsikotik yang Sesi 3: beraktifitas secara terjadwal
terbagi menjadi dua Sesi 4: minum obat secara teratur
yaitu antipsikotik Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Persepsi
tipikal dan
antipsikotik atipikal

Peningkatan Kemampuan Penurunan Tanda dan


Mengontrol halusinasi: Gejala Halusinasi:
Menghardik Respon Fisiologis
Bercakap-cakap dengan Respon Perilaku
orang lain Respon Kognitif
Beraktivitas secara terjadwal Respon Afektif
Minum obat secara teratur Respon Sosial

Sumber: Keliat dan Akemat (2012), Millis (2000) dalam Varcarolis, Carson dan
Shoemaker (2006), Videbeck (2008), SAK Jiwa (2008) dalam Wahyuni
(2008) dan Stuart dan Sundeen (2006).

Anda mungkin juga menyukai