Anda di halaman 1dari 56

UNIVERSITAS FALETEHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
(7 MASALAH KEPERAWATAN)

KEPERAWATAN JIWA

AUDINA AMALIAH
5020031012

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS FALETEHAN
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI

I. Kasus (Masalah utama)


Gangguan persepsi sensori : halusinasi

II. Proses Terjadinya Masalah

A. Pengertian

Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca

indera (Isaacs, 2002).

Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien


mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra
tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui
panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).

Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).

Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai halusinasi di
atas,maka penulis mengambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah persepsi klien
melalui panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang
nyata.

B. Faktor Predisposisi

Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:

a. Biologis

Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon


neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-
penelitian yang berikut:

1) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas
dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik
berhubungan dengan perilaku psikotik.
2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan
masalah - masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya
skizofrenia.

3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya


atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian
depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut
didukung oleh otopsi (post-mortem).

b. Psikologis

Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi
psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidu
klien.

c. Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan,


konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang
terisolasi disertai stress.

C. Faktor Presipitasi

Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan
tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).

Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:

a. Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

b.Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

c. Sumber koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor

D. Jenis

Menurut (Menurut Stuart, 2007, jenis halusinasi antara lain :

a. Halusinasi pendengaran (auditorik)

Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara - suara orang,


biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

b. Halusinasi penglihatan (Visual)

Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,


gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.

c. Halusinasi penghidu (olfactory)

Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan
seperti : darah, urine atau feses. Kadang - kadang terhidu bau harum. Biasanya
berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.

d. Halusinasi peraba (tactile)

Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang
terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang
lain.

e. Halusinasi pengecap (gustatory)

Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan,
merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.

f. Halusinasi sinestetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.

g. Halusinasi Kinesthetic

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

E. Fase-Fase

Fase halusinasi ada 4 yaitu (Stuart dan Laraia, 2001) :

a. Comforting

Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian, rasa


bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan
untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik.

b. Condemning

Pada ansietas berat pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai
lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber
yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom
akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan
dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
untuk membedakan halusinasi dengan realita.

c. Controling

Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang
lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada
dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan
orang lain.

d. Consquering

Terjadi pada panik Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih
dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.

F. Rentang Respons

Respon Adaptif Respon Maladaptif

 Pikiran logis  Pikiran terkadang menyimpang  Kelainan pikiran


 Persepsi akurat  Ilusi  Halusinasi
 Emosi konsisten  Emosional berlebihan/dengan  Tidak mampu mengatur
 Perilaku sosial pengalaman kurang emosi
 Hubungan sosial  Perilaku ganjil  Ketidakteraturan
 Menarik diri  Isolasi sosial
(Dalami, Ermawati dkk 2014)

Keterangan :

1) Respon adaptif adalah respon yang yang dapat diterima oleh normanorma sosial budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi
suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut.

(1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.

(2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.

(3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman
ahli.

(4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran.

(5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi denagn orang lain dan lingkungan.

2) Respon psikosial meliputi :

(1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan

(2) Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera

(3) Emosi berlebihan atau berkurang


(4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran

(5) Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindar interaksi dengan orang lain

3) Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang


menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun respon
maladaptif ini meliputi :

(1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun
tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.

(2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang tidak
realita atau tidak ada.

(3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.

(4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur.

(5) Isolasi sosial adalah kondisi sendirian yang dialami oleh individu dan diterima
sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negatif
mengancam.

G. Mekanisme Koping

Menurut Dalami dkk (2014) mekanisme koping adalah perilaku yang mewakili upaya
untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan
respon neurobiologi maladaptif meliputi:

1) Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali seperti


apa perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah proses
informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.

2) Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi pada orang
lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk menjelaskan
kerancuan persepsi).

3) Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,
reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindari sumber stressor, misalnya
menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Sedangkan reaksi
psikologis individu menunjukan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat,
sering disertai rasa takut dan bermusuhan.
III.

A. Pohon Masalah

Resiko mencederai diri sendiri,

Orang lain dan lingkungan Akibat

Gangguan Persepsi sensori :


Halusinasi
Core Problem

Isolasi sosial menarik diri

Cause

B. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji

NO Masalah Keperawatan Data Subyektif Data Obyektif


1 Masalah utama : Klien mengatakan Tampak bicara dan
gangguan persepsi melihat atau mendengar ketawa sendiri.
sensori halusinasi sesuatu. Mulut seperti bicara
Klien tidak mampu tapi tidak keluar suara.
mengenal tempat, waktu, Berhenti bicara seolah
orang. mendengar atau
melihat sesuatu.
Gerakan mata yang
cepat.
2 Isolasi sosial : Klien mengatakan Tidak tahan terhadap
menarik diri merasa kesepian. kontak yang lama.
Klien mengatakan tidak Tidak konsentrasi dan
dapat berhubungan pikiran mudah beralih
sosial. Klien mengatakan saat bicara.
tidak berguna. Tidak ada kontak
mata.
Ekspresi wajah murung,
sedih.
Tampak larut dalam
pikiran dan ingatannya
sendiri.
Kurang aktivitas.
Tidak komunikatif.
3 Resiko mencederai Klien mengungkapkan Wajah klien tampak
diri sendiri dan orang takut. tegang, merah.
lain. Klien mengungkapkan Mata merah
apa yang dilihat dan dan melotot.
didengar mengancam Rahang mengatup.
dan membuatnya takut. Tangan mengepal.
Mondar mandir.

IV. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang dapat ditarik dari pohon masalah tersebut adalah :

1. Gangguan persepsi sensori: Halusinasi

2. Isolasi sosial: Menarik Diri

3. Resiko mencederai diri sendiri,orang lain dan lingkungan

V. Rencana Tindakan Keperawatan

1. Tindakan keperawatan untuk pasien

a. Tujuan tindakan untuk pasien meliputi :

1) Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya

2) Pasien dapat mengontrol halusinasinya

3) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal

b. Tindakan Keperawatan

1) Membantu pasien mengenali halusinasinya


Dengan cara berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasinya (apa yang
didengar/lihat). Waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi
yang menyebabkan halusinasi muncul dan perasaan pasien saat halusinasi
muncul.

2) Melatih pasien mengontrol halusinasi, dengan cara :

a) Menghardik halusinasi

b) Bercakap-cakap dengan orang lain

c) Melakukan aktivitas yang terjadwal

d) menggunakan obat secara teratur

VI. EVALUASI

1. Pasien mempercayai saudara sebagai terapis, ditandai dengan :

a. Pasien mau menerima saudara sebagai perawatnya

b. Pasien mau menceritakan masalah yang ia hadapi kepada saudara

c. Pasien mau bekerja sama dengan saudara

2. Pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada obyeknya dan merupakan
masalah yang harus diatasi, ditandai dengan :

a. Pasien mengungkapkan isi halusinasi yang dialaminya

b. Pasien menjelaskan waktu dan frekuensi halusinasi yg dialaminya

c. Pasien menjelaskan situasi yang mencetuskan halusinasinya

d. Pasien menjelaskan perasaannya ketika mengalami halusinasi

e. Pasien menjelaskan bahwa ia berusaha mengatasi halusinasi yg dialaminya

3. Pasien dapat mengontrol halusinasinya, ditandai dengan :

a. Pasien mampu memperagakan 4 macam cara mengontrol halusinasi

b. Pasien menerapkan 4 cara mengontrol halusinasi :

1) menghardik halusinasi
2) bercakap dengan orang lain disekitar

3) menyusun jadwal kegiatan dari bangun tidur sampai mau tidur

4) mematuhi program pengobatan

4. Keluarga mampu merawat pasien dirumah ditandai dengan :

a. Keluarga mampu menjelaskan masalah halusinasi yg dialami oleh pasien

b. Keluarga mampu menjelaskan cara merawat pasien dirumah

c. Keluarga mampu menjelaskan fasilitas kesehatan yg dapat digunakan untuk


mengatasi halusinasi

d. Keluarga mampu melaporkan keberhasilan merawat pasien

DAFTAR PUSTAKA
Ernawati, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Cetakan Kedua.
Jakarta Timur: CV. Trans Info Media

Keliat, B.A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:EGC.

Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.Ed. 9 Surabaya:Airlangga


University Press.

Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa (Terjemahan). Jakarta:EGC

LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

I. Kasus (masalah utama)


Defisit Perawatan Diri

II. Proses Terjadinya Masalah


A. Definisi
Defisit perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya, kesehatannya dan kesejahteraannya
sesuai dengan kondisi kesehatannya. Klien dinyatakan terganggu perawatan dirinya
ika tidak dapat melakukan perawatan dirinya (Mukhripah & Iskandar. (2012).

B. Faktor Predisposisi
a. Perkembangan Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu
b. Biologis Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri
c. Kemampuan realitas turun Klien gangguan jiwa dengan kemampuan realitas
yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri
d. Sosial Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri

C. Faktor Presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri
(Mukhripah & Iskandar, 2012: 148).
Menurut Depkes (2000) didalam buku (Mukhripah & Iskandar, 2012:148) faktor –
faktor yang mempengaruhi personl higiene adalah
a. Body image : gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya
b Praktik sosial : pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi peruabahan personal hygiene.
c Status sosial ekonomi : personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti
sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampoo, alat mandi yang semuanya memerlukan
uang untuk menyediakannya.
d Pengetahuan : pengetahuan personal hygiene sangat penting akrena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misanya, pada pasien penderita
diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
e Budaya : disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
f Kebiasaan orang : ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu
dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, shampoo dan lain – lain.
g Kondisi fisik atau psikis : pada keadaan tertentu/ sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya

D. Jenis
Menurut Nurjannah (2004, dalam Dermawan (2013) Jenis-jenis defisit perawatan
diri terdiri dari:
a. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan Kurang perawatan diri (mandi)
adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas mandi / kebersihan
diri.
b. Kurang perawatan diri : mengenakan pakaian / berhias Kurang perawatan diri
(mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai pakaian dan
aktivitas berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri : makan Kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan
kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan.
d. Kurang perawatan diri : toileting Kurang perawatan diri (toileting) adalah
gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan.

E. Rentang Respons
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan diri Tidak melakukan


diri seimbang tidak seimbang perawatan diri
Keterangan :
a Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu
untuk berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang,
klien masih melakukan perawatan diri.
b Kadang perawatan diri kadang tidak : saat klien mendapatkan stresor kadang –
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
c Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stresor.

F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping menurut penggolongannya dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukund fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar
mencapai tujuan. Kategorinya adalah klien bisa memenuhi kebutuhan perawatn
diri secara mandiri.
b. Mekanisme koping maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah
tidak mau merawat diri.

III. Pohon Masalah

Resiko Tinggi Isolasi Sosial Effect

Defisit Perawatan Diri Core Problem

Harga Diri Rendah Causa

IV. Diagnosa Keperawatan


Kurang perawatan diri: - Kebersihan diri
- Berdandan
- Makan
- BAB/BAK

V. Rencana tindakan keperawatan


 Tindakan keperawatan untuk pasien
a. Tujuan:
1) Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2) Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
3) Pasien mampu melakukan makan dengan baik
4) Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri
b. Tindakan keperawatan
1) Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
Untuk melatih pasien dalam menjaga kebersihan diri saudara dapat melakukan
tanapan tindakan yang meliputi:
a) Menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan diri
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
2) Melatih pasien berdandan/berhias
Saudara sebagai perawat dapat melatih pasien berdandan. Untuk pasien laki-
laki tentu harus dibedakan dengan wanita.
Untuk pasien laki-laki Latihan meliputi:
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur
Untuk wanita, latihannya meliputi:
a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Berhias
3) Melatih pasien makan secara mandiri
Untuk melatih makan pasien saudara dapat melakukan tahapan sebagai
berikut:
a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan yang baik
4) Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
Saudara dapat melatih pasien untuk BAB dan BAK secara mandiri sesuai
tahapan berikut:
a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

IV. Evaluasi
Dibawah ini tanda-tanda bahwa asuhan keperawatan yang saudara berikan kepada pasien
kurang perawatan diri berhasil:
Pasien dapat menyebutkan:
1) Penyebab tidak merawat diri
2) Manfaat menjaga perawatan diri
3) Tanda-tanda bersih dan rapih
4) Gangguan yang dialami jika perawatan diri tidak diperhatikan
Pasien dapat melaksanakan perawatan diri secara mandiri dalam hal:
1) Kebersihan diri
2) Berdandan
3) Makan
4) BAB/BAK
DAFTAR PUSTAKA

Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Modul Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Universitas Faletehan 2018.

Mukhripah & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.

Nurjannah. (2004). Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa. Yogyakarta: Momedia.


LAPORAN PENDAHULUAN

RISIKO BUNUH DIRI

I. MASALAH UTAMA
Risiko Bunuh Diri

II. PROSES TERJADINYA MASALAH


a. Definisi

Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami risiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif,
terhadap diri sendiri yang jika tidak dapat mencegah mengarah pada kematian.
Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk bunuh diri, niatnya
adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang tidak
diinginkan.

b. Faktor Predisposisi
1. Genetik
Perilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis dan Hitler
(2010) merupakan sesuatu yang di turunkan dalam keluarga kembar
monozigot dalam melakukan bunuh diri stuard (2011).

2. Hubungan Neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf, peningkatan
dan penurunan neuro transmiter mengakibatkan perubahan pada prilaku.
Neurotrasmiter yang dikaitkan dengan perilaku bunuh diri adalah
dopamin, neuroepineprin, asetilkolin, dan asam amino (Stuard, 2011).

3. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengahiri hidupnya dengan bunuh diri
mengalami gangguan jiwa.
4. Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk bunuh diri
adalah gangguan modd, penyalahgunaan zat, skizofrenia, dan gangguan
mengalahkan (Stuard, 2013).

5. Kebencian terhadap diri sendiri bunuh diri merupakan hasil dari bentuk
penyerangan atau kemarahan terhadap orang lain yang tidak diterima dan
di manifestasikan atau ditunjukan pada diri sendiri (Stuard dan videbeck,
2011).

6.  Beberapa faktor yang mengarah pada bunuh diri adalah kemiskinan dan
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, pernikahan yang hancur,
keluarga dengan orang tua tunggal.

c. Faktor Presipitasi
Faktor pencetus seseorang yang melakukan percobaan bunuh diri adalah :
1. Perasaandapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat berwujud pada diri sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.

d. Jenis Bunuh Diri


1. Bunuh diri egoistik (faktor dalam diri seseorang)

Individu tidak mampu mencapai masyarakat, ini disebabkan oleh kondisi


kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu seolah-
olah tidak berkepribadian. Kegagalan Integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk
melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan mereka yang menikah.

2. Bunuh diri altruistic (penghargaan kehormatan seseorang)


Individu terkait pada kasus tradisi khusus atau pun cenderung untuk bunuh
diri karena indetifikasi dengan suatu kelompok.
3. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi jika ada gangguan integritas-integritas individu dan
masyarakat, sehingga individu tersebut menionggalkan norma-norma
kelakuan yang biasa.

e. Rentang Respons

Keterengan :

1. Peningkatan diri: Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau


mempertahankan diri secara wajar terhadap situasional yang
membutuhkan pertahanan diri.
2. Beresiko destruktif : seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat dipertahankan diri, seperti seorang merasa
patah semangat bekerja ketika dirinya tidak setia terhadap pimpinan.
3. Destruktif diri tidak langsung : seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk
mempertahankan diri.
4. Pencederaan diri: seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat berita harapan terhadap situasi yang ada.
5. Bunuh diri: seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampaidengan
hilang nyawa.

f. Mekanisme Koping
Klien dengan penyakit kronis, nyeri atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku destruktif diri. Sering kali klien secara
sadar memilih bunuh diri, Amadea (2018) mengungkapkan bahwa pihak
pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku destruktif diri tidak
langsung adalah penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi dan regresi.
III. POHON MASALAH

Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan

Effect

Risiko Bunuh Diri

Core Problem

Harga Diri Rendah

Causa

IV. Diagnosa Keperawatan


Resiko bunuh diri

V. Rencana Tindakan Keperawatan


1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman.
2) Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:
a) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
b) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.
c) Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting.
d) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien.
e) Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan.
3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
a) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya.
b) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara
penyelesaian masalah.
c) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier


Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, Budi Anna. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN
(Basic Course). Jakarta: EGC.
Dessy, Rossyta,. (2018). Asuhan Keperawatan Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/8977353/Asuhan_Keperawatan_RESIKO_B
UNUH_DIRI pada 14 Juni 2018
Khurniawan, Adji,. (2018). Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/23897284/Resiko_bunuh_diri pada 14 Juni
2018
Yolland, Amadea,. (2015). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Resiko
Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/15320155/ASUHAN_KEPERAWATAN_PA
DA_KLIEN _DENGAN_RESIKO_BUNUH_DIRI pada 14 Juni 2018.
Pradana, Dwi,. (2018). Strategi Pelaksanaan Resiko Bunuh Diri diakses dari
https://www.academia.edu/27862953/STRATEGI_PELAKSANAAN_RES
IKO_BU NUH_DIRI pada 14 Juni 2018.
LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

I. Kasus (masalah utama)

Isolasi sosial

II. Proses terjadinya masalah

A. Faktor predisposisi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:

a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan
sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan
menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama
yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan
orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari
ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat
mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di
kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak
tidak mersaa diperlakukan sebagai objek.

Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam berhubungan


terdiri dari:
 Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan biologis
maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan
menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting
karena akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari.
Bayi yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa percaya pada masa
ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa
berikutnya.
 Masa Kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai
mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan dengan
teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu
dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan
yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat
menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen, Orang tua harus
dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya,
maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak
mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan, berkompetensi
dan berkompromi dengan orang lain.
 Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan teman
sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu untuk mengenal
dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya
hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang menjadi hubungan intim
dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan individu dengan kelompok maupun
teman lebih berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi
apabila remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut,
yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada remaja.
 Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan
interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai
dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima
perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk
membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan.
Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi
dan menerima (mutuality).
 Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak
terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan diri.
Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang
interdependen antara orang tua dengan anak.
 Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan fisik,
kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran.
Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan
meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.

b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga


Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
1. Sikap bermusuhan/hostilitas
2. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
3. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya.
4. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaananak,
hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi
kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara
terbuka dengan musyawarah.
5. Ekspresi emosi yang tinggi
6. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang
membuat bingung dan kecemasannya meningkat)

c. Faktor Sosial Budaya


Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma
yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan
dari lingkungan social.

d. Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi
skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang menderita
skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot apabila salah
diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot
persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel,
penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat
menyebabkan skizofrenia.

B.  Faktor Presipitasi

Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:

a. Stressor Sosial Budaya


Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya
penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang
dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.

b. Stressor Biokimia
1)  Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta
tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
2)   Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah
sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga
dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
3)   Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien
skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat
oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan
hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
4)  Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik
diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak.

c. Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial


Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat
interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
d. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu
untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan
memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah
akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak


dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar.
Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress.
Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada
fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.
Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai usaha
mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam
dirinya. Strategi koping yang sering digunakan pada masing-masing tingkah laku
adalah sebagai berikut:
1) Tingkah laku curiga: proyeksi
2) Dependency: reaksi formasi
3)  Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasiCuriga, waham, halusinasi: proyeksi,
denial
4)  Manipulatif: regrasi, represi, isolasi
5)  Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi, represi dan
regrasi.

C. Rentang respons

Adaftif Maladaftif

Menyendiri Menyendiri Menarik diri


Otonomi Otonomi Ketergantungan
Bekerjasama Bekerjasama Manipulasi
interdependen interdependen curiga
Dalam membina hubungan sosial, individu berada dalam respon yang adaptif sampai
dengan maldaftif :
 Respon adaftif merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan yang secara umum berlaku.
 Respon maladaftif merupakan respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma sosial budaya
setempat.
Respon sosial yang maladaftif sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah
menarik diri, tergantung, manipulasi, curiga, gangguan komunikasi dan kesepian.
(muhith A, 2015)

E. Mekanisme koping

Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan
suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang sering digunakan pada
isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi. (Damaiyanti, 2012: 84)
a. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat diterima
secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya
kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau
bertentangan antara sikap dan perilaku. Mekanisme koping yang muncul yaitu:
1) Perilaku curiga : regresi, represi
2) Perilaku dependen: regresi
3) Perilaku manipulatif: regresi, represi
4) Isolasi/menarik diri: regresi, represi, isolasi

III. A. Pohon masalah

Isolasi sosial
Isolasi sosial defisit perawatan diri

Mekanisme koping tidak efektif


Gangguan konsep diri : harga diri rendah

B. Diagnosa keperawatan
Isolasi sosial

C. Tindakan keperawatan

Tindakan keperawatan untuk pasien


a. Tujuan : setelah tindakan keperawatan, pasien mampu
1. Membina hubungan saling percaya
2. Menyadari penyebab isolasi sosial
3. Berinteraksi dengan orang lain

b. Tindakan
1. Membina hubungan saling percaya
 Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien
 Berkenalan dengan pasien, tanyakan nama dan nama panggilan pasien
 Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini
 Buat kontrak asuhan apa yang saudara akan lakukan bersama pasien,
berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya dimana
 Jelaskan bahwa akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi
 Setiap saat menunjukan sikap empati terhadap pasien
 Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan

2. Membantu pasien menyadari perilaku isolasi sosial


 Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang
lain
 Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi dengan
orang lain
 Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan bergaul
akrab dengan mereka
 Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul
dengan orang lain
 Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien.

3. Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap


 Jelaskan kepada klien cara berinteraksi dengan orang lain
 Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain
 Beri kesempatan pasien mempraktekan cara berinteraksi dengan orang
lain
 Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang teman/keluarga
 Bila pasien sudah menunjukan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi
dengan dua,tiga,empat orang dan sebenarnya.
 Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi dengan
prang lain. mungkin pasien akan mengungkapkan keberhasilan atau
kegagalannya. Beri dorongan terus menerus agar pasien tetap semangat
meningkatkan interaksinya.

c. Evaluasi

 Pasien menjelaskan kebiasaan interaksi


 Pasien menjekaskan penyebab tidak bergaul dengan orang lain
 Pasien menyebutkan keuntungan bergaul dengan orang lain
 Pasien menyebutkan kerugian tidak bergaul dengan orang lain
 Pasien memperagakan cara berkenalan dengan orang lain
 Pasien bergaul /berinteraksi dengan perawat,keluarga,tetangga
 Pasien menyampaikan perasaan setelah interaksi dengan orang lain
 Pasien mempunyai jadwal bercakap-cakap dengan orang lain
 Pasien menggunakan obat dengan patuh.
DAFTAR PUSTAKA

Anna Budi Keliat, SKp. (2006). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik Diri,
Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika.

Modul Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Universitas Faletehan 2018.

Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat.
Jakarta: Salemba Medika.

Trimeilia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur: TIM.
LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

I. Kasus (Masalah Utama)


Perilaku Kekerasan
II. Proses Terjadinya Masalah
Definisi
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah tidak memiliki tujuan
khusus, tetapi merujuk pada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu yang biasanya
disebut dengan perasaan marah (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka perilaku
kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang
berlangsung dperilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan (Dermawan dan
Rusdi, 2013).

A. Faktor Predisposisi
1. Teori Biologis
a) Neurologis faktor, beragam komponen dari sistem syaraf mempunyai
peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang
akan mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam
menstimulus timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.
b) Genetik Faktor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua,
menjadi potensi perilaku agresif.
c) Cycardium Rhytm, memegang peranan pada individu. Menurut penelitian
pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang
berakhirnya pekerjaan sekitar jam 09.00 dan 13.00. pada jam tertentu
orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif.
d) Biochemistry faktor (faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmitter di
otak (epinephrine, norephinephrine, asetikolin dan serotinin) sangat
berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam
tubuh.
e) Brain area disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal,
sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ansepalitis,
epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan
tindakan kekerasan.
2. Teori Psikologis
a) Teori psikonalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh
kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan
fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang
dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung
mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai
komponen adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah.
b) Imitation, modelling and information processing theory
Menurut terori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan
yang menolerir kekerasan.
c) Learning theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan merupakan hasil belajar dari individu
terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagimana respon ibu saat
marah.

B. Faktor Presipitasi
Yosep (2011) faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali
berkaitan dengan:
a) Ekspresi diri, ini menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal
dan sebagainya.
b) Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi
c) Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik
d) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa
e) Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi
f) Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

C. Rentang Respons
Faktor Predisposisi

Faktor presipitasi

Respon terhadap stressor

Sumber koping

Mekanisme koping

Respon marah

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk/PK

Keterangan:
Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realistis/terhambat
Pasif : respon lanjutan dimana klien tidak mampu mengungkapkan
perasaannya
Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol
Amuk : Perilaku destruktif dan tidak terkontrol
D. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme koping klien
sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang
konstruktif dalam mengekspresikan marahnya. Menurut Yosep (2011) mekanisme
koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti:
1. Displacement
Melepaskan perasaan tertekannya bermusuhan pada objek yang begitu seperti
pada mulanya yang membangkitkan emosi
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai keinginan yang tidak baik
3. Depresi
4. Reaksi Formasi
Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan dengan apa
yang benar-benar dilakukan orang lain.

III.
A. Pohon Masalah

Efek Perilaku Kekerasan

Masalah Risiko Perilaku kekerasan

Penyebab Halusinasi, isolasi sosial, HDR

B. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

Data Data Subyektif Data Obyektif


Perilaku Kekerasan - Klien mengatakan - Klien mengamuk
benci atau kesal dan melempar
pada seseorang barang-barang
- Klien membentak - Melakukan tindakan
dan menyerang kekerasan pada
orang yang orang-orang
mengusiknya jika disekitarnya.
sedang kesal atau
marah
- Klien
mengungkapkan
rasa permusuhan
yang mengancam,
klien merasa tidak
berdaya, ingin
berkelahi, dendam.

Risiko Perilaku Klien menyatakan sering Muka merah dan tegang,


Kekerasan mengamuk, klien pandangan tajam, postur
mengatakan tidak puas bila tubuh yang kaku,
tidak memecahkan barang, mengatupkan rahang
klien mengungapkan dengan kuat, mengepalkan
mengancam orang lain. tangan, jalan mondar-
mandir, bicara kasar, suara
tinggi, menjerit, berteriak,
mengancam secara verbal
atau fisik, nafas pendek,
menolak.
Harga Diri Rendah Klien mengkritik diri, Selera makan kurang, tidak
perasaan tidak mampu, berani menatap lawan
kllien merasa bersalah, bicara, lebih banyak
tidak berguna, merasa menunduk, bicara lambat
malu, pandangan hidup dan nada suara lemah
yang pesimis, penolakan
terhadap kemampuan diri

IV. Diagnosa Keperawatan


1. Perilaku kekerasan
2. Risiko Perilaku kekerasan
3. Harga diri rendah
V. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Tindakan keperawatan untuk pasien
a. Tujuan tindakan untuk pasien meliputi:
1) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
2) Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
3) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
4) Pasien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya
5) Pasien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual,
sosial dan dengan terapi psikofarmaka
b. Tindakan
1) Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar
pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan saudara.
Tindakan yang harus dilakukan oleh saudara dalam rangka membina
hubungan saling percaya adalah:
a) Mengucapkan salam terapeutik
b) Berjabat tangan
c) Menjelaskan tujuan interaksi
d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien
2) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan yang
lalu
3) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis
c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
d) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual
e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual
4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada
saat marah secara:
a) Verbal
b) Terhadap orang lain
c) Terhadap diri sendiri
d) Terhadap lingkungan
5) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
6) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
a) Fisik: pukul kasur dan bantal, tarik napas dalam
b) Obat
c) Sosial/verbal: menyatakan secara asertif rasa marahnya
d) Spiritual: sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien
7) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
a) Latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal
b) Susun jadwal latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal
8) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial dan verbal
a) Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
b) Latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal menolak dengan
baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik
c) Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal
9) Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
a) Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
dan sosial/verbal
b) Latihan sholat/berdoa
c) Buat jadwal latihan sholat/berdoa
10) Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat
a) Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar
(benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar
waktu minum obat, benar dosis obat) disertai penjelasan guna obat dan
akibat berhenti minum obat
b) Susun jadwal minum obat secara teratur
2. Tindakan Keperawatan Untuk Keluarga
a. Tujuan
Keluarga dapat merawat pasien di rumah
b. Tindakan
1) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda
dan gejala, perilaku yang muncul danakibat dari perilaku tersebut)
2) Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan
a) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan yang
telah diajarkan oleh perawat
b) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila pasien
melakukan kegiatan terseut secara tepat
c) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila
pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan
3) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera
dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang
lain
VI. Evaluasi
1. Pada pasien
a. Pasien mampu menyebutkan, tanda dan gejala perilaku kekerasan, perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan dan akibat dari perilaku ekerasan yang
dilakukan
b. Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan secara
teratur sesuai jadwal:
1) Secara fisik
2) Secara sosial/verbal
3) Secara spiritual
4) Dengan terapi psikofarmaka
2. Pada keluarga
a. Keluarga mampu mencegah terjadinya perilaku kekerasan
b. Keluarga mampu menunjukkan sikap yang mendukung dan menghargai pasien
c. Keluarga mampu memotivasi pasien dalam melakukan cara mengontrol
perilaku kekerasan
d. Keluarga mampu mengidentifikasi perilaku pasien yang harus dilaporkan
kepada perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Y.A. 2017. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny.A Dengan Resiko Perilaku


Kekerasan di Ruang Bima Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas.
https://repository.ump.ac.id/39 88/

Stuart, GW dan Sundeen, S.J. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Penerbit : Buku
Kedokteran EGC; Jakarta.

https://studylibid.com/doc/4285976/lp-perilaku-kekerasan diakses jam 12:30 WIB

http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/108/jtptunimus-gdl-muslikha-5364-2-babiik-k.pdf
diakses jam 12:31 WIB
LAPORAN PENDAHULUAN

HARGA DIRI RENDAH (HDR)

I. Kasus (Masalah Utama)


Harga diri rendah

II. Proses Terjadinya Masalah


Harga diri rendah merupakan evaluasi diridan perasaan tentang diri atau kemampuan
diri yang negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa
gagal dalam mencapai keinginan (Direja, 2011)
A. Faktor predisposisi
1) Faktor yang mempengaruhi harga diri
Meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua tidak realistis, kegagalan
yang berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan
pada orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis.
2) Faktor yang mempengaruhi peran
Dimasyarakat umumnya peran seseorang disesuaikan dengan jenis
kelaminnya. Misalnya seorang wanita dianggap kurang mampu, kurang
mandiri, kurang obyektif dan rasional sedangkan pria dianggap kurang
sensitif, kurang hangat, kurang ekspresif dibanding wanita. Sesuai dengan
standar tersebut, jika wanita atau pria berperan tidak sesuai dengan lazimnya
maka dapat menimbulkan konflik diri maupun hubungan sosial. Misal :
seorang istri yang berperan sebagai sebagai kepala rumah tangga atau seorang
suami yang mengerjakan pekerjaan rumah, akan menimbulkan masalah.
Konflik peran dan peran tidak sesuai muncul dari faktor biologis dan harapan
masyarakat terhadap wanita atau pria. Peran yang berlebihan muncul pada
wanita yang mempunyai sejumlah peran.
3) Faktor yang mempengaruhi identitas diri
Meliputi ketidakpercayaan, tekanan dari teman sebaya dan perubahan struktur
sosial. Orang tua yang selalu curiga pada anak akan menyebabkan anak
menjadi kurang percaya diri, ragu dalam mengambil keputusan dan dihantui
rasa bersalah ketika akan melakukan sesuatu. Kontrol orang tua yang berat
pada anak remaja akan menimbilkan perasaan benci pada orang tua. Teman
sebaya merupakan faktor lain yang berpengaruh pada identitas. Remaja ingin
diterima, dibutuhkan, dan diakui oleh kelompoknya.
4) Faktor biologis
Adanya kondisi sakit fisik secara yang dapat mempengaruhi kerja hormon
secara umum, yang dapat pula berdampak pada keseimbangan
neurotransmitter di otak, contoh kadar serotonin yang menurun dapat
mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien depresi
kecenderungan harga diri rendah kronis semakin besar karena klien lebih
dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif dan tidak berdaya.

B. Faktor presipitasi
Masalah khusus tentang konsep diri disebabkan oleh setiap situasi yang dihadapi
individu dan ia tidak mampu menyesuaikan. Situasi atas stresor dapat
mempengaruhi komponen.
Stresor yang dapat mempengaruhi gambaran diri adalah hilangnya bagian tubuh,
tindakan operasi, proses patologi penyakit, perubahan struktur dan fungsi tubuh,
proses tumbuh kembang, prosedur tindakan dan pengobatan. Sedangkan stresor
yang dapat mempengaruhi harga diri dan ideal diri adalah penolakan dan kurang
penghargaan diri dari orang tua dan orang yang berarti, pola asuh yang tidak tepat
misalnya selalu dituntut, dituruti, persaingan dengan sodara, kesalahan dan
kegagalan berulang, cita-cita tidak terpenuhi dan kegagalan bertanggung jawab
sendiri. Stresor pencetus dapat berasal dari sumber internal atau eksternal:
1) Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan
peristiwa yang mengancam kehidupan.
2) Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan
individu mengalaminya sebagai frustasi.
C. Jenis
Ada tiga jenis transisi peran:
1) Transisi peran perkembanganadalah perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam
kehidupan individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai, serta
tekanan untuk menyesuaikan diri.
2) Transisi peran situasiterjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran atau kematian.
3) Transisi peran sehat-sakitterjadi akibat pergeseran dari keadaan sehat ke
keadaan sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh,
perubahan ukuran, bentuk, penampilan, atau fungsi tubuh, perubahan fisik
yang berhubungan dengan tumbuh kembang normal. Perubahan tubuh dapat
mempengaruhi semua komponen konsep diri yaitu gambaran diri, identitas
diri, peran dan harga diri.
D. Rentang respon harga diri rendah
Rentang respon Harga diri Rendah (Yosep, 2010)
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Keracunan Depersonal-isasi


Diri positif rendah Identitas

1) Aktualisasi diri, Pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
2) Konsep diri; apabila individu mempunyai pengalaman yang pos-itif dalam
beraktualisasidiri.
3) Harga diri rendah; transisi antara respon konsep diri adaptif dan konsep diri
mal adaptive
4) Kerancauan identitas; mengamuk adalah rasa marah dan ber-musuhan yang
kuat disertai kehilangan kontrol diri dan amuk. Pada keadaan ini individu
dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain serta
lingkungan.Kegagalan aspek individu mengintegrasikan aspek-aspek identitas
masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial, kepribadian pada
masa dewasa yang harmonis.
5) Depersonalisasi; perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri
yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat
membedakan diri dengan orang lain.
E. Mekanisme koping
Mekanisme koping pasien harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi (2015)
adalah:
a. Jangka pendek
1) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis: pemakaian obat-
obatan, kerja keras, nonton TV terus menerus.
2) Kegiatan mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial, keagaman,
politik).
3) Kegiatan yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga kontes
popularitas).
4) Kegiatan mencoba menghilangkan identitas sementara (penyalahgunaan
obat).
b. Jangka panjang
1) Menutup identitas
2) Identitas negatif: asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat.
III. A. Pohon masalah

Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan-----Akibat

Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi-----Akibat

Isolasi Sosial-----Akibat

Harga Diri Rendah -----Care Problem

Koping Individu Tidak Efektif Traumatik Tumbuh Kembang

Penyebab Penyebab
B. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

a. Harga diri rendah

b. Koping individu tidak efektif

c. Isolasi sosial

d. Perubahan persepsi sensori

E. Risiko perilaku kesehatan

IV. Dignosa Keperawatan


a. Harga Diri Rendah
V. Rencana Tindakan Keperawatan
a. Harga diri rendah.
1) Tujuan umum : Klien dapat meningkatkan harga dirinya.
2) Tujuan khusus :
a) Klien mampu membina hubungan saling percaya.
b) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki.
c) Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
d) Klien dapat merancang kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimilki.
e) Klien dapat melakukan kegiatan

3) Intervensi :

a) Bina hubungan terapeutik.

b) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang masih dimilki klien.

c) Beri kesempatan klien untuk mencoba.

d) Setiap bertemu klien hindarkan penilaian agresif.

e) Utamakan memberikan pujian realistik.

f) Diskusikan dengan klien kegiatan yang masih bisa digunakan.

g) Rencanakan bersama.

h) Beri reinforcement positif atas usaha klien.


4) Evaluasi :

a) Sudah terbina hubungan terapeutik

b) klien sudah mampu berdiskusi tentang kemampuan dan aspek positif

c) klien sudah berani mencoba

d) klien sudah tidak agresif


DAFTAR PUSTAKA

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika

Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

VI. Kasus (masalah utama)


Perubahan Proses Pikir: Waham

VII. Proses Terjadinya Masalah


Definisi
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus, tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006).
Waham adalah keyakinan yang salah yang didasarkan oleh kesimpulan yang salah
tentang realita eksternal dan dipertahankan dengan kuat (Keliat, B. A., Hamid, A. Y. S.,
Putri, Y.S. E., Daulima, N. H. C., dkk, 2019).
Waham merupakan gangguan dimana penderitanya memiliki rasa realita yang berkurang
atau terdistorsi dan tidak dapat membedakan yang nyata dan yang tidak nyata (Videbeck,
2011).
A. Faktor Predisposisi
a) Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
b) Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
c) Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
d) Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.

B. Faktor Presipitasi
a) Proses pengolahan informasi yang berlebihan
b) Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
c) Adanya gejala pemicu

C. Jenis
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi :
a) Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya
tambang emas.”
b) Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi
tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
c) Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama
secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih
setiap hari.”
d) Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien
terus mengatakan bahwa ia sakit kanker).
e) Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya, sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
f) Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang
disisipkan ke dalam pikirannya.
g) Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang
tersebut
Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh
kekuatan di luar dirinya
D. Fase-fase
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin
dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang
secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan
selft ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan
dipandang sebagai seorang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dn
diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya
pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya
penghargaan saat tumbuh kembang ( life span history ).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan
yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya,
menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta
memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal  yang melebihi
lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan
klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut
belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal
ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan
menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau
konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang
lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu
yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang.
Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (
Super Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan
sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya.
Selanjutnya klien lebih sering menyendiri dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi
sosial ).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan
yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan
dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai
yang hilang ). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang
keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya
bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi
sosial.
E. Rentang Respons

F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan dengan respon neurobiologist yang maladaptive meliputi: regresi
berhubungan dengan masalah proses informasi dengan upaya untuk mengatasi
ansietas, proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi, menarik
diri, pada keluarga: mengingkari.

VIII. A. Pohon Masalah


Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Perubahan Proses Pikir: Waham

Harga Diri Rendah


B. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

Masalah Keperawatan : Perubahan Isi Pikir : Waham


1) Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
2). Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri,
orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai
lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.

IX. Diagnosa Keperawatan

 Perubahan Proses Pikir: Waham

X. Rencana tindakan keperawatan

Diagnosa Keperawatan: Perubahan Proses Pikir: Waham


1. Tujuan umum :
Klien tidak terjadi perubahan proses pikir: waham
2. Tujuan khusus :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Tindakan :
a. Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas
topik, waktu, tempat).
b. Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan perawat menerima
keyakinan klien “saya menerima keyakinan anda” disertai ekspresi menerima,
katakan perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan empati, tidak
membicarakan isi waham klien.
c. Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi: katakan perawat
akan menemani klien dan klien berada di tempat yang aman, gunakan
keterbukaan dan kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
d. Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan diri.
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
a. Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.
b. Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan saat
ini yang realistis.
c. Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk melakukannya
saat ini (kaitkan dengan aktivitas sehari hari dan perawatan diri).
d. Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan waham
tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting.

3) Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi


Tindakan :
a. Observasi kebutuhan klien sehari-hari.
b. Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah maupun
di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah)
c. Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
d. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan memerlukan
waktu dan tenaga (buat jadwal jika mungkin).
e. Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan wahamnya.

4) Klien dapat berhubungan dengan realitas


Tindakan :
a. Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan
waktu).
b. Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.
c. Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien

5) Klien dapat menggunakan obat dengan benar


Tindakan :
a. Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping minum obat
b. Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5 benar (nama pasien, obat,
dosis, cara dan waktu).
c. Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan
d. Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.

6) Klien dapat dukungan dari keluarga


Tindakan :
a. Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang: gejala waham,
cara merawat klien, lingkungan keluarga dan follow up obat.
b. Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna. 2006. Kumpulan Proses Keperawatan Masalah Jiwa. Jakarta : FIK,
Universitas Indonesia
Aziz R, dkk. 2003. Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino
Gondoutomo.
Tim Direktorat Keswa. 2000. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Edisi 1. Bandung, RSJP
Bandung.
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba Medika
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Keliat, B. A., Hamid, A. Y. S., Putri, Y. S. E.,Daulima, N. H. C., dkk.
(2019).AsuhanKeperawatan Jiwa.Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran EGC.
Videbeck, S. L. (2011).Psychiatric-MentalHealth Nursing(Fifth Edit). WoltersKluwer Health
| Lippincott Williams &Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai