Anda di halaman 1dari 46

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit

1. Definisi

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien

mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa

suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Klien

merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada (Damaiyanti, 2008).

Halusinasi adalah perubahan dalam jumlah atau pola stimulus yang

datang disertai gangguan respon yang kurang, berlebihan, atau distorsi

terhadap stimulus tersebut (Nanda-I, 2012).

Halusinasi adalah gangguan persepsi gangguan panca indra tanpa

adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem sistem

pengindraan di mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh atau

baik. Individu yang mengalami halusinasi seringkali beranggapan sumber

atau penyebab halusinasi itu berasal dari lingkungannya, padahal

rangsangan primer dari halusinasi adalah kebutuhan perlindungan diri

secara psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan rasa bersalah,

rasa sepi, marah, rasa takut ditinggalkan oleh orang yang dicintai, tidak

dapat mengendalikan dorongan ego, pikiran dan perasaannya sendiri

(Kusnadi, 2014).

Halusinasi penglihatan merupakan stimulus penglihatan dalam


bentuk pancaran cahaya, gambaran geometris, gambar kartun dan atau

8
9

panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan dapat berupa sesuatu


yang menyenangkan. (Stuart & Sundeen, 2005 dalam Muhith, 2015).
Halusinasi penglihatan merupakan halusinasi yang lebih sering
terjadi pada keadaan delirium. Biasanya sering muncul bersamaan
dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut akibat gambaran-
gambaran yang mengerikan (Yosep, 2010).
Berdasarkan pengertian-pengertian halusinasi di atas maka peneliti

dapat menarik kesimpulan bahwa halusinasi adalah perubahan persepsi

sensori tanpa stimulus yang nyata atau tanpa adanya rangsangan

langsung sedangkan halusinasi pendengaran adalah jenis halusinasi yang

berupa mendengar suara-suara baik suara yang berbicara mengenai klien,

mengancam bahkan menyuruh untuk melakukan sesuatu.

Jenis-jenis Halusinasi:

Menurut Yosep (2007) halusinasi terdiri dari delapan jenis.

Penjelasan secara detail mengenai karakteristik dari setiap jenis

halusinasi adalah sebagai berikut:

a. Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)

Paling sering dapat dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau

suara bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar

sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna. Biasanya suara

tersebut ditujukan pada penderita sehingga tidak jarang penderita

bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut.

b. Halusinasi Penglihatan (Visual, Optik)


10

Lebih sering terjadi pada keadaan delirium. Biasanya sering muncul

bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut

akibat gambaran-gambaran yang mengerikan.

c. Halusinasi Penciuman (Olfaktorik)

Halusinasi ini biasanya dapat berupa mencium sesuatu bau tertentu dan

dirasakan tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau

dilambangkan sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai

suatu kombinasi moral.

d. Halusinasi Pengecapan (Gustatorik)

Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi

penciuman. Penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi gastorik

lebih jarang dari halusinasi gustatorik.

e. Halusinasi Perabaan (Taktil)

Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat yang bergerak

dibawah kulit. Terutrama pada keadaan delirium toksis dan

skizofrenia.

f. Halusinasi Seksual, ini termasuk halusinasi raba

Penderita merasa diraba dan diperkosa sering pada skizofrenia dengan

waham kebesaran terutama mengenai organ-organ.

g. Halusinasi Kinestetik

Penderita merasa badannya bergerak-gerak. Misalnya “phantom

phenomenom” atau tungkai yang diamputasi selalu bergerak-gerak


11

(phantom limb). Sering pada skizofrenia dalam keadaan toksik tertentu

akibat pemakaian obat tertentu.

h. Halusinasi Viseral

Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya.

1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa

pribadinya sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai

dengan kenyataan yang ada. Sering pada skizofrenia dan sindrom

lobus parietalis. Misalnya sering merasa dirinya terpecah dua.

2) Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya

yang tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala

sesuatu yang dialaminya seperti dalam impian.

Rentang Respon Neurobiologi

Respon Adaptif Respon

Maladaptif

 Pikiran Logis 
Distorsi pikiran  Gangguan
 Persepsi akurat 
Ilusi pikir/delusi
 Emosi konsisten 
Reaksi emosi  Halusinasi
dengan pengalaman berlebihan atau  Perilaku
 Perilaku sesuai kurang disorganisasi
 Hubungan sosial  Perilaku aneh dan  Isolasi sosial
tidak biasa
 Menarik diri
(Gambar 1. Rentang Respon Neurobiologis (Stuart dan Sundeen, 1998)

a. Respon adaptif
12

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial

budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas

normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah

tersebut, respon adaptif:

1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.

2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.

3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari

pengalaman ahli.

4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas

kewajaran.

5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan

lingkungan.

b. Respon psikososial

Respon psikososial meliputi:

1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan

gangguan.

2) Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang

penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan

panca indera.

3) Emosi berlebihan atau berkurang.

4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas

kewajaran.
13

5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan

orang lain.

c. Respon maladaptif

Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah

yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan,

adapun respon maladaptif meliputi:

1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan

walaupun tidak diyikini oleh orang lain dan bertentangan dengan

kenyataan sosial.

2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi

eksternal yang tidak realita atau tidak ada.

3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari

hati.

4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur.

5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu

dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu

kecelakaan yang negatif mengancam.

2. Etiologi

a. Faktor Predisposisi
14

Menurut Yosep (2010) faktor predisposisi klien dengan halusinasi

adalah:

1) Faktor Perkembangan

Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol

dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu

mandiri sejak kecil, mudah frustrasi, hilang percaya diri dan lebih

rentan terhadap stress.

2) Faktor Sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi

akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada

lingkungannya.

3) Faktor Biologis

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya

stress yang berlebihan dialami sesorang maka didalam tubuh akan

dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.

Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivitasnya

neurtotransmitter otak.

4) Faktor Psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah

terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh

pada ketidakmampuan klien dalam menga,bil keputusan yang

tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat

dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.


15

5) Faktor Genetik dan Pola Asuh

Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang

tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi

menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang

sangat berpengaruh pada penyakit ini

b. Faktor Presipitasi

Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,

perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku menarik diri,

kurang perhatian,tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat

membedakan keadaaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan

Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi

berlandaskan atas hakikat keberadaan seseorang individu sebagai

makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-

spiritual. Sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:

a) Dimensi Fisik

Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti

kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga

delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu

yang lama.

b) Dimensi emosional
16

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak

dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terajdi, isi dari

halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien

tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hinggan dengan

kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut..

c) Dimensi Intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan

halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego.

Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk

melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang

menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh

perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku

klien.

d) Dimensi sosial

Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan

comforting, klien mengannggap bahwa hidup bersosilisasi di alam

nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya,

seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan

interaksi sosial, contoh diri dan harga diri yang tidak didapatkan

dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kotrol oleh individu

tersebut, sehingga jika perintah halusinasiberupa ancaman, dirinya

atau orang lain individu cenderung keperawatan klien dengan

mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan


17

pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan

klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan

lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.

e) Dimensi spiritual

Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,

rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang

berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri, irama

sirkardiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan

bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas

tujuan hidupnya. Ia sering memakitakdir tetapi lemah dalam upaya

menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang

menyebabkan takdirnya memburuk.

3. Patofisiologi

Secara umum dapat dikatakan segala sesuatu yang mengancam

harga diri (self esteem) dan keutuhan keluarga dapat merupakan penyebab

terjadinya halusinasi. Ancaman terhadap harga diri dan keutuhan keluarga

meningkatkan kecemasan. Gejala dengan meningkatnya kecemasan,

kemampuan untuk memisahkan dan mengatur persepsi, mengenal

perbedaan antara apa yang dipikirkan dengan perasaan sendiri menurun,

sehingga segala sesuatu diartikan berbeda dan proses rasionalisasi tidak

efektif lagi. Hal ini mengakibatkan lebih sukar lagi membedakan mana
18

rangsangan yang berasal dari pikirannya sendiri dan mana yang dari

lingkungannya.

Dalam klinik, halusinasi juga dapat disebabkan oleh isolasi sosial

(menarik diri), di mana individu menolak berinteraksi dengan lingkungan

dan mneciptakan sendiri “lingkungan” yang dikehendakinya dengan cara

halusinasi (Kusnadi, 2014).

Menurut Yosep (2010) tahapan halusinasi ada lima fase, yaitu:

1) Stage I : Sleep disorder

Fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi

Karakteristik : klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari

lingkungan, takut diketahui orang lain bahwa dirinya

banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karena

berbagai stessor terakumulasi, misalnya kekasih

hamil, terlibat narkoba, dikhianati kekasih, masalah

dikampus, drop out, dst. Masalah terasa menekan

karena terakumulasi sedangkan support sistem

kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk.

Sulit tidur berlangsung terus menerus sehingga

terbiasa mengkhayal. Klien menganggap lamunan-

lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.


19

2) Stage II : Comforting

Halusinasi secara umum ia terima sebagai sesuatu yang alami

Karakteristik : Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti

adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa,

ketakutan dan mencoba memusatkan pemikiran pada

timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa

pengalaman pikiran dan sensorinya dapat dia kontrol

bila kecemasannya diatur, dalam tahap ini

kecenderungan klien merasa nyaman dengan

halusinasinya.

3) Stage III : Condemning

Secara umum halusinasi sering mendatangi klien

Karakteristik : Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan

mengalami bias. Klien mulai merasa tidak mampu

lagi mengontrolnya dan mulai berupaya menjaga

jarak antara dirinya dengan objek yang

dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang

lain, dengan insensitas waktu yang lama.

4) Stage IV : Controlling Severe Leve or Anxiety

Fungsi sensori menjadi tidak relevan dengan kenyataan

Karakteristik : Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori

abnormal yang datang. Klien dapat merasakan


20

kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah

dimulai fase gangguan psikotik.

5) Stage V : Conquering Panic Level of Anxiety

Klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya

Karakteristik : Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai

terasa terancam dengan datangnya suara-suara

terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman

atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya.

Halusinasi dapat berlangsung selama minimal 4 jam

atau seharian bila klien tidak mendapatkan

komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik

berat.

4. Tanda dan Gejala

Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering

didapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah

tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba menjadi marah

atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang

menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi

yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan).

Tanda dan gejala berdasarkan jenis-jenis halusinasi:


21

a. Halusinasi pendengaran/suara/akustik

Data objektif : Bicara sendiri atau ketawa sendiri, marah-marah

tanpa sebab, mengarahkan telinga kearah

tertentu, menutup telinga.

Data subjektif : Mendegar suara atau kegaduhan,mendengar

suara yang mengajak bercakap-

cakap,mendengar suara yang menyuruh

melakukan sesuatu yang berbahaya.

b. Halusinasi penglihatan/visual

Data obkektif : Menunjuk nunjuk kearah tertentu,ketakutan

kepada sesuatu yang tidak jelas.

Data subjektif : Melihat bayangan, sinar bentuk geometris,

bentuk kartoon, melihat hantu atau monster.

c. Halusinasi penghidu/penciuman

Data objektif : Sering meludah,muntah.

Data subjektif : Membaui bau-bauan seperti bau darah, urine,

feses kadang-kadang bau itu menyenangkan.

d. Halusinasi pengecap

Data objektif : Sering meludah, muntah.

Data subjektif : Merasakan rasa seperti darah, urin dan feses.

e. Halusinasi perabaan/sentuhan/taktil

Data objektif : Menggaruk-garuk permukaan kulit.


22

Data subjektif : Menyatakan ada serangga di permukaan kulit,

merasa tersengat listrik.

f. Halusinasi kinestetik

Data objektif : Memverbalisasi atau obsesi terhadap proses

tubuh, menolak untuk menyelesaikan tugas

yang memerlukan bagian tubuh pasien yang

diyakini pasien tidak berfungsi.

Data Subjektif : Merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir

melalui vena dan arteri, makanan dicerna, atau

pembentukan urine.

5. Pemeriksaan Penunjang

a. EEG (Electro Ensefalo Grafik) adalah suatu pemeriksaan untuk

membantu dalam membedakan etiologifungsional dan organik dalam

kelainan status mental.

1) Pemeriksaan sinar X, untuk mengetahui apakah gangguan jiwa

disebabkan oleh struktur anatomi tubuh.

2) Pemeriksaan laboratirium, kromosom, darah berfungsi untuk

mengetahui apakah gangguan jiwa disebabkan oleh unsur genetik

b. MRI (Magnetic Reconance Imaging)

Memberikan gambaran otak tiga dimensi, dapat diperhatikan

gambaran yang lebih kecil dari lobus frontal rata-rata atrofi lobus
23

temboral (terutama hipotalamus, hirus parahipokampus dan ginus

temporal superior.

6. Komplikasi

Perilaku kekerasan yang ditunjukkan pada diri sendiri, orang lain

dan lingkungan yang diakibatkan dari perintah halusinasi yang sudah

berada pada fase 4. Klien sudah dikuasai oleh halusinasi, klien panik.

Perilaku yang muncul: resiko tinggi menciderai, agitasi atau kataton, tidak

mampu merespon tantangan yang ada.


24

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Untuk dapat menjaring data yang diperlukan umumnya, dikembangkan

formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memudahkan

dalam pengkajian. Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2012) isi

pengkajian meliputi:

a. Identitas klien

b. Keluhan utama dan alasan masuk

c. Faktor predisposisi

1) Faktor Biologis

Terdapat lesi pada area frontal, temporal dan limbik

2) Faktor Perkembangan

Rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan

individu tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang

percaya diri dan lebih rentan terhadap stress adalah merupakan

salah satu tugas perkembangan yang terganggu.

3) Faktor Sosiokultural

Individu yang merasa tidak diterima lingkungannya akan merasa

disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.

4) Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya

stress yang berlebihan dialami individu maka didalam tubuh akan

dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusnogenik neurokimia


25

seperti Buffofenon dan Dimetytransferase (DMP). Akibat stress

berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter

otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan Acetylcholin dan

Dopamin.

5) Faktor Psikologis

Tipe kepribadian yang lemah dan tidak bertanggung jawab mudah

terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Selain itu ibu yang

pencemas, overprotektif, dingin, tidak sensitif, pola asuh tidak

adekuat, konflik perkawinan, koping tidak adekuat juga

berpengaruh pada ketidakmampuan individu dalam mengambil

keputusan yang tepat demi masa depannya. Individu lebih

memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam

nyata.

6) Faktor Genetik

Penelitian menunjukkan bahwa anak yang di asuh oleh orang tua

skizofrenia cenderung akan mengalami skizofrenia juga.

d. Faktor Presipitasi

1) Biologis

Stressor biologis yang berhubungan dengan respons neurobiologik

yang maladaptif termasuk gangguan dalam putaran umpan balik

otak yang mengatur proses informasi dan adanya abnormalitas

pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan

ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.


26

2) Pemicu Gejala

Pemicu atau stimulus yang sering menimbulkan episode baru

suatu penyakit yang biasanya terdapat pada respons neurobiologis

yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan, lingkungan,

sikap dan perilaku individu.

a) Kesehatan, seperti gizi buruk, kurang tidur, keletihan, infeksi,

obat Sistem Syaraf Pusat, gangguan proses informasi, kurang

olahraga, alam perasaan abnormal dan cemas.

b) Lingkungan, seperti lingkungan penuh kritik, gangguan dalam

hubungan interpersonal, masalah perumahan, stress,

kemiskinan, tekanan terhadap penampilan, perubahan dalam

kehidupan dan pola aktivasi sehari-hari, kesepian (kurang

dukungan) dan tekanan pekerjaan.

c) Perilaku, seperti konsep diri rendah, keputus-asaan, kehilangan

motivasi, tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual,

bertindak berbeda dengan orang lain, kurang keterampilan

sosial, perilaku agresif dan amuk.

e. Aspek fisik atau psikologis

f. Aspek psikososial

g. Status mental

h. Kebutuhan persiapan pulang

i. Mekansime koping

j. Masalah psikososial dan lingkungan


27

k. Pengetahuan

l. Aspek medik.

Kemudian data yang diperoleh dapat dikelompokkan menjadi dua

macam sebagai berikut :

a. Data objektif ialah data yang ditemukan secara nyata. Data ini

didapatkan melalui observasi atau pemeriksaan langsung oleh perawat.

b. Data subjektif ialah data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan

keluarga. Data ini diperoleh melalui wawancara perawat kepada klien

dan keluarga. Data yang langsung didapat oleh perawat disebut sebagai

data primer, dan data yang diambil dari hasil catatan tim kesehatan lain

sebagai data sekunder.

Menurut Kusnadi (2014) data objektif dan subjektif yang perlu dikaji

yaitu:

1. Data Objektif

Kaji faktor risiko:

a. Penampilan secara umum: ekspresi wajah, postur tubuh, pakaian

b. Perilaku selama wawancara: agitasi, gelisah, kooperatif, menarik

diri, bermusuhan, disosiasi

c. Pola komunikasi

d. Status nutrisi

e. Pola istirahat atau tidur

f. Manifestasi klinis

2. Data subjektif
28

a. Status psikologis:

1) Masalah yang ada.

2) Perasaan tentang: keputus-asaan, tidak berdaya, isolasi atau

penolakan, marah atau bermusuhan, rasa bersalah atau malu,

impulsif.

3) Ketergantungan atau penyalahgunaan obat.

4) Riwayat masalah psikiatrik:diagnosis, pengobatan dan

mematuhinya, riwayat sebelumnya, sistem dukungan pasien

rawat jalan.

b. Status medis

1) Penyakit akut atau kronis.

2) Apakah individu melakukan konsultasi dalam jangka waktu 6

bulan terakhir?

3) Berapa kali kontrol obat dan untuk mengatasi masalah apa?

4) Obat-obat apa yang diresepkan.

5) Obat-obat apa yang tidak diresepkan.

c. Sumber stres pada lingkungan sebelumnya

1) Kehilangan atau berganti pekerjaan.

2) Kegagalan dalam pekerjaan atau sekolah.

3) Tekanan kekurangan finansial.

4) Perceraian atau perpisahan.

5) Kematian orang terdekat.

6) Penyakit atau kecelakaan.


29

7) Penggunaan alkohol atau minuman keras di dalam keluarga.

8) Tidak dinamisnya fungsi keluarga.

9) Penolakan orang tua.

10) Penyiksaan fisik, psikologis, seksual.

11) Harapan yang tidak realistis.

12) Trauma berat.

d. Sumber stres dilingkungan sekarang

1) Dari faktor sebelumnya.

2) Tindakan kriminal.

3) Penggunaan alkohol atau minuman keras.

4) Peralihan tugas atau tanggung jawab.

5) Tekanan atau ancaman pada konsep diri.

e. Kaji kesadaran individu

f. Strategi koping

1) Kaji kemampuan individu dan keluarga untuk mengatasi

stressor.

2) Ketersediaan sumber.

3) Tingkat kontrol impuls.

4) Mengsmbil risiko yang tidak diperlukan.

g. Sistem pendukung

1) Siapa yang menenmani pasien selama stres.

2) Sumber pribadi dan finansial: pekerjaan, finansial, rumah atau

tempat tinggal.
30

2. Diagnosa keperawatan yang sering muncul

Pohon Masalah

Resiko Perilaku kekerasan

Gangguan Persepsi sensori :


halusinasi pendengaran

Isolasi Sosial Defisit perawatan diri

Gangguan Konsep Diri : HDR

Koping individu tidak


efektif

Gambar 2. Pohon masalah gangguan persepsi : halusinasi (Keliat, 2006).

Adapun diagnosa keperawatan klien yang muncul pada klien dengan

gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran adalah sebagai

berikut:

a. Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran.

b. Isolasi sosial.
31

c. Risiko perilaku kekerasan (diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan

verbal).

d. Harga Diri Rendah.

e. Koping individu tidak efektif

f. Defisit Perawatan Diri

3. Intervensi keperawatan

a. Gangguan persepsi sensori: Halusinasi pendengaran

1) Tindakan keperawatan untuk pasien

a) Tujuan:

(1) Pasien mengenali halusinasinya

(2) Pasien dapat mengontrol halusinasinya

(3) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal

b) Kriteria Hasil:

(1) Pasien dapat menyebutkan isi, waktu, frekuensi, situasi

pencetus terjadinya halusinasi.

(2) Mampu memperagakan cara dalam mengontrol halusinasi.

Strategi pelaksana pasien Halusinasi Pendengaran

SP 1

(1) Mengidentifikasi jenis halusinasi klien

(2) Mengidentifikasi isi halusinasi klien.

(3) Mengidentifikasi waktu halusinasi klien.

(4) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi klien.


32

(5) Mengidentifikasi situasi yang dapat menimbulkan

halusinasi klien.

(6) Mengidentifikasi respon klien terhadap halusinasi klien.

(7) Mengajarkan klien menghardik halusinasi

(8) Menganjurkan klien memasukkan cara menghardik ke

dalam kegiatan harian.

SP 2

(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien (SP 1)

(2) Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara

bercakap-cakap dengan orang lain.

(3) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan

harian.

SP 3

(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien (SP 1 dan 2)

(2) Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan melakukan

kegiatan (kegiatan yang biasa dilakukan klien)

(3) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan

harian.

SP 4

(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien(SP1,2&3)

(2) Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan

obat secara teratur.


33

(3) Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan

harian

c) Tindakan Keperawatan pada pasien

(1) Membantu pasien mengenali halusinasi

Diskusikan dengan pasien tentang isi halusinasi, waktu

terjadinya halusinasi, frekuensi halusinasi, situasi pencetus

serta respons pasien terhadap halusinasi.

(2) Melatih pasien mengontrol halusinasi (menggunakan 4 cara

yang sudah teruji)

(a) Menghardik halusinasi

Adalah upaya menegndalikan diri terhadap halusinasi

dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien

dilatih untuk mengatakan tidak pada halusinasinya atau

mengabaikan halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan,

pasien akan dapat mengontrol diri dan tidak mengikuti

halusinasinya. Mungkin halusinasi tetap ada, namun

dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk

menuruti apa yang ada dalam halusinasinya.

Tahapan tindakan meliputi:

 Menjelaskan cara menghardik halusinasi

 Memperagakan cara menghardik

 Meminta pasien memperagakan ulang


34

 Memantau penerapan cara ini, menguatkan

perilaku pasien

(b) Bercakap-cakap dengan orang lain

Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan cara

bercakap-cakap, sehingga terjadi distraksi (fokus

perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke

percakapan yang dilakukan tadi).

(c) Melakukan aktivitas yang terjadwal

Cara untuk mencegah potensi halusinasi muncul lagi

adalah menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur,

sehingga pasien tidak mengalami banyak waktu luang

sendiri yang seringkali mencetuskan halusinasi. Untuk

itu pasien harus dibantu membuat jadwal kegiatannya

dari bangun pagi sampai tidur malam, 7 hari dalam

seminggu.

Tahapan intervensinya adalah:

 Menjelaskan pentingnya aktivitas teratur untuk

mengatasi halusinasi

 Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan

dengan pasien

 Melatih pasien melakukan aktivitas

 Menyusun jadwal aktivitas sehari-hari


35

 Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan,

memberikan penguatan terhadap perilaku pasien

yang positif

(d) Menggunakan obat secara teratur

Pasien gangguan jiwa seringkali mengalami putus obat,

sehingga mengalami kekambuhan serta menyulitkan

pemulihan seperti keadaan semula. Untuk itu perlu

ditekankan adanya pengobatan secara teratur dan

berkelanjutan sesuai program.

Berikut cara komunikasi agar pasien patuh

menggunakan obat:

 Jelaskan kegunaan obat.

 Jelaskan akibat putus obat.

 Jelaskan cara mendapatkan obat atau berobat.

 Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip

belapan benar (8B).

2) Tindakan keperawatan untuk keluarga

a) Tujuan:

1) Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di

rumah sakit maupun di rumah.

2) Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif

untuk pasien.

Strategi Pelaksaan untuk keluarga pasien halusinasi


36

b) Kriteria Hasil

1) Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan

2) Melakukan follow up rujukan

Strategi Pelaksa pada keluarga pasien halusinasi pendengaran

SP 1

(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam

merawat klien.

(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, jenis halusinasi

serta proses terjadinya halusinasi.

(3) Menjelaskan cara merawat klien dengan halusinasi.

SP 2

(1) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien

dengan halusinasi.

(2) Melatih keluarga cara merawat langsung kepada klien

halusinasi.

SP 3

(1) Membantu keluarga membuat jadwal aktifitas di rumah

termasuk minum obat (discharge planning).

(2) Menjelaskan follow up klien setelah pulang

c) Tindakan keperawatan:

(1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam

merawat pasien
37

(2) Berikan pendidikan kesehatan tentang halusinasi, proses

terjadinya halusinasi dan cara merawat halusinasi.

(3) Berikan kesempatan pada keluarga untuk memperagakan

cara merawat pasien dengan halusinasi langsung dihadapan

pasien.

(4) Buat perencanaan pulang bersama keluarga.

b. Isolasi Sosial

1) Tindakan keperawatan untuk pasien

a) Tujuan:

(1) Membina hubungan saling percaya.

(2) Menyadari penyebab isolasi sosial.

(3) Berinteraksi dengan orang lain.

b) Kriteria Hasil :

(1) Membina hubungan saling percaya.

(2) Menyadari penyebab isolasi sosial, keuntungan dan

kerugian berinteraksi dengan orang lain.

(3) Melakukan interaksi dengan orang lain secara bertahap

Strategi Pelaksana pasien isolasi sosial

SP 1

(1) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial

(2) Berdiskusi dengan klien tentang keuntungan berinteraksi

dengan orang lain.


38

(3) Berdiskusi dengan klien tentang kerugian berinteraksi

dengan orang lain.

(4) Mengajarkan klien cara berkenalan dengan satu orang.

(5) Menganjurkan klien memasukkan kegiatan latihan

berbincang-boncang dengan orang lain dalam kegiatan

harian.

SP 2

(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

(2) Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikkan

cara berkenalan dengan satu orang.

(3) Membantu klien memasukkan kegiatan latihan berbincang-

bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan

harian.

SP 3

(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

(2) Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikkan

cara berkenalan dengan satu orang atau lebih.

(3) Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan

harian.

c) Tindakan keperawatan

(1) Membina hubungan saling percaya

Tindakan yang harus dilakukan dalam membina hubungan

saling percaya adalah:


39

(a) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan

pasien

(b) Berkenalan dengan pasien: perkenalkan nama, nama

panggilan yang disukai, serta tanyakan nama pasien

dan nama panggilan yang disuakainya.

(c) Menanyakan perasaan dan keluahn pasien saat ini.

(d) Buat kontrak asuhan: apa yang akan dilakukan bersama

pasien, berapa lama dikerjakan dan tempatnya di mana.

(e) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan semua

informasi yang disampaikan pasien untuk kepentingan

terapi.

(f) Setiap saat tunjukkan sikap empati atau caring terhadap

pasien.

(g) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan.

Untuk membina hubungan saling percaya dengan

pasien isolasi sosial, kadang-kadang perlu waktu yang

lama tetapi interaksinya singkat dan sering, karena

tidak mudah bagi pasien untuk percaya dengan orang

lain.

Perawat pun harus konsisten bersikap terapeutik

terhadap pasien. Salah satunya adalah dengan selalu

memenuhi janji dengan pasien. Jika sudah tumbuh rasa


40

percaya, terapi yang lebih baik akan mungkin

dijalankan.

(2) Membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial

(a) Menanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan

berinteraksi dengan orang lain.

(b) Menayakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin

berinteraksi dengan orang lain.

(3) Membantu pasien mengenal keuntungan berinteraksi

dengan orang lain

Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman

dan bergaul akrab dengan mereka

(4) Membantu pasien mengenal kerugian yang tidak

berhubungan dengan orang lain

(a) Mendiskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung

diri di kamar dan tidak bergaul dengan orang lain

(b) Menjelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap

kesehatan fisik pasien

(5) Membantu pasien berinteraksi dengan orang lain secara

bertahap

Perawat tidak mungkin mengubah kebiasaan pasien untuk

berinteraksi dengan orang lain secara drastis karena

kebiasaan itu telah terbentuk dalam waktu yang lama.

Langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:


41

(a) Beri kesempatan pasien mempraktikkan cara

berinteraksi dengan orang lain yang dilakukan di

hadapan perawat.

(b) Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang

(pasien lain, perawat lain, keluarga).

(c) Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan

jumlah interaksi dengan dua, tiga, empat orang dan

seterusnya.

(d) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah

dilakukan oleh pasien.

(e) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien

setelahberinteraksi dengan orang lain. Mungkin pasien

akan mengungkapkan keberhasilan atau

kegagalaannya. Beri dorongan terus menerus agar

pasien tetap semangat menignkatkan interaksinya.

2) Tindakan keperawatan untuk keluarga

a) Tujuan:

(1) Keluarga mampu merawat pasien isolasi sosial

b) Kriteria Hasil

(1) Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan

(2) Melakukan follow up rujukan

Strategi pelaksa pada keluarga pasien isolasi sosial

SP 1
42

(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam

merawat pasien.

(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial

yang dialami klien beserta proses terjadinya.

(3) Menjelaskan cara-cara merawat klien dengan isolasi sosial

SP 2

(1) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien

dengan isolasi sosial.

(2) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat langsung

kepada klien isolasi sosial.

SP 3

(1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah

termasuk minum obat (discharge planning).

(2) Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

c) Tindakan Keperawatan

(1) Melatih keluarga merawat pasien dengan isolasi sosial.

Keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi pasien

untuk dapat membantu pasien mengatasi masalah ini.

Karena keluargalah yang selalu bersama-sama dengan

pasien sepanjang hari. Langkah yang dapat dilakukan

adalah:

(a) Diskusikan apa yang dirasakan keluarga dalam

merawat pasien
43

(b) Jelaskan tentang:

- Masalah isolasi sosial dan dampak pada pasien.

- Penyebab isolasi sosial

- Cara merawat pasien dengan isolasi sosial, antara

lain:

 Membina hubungan saling percaya dengan

pasien melalui sikap peduli, caring dan tidak

ingkar janji.

 Memberikan semangat dan dorongan kepada

pasien untuk bisa melakukan kegiatan bersama-

sama dengan orang lain, yaitu dengan tidak

mencela kondisi pasien serta memberikan

pujian yang wajar.

 Tidak membiarkan pasien sendirian diruangan

 Membuat rencana atau jadwal bercakap-cakap

dengan pasien.

(c) Memperagakan cara merawat pasien dengan isolasi

sosial

(d) Membantu keluarga memperagakan cara merawat

pasien dengan isolasi sosial yang telah dipelajari

(e) Menyusun perencanaan pulang bersama keluarga


44

c. Risiko perilaku kekerasan.

1) Tindakan keperawatan untuk pasien.

a) Tujuan:

(1) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku

kekerasan.

(2) Pasien dapat mengiddentifikasi tanda perilaku kekerasan.

(3) Pasien dapat meneyebutkan jenis perilaku kekerasan yang

pernah dilakukannya.

(4) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan

yang dilakukannya.

(5) Pasien dapat menyebutkan cara mencegah atau mengontrol

perilaku kekerasannya.

(6) Pasien dapat mencegah atau mengontrol perilaku

kekerasan secara fisik, spiritual, sosial dan dengan

psikofarmaka.

b) Kriteria Hasil

(1) Menyebutkan penyebab, tanda, gejala, dan akibat perilaku

kekerasan.

(2) Memperagakan cara fisik 1 untuk mengontrol perilaku

kekerasan.

Strategi Pelaksa pasien perilaku kekerasan

SP 1

(1) Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.


45

(2) Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.

(3) Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan.

(4) Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.

(5) Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.

(6) Membantu klien mempraktikkan latihan cara mengontrol

perilaku kekerasan secara fisik 1: Latihan nafas dalam.

(7) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan

harian.

SP 2

(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

(2) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara

fisik 2: pukul kasur dan bantal.

(3) Menganjrukan klien memasukkan ke dalam kegiatan

harian.

SP 3

(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.

(2) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara

sosial/verbal.

(3) Menganjrukan klien memasukkan ke dalam kegiatan

harian.

SP 4

(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.


46

(2) Melatih klien mengontrol halusinasi perilaku kekerasan

dengan cara spiritual.

(3) Menganjrukan klien memasukkan ke dalam kegiatan

harian.

SP 5

(1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

(2) Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan

minum obat.

(3) Menganjurkan klien memasukkan kedalam kegiatan

harian.

c) Tindakan keperawatan:

(1) Bina hubungan saling percaya

(a) Mengucapkan salam terapeutik

(b) Berjabat tangan

(c) Menjelaskan tujuan interaksi

(d) Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali

bertemu pasien

(2) Diskusikan dengan pasien penyebab perilaku kekerasan

saat ini dan masa lalu.

(3) Diskusikan dengan pasien tanda dan gejala perilaku

kekerasan: secara fisik, psikologis, sosial, spiritual dan

secara intelektual.
47

(4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa

dilakukannya pada saat marah, secara: verbal, terhadap

orang lain, diri sendiri dan terhadap lingkungan.

(5) Diskusikan dengan pasien akibat perilakunya.

(6) Diskusikan dengan pasien cara mengontrol perilaku

kekerasan secara:

(a) Fisik: pukul kasur dan bantal, tarik napas dalam.

(b) Medis: obat.

(c) Sosial atau verbal: menyampaikan marah secara asertif.

(d) Spritual: berdoa sesuai keyakinan.

(7) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik.

(a) Latihan bernapas dalam dan memukul bantal atau

kasur.

(b) Susun jadwal kegiatan latihan napas dalam dan

memukul bantal atau kasur.

(8) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara sosial

atau verbal.

(a) Latih mengungkapkan rasa marah secara verbal:

menolak dengan baik, meminta dengan baik,

mengungkapkan perasaan dengan baik.

(b) Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara

verbal.
48

(9) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara

spiritual.

(a) Latih mengungkapkan marah secara spiritual: berdoa.

(b) Buat jadwal latihan berdoa.

(10) Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh

minum obat.

(a) Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip

delapan benar.

(b) Susun jadwal minum obat secara teratur.

(11) Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok

stimulasi persepsi mengontrol perilaku kekerasan.

2) Tindakan keperawatan untuk keluarga

a) Tujuan:

Keluarga dapat merawat pasien di rumah.

b) Kriteria hasil

(1) Menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan

(2) Melakukan follow up rujukan

Strategi pelaksa pada keluarga pasien perilaku kekerasan

SP 1

(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam

merawat pasien.

(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku

kekerasan yang dialami klien beserta proses terjadinya.


49

SP 2

(1) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien

dengan perilaku kekerasan.

(2) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat langsung

kepada klien dengan perilaku kekerasan.

SP 3

(1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah

termasuk minum obat (discharge planning).

(2) Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

c) Tindakan keperawatan:

(1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam

merawat pasien.

(2) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan:

penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul dan

akibat dari perilaku tersebut.

(3) Diskusikan bersama keluarga kondisi pasien yang perlu

segera dilaporkan kepada perawat, seperti: melempar,

memukul benda atau orang.

(4) Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan:

(a) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien

melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.


50

(b) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada

pasien jika dapat melakukan kegiatan tersebut secara

tepat.

(c) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus

dilakukan bila pasien menunjukkan gejala perilaku

kekerasan.

(5) Buat perencanaan pulang bersama keluarga.

4. Evaluasi

Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah perawat lakukan

untuk pasien halusinasi adalah sebagai berikut:

a. Pasien mempercayai perawatnya sebagai terapis, ditandai dengan:

1) Pasien mau menerima perawat sebagai perawatnya

2) Pasien mau menceritakan masalah yang dia hadapai kepada

perawatnya, bahkan hal-hal yang selama ini dianggap rahasia

untuk orang lain.

3) Pasien mau bekerja sama dengan perawat, setiap program yang

perawat tawarkan ditaati oleh pasien.

b. Pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada obyeknya dan

merupakan masalah yang harus diatasi, ditandai dengan:

1) Pasien mengungkapkan isi halusinasinya yang dialaminya.

2) Pasien menjelaskan waktu, dan frekuensi halusinasi yang

dialaminya.

3) Pasien menjelaskan situasi yang mencetuskan halusinasi.


51

4) Pasien menjelaskan perasaannya ketika mengalami halusinasi

5) Pasien menjelaskan bahwa ia akan berusaha mengatasi halusinasi

yang dialaminya

c. Pasien dapat Mengontrol Halusinasi, ditandai dengan:

1) Pasien mampu memperagakan empat cara mengontrol halusinasi.

2) Pasien menerapkan empat cara mengontrol halusinasi:

(a) Menghardik halusinasi

(b) Berbicara dengan orang lain disekitarnya bila timbul

halusinasi.

(c) Menyusun jadwal kegiatan dari bangun tidur di pagi hari

sampai mau tidur pada malam hari dan melaksanakan jadwal

tersebut secara mandiri.

(d) Mematuhi program pengobatan.

d. Keluarga mampu merawat pasien di rumah, di tandai dengan:

1) Keluarga mampu menjelaskan masalah halusinasi yang dialami

oleh pasien.

2) Keluarga mampu menjelaskan cara merawat pasien di rumah.

3) Keluarga mampu memperagakan cara bersikap terhadap pasien.

4) Keluarga mampu menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat

digunakan untuk mengatasi masalah pasien.

5) Keluarga melaporkan keberhasilan merawat pasien.

(Purba, Wahyuni, Nasution, Daulay, 2009).

C. Kerangka Teori
52

Halusinasi Pendengaran

Konsep Teori Konsep Asuhan


Keperawatan

1. Definisi 1. Pengkajian
2. Etiologi Keperawatan
2. Diagnosa
3. Patofisiologi Keperawatan
4. Tanda dan Gejala 3. Intervensi
5. Pemeriksaan Keperawatan
4. Implementasi
Penunjang Keperawatan
6. Komplikasi 5. Evaluasi
Keperawatan

Gambar 3. Kerangka Teori (Yosep 2010 dan Damaiyanti 2012)


53

D. Pertanyaan Penelitian

Judul Penelitian:

Asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi pendengaran di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat tahun 2015

Pertanyaan Penelitian:

1. Bagaimana pengkajian keperawatan pada pasien dengan halusinasi

pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat tahun

2015.

2. Bagaimana diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien

dengan halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Kalimantan Barat tahun 2015.

3. Bagaimanakah intervensi keperawatan yang efektif untuk menangani

pasien dengan halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Provinsi

Kalimantan Barattahun 2015.

4. Bagaimanakah hasil evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan

halusinasi pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan

Barat tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai