Anda di halaman 1dari 110

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

Laporan Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktik Profesi Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J

Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721067

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM
PROFESI 2023
A. KASUS/MASALAH UTAMA
1. Pengertian Gangguan Persepsi Sensori
Sensori adalah stimulus atau rangsang yang datang dari dalam maupun luar
tubuh. Stimulus tersebut masuk ke dalam tubuh melalui organ sensori (panca
indera). Dalam menjalankan fungsinya organ sensori berkaitan erat dengan sistem
persyarafan yang berfungsi sebagai reseptor dan penghantar stimulus sehingga
tercipta sebuah persepsi yang dapat menimbulkan reaksi dari individu.
Persepsi adalah proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan
dimengerti penginderaan. Gangguan persepsi merupakan ketidakmampuan
manusia dalam membedakan antara rangsangan yang timbul dari sumber internal
(pikiran, perasaan) dan stimulus eksternal (Rusdi,2017). Gangguan persepsi dapat
terjadi pada proses sensori dari :
 Pendengaran
 Penglihatan
 Penciuman
 Perabaan
 Pengecapan
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi:
a. Gangguan Otak
Kerusakan otak, keracunan, obat halusinogenik
b. Gangguan jiwa
• Keadaan emosi tertentu dapat mengakibatkan ilusi
• Psikosa dapat menyebabkan halusinasi
c. Pengaruh lingkungan sosiobudaya
• Mempengaruhi persepsi karena penilaian sosiobudaya yang
berbeda Perubahan persepsi:
a) Halusinasi
Pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indera seorang pasien,
yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun
b) Ilusi
Interpretasi atau penilaian yang salah tentang pencerapan yang sungguh terjadi
pada panca indera, mis: bunyi angin didengarnya seperti dipanggil nama,
bayangan daun dilihat seperti orang
c) Depersonalisasi
Perasaan aneh tentang dirinya atau perasaan bahwa pribadinya sudah tidak
seperti biasa lagi, mis: pengalaman diluar tubuh/ OBE, salah satu bagian
tubuhnya bukan kepunyaannya lagi
d) Derealisasi
Perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak sesuai dengan kenyataan,
mis: merasakan segala sesuatu seperti dalam mimpi
e) Gangguan somatosensorik pada reaksi konversi
Mis: anastesi, parastesi, gg penglihatan, perasaan nyeri, makropsia/mikropsia
f) Gangguan psikofisologik
Gejala atau gangguan pada bagian tubuh yang disebabkan oleh gangguan
emosi, mis: pada kulit urtikaria, pada otot dan tulang LBP, pada pernafasan
timbul sesak/asma, pada jantung terjadi palpitasi, pencernaan mual/muntah
diare, perkemihan sering berkemih, mata berkunang2, telinga tinitus
g) Agnosia
Ketidakmampuan untuk mengenal dan mengartikan pencerapan sebagai akibat
kerusakan otak
2. Pengertian Halusinasi
Gangguan persepsi sensori adalah perubahan persepsi terhadap stimulus baik
internal maupun eksternal yang disertai dengan respon yang berkurang, berlebihan
atau terdistorsi (SDKI, 2017) Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa
dimana klien merasakan suatu stimulus yang sebenarnya tidak ada. Klien
mengalami perubahan sensori persepsi: merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman (Sutejo, 2017)
Diperkirakan lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami halusinasi.
Meskipun bentuk halusinasinya bervariasi tetapi sebagian besar klien skizofrenia
di Rumah Sakit Jiwa mengalami halusinasi dengar. Suara dapat berasal dari dalam
diri individu atau dari luar dirinya. Suara dapat dikenal (familiar) misalnya suara
nenek yang meninggal. Suara dapat tunggal atau multiple. Isi suara dapat
memerintahkan sesuatu pada klien atau seringnya tentang perilaku klien sendiri.
Klien sendiri merasa yakin bahwa suara itu berasal dari Tuhan, setan, sahabat,
atau musuh. Kadang-kadang suara yang muncul semacam bunyi bukan suara yang
mengandung arti.
3. Etiologi
Proses terjadinya halusinani diawali dari atau dengan orang yang menderita
halusinasi akan menganggap sumber dari halusinasinya beranal dari
lingkungannya atau stimulus eksternal (Yoscp, 2011). Pada fase awal masalah itu
menimbulkan peningkatkan kecemasan yang teruskan sistem pendukung yang
kurang akan menghambat atau membuat persepsi untuk membedakan antara apa
yang dipikirkan dengan perasaan sendiri menurun. Meningkatnya pada fase
comforting, klien mengalami emosi yang berlanjut seperti cemas, kesepian,
perasaan berdosa dan sensorinya dapat dikontrol bila kecemasan dapat diatur.
Pada fase ini klien cenderung merasa nyaman dengan halusinasinya. Pada fase
condermning klien mulai menarik diri. Pada fase controlling klien dapat
merasakan kesepian bila halusinasinya berhenti. Pada fase conquering klien lama
kelamaan sensorinya terganggu, klien merasa terancam dengan halusinasinya
terutama bila tidak menuruti perintahnya.
Awalnya klien yang mengalami halusinasi sering melamun dan berangan-
angan akibat dari kegagalan yang berulang-ulang, sehingga klien berada dalam
situasi yang penuh dengan stress. Sering melamun dan berangan-angan inilah
yang menyebabkan klien sering mengalami halusinasi..
4. Rentang Respon
Halusinasi merupakan gangguan dari persepsi sensori, sehingga halusinasi
merupakan gangguan dari respons neurobiology. Oleh karenanya, secara
keseluruhan, rentang respons halusinasi mengikuti kaidah rentang respons
neurobiology.
Rentang respons neurobiology yang paling adaptif adalah pikiran logis,
persepsi akurat, emosi yang konsisten dengan pengalaman, perilaku cocok, dan
terciptanya hubungan social yang harmonis. Sementara itu, respons maladaptive
meliputi adanya waham, halusinasi, kesukaran proses emosi, perilaku tidak
terorganisasi, dan isolasi social: menarik diri.
Berikut adalah gambaran rentang respons neurobiology.

Adaptif Maladaptif

Pikiran logis Gangguan proses pikir:


Persepsi akurat Perilaku kadang waham
Emosi yang konsisten menyimpang Halusinasi
dengan pengalaman Ilusi Ketidakmamuan untuk
Perilaku sesuai Emosi tidak stabil mengalami emosi
Hubungan sao. sial yang Perilaku aneh Isolasi sosial
hba. rmonis. Menarik diri

c. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi sesuatu masalah akan dapat memecahlan masalah tersebut, respon
adaptif :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
Penerimaan pesan yang disadari oleh indra perasaan, dimana dapat
membedakan objek yang satu dengan yang lain dan mengenai
kualitasnya menurut berbagai sensasi yang dihasilkan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu respon yang diberikan oleh
individu sesuai dengan stimulus yang datang
4) Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan peran
5) Hubungan sosial adalah interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
d. Respon maldaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan.
1) Gangguan proses pikir adalah keyakinan yang secara kokoh,
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang menyimpang atau persepsi
yang tidak realita atau tidak nyata
3) Ketidakmampuan untuk mengalami emosi adalah keadaan emosi yang
menyebabkan gangguan pada diri seseorang, baik karena emosi yang
timbul terlalu kuat atau emosi yang tidak hadir. Wajah dingin, jarang
tersenyum, acuh tak acuh.
4) Isolasi sosial adalah Keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya.
5. Jenis Halusinasi
Menurut Sutejo (2017), halusinasi diklasifikasikan menjadi 5 jenis, yaotu
halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, penghidung dan halusinasi
perabaan. Sekitar 70% halusinasi yang dialami klien gangguan jiwa adalah
halusinasi pendengaran, 20% halusinasi penglihatan dan 10% halusinasi
pengecap, penciuman dan perabaan.
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Pendengaran  Mengarahkan telinga  Mendengar suara
pada sumber suara atau bunyi gaduh
 Marah – marah tanpa  Mendengar suara
sebab yang jelas yang menyuruh untuk
 Bicara atau tertawa melakukan sesuatu
sendiri yang berbahaya
 Menutup telinga  Mendengar suara
yang mengajak
bercakap – cakap
 Mendengar suara
orang yang sudah
meninggal
Halusinasi Penglihatan  Ketakutan pada  Melihat makhluk
sesuatu atau objek tertentu, bayangan,
yang dilihat seseorang yang sudah
 Tatapan mata menuju meninggal, sesuatu
tempat tertentu yang menakutkan
 Menunjuk ke arah atau hantu, cahaya
tertentu
Halusinasi Pengecapan  Adanya tindakan  Klien seperti sedang
mengecap sesuatu, merasakan makanan
gerakan mengunyah, atau rasa tertentu,
sering meludah, atau atau mengunyah
muntah sesuatu
Halusinasi Penghidung  Adanya gerakan  Mencium bau dari
cuping hidung karena bau - bauan
mencium sesuatu atau tertentu,seperti bau
mengarahkan hidung mayat, masakan,
pada tempat tertentu feses, bayi atau
 Halusinasi parfum
penciuman sering  Klien sering
menyertai klien mengatakan bahwa ia
demensia, kejang, mencium suatu bau
atau penyakit
serebrovaskular
Halusinasi Perabaan  Menggaruk – garuk  Klien mengatakan
permukaan kulit ada sesuatu yang
 Klien terlihat menggerayangi
menatap tubuhnya tubuh, seperti tangan,
dan terlihat serangga atau
merasakan sesuatu makhluk halus
yang aneh seputar  Merasakan sesuatu di
tubuhnya permukaan kulit,
seperti rasa yang
sangat panas dan
dingin, atau rasa
tersengat aliran listrik

Pada kasus, pasien mengalami halusinasi pendengaran dengan didukung


adanya data keluarga mengatakan klien bicara kacau dan marah – marah.
Klien juga mengatakan kesal dengan suara pacarnya yang muncul pada siang
dan malam hari.
6. Fase Halusinasi
Menurut Sutejo (2017), intensitas halusinasi meliputi 4 tingkat, mulai dari
tingkat, mulai dari tingkat I hingga tingkat IV.
Tingkat Karakteristik Halusinasi Perilaku Klien
Tingkat I  Mengalami ansietas,  Tersenyum
 Tingkat kesepian, rasa bersalah  Menggerakan bibir
ansietas dan ketakutan tanpa bersuara
sedang  Mencoba berfokus pada  Menggerakan mata
 Halusinasi pikiran yang dapat dengan cepat
memberi rasa menghilangkan ansietas  Respon verbal yang
nyaman  Pikiran dan pengalaman lmabat
sensori masih ada dalam  Diam dan
kontrol kesadaran konsentrasi
Tingkat II  Pengalaman sensori  Peningkatan sistem
 Tingkat menakutkan saraf otak, tanda
ansietas berat  Mulai merasa kehilangan tanda ansietas
 Halusinasi kontrol seperti peningkatan
menyebabkan  Merasa dilecehkan oleh denyut jantung,
rasa antipasti pengalaman sensori pernapasan dan
tersebut tekanan darah
 Menarik diri dari orang  Rentang perhatian
lain menyempit
 Konsentrasi dengan
pengalaman sensori
 Kehilangan
kemampuan
membedakan
halusinasi dengan
realita

Tingkat III  Klien menyerah dan  Perintah halusinasi


 Tingkat menerima pengalaman ditaati
ansietas berat sensorinya  Sulit berhubungan
dengan orang lain
 Halusinasi  Isi halusinasi menjadi  Rentang perhatian
sudah tidak atraktif hanya beberapa
dapat ditolak  Kesepian bila detik atau menit
pengalaman sensori  Gejala fisika
berakhir ansietas berat
berkeringat, tremor,
dan tidak mampu
mengikuti perintah
orang lain
Tingkat IV  Pengalaman sensori  Perilaku panik
 Tingkat menjadi ancaman  Berpotensi untuk
ansietas  Halusinasi dapat membunuh atau
panik berlangsung selama bunuh diri
 Halusinasi beberapa jam atau  Tindakan kekerasan
dipengaruhi seharian agitasi, menarik diri
oleh waham atau katatonia
 Tidak mampu
merespons perintah
yang kompleks
 Tidak mampu
merespons terhadap
lebih dari satu orang

Pada kasus, klien mengalami halusinasi di tingkat I dengan data observasi


klien tersenyum, kontak mata mudah beralih dan saat komunikasi dengan
perawat, klien blocking atau diam.
7. Terapi Obat Halusinasi
Obat – obatan antipsikotis (obat – obatan yang memengaruhi pikiran), obat –
obatan jenis ini digunakan untuk pengobatan beberapa penyakit mental seperti
skizofrenia.
Nama Generik Merk Cara Pemakaian dan Efek Samping
Dagang Dosis
Chlorpromazine Thorazine IM dan peroral Sedasi
200 – 600 mg/hari Hipotensi
Thioridazine Mellaril Per oral Sedasi tinggi
Dosis awal: 150 – Hipotensi
300mg/hari lalu ditingkatka Reaksi pyramidal
hingga dosis maksimum ekstra
yaitu 80 mg /hari

B. PROSES TERJADINYA MASALAH


Proses terjadinya halusinasi pada klien akan dijelaskan dengan menggunakan
konsep stress adaptasi Stuart (2013) yaitu:
1) Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya halusinasi adalah:
Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Hal ini dapat diperoleh baik
dari klien maupun dari keluarganya mengenai faktor perkembangan, sosiokultural,
biokimia, psikologis, biologi yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress :
a) Faktor Perkembangan
Jika seseorang mengalami hambatan dengan tugas perkembangan dan
hubungan interpersonal dengan orang lain terganggu, maka individu akan
dihadapi dengan stress dan kecemasan pada dirinya.

b) Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor yang ada dilingkungan dan dimasyarakat dapat menyebabkan
orang merasa diasingkan atau disingkirkan, sehingga klien merasa kesepian
dalam
lingkungan dimana dia berada, walaupun dia ada dalam lingkungan yang ramai.
Klien dengan halusinasi didapatkan sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan
lingkungan pada usia perkembangan anak, tingkat pendidikan rendah, dan
kegagalan dalam hubungan social (perceraian, hidup sendiri), serta tidak bekerja
c) Faktor Biokimia
Faktor biokimia ini mempunyai pengaruh terhadap terjadinya ganggtian jiwa
dimana teori biokimia menyatakan adanya peningkatan dari dopamine
neurotransmiter yang diperkirakan menghasilkan gejala peningkatan aktifitas yang
berlebihan sehingga dapat menghasilkan zat halusinogen.
d) Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan mengakibatkan stress dan
kecemasan, orang yang mengalami psikososial akan mengakibatan dan
menghasilkan hubungan yang penuh dengan kecemasan tinggi. Peran ganda yang
bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan
kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realita. Pada klien
yang mengalami halusinasi, dapat ditemukan adanya kegagalan yang berulang,
individu korban kekerasan, kurangnya kasih sayang, atau overprotekti
e) Faktor Biologi
Dalam schizoprenia belum diketahui gen yang berpengaruh, tetapi hasil penelitian
menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini. Hal yang dikaji pada faktor biologis, meliputi
adanya faktor herediter gangguan jiwa, adanya resiko bunuh diri, riwayat penyakit
atau trauma kepala, dan riwayat pengunaan NAPZA
2) Faktor Presipitasi
1) Biologis
Stressor Biologis yang berhubumgan dengan respon neurobiologik yang
maladaptive termasuk :
 Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi.
 Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk pada otak yang akan
 mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menggapai
rangsangan.
2) Stress Lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi
dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup,
kemiskinan, adanya aturan atau, tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang
sering tidak sesuai dengan klien serta konflik antar masyarakat.
3) Pemicu Gejala
Pemicu merupakan stimulus yang sering menimbulkan episode baru suatu
penyakit.Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologik yang
maladaptive berhubungan dengan kesehatan lingkungan, sikap dan perilaku
klien. Stressor presipitasi pada klien dengan halusinasi ditemukan adanya
riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak.
Tanda dan Gejala / Penilaian Stresor
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap klien serta
ungkapan klien. Adapun tanda dan gejala klien halusinasi adalah:
a. Data Subjektif
Berdasarkan data subjektif, klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi
mengatakan bahwa klien :
 Mendengar suara-suara atau kegaduhan.
 Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
 Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
 Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu
atau monster.
 Mencium bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan.
 Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses.
 Merasa takut atau senang dengan halusinasinya.
b. Data Objektif
Berdasarkan data objektif, klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi
melakukan hal-hal berikut :
 Bicara atau tertawa sendiri.
 Marah-marah tanpa sebab.
 Mengarahkan telinga ke arah tertentu.
 Menutup telinga.
 Menunjuk-nunjuk kearah tertentu.
 Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
 Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
 Menutup hidung.
 Sering meludah.
 Muntah.
 Menggaruk-garuk permukaana kulit.
3) Sumber Koping
Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman tentang pengaruh
gangguan otak pada perilaku. Kekuatan dapat meliputi modal, seperti intelegasi
atau kreativitas yang tinggi. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan tentang
penyakit, finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga, dan kemampuan
untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan. Merupakan suatu
evaluasi terhadap pilihan koping pada strategi seseorang. Strategi seseorang yang
digunakan seperti keterlibatan dalam hubungan yang lebih luas seperti dalam
keluarga dan teman, hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan
kreativitas untuk mengekspresikan stres interpersonal seperti kesenian,
musik/tulisan. (Stuart, 2006)
- Personal ability : Kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah
- Social support : Dukungan dari lingkungan terdekat klien.
Keluarga pasien membawa pasien ke RSJ
- Material aset : Dukungan material yang dimiliki pasien (ekonomi, pendidikan,
asuransi, dan transportasi, jarak mencapai pelayanan
kesehatan)
Positif belief : Keyakinan pasien akan kesembuhannya.
4) Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi meliputi :
- Regresi
Regresi berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan pengeluaran
sejumlah besar tenaga dalam upaya untuk mengelola ansietas, menyisakan
sedikit tenaga untuk aktivitas sehari-hari.
- Proyeksi
Dalam hal ini, klien mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau suatu benda.
- Menarik diri
Klien sulit mempercayai oranglain dan asyik sendiri dengan stimulus internal.

C. POHON MASALAH

Resiko Perilaku Kekerasan

Isolasi Sosial

Halusinasi

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah Kronis

D. DAFTAR MASALAH DAN DATA YANG DIKAJI


Data Subjektif Data Objektif Masalah Keperawatan
1. Klien mengatakan 1. Klien tampak Halusinasi (Budi Anna, 2019)
sering mendengar suara- senyum- senyum
suara seperti suara sendiri
pacarnya memanggilnya 2. Pandangan mata
2. Klien mengatakan malas melihat suatu sudut
mengobrol dengan ruangan
teman sekamarnya 3. Klien tampak kontak
mata mudah beralih
4. Klien lebih senang
duduk sendiri, melamun,
atau berjalan mondar-
mandir tanpa arah

E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
No. Diagnosa Keperawatan Tanggal & Paraf
1. Halusinasi (Budi Anna, 2019)
2. Harga diri rendah kronis (domain 6, kelas 2, kode
diagnosis 00119, hal. 270)
3. Isolasi sosial (domain 12, kelas 3, kode diagnosis 00053,
hal. 455)
F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

No Dx Perencanaan
Dx Keperawatan
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Halusinasi TUM: klien dapat 1. Setelah 1. Bina hubungan saling
(lihat/dengar/ berinteraksi dengan dilakukan percaya dengan menggunakan
penghidu/raba orang lain interaksi prinsip komunikasi terapeutik :
/kecap) Tuk 1 : klien  Sapa klien dengan ramah
Klien dapat menunjukka baik verbal maupun non
membina hubungan n tanda – verbal
saling percaya tanda  Perkenalkan nama,
percaya nama panggilan dan
kepada tujuan perawat
perawat : berkenalan
 Ekspresi  Tanyakan nama lengkap
wajah dan nama panggilan
bersahabat yang disukai klien
 Menunjukk  Buat kontrak yang jelas
an rasa  Tunjukkan sikap jujur
senang. dan menepati janji setiap
 Ada kontak kali interaksi
mata.  Tunjukan sikap empati
 Mau dan menerima apa
berjabat adanya
tangan.  Beri perhatian kepada
 Mau klien dan perhatikan
menyebutka kebutuhan dasar klien
n nama.  Tanyakan perasaan klien
dan masalah yang
dihadapi klien
 Mau  Dengarkan dengan penuh
menjawab perhatian ekspresi
salam. perasaan klien
 Mau duduk
berdamping
an dengan
perawat.
 Bersedia
mengungka
pkan
masalah
yang
dihadapi.
TUK 2 : 2.1 Setelah 1. Adakan kontak sering
Klien dapat dilakukan dan singkat secara
mengenal interaksi klien bertahap
halusinasinya menyebutkan : 2. Observasi tingkah laku
o Isi klien terkait dengan
o Waktu halusinasinya (* dengar
o Frekunsi /lihat /penghidu /raba
o Situasi dan /kecap), jika menemukan
kondisi klien yang sedang
yang halusinasi :
menimbulk  Tanyakan apakah klien
an mengalami sesuatu
halusinasi (halusinasi dengar/ lihat/
penghidu /raba/ kecap )
 Jika klien menjawab ya,
tanyakan apa yang
sedang dialaminya
 Katakan bahwa perawat
percaya klien
mengalami
hal tersebut, namun
perawat sendiri tidak
mengalaminya ( dengan
nada bersahabat tanpa
menuduh atau
menghakimi)
 Katakan bahwa ada klien
lain yang mengalami hal
yang sama.
 Katakan bahwa perawat
akan membantu klien
2.2 Setelah 1. Diskusikan dengan klien
dilakukan interaksi apa yang dirasakan jika
klien menyatakan terjadi halusinasi dan
perasaan dan beri kesempatan untuk
responnya saat mengungkapkan
mengalami perasaannya.
halusinasi : 2. Diskusikan dengan klien
 Marah apa yang dilakukan
 Takut untuk mengatasi perasaan
 Sedih tersebut.
 Senang 3. Diskusikan tentang
 Cemas dampak yang akan
 Jengkel dialaminya bila klien
menikmati halusinasinya.

TUK 3 : 3. Setelah 3.1. Identifikasi bersama


Klien dapat dilakukan klien cara atau tindakan
mengontrol interaksi yang dilakukan jika
halusinasinya klien terjadi halusinasi (tidur,
mampu : marah, menyibukan diri
1) menyeb dll)
utkan 3.2. Diskusikan cara
tindakan yang digunakan
klien,
yang □ Jika cara yang
dilakuka digunakan adaptif beri
n untuk pujian.
mengen □ Jika cara yang
dalikan digunakan maladaptif
halusina diskusikan kerugian
sinya cara tersebut
3.3.Diskusikan cara baru untuk
2) memilih memutus/ mengontrol
dan timbulnya halusinasi :
memper □Katakan pada diri sendiri
agakan bahwa ini tidak nyata
cara (“saya tidak mau
mengata dengar/ lihat/
si penghidu/ raba /kecap
halusina pada saat halusinasi
si terjadi)
3) □Menemui orang lain
melaksa (perawat/teman/anggota
nakan keluarga) untuk
cara menceritakan tentang
yang halusinasinya.
dipilih □Membuat dan
untuk melaksanakan jadwal
mengata kegiatan sehari hari
si yang telah di susun.
halusina 3.4 Beri kesempatan untuk
sinya melakukan cara yang
4) mengik dipilih dan dilatih.
uti  Pantau pelaksanaan
kegiatan yang telah dipilih dan
terapi dilatih , jika berhasil beri
aktivitas pujian
3.5 Anjurkan klien mengikuti
terapi aktivitas kelompok,
kelomp orientasi realita, stimulasi
ok persepsi
TUK 4 : 4.1. Setelah … X 4.1 Buat kontrak dengan
Klien dapat pertemuan keluarga untuk pertemuan
dukungan dari keluarga, ( waktu, tempat dan topik )
keluarga dalam keluarga 4.2 Diskusikan dengan
mengontrol menyatakan keluarga ( pada saat
halusinasinya setuju untuk pertemuan keluarga/
mengikuti kunjungan rumah)
pertemuan a. Pengertian halusinasi
dengan perawat b. Tanda dan
4.2. Setelah ……x gejala
interaksi halusinasi
keluarga c. Proses
menyebutkan terjadinya
pengertian, halusinasi
tanda dan d. Cara yang dapat
gejala, proses dilakukan klien dan
terjadinya keluarga untuk memutus
halusinasi dan halusinasi
tindakan untuk e. Obat- obatan halusinasi
mengendali kan f. Cara merawat anggota
halusinasi keluarga yang
halusinasi di rumah
( beri kegiatan, jangan
biarkan sendiri, makan
bersama, bepergian
bersama, memantau
obat – obatan dan cara
pemberiannya untuk
mengatasi halusinasi )
g. Beri informasi waktu
kontrol ke rumah
sakit dan bagaimana
cara
mencari bantuan jika
halusinasi tidak tidak
dapat diatasi di rumah
TUK 5 : 5. Setelah 5.1 Diskusikan dengan klien
Klien dapat dilakukan tentang manfaat dan
memanfaatkan obat interaksi klien kerugian tidak minum
dengan baik mampu: obat
1) menyebutka 5.2 Pantau klien
n; manfaat saat penggunaan
minum obat obat
dan 5.3 Beri pujian jika klien
kerugian menggunakan obat dengan
tidak benar
minum obat 5.4 Diskusikan akibat berhenti
2) mendemons minum obat tanpa
trasikan konsultasi dengan dokter
penggunaan 5.5 Anjurkan klien untuk
obat dengan konsultasi kepada
benar dokter/perawat jika terjadi
hal – hal yang tidak di
3) menyebutka inginkan .
n akibat
berhenti
minum obat
tanpa
konsultasi
dokter
DAFTAR PUSTAKA
Aprilistyawati, Ana. 2017. Keperawatan Psikiatri dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta:
Imperium.
Sutejo. 2017. Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Keliat, Budi Anna., Pawirowiyono, Akemat. 2016. Keperawatan Jiwa: Terapi Aktivitas
Kelompok. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
Keliat, Budi Anna., Pawirowiyono, Akemat. 2014. Model Praktik Keperawatan Profesional
Jiwa.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

Laporan Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktik Profesi Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J

Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721067

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM
PROFESI 2023
A. KASUS/MASALAH UTAMA
1. Pengertian Isolasi Sosial
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Isolasi
sosial adalah keadaan ketika individu atau kelompok memiliki kebutuhan atau Hasrat
untuk memiliki keterlibatan kontak dengan orang, tetapi tidak mampu membuat
kontak tersebut. (Carpenito-Moyet, dalam Sutejo, 2017).
Isolasi sosial merupakan keaadaan seseorang yang mengalami penurunan bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain karena mungkin merasa
ditolak, kesepian dan tidak mampu menjalin hubungan yang baik antar sesama
(Lombu, 2021). Isolasi sosial merupakan keadaan dimana seseorang individu
mengalami perilaku menarik diri, serta penurunan atau bahkan sama sekali tidak
mampu berinteraksi dengan orang lain, terutama untuk mengungkapkan dan
mengonfirmasi perasaan negatif dan positif yang dialaminya (Harefa, 2021).
Disimpulkan bahwa isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang
mengalami penurunan dalam berinterakti dengan orang lain dan lingkungan
sekitarnya, karena pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan, ditolak,
tidak diterima, dan kesepian sehingga orang dengan isolasi sosial lebih suka berdiam
diri, mengurung diri dan menghindar dari orang lain.
2. Etiologi
Berbagai faktor bisa menimbulkan respon sosial maladaptif walaupun banyak
penelitian yang telah dilakukan pada gangguan yang mempengaruhi hubungan
interpersonal tetapi belum ada kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan
ini. Mungkin saja disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor (Stuart & Laraia, 2016).
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang individu mengakibatkan
prilaku isolasi sosial antara lain :
a. Kurang percaya diri, psimis, takut, prilaku salah, merasa tertekan
b. Kegagalan membina hubungan dengan teman dan kurangnya dukungan dari
orang tua
c. Kegagalan individu dalam melanjutkan sekolah, pekerjaan, perkawinan
d. Berpisah tempat tinggal dengan orang tua
e. Mengalami kehilangan, baik itu kehilangan fungsi fisik, pekerjaan, tempat hidup,
anggota keluarga (kematian orang tua).
Gangguan ini terjadi akibat adanya faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
Kegagalan pada gangguan ini akan menumbulkan ketidakpercayaan pada individu,
menimbulkan ras pesimis, ragu, takut salah, tidak percaya pada orang lain dan merasa
tertekan. Keadaan yang seperti ini akan menimbulkan dampak seseorang tidak ingin
untuk berkomunikasi dengan orang lain, suka menyendiri, lebih suka berdiam diri dan
tidak mementingkan kegiatan sehari-hari (Direja, 2007).
Pasien dengan masalah kekurangan keterampilan sosial, tidak biasa
berkomunikasi dengan orang lain secara efektif, mengalami kesulitan dalam menjalin
pertemanan, mampu memecahkan masalah, menemukan dan memelihara pekerjaan,
yang merupakan alasan mereka mengisolasi diri masyarakat, keterampilan sosial yang
buruk terkait erat dengan kekambuhan penyakit dan pasien kembali ke rumah sakit
(Pardede & Ramadia, 2021).
a. Predisposisi adalah ada juga faktor presipitasi yang menjadi penyebab antara
lain adanya stressor sosial budaya serta stressor psikologis yang dapat
menyebabkan klien mengalami kecemasan (Arisandy, 2017).
a) Aspek Biologis Sebagian besar faktor predisposisi pada klien yang
diberikan terapi latihan ketrampilan sosial adalah adanya riwayat
genetik yaitu sebanyak 66,7%. Faktor genetik memiliki peran
terjadinya gangguan jiwa pada klien yang menderita skizofrenia.
b) Aspek Psikologis Faktor predisposisi pada aspek psikologis sebagian
besar akibat adanya riwayat kegagalan/kehilangan (77,8%).
Pengalaman kehilangan dan kegagalan akan mempengaruhi respon
individu dalam mengatasi stresornya.
c) Aspek sosial budaya Dimana pada klien kelolaan didapatkan aspek
sosial budaya sebagian besar adalah pendidikan menengah dan sosial
ekonomi rendah masing-masing.
b. Presipitasi merupakan faktor yang dapat menyebabkan seseorang mengalami
isolasi sosial: menarik diri adalah adanya tahap pertumbuhan dan
perkembangan yang belum dapat dilalui dengan baik, adanya gangguan
komunikasi didalam keluarga, selain itu juga adanya norma-norma yang salah
yang dianut dalam keluarga serta faktor biologis berupa gen yang diturunkan
dari keluarga yang menyebabkan klien menderita gangguan jiwa (Arisandy,
2017).
3. Proses Terjadinya Isolasi Sosial
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya isolasi sosial yang
disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa dialami oleh klien dengan latar
belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan dan kecemasan.
Perasaan tidak berharga mernyebabkan klien makin sulit dalam mengembangkan
berhubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur,
mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan
dan kebersihan diri. Klien semakin tenggelam perjalinan terhadap penampilan dan
tingkah laku masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga berakibat lanjut halusinasi.
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala isolasi sosial meliputi : kurang spontan, apatis (acuh tak acuh
terhadap lingkungan), ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi sedih), afek tumpul,
tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri, tidak ada atau kurang terhadap
komunikasi verbal, menolak berhubungan dengan oranglain, mengisolasi diri
(menyendiri), kurang sadar dengan lingkungan sekitarnya, asupan makan dan
minuman terganggu, aktivitas menurun dan rendah diri (Damanik, Pardede, &
Manalu, 2020).
Menurut Sucizti (2019) tanda dan gejala sebagai berikut :
Subjektif
a. Perasaan sepi
b. Perasaan tidak aman
c. Perasan bosan dan waktu terasa lambat
d. Ketidakmampun berkonsentrasi
e. Perasaan ditolak
Objektif
a. Banyak diam
b. Tidak mau bicara
c. Menyendiri
d. Tidak mau berinteraksi
e. Tampak sedih
f. Ekspresi datar dan dangkal
g. Kontak mata kurang.
5. Rentang Respon
Dalam membina hubungan sosial, individu berada dalam rentang respon yang
adaptif sampai maladaptif.
 Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
dapat diterima oleh norma-norma masyarakat.
a) Solitude (Menyendiri)
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang telah
terjadi atau dilakukan dan suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan
rencana-rencana.
b) Otonom
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, perasaan dalam hubungan sosial, individu mampu menetapkan untuk
interdependen dan pengaturan diri.
c) Bekerja sama (mutualisme)
Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian, saling memberi, dan
menerima dalam hubungan interpersonal.
d) Saling ketergantungan (interdependen)
Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling tergantung antar
individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
 Individu akan mengalami respon maladaptive jika ia tidak mampu memecahkan
masalahnya dengan baik:
a) Merasa sendiri (loneliness)
Merupakan kondisi dimana individu merasa sendiri dan merasa asing dari
lingkungannya.
b) Menarik diri
Merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya
dan tidak mampu membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
c) Ketergantungan (dependent)
Merupakan terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri atau
kemampuannya untuk berfungsi secara sukses.
 Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah
dengan cara-cara yang bertentangan dengan norma-norma agama dan
masyarakat.
a) Manipulasi
Merupakan gangguan hubungan sosial dimana individu memperlakukan orang
lain sebagai obyek, hubungan terpusat pada masalah mengendalikan orang lain
dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri.
b) Impulsive
Merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek yang
tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampumerencanakan sesuatu,
tidak mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan dan penilaian
yang buruk.
c) Narsisme
Merupakan individu memiliki harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha
mendapatkan penghargaan dan pujian, pecemburuan, mudah marah jika tidak
mendapatkan pujian dari orang lain.

B. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart G.W & Lararia, M.T, (2011) ada beberapa faktor
predisposisi penyebab isolasi sosial, meliputi :
1) Faktor pekembangan
Sistem keluarga yang terganggu dapat berperan dalam perkembangan
respon sosial maladaptif. Beberapa orang percaya bahwa individu yang
mengalami masalah ini adalah orang yang tidak berhasil memisahkan dirinya
dari orang tua. Norma keluarga mungkin tidak mendukung hubungan dengan
pihak diluar keluarga.
Tabel Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan Interpersonal

Tahap Perkembangan Tugas


Masa Bayi Menetapkan rasa percaya
Masa Bermain Mengembangkan otonom
dan awal perilaku
Masa Pra Sekolah Belajar menunjukkan
inisiatif,rasatanggung jawab,
dan hati nurani.
Masa Sekolah Belajar berkompetisi,
bekerjasama,dan berkompromi

Masa Pra Remaja Menjalin hubungan intim


dengan teman sesama jenis
kelamin
Masa Remaja Menjadi intim dengan teman
lawan jenis atau bergantung
Masa Dewasa Muda Menjadi saling bergantung
antara orang tua dan teman,
mencari pasangan, menikah
dan mempunyai anak.
Masa Tengah Baya Belajar menerim hasil
kehidupan yang dilalui.

Masa Dewasa Tua Berduka karena kehilangan dan


mengembangkan perasaan
keterikatan dengan budaya.

Sumber : Stuart dan Sundeen (2012)


2. Faktor sosiokultural
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan factor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan atau isolasi sosial. Gangguan ini
juga bias disebabkan oleh adanya norma-norma yang salah dianut oleh satu
keluarga, seperti anggota tidak produktif yang diasingkan dari lingkungan sosial.
Selain itu, norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau
mengahrgai anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang
cacat, dan
berpenyakit kronik juga turut menjadi factor predisposisi isolasi sosial.
3. Faktor biologis
Faktor genetik dapat berperan dalam respons sosial maladaptif. Genetic
merupakan salah satu factor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi
skizofrenia, misalnya, ditemukan pada keluarga dengan riwayat anggota keluarga
yang menderita skizofrenia. Selain itu, kelainan pada struktur otak, seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur
limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
4. Faktor presipitasi
1) Stress sosiokultural
Stress dapat ditimbulkan karena menurunnya stabilitas untuk keluarga
seperti perceraian, berpisah dari orang yang berarti, kehilangan pasangan
pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dan dirawat di rumah sakit atau
di penjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
2) Stress psikologis
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang
terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan
dapat menimbulkan ansietas tingkat tinggi.
5. Penilaian stressor atau Tanda dan Gejala
Penilaian terhadap stressor individu sangat penting dalam hal ini. Rasa sedih
karena suatu kehilangan atau beberapa kehilangan dapat sangat besar sehingga
individu tidak mau menghadapi kehilangan dimasa depan, bukan mengambil
resiko mengalami lebih banyak kesedihan. Respon ini lebih mungkin terjadi jika
individu mengalami kesulitan dalam tugas perkembangan yang berkaitan dengan
hubungan.
a. Penilaian Stressor
1) Kognitif : Kemampuan analisis atau pemikira pasien (misalnya klien
seringlupa)
2) Afektif : Respon psikologis / perasaan pasien (misalnya cemas)
3) Fisiologi : Terkait dengan keadaan fisik pasien (misalnya TD tinggi, tidak
bisa tidur)
4) Perilaku : Sikap atau prilaku yang ditunjukkkan pasien (misalnya diam &
menutup diri)
5) Sosial : Terkait dengan interaksi atau hubungan klien dengan orang
lain (misalnya tidak mau bicara dengan orang lain)
b) Tanda dan gejala yang ditemukan pada saat wawancara (subjektif)
- klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
- klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
- klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
- klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
- klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
- klien merasa tidak berguna
- klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
c) Tanda dan gejala yang ditemukan saat observasi (objektif) :
- tidak memiliki teman dekat
- tidak komunikatif
- tindakan berulang dan tidak bermakna
- asyik dengan pikirannya sendiri
- tidak ada kontak mata, menarik diri
- tampak sedih, apatis, afek tumpul
6. Sumber Koping
Terkadang ada beberapa orang yang ketika ada masalah mereka mendapat
dukungan dari keluarga dan teman yang membantunya dalam mencari jalan
keluar, tetapi ada juga sebagian orang yang memiliki masalah, tetapi
menghadapinya dengan menyendiri dan tidak mau menceritakan kepada siapapun,
termasuk keluarga dan temannya.
Menurut (Stuart, 2007) sumber koping yang berhubungan dengan respon
sosial maladaptif adalah sebagai berikut :
- keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luas dan teman
- hubungan dengan hewan peliharaan yaitu dengan mencurahkan perhatian pada
hewan peliharaan
- penggunaan kreativitas untuk mengekspresikan stress interpersonal (misalnya;
kesenian,music,atau tulisan)
7. Mekanisme Koping
Menurut (Stuart, 2007) individu yang mengalami respon sosial maladaptif
menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya mengatasi ansietas. Mekanisme
tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik yaitu
sebagai
berikut :
- proyeksi merupakan keinginan yang tidak dapat ditoleransi,mencurahkan
emosi kepada orang lain karena kesalahan sendiri
- isolasi merupakan perilaku yang menunjukan pengasingan diri dari
lingkungan dan orang lain
- splitting atau memisah merupakan kegagalan individu dalam
menginterpretasikan dirinya dalam menilai baik buruk.
C. POHON MASALAH
Risiko Perubahan sensori persepsi : Halusinasi

Isolasi Sosial : Menarik Diri

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah Kronis


D. DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI
No Analisa Data Masalah Keperawatan Etiologi

1. DS : solasi sosial (NANDA Harga diri rendah


2018, 00053) kronis dan menarik
Keluarga pasien mengatakan
diri.
idak mau keluar kamar, jarang
berbicara dengan orang lain,
ebih senang sendiri dan suka
melamun.

Klien mengatakan tidak punya


eman dekat, takut jika
berhadapan dengan orang lain,
rauma akan pengalaman diejek
oleh masyarakat.

DO :

Cara berbicara klien terlihat


ambat dengan suara yang pelan
dan menjawab pertanyaan
dengan singkat

Klien terlihat tidak mampu


memulai pembicaraan

Klien sering terlihat menyendiri


di kamar

2. DS : Harga diri rendah Kronis Ketidakefektifan


(NANDA 2018, 00119) koping
Klien trauma akan pengalaman
diejek oleh masyarakat.

DO :

Klien selalu tampak lesu,


pandangan kosong, tidak
bersemangat serta malas untuk
melakukan semua kegiatan

Klien selalu menunduk dan


kontak mata tidak dapat
dipertahankan

E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial berhubungan dengan harga diri rendah kronik dan menarik diri
(NANDA Domain 12 Kelas 3 Kode Diagnosis 0053 hal 455)
2. Harga diri rendah kronik berhubungan dengan ketidakefektifan koping (NANDA
Domain 6 Kelas 2 Kode Diagnosis 00119 hal 270)

F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Dx Perencanaan Rasional
No
Keperawata Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Dx
n
Isolasi TUM: 1. Setelah 1 X 1.1.Bina hubungan Hubungan saling
sosial Klien interaksi klien saling percaya percaya
dapat menunjukkan tanda- dengan: merupakan dasar
berinteraks tanda percaya kepada  Beri salam setiap yang kuat bagi
i dengan / terhadap perawat: berinteraksi. klien dalam
orang lain  Wajah cerah,  Perkenalkan mengekspresikan
tersenyum nama, nama perasaan.
TUK:  Mau berkenalan panggilan  Menunjukkan
1. Klien  Ada kontak mata perawat dan keramahan
dapat  Bersedia tujuan perawat dan sikap
membina menceritakan berkenalan bersahabat
hubungan perasaan  Tanyakan dan  Agar kita
saling  Bersedia panggil nama tidak ragu
percaya mengungkapkan kesukaan klien kepada
masalahnya  Tunjukkan sikap perawat
 Bersedia jujur dan  Penerimaan
mengungkapkan menepati janji yang sesuai
masalahnya setiap kali dengan
berinteraksi keadaan yang
 Tanyakan sebenarnya
perasaan klien dapat
dan masalah meningkatkan
yang dihadapi keyakinan
kllien pada klien
 Buat kontrak serta merasa
interaksi yang adanya suatu
jelas pengakuan
 Dengarkan  Perhatian
dengan penuh yang
perhatian diberikan
dapat
ekspresi perasaan meningkatkan
klien harga diri
pasien
 Respon
mengkritik
atau
menyalahkan
dapat
menimbulkan
adanya sikap
penolakan.
 Memberi info
tentang
kontrak waktu

2. Klien 2. Setelah 1 x interaksi 2.1 Tanyakan pada Mengidentifikasi


mampu klien dapat klien tentang: penyebab klien
menyebutk menyebutkan  Orang yang bergaul atau dekat
an minimal satu tinggal serumah / dengan orang lain
penyebab penyebab menarik teman sekamar dan penyebab
menarik diri dari: klien klien tidak dekat
diri o diri sendiri  Orang yang dengan orang lain
o orang lain paling dekat serta mekanisme
o lingkunga dengan klien di koping yang
n rumah/ di ruang digunakan klien
perawatan dalam
 Apa yang menghadapi
membuat klien masalahnya itu.
dekat dengan  Bila klien
orang tersebut sudah
 Orang yang tidak mengungk
dekat dengan apkan
masalahny
klien di rumah/di a akan
ruang perawatan memperm
 Apa yang udah
membuat klien perawat
tidak dekat melaksana
dengan orang kan
tersebut asuhan
 Upaya yang keperawat
sudah dilakukan an
agar dekat  Reinforce
dengan orang ment
lain positif
2.2 Diskusikan akan
dengan klien meningkat
penyebab menarik kan harga
diri atau tidak mau diri klien
bergaul dengan
orang lain.
2.3 Beri pujian
terhadap
kemampuan klien
mengungkapkan
perasaannya
3. Klien 3. Setelah 1 X 3.1.Tanyakan pada  Tingkat
mampu interaksi dengan klien tentang : pengetahuan
menyebutk klien dapat  Manfaat klien,
an menyebutkan hubungan sosial. membantu
keuntunga keuntungan  Kerugian perawat
n berhubungan menarik diri. mengarahkan
berhubung sosial, misalnya 3.2.Diskusikan klien
an sosial  banyak teman bersama klien berhubungan
dan  tidak kesepian tentang manfaat dengan orang
kerugian  bisa diskusi berhubungan lain
menarik  saling menolong, sosial dan  Diharapkan
diri.  dan kerugian kerugian klien mampu
menarik diri, menarik diri. memilih
misalnya: 3.3. Beri pujian perilaku yang
 sendiri terhadap adaptif setelah
 kesepian kemampuan mengetahui
 tidak bisa diskusi klien keuntungan
mengungkapkan bersosialisasi
perasaannya. dan kerugian
isolasi sosial.
 Reinforcement
positif akan
meningkatkan
harga diri klien

4. Klien 4. Setelah 1 X 4.1 Observasi  Reinforce


dapat interaksi klien dapat perilaku klien saat ment
melaks melaksanakan berhubungan sosial . diharapka
anakan hubungan sosial 4.2 Beri motivasi n dapat
hubun secara bertahap dan bantu klien meningkat
gan dengan: untuk berkenalan / kan rasa
sosial o Perawat berkomunikasi percaya
secara o Perawat lain dengan : diri klien
bertaha o Klien lain  Perawat lain sehingga
p o Kelompok  Klien lain ingin
 Kelompok mengulan
4.3 Libatkan klien g
dalam Terapi perbuatan
Aktivitas Kelompok yang
Sosialisasi serupa
4.4 Diskusikan  Menyadar
jadwal harian yang kan klien
dapat dilakukan bahwa
untuk meningkatkan bersosialis
kemampuan klien asi itu
bersosialisasi lebih baik
4.5 Beri motivasi daripada
klien untuk isolasi
melakukan kegiatan sosial.
sesuai dengan jadwal
yang telah dibuat.
4.6 Beri pujian
terhadap
kemampuan klien
memperluas
pergaulannya
melalui aktivitas
yang dilaksanakan.
5. Klien 5. Setelah 1 X 5.3 Diskusikan Mengetahui
mamp interaksi klien dapat dengan klien perasaan klien
u menjelaskan tentang setelah
menjel perasaannya setelah perasaannya berhubungan
askan berhubungan sosial setelah sosial dengan
perasa dengan : berhubungan orang lain atau
annya o Orang lain sosial dengan : kelompok
setelah o Kelompok  Orang lain
berhub  Kelompok
ungan 5.4 Beri pujian
sosial. terhadap
kemampuan
klien
mengungkapkan
perasaannya.
6. Klien 6.1.Setelah 1 X 6.1. Diskusikan  Dukungan
mendapat pertemuan pentingnya peran keluarga
dukungan keluarga dapat serta keluarga berpengaruh
keluarga menjelaskan sebagai pendukung terhadap
dalam tentang : untuk mengatasi perubahan
memperlu o Pengertian prilaku menarik diri. perilaku klien.
as menarik diri 6.2. Diskusikan  Agar keluarga
hubungan o Tanda dan potensi keluarga mengenali
sosial gejala untuk membantu prilaku isolasi
menarik diri klien mengatasi sosial sehingga
o Penyebab dan perilaku menarik diri dapat
akibat 6.3. Jelaskan pada mengantisipasi
menarik diri keluarga tentang : jika ada
o Cara merawat  Pengertian keluarga yang
klien menarik menarik diri mengalami hal
diri  Tanda dan yang serupa.
6.2. Setelah 1 X gejala  Mempersiapka
pertemuan keluarga menarik diri n keluarga
dapat mempraktekkan  Penyebab dan untuk merawat
cara merawat klien akibat klien
menarik diri. menarik diri
 Cara merawat
klien menarik
diri
6.4. Latih keluarga
cara merawat klien
menarik diri.
6.5. Tanyakan
perasaan keluarga
setelah mencoba
cara yang dilatihkan
6.6. Beri motivasi
keluarga agar
membantu klien
untuk bersosialisasi.
6.7. Beri pujian
kepada keluarga atas
keterlibatannya
merawat klien di
rumah sakit.
7. Klien 7.1.Setelah 1x 7.1. Diskusikan  Membantu
dapat interaksi klien dengan klien dalam
memanfaat menyebutkan; tentang manfaat meningkatkan
kan obat  Manfaat minum dan kerugian perasaan
dengan obat tidak minum kendali dan
baik.  Kerugian tidak obat, nama , keterlibatan
minum obat warna, dosis, dalam
 Nama,warna,dosi cara , efek terapi perawatan
s, efek terapi dan dan efek kesehatan
efek samping obat samping klien.
7.2. Setelah...............x penggunan obat
interaksi klien 7.2. Pantau klien saat
mendemontrasika penggunaan obat
n penggunaan 7.3. Beri pujian jika
obat dgn benar klien
7.3. Setelah ….x menggunakan
interaksi klien obat dengan
menyebutkan benar
akibat berhenti 7.4. Diskusikan
minum obat tanpa akibat berhenti
konsultasi dokter minum obat
tanpa konsultasi
dengan dokter
7.5. Anjurkan klien
untuk konsultasi
kepada
dokter/perawat
jika terjadi hal –
hal yang tidak di
inginkan .
DAFTAR PUSTAKA

S.N. Ade Herma Direja. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha

Medika.L.M.Azizah. 2011. Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Graha Ilmu

Sutejo. 2017. Keperawatan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta : Pustaka Baru Press

Stuart,G.W. 2012. Psyciatric Nursing ( Edisi 10). Jakarta : EGC

Yosep, H.I dan Sutini,T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental Health
Nursing. Bandung : Refika Medika

Keliat, Budi Anna dkk. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Lombu, D. H. (2021). Manajemen Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. M Dengan Masalah
Isolasi Sosial Di Desa Dahana Kec. Gunungsitoli Idanoi Kota Gunungsitoli

Harefa, A. R. (2021). Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. A Dengan Masalah
Isolasi Sosial

Pardede, J. A. (2022). Koping Keluarga Tidak Efektif Dengan Pendekatan Terapi Spesialis
Keperawatan Jiwa. 12. Henry Dhany Saputra, Muhammad. Asuhan Keperawatan Jiwa

Pada Pasien Skizofrenia Dengan Masalah Keperawatan Isolasi Sosial Di Rsjd Dr. Arif
Zainudin Surakarta. Diss. Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2020.
LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH

Laporan Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktik Profesi Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J

Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721072

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM
PROFESI 2023
A. KASUS/MASALAH UTAMA
1. Pengertian Konsep Diri
Konsep diri merupakan sebuah pendapat, perasaan atau gambaran terhadap
diri sendiri baik tentang fisik atau psikis. Konsep diri memegang peranan yang sangat
penting dan digunakan untuk mengatur tingkah laku dari seseorang untuk dapat
diterima di lingkungan dimana dirinya berada (Gusmawati, Taufik & Ifdil, 2016).
Terdapat lima komponen dalam konsep diri yaitu citra tubuh, identitas diri, ideal diri,
peran diri dan harga diri (Yusuf, Fitriyasari & Nihayati, 2015).
Konsep diri akan berubah secara berkelanjutan dengan jelas, meskipun sulit
dibedakan antara perkembangan dan perubahan yang dapat berubah sepanjang waktu
(Hastuti, 2017). Perkembangan pada konsep diri muncul sejak dini, namun ketika
sudah beranjak dewasa sensitifitas yang muncul akan mempengaruhi kemampuan
pesepsi yang matang sehingga konsep diri tersebut akan berubah menjadi lebih
komplek (Wahyu, 2017).
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan
tidak dapat bertanggungjawab pada kehidupannya sendiri. Harga diri rendah adalah
perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat
evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri. Adanya perasaan
hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai
ideal diri (Keliat, 2009 dalam Aprisandy 2021)
2. Komponen-Komponen Konsep Diri
a. Citra Tubuh (Body Image)
Citra tubuh (body image) adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari
dan tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi masa lalu dan sekarang,
serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi. Secara
berkesinambungan dimodifikasi dengan persepsi dan pengalaman yang baru.
b. Ideal Diri (Self Ideal)
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku
sesuai dengan standar, aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu (Stuart &
Sundeen, 1998 dalam Henggar Awang 2020). Sering juga disebut bahwa ideal diri
sama dengan citacita, keinginan, harapan tentang diri sendiri.
c. Identitas Diri (Self Identifity)
Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung
jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikan individu
(Stuart & Sundeen, 1998 dalam Henggar Awang 2020). Pembentukan identitas
dimulai pada masa bayi dan terus berlangsung sepanjang kehidupan tapi
merupakan tugas utama pada masa remaja.
d. Peran Diri (Self Role)
Serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan social
berhubungan dengan fungsi individu diberbagai kelompok social. Peran yang
diterapkan adalah peran dimana seseorang tidak mempunyai pilihan. Peran yang
diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu (Stuart & Sundeen,
1998 dalam Henggar Awang 2020).
e. Harga Diri ( Self Esteem)
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri.
Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri tanpa
syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, tetap merasa sebagai seorang
yang penting dan berharga.
3. Pengertian Harga Diri Rendah
Harga diri adalah penilaian tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri (Keliat B.A, 2019 dalam Aprisandy
2021)
Harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negative terhadap diri
sendir, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai
keinginan. (Budi Ana Keliat, 2019 dalam Aprisandy 2021).
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan
diri.Menurut Schult dan Videback (1998), gangguan harga diri rendah adalah
penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan yang diekspresikan secara
langsung maupun tidak langsung.
Harga diri rendah dibagi menjadi dua yaitu :
a. Harga diri rendah situasional : keadaan dimana individu yang sebelumnya
memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif terhadap suatu kejadian.
Apabila dari harga diri rendah situasional tidak ditangani segera, maka lama
kelamaan akan menjadi harga diri rendah kronik
Contoh : dapat terjadi trauma secara tiba-tiba. Dicerai putus sekolah, putus
hubungan kerja, operasi
b. Harga diri rendah kronik : evaluasi diri yang negatif yang secara langsung
maupun tidak langsung diekspresikan (Townsend, 1998)
Contoh : Sebelumnya pasien sudah punya cara berpikir negatif lalu tiba-tiba ia
sakit masuk RS yang terjadi kejadian sakit/dirawat akan menambah persepsi
negative terhadap dirinya
4. Proses Terjadinya HDR
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri
rendah situasional yang tidak diselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena individu
tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya
bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif
mendorong individu menjadi harga diri rendah.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu
berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha
menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak
mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu terhadap
diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga diri
rendah situasional,jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru
menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu
mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011 dalam Aprisandy 2021).
5. Etiologi HDR
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang.
Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri rendah adalah
pada masa kecil sering disalahkan dan jarang diberi pujian atas keberhasilannya. Saat
individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi
kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah,
pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung
mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya (Yosep, 2009 dalam Aprisandy
2021).
Menurut Stuart (2006), faktor-faktor yang mengakibatkan harga diri rendah
kronik meliputi daktor predisposisi dan faktor presipitasi sebagai berikut :
a) Faktor predisposisi
1. Faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua,
harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang,
kurang mempunyai tanggung jawab yang tidak realistis, kegagalan
yang
berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal,
ketergantungan pada orang lain, dan ideal diri yang tidak realistis.
2. Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah sterotipe peran
genderm tuntutan peran kerja, dan harapan peran budaya.
3. Faktor yang mempengaruhi identitas pribadi meliputi
ketidakpercayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan
perubahan struktur sosial.
b) Faktor presipitasi
Menurut Yosep (2009) dalam Aprisandy (2021), faktor presipitasi
terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh,
perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktivitas yang
menurun. Secara umum, gangguan konsep harga diri rendah dapat terjadi
secara situasional atau kronik, dikarenakan trauma yang muncul secara
tiba- tiba, misalnya harus dioperasi, kecelakaan, perkosaan, atau penjara,
termasuk dirawat dirumah sakit bisa menyebabkan harga diri rendah dan
juga disebabkan karena penyakit fisik atau pemasangan alat bantu yang
membuat klien tidak nyaman. Harga diri rendah kronik, biasanya
dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki
pikiran negatif dan meningkat saat dirawat.
Ada tiga transisi peran :
a. Transisi peran perkembangan
Perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan. Perubahan ini
termasuk tahap perkembangan dalam kehidupan individu atau keluarga dan
norma-norma budaya, nilai-nilai tekanan untuk penyesuaian diri.
b. Transisi peran situasi terjadi
Dengan bertambah atau berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran dan
kematian
c. Transisi peran sehat-sakit
Sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke keadaan sakit. Yang
dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk,
penampilan dan fungsi tubuh, perubahan fisik, prosedur medis dan
keperawatan.
6. Rentang Respon HDR

a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dapat diterima.
b. Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang apa yang ada pada
dirinya meliputi citra dirinya, ideal dirinya, harga dirinyam penampilan peran serta
identitas dirinya secara positif. Hal ini akan menunjukkan bahwa individu itu akan
menjadi individu yang sukses.
c. Harga diri rendah adalah individu cenderung untuk menilai dirinya negatif dan merasa
lebih rendah dari orang lain. Adapun perilaku yang berhubungan dengan harga diri
yang rendah yaitu mengkritik diri sendiri dan atau orang lain, penurunan
produktifitas, destruktif yang diarahkan kepada orang lain, gangguan dalam
berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif mengenai
tubuhnya sendiri, keluhan fisik, menarik diri secara sosial, khawatir, serta menarik
diri dari realitas.
d. Kerancuan identitas adalah kegagalan indifidu menginterprestasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial keperibadian pada
masa dewasa yang harmonis. Adapun perilaku yang berhubungan dengan kerancuan
identitas yaitu tidak ada kode moral, sifat kepribadian yang bertentangan, hubungan
interpersonal eksploitasi, perasaan hampa. Perasaan mengambang tentang diri, tingkat
ansietas yang tinggi, ketidakmampuan untuk empati terhadap orang lain.
e. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dimana klien tidak dapat
membedakan dirinya sendiri dari orang lain, dan tubuhnya sendiri merasa tidak nyata
dan asing baginya.
Rentang respon pada kasus adalah Rentang Respon maladapif, yaitu
 HDR atau Harga Diri rendah yaitu Ketika respon individu cenderung menilai dirinya
negative dan merasa lebih rendah dari orang lain. Hal ini terlihat dari Dua tahun yang
lalu dan berhenti karena dipecat bosnya, Kemudian 6 bulan yang lalu dia di PHK.
Sejak kejadian itu klien merasa pekerjaan apapun yang ia lakukan selalu gagal dan
tidak selesai.
 Kerancuan identitas adalah kegagalan individu menginterprestasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial keperibadian pada
masa dewasa yang harmonis. Hal ini terlihat dari Klien mengatakan kepada perawat
sejak kecil, ia adalah anak yang pemalu, tidak pandai seperti kakak-kakaknya dan
merasa dibedakan oleh orang tua. Klien kesal dengan dirinya, mengapa ia bodoh dan
hanya tamatan SD tidak seperti saudaranya yang lain.

B. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Faktor Predisposisi
 Faktor Perkembangan
Jika seseorang mengalami hambatan dengan tugas perkembangan dan
hubungan interpersonal dengan orang lain terganggu, maka individu akan
dihadapi dengan stress dan kecemasan pada dirinya.
 Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor yang ada dilingkungan dan dimasyarakat dapat
menyebabkan orang merasa diasingkan atau disingkirkan, sehingga klien merasa
kesepian dalam lingkungan dimana dia berada, walaupun dia ada dalam
lingkungan yang ramai. secara sosial status ekonomi sangat mempengaruhi proses
terjadinya harga diri rendah kronis, antara lain kemiskinan, tempat tinggal
didaerah kumuh dan rawan, kultur social yang berubah misal ukuran keberhasilan
individu
 Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan mengakibatkan stress
dan kecemasan, orang yang mengalami psikososial akan mengakibatan dan
menghasilkan hubungan yang penuh dengan kecemasan tinggi. Peran ganda yang
bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan
kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realita. harga diri
rendah konis sangat berhubungan dengan pola asuh dan kemampuan individu
menjalankan peran dan fungsi. Hal-hal yang dapat mengakibatkan individu
mengalami harga diri rendah kronis meliputi penolakan orang tua, harapan orang
tua yang tidak realistis, orang tua yang tidak percaya pada anak, tekanan teman
sebaya, peran yang tidak sesuai dengan jenis kelamin dan peran dalam pekerjaan
 Faktor Biokimia
Faktor biokimia ini mempunyai pengaruh terhadap terjadinya ganggtian
jiwa dimana teori biokimia menyatakan adanya peningkatan dari dopamine
neurotransmiter yang diperkirakan menghasilkan gejala peningkatan aktifitas yang
berlebihan sehingga dapat menghasilkan zat halusinogen.

 Faktor Biologi
Faktor Biologi, gen yang berpengaruh, tetapi hasil penelitian menunjukan
bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
 Ketegangan peran adalah stress yang berhubungan dengan frustasi yang dialami
individu dalam peran atau posisi yang diharapkan.
 Konflik peran : ketidaksesuaian peran antara yang dijalankan dengan yang
diinginkan.
 Peran yang tidak jelas : kurangnya pengetahuan individu tentang peran yang
dilakukannya.
 Peran berlebihan : kurang sumber yang adekuat untuk menampilkan seperangkat
peran yang komleks.
 Perkembangan transisi, yaitu perubahan norma yang berkaitan dengan nilai untuk
menyesuaikan diri.
3. Penilaian Stressor/Tanda dan Gejala
- Kognitif : perasaan negatif tentang dirinya sendiri, pandangan hidup yang pesimis
dimana klien merasa pekerjaan apapun yang ia lakukan selalu gagal sehingga
klien berfikir tidak mampu melakukan pekerjaan apapun. Selain itu klien merasa
tidak pandai seperti kakak-kakaknya.
- Afektif : klien kesal dengan dirinya sendiri mengapa ia bodoh dan hanya tamatan
SD, klien merasa malu dengan teman-temannya.
- Perilaku : klien lebih senang sendiri dan banyak melamun dan klien juga
membatasi hubungan dengan teman-temannya.
- Sosial : klien hanya lulusan SD dan merasa dibedakan oleh orang tuanya.
4. Sumber Koping
Menurut Stuart (2006) semua orang tanpa memperhatikan gangguan perilakunya,
mempunyai beberapa bidang kelebihan personal meliputi :
 Hobi dan kerajinan tangan
 Pendidikan atau pelatihan
 Aktivitas olah raga dan aktivitas diluar rumah
 Seni yang ekspresif,kesehatan dan perawatan diri
5. Mekanisme Koping
Mekanisme koping menurut Stuart (2006) adalah :
a. Adaptif Adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi,
pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan.katagorinya adalah berbicara dengan
orang lain,memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang
dan aktifitas konstruktif.
Mekanisme koping adaptif antara lain adalah berbicara dengan orang lain
tentang masalah yang sedang dihadapi, mencoba mencari informasi lebih banyak
tentang masalah yang sedang dihadapi, berdo’a, melakukan latihan fisik untuk
mengurangi ketegangan masalah, membuat berbagai alternatif tindakan untuk
mengurangi situasi, dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil,
mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu.
b. Mekanisme koping Mal-adaptif Adalah mekanisme koping yang menghambat
fungsi integrasi, memecahkan pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung
menguasai lingkungan.katgorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja
berlebihan, menghindar.
C. POHON MASALAH

Isolasi sosial: menarik diri

Harga diri rendah kronik

Harga diri rendah

Keputusasaan

Kegagalan berulang

D. DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI


No Analisa Data Masalah Etiologi
Keperawatan
1 - DS : Harga diri rendah Koping terhadap
Kronis (NANDA kehilangan tidak
- Klien mengatakan sebelumnya
2018, 00119) efektif
pernah bekerja setahun yang lalu
dan berhenti karena dipecat
bosnya

- Klien mengatakan mencari


pekerjaan kembali, namun 6
bulan yang lalu dia di PHK.

- klien merasa pekerjaan apapun


yang ia lakukan selalu gagal dan
tidak selesai.

- Klien mengatakan ia adalah anak


yang pemalu, tidak pandai
seperti
kakak-kakaknya dan merasa
dibedakan oleh orang tua.

- Klien kesal dengan dirinya,


mengapa ia bodoh dan hanya
tamatan SD tidak seperti yang
lain

- DO :

- Pasien tampak sedih,

- Pasien tampak lebih banyak


diam,

- Pasien merasa putus asa

- Pasien tampak malu

2. - DS : Isolasi sosial Harga diri rendah


(NANDA 2018, kronis dan menark
- klien malas mengobrol dengan
00053) diri.
teman-temannya karna malu.

- Klien juga mengatakan jika ada


masalah ia lebih baik
memendam sendiri dan tidak
mau menceritakan ke pada orang
lain.

- DO :

- Pasien tampak malu

- Pasien tampak lebih banyak


diam,

- Pasien tampak menarik diri

- Pasien tampak sedih


E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Harga diri rendah Kronis b.d Koping terhadap kehilangan tidak efektif (NANDA
2018, 00119)
2. Isolasi sosial b.d Harga diri rendah kronis dan menark diri (NANDA 2018, 00053)

F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


No Dx Perencanaan
Tgl
Dx Keperawatan Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
1 Harga diri TUM: Harga diri(hal 101, Peningkatan Harga
rendah kronis klien tidak kode 1205) diri (hal 326, kode
berhubungan menarik diri 1. Komunikasi 5400)
dengan dan mampu terbuka 1. Bina hubungan
koping berhubungan dipertahankan saling percaya
terhadap dengan orang pada skala2 dengan meng-
kehilangan lain secara ditingkatkan ke gunakan prinsip
tidak efektif optimal 5. Setelah 3kali komunikasi
TUK: interaksi, klien terapeutik :
- klien dapat menunjukkan  Sapa klien
membina eskpresi wajah dengan
hubungan bersahabat, ada ramah baik
saling percaya kontak mata, verbal
- klien dapat mau berjabat maupun non
mengidentifika tangan, mau verbal.
si kemampuan menyebutkan  Perkenalkan
dan aspek nama, mau diri dengan
positif yang menjawab sopan.
dimiliki salam, mau  Tanyakan
1. Klien dapat mengutarakan nama
membina masalah yang lengkap dan
hubungan dihadapi. nama
saling panggilan
percaya yang disukai
klien.
dengan  Jelaskan
perawat. tujuan
pertemuan.
 Tunjukan
sikap empati
dan
menerima
klien apa
adanya.

2. Klien dapat 2. Tingkat Tentukan


mengidentifi kepercayaan diri kepercayaan diri
kasi aspek dipertahankan pasien dalam hal
positif dan pada sklaa 2 penilaian diri
kemampuan ditingkatkan ke Diskusikan dengan
yang 5. Setelah 3 kali klien tentang:
dimiliki. interaksi klien  Aspek positif
menyebutkan: yang dimiliki
o Aspek klien,
positif dan keluarga,
kemampua lingkungan.
n yang  Kemampuan
dimiliki yang dimiliki
klien. klien.
o Aspek positif
keluarga. Bersama klien buat
o Aspek positif daftar tentang:
lingkung-an  Aspek positif
klien. klien,
keluarga,
lingkungan.
 Kemampuan
yang dimiliki
klien.
Beri pujian yang
realistis, hindarkan
memberi penilaian
negatif.
3. Klien dapat 3. verbalisasi Dukung pasien
me-nilai penerimaan diri mengidentifikasi
kemampuan dipertahankan kekuatan.
yang dimiliki pada skala 2 3.1. Diskusikan
un-tuk ditingkatkan dengan klien
dilaksanakan ke5.Setelah 3 kemampuan
kali interaksi yang dapat
klien dilaksanakan.
menyebutkan 3.2. Diskusikan
kemampuan kemampuan
yang dapat yang dapat
dilaksanakan. dilanjutkan
pelaksanaannya.
4. Klien dapat 4. verbalisasi Bantu pasien
merencanaka penerimaan diri menemukan
n kegiatan dipertahankan penerimaan diri.
sesuai pada skala 2 Rencanakan bersama
dengan ditingkatkan klien aktivitas
kemampuan ke5. Setelah 3 yang dapat
yang dimiliki kali interaksi dilakukan setiap
klien membuat hari sesuai
rencana kegiatan kemampuan
harian klien:
 kegiatan
mandiri.
 kegiatan
dengan
bantuan.
Tingkatkan kegiatan
sesuai kondisi
klien.
Beri contoh cara
pelaksanaan
kegiatan yang
dapat klien
lakukan.
5. Klien dapat 5. pemenuhan Dukung tanggung
melakukan peran yang jawab kepadadiri
kegiatan signifikan secara sendiri dengan tepat.
sesuai pribadi  Anjurkan
rencana yang dipertahankan klien untuk
dibuat. pada skala 3 melaksanaka
ditingkatkan ke n kegiatan
5. Setelah 3 kali yang telah
interaksi klien direncanakan.
melakukan  Pantau
kegiatan sesuai kegiatan yang
jadual yang dilaksanakan
dibuat. klien.
 Beri pujian
atas usaha
yang
dilakukan
klien.
 Diskusikan
kemungkinan
pelaksanaan
kegiatan
setelah
pulang.
6. Klien dapat 6. respon yang Intruksikan kepada
memanfaatk diharapka dari orang tua
an sistem orang lain mengenai
pendu-kung dipertahankan pentingnya
yang ada. pada skala 3 minat dan
titingkatkan 5. dukungan
Setelah 3 kali mereka
interaksi klien  Beri
memanfaatkan pendidikan
sistem kesehatan
pendukung yang pada keluarga
ada di keluarga. tentang cara
merawat klien
dengan harga
diri rendah.
 Bantu
keluarga
memberikan
dukungan
selama klien
di rawat.
 Bantu
keluarga
menyiapkan
lingkungan di
rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Yosep, H.I dan Sutini,T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental Health
Nursing. Bandung : Refika Medika
Keliat, Budi Anna dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Dwinensevi Aprisandy, 2021. Laporan Pendahuluan Harga Diri Rendah. Jakarta
LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO BUNUH DIRI

Laporan Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktik Profesi Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J

Disusun oleh :
Frida Anindita Yuianti 2210721067

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM
PROFESI 2023
A. KASUS/MASALAH UTAMA
1. Pengertian Resiko Bunuh Diri
Risiko bunuh diri adalah rentat terhadap menyakiti diri sendiri dan cedera
yang mengancam jiwa (NANDA-I 2018). Tindakan mengakhiri hidupnya berupa
isyarat, ancaman, percobaan bunuh diri ( Stuart, Keliat,Pasaribu, 2016).
Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena pasien berada dalam
keadaan stress yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif. Situasi gawat
pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa rencana yang
spesifik atau percobaan bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri. Oleh
karena itu, diperlukan pengetahuan dan keterampilan perawat yang tinggi dalam
merawat pasien dengan tingkah laku bunuh diri, agar pasien tidak melakukan tindakan
bunuh diri.
2. Proses Terjadinya Perilaku Bunuh Diri

Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya motivasi
untuk bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat melaksanakan bunuh diri,
mengembangkan gagasan sampai akhirnya melakukan bunuh diri. Oleh karena itu,
adanya percobaan bunuh diri merupakan masalah keperawatan yang harus
mendapatkan perhatian serius. Sekali pasien berhasil mencoba bunuh diri, maka
selesai riwayat pasien. Untuk itu, perlu diperhatikan beberapa mitos (pendapat yang
salah) tentang bunuh diri.
3. Jenis Risiko Bunuh Diri
a. Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt)
Pada kategori ini, individu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri,
dan bila kegiatan tersebut dilakukan sampai tuntas, maka akan menyebabkan
kematian. Kondisi ini telah terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Individu yang hanya berniat melakukan percobaan bunuh diri dan
tidak benar-benar ingin mati.
b. Isyarat Bunuh Diri (Suicide Gesture)
Kategori ini merupakan bunuh diri yang direncanakan untuk usaha
mempengaruhi perilaku orang lain. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian
dengan status emosional pasien yang terganggu tetapi tidak seserius pada
percobaan bunuh diri, meskipun dapat mengakibatkan bunuh diri secara
disengaja atau tidak disengaja. Contoh isyarat bunuh diri termasuk cutting,
dimana tidak diiris cukup dalam untuk menyebabkan kehilangan darah yang
signifikan, atau mengkonsumsi obat non-berbahaya dengan dosis yang
berlebihan (Nock and Kessler, 2006).
1) Membicarakan keinginan untuk bunuh diri. Contoh : sudah lah aku ini
beban bagi orang lain, buat apa lagi aku hidup atau aku udah gak kuat
nahan sakit ini, udah lah kalo aku mati mungkin aku lebih bahagia
2) Membenci dan menghujat diri sendiri. Contoh : aku merasa bersalah
karena telah melakukan hal itu, aku tidak berguna, aku sudah hancur, aku
sudah rusak. Karena jika seseorang mengalami harga diri rendah, maka
beberapa orang ada yang berpikiran mengakhiri hidupnya adalah satu-
satunya jalan terbaik baginya. Contoh ada anak sekolah yang di bully
teman-temannya kemudian akhirnya memutuskan untuk mengakhiri
hidupnya karena ya dia membawa bullyan itu sebagai hal yang negatif
untuk dirinya.
3) Mencari cara untuk mematikan diri sendiri. Contoh : cutting, minum
baygon, menahan nafas, menenggelamkan diri sendiri dsb.
4) Mengatur segala hal untuk ditinggalkan. Contoh : meninggalkan surat,
mengatur sendiri proses kematiannya, menjual atau memberi barang-
barang kesayangannya kepada orang lain, membuat video pesan
terakhirnya.
5) Mengucapkan kata perpisahan. Contoh : aku besok pergi jauh loh, aku
gabakal ngeliat kalian lagi aku gabisa main sama kalian lagi soalnya aku
udah bakal beda alam sama kalian atau misalkan lewat telfon kepada
orangtuanya kaya mah pah aku minta maaf ya kalo aku ada salah, mungkin
kalian gabisa lagi ngeliat aku besok-besok dan pasti aku gaakan buat
kalian sedih atau malu lagi punya aku.
6) Menarik diri dari orang lain. Contoh : lebih senang menyendiri,
menghindar untuk dihubungi, berhenti melakukan kegiatan biasanya
seperti hobinya, tidak aktif secara mendadak dalam lingkaran
pertemanannya.
7) Perilaku merusak diri sendiri. Contoh : menggunakan narkoba, selfharm,
sengaja melakukan hal semberono.
8) Perubahan fisik dan mood drastis. Contoh : terlalu banyak tidur/sedikit
tidur, terlalu banyak makan/kurang makan, mudah marah, perubahan
penampilan, menangis tiba-tiba.
c. Ancaman Bunuh Diri (Suicide Threat)
Kategori ini merupakan suatu peringatan baik secara langsung maupun tidak
langsung, verbal maupun non-verbal, bahwa seseorang sedang mengupayakan
bunuh diri. Individu tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa dia
tidak akan ada di kehidupannya lagi atau mengungkapkan secara non-verbal
seperti pemberian hadiah, wasiat, dan sebagainya. Kurangnya respon positif
dari orang-orang yang ada disekitarnya dapat dipersepsikan sebagai dukungan
untuk melakukan tindakan bunuh diri.
4. Fase – Fase Risiko Bunuh Diri
SKOR 0 = Tidak ada ide bunuh diri yang lalu & sekarang
SKOR 1 = Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam
bunuh diri
SKOR 2 = Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh diri
SKOR 3 = Mengancam bunuh diri, misalnya “tinggalkan saya sendiri atau saya
bunuh diri”
SKOR 4 = Aktif mencoba bunuh diri
5. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Pertumbuhan
Peningkatan Destruktif diri Pencederaan Bunuh diri
peningkatan
diri tidak langsung diri
beresiko

Keterangan :
a. Peningkatan diri: Seorang individu yang mempunyai pengharapan, yakin, dan
kesadaran diri meningkat
b. Pertumbuhan peningkatan beresiko: Posisi pada rentang yang masih normal
dialami individu yang mengalami perkembangan perilaku, tetapi dapat
beresiko melakukan destruktif. Seperti seseorang patah semangat bekerja
ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah
melakukan pekerjaan secara optimal.
c. Destruktif diri tidak langsung (merusak diri scr tdk langsung) menggunakan
NAPZA dan mengganggu otak. Jadi adiksi dan otaknya semakin rusak. Setiap
aktifitas yang merusak kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah
kematian, seperti perilaku merusak , mengebut, berjudi, tindakan criminal,
penyalahgunaan zat, perilaku menyimpang secara social, dan perilaku yang
menimbulkan stress
d. Pencederaan diri (sudah melakukan seperti cutting, dll): Suatu tindakan yang
membahayakan diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan
dilakukan terhadap diri sendiri tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut
cukup parah untuk melukai tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan diri
termasuk melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota
tubuh, dan menggigit jari.
e. Bunuh diri: Tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Faktor Predisposisi
a. Diagnosis Psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah
gangguan efektif, penyalagunaan zat, dan skizofrenia.
b. Sifat kepribadian
Tiga tipe keperibadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko bunuh
diri adalah antipati Antipati atau pratirasa adalah rasa ketidaksukaan untuk
sesuatu atau seseorang, kebalikan dari simpati, impulsive Masalah dengan
pengendalian diri emosional atau perilaku, dan depresi Sekelompok kondisi
yang terkait dengan peningkatan atau penurunan suasana hati seseorang,
seperti depresi atau gangguan bipolar.
c. Lingkungan psikososial
Pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadiankejadian negatif
dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan dan bahkan perceraian. Kekuatan
dukungan sosial sangat penting dalam menciptakan intervensi yang terapiutik,
dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab maslah, respon seorang dalam
menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
e. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti serotonim,
adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui
rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
2. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan.
Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui
media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunu diri.
Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
3. Penilaian Stressor
a. Kognitif: Klien yang mengalami stress dapat mengganggu proses
kognitifnya,seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi,
pikiran berulang,dan pikiran tidak wajar.
b. Afektif: Respon ungkapan hati klien yang sudah terlihat jelas dan nyata
akibatadanya stressor dalam dirinya, seperti: cemas, sedih dan marah.
c. Fisiologis: Respons fisiologis terhadap stres dapat diidentifikasi menjadi
dua,yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) yang merupakan respons lokal
tubuh terhadap stresor (misal: kita menginjak paku maka secara refleks kaki
akan diangkat) dan Genital Adaptation Symdrome (GAS) adalah reaksi
menyeluruh terhadap stresor yang ada.
d. Perilaku: Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang
mengancamkehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali
orang ini secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku
bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor social maupun
budaya. Contoh perilaku: Klien sering melamun, banyak menunduk , kontak
mata kurang saat berbicara dengan perawat, suara lemah.
e. Sosial: Struktur sosial dan kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan
mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi social
dapatmenyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk
melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat lebih
mampu menoleransi stress dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif dalam
kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan tindakan
bunuh diri.
4. Sumber Koping
Sumber koping mencakup empat aspek, yaitu kemampuanpersonal (personal
ability), dukungan sosial (social support), aset material (material assets), dan
kepercayaan (beliefs).
 Kemampuan personal (Personal ability): Klien mampu mengenal dan
menilai aspek positif (kemampuan) yang dimiliki, Klien mampu melatih
kemampuan yang masih dapat dilakukan di rumah sakit, Klien mampu
melakukan aktivitas secara rutin di ruangan
 Dukungan sosial (Social support): Keluarga mengetahui cara merawat
klien dengan harga diri rendah, Klien mendapatkan dukungan dari
masyarakat
 Aset material (Material assets): Sosial ekonomi rendah, Rutin berobat,
Adanya Kader kesehatan jiwa, Jarak ke pelayanan kesehatan mudah
dijangkau
 Kepercayaan (beliefs) : Klien mempunyai keinginan untuk sembuh, Klien
mempunyai keyakinan positif terhadap program pengobatan.
5. Mekanisme Koping
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping yang
berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial, rasionalization,
regression dan megical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya
tidak ditentang tanpa memberikan koping alternative.

C. POHON MASALAH

Risiko mutilasi diri



Risiko membahayakan diri : resiko bunuh diri

Perilaku kekerasan

Gangguan konsep diri : HDR

D. DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI


No Data Masalah
1. Data Subjektif: Risiko Bunuh Diri (NANDA 2017,
Domain 11, Kelas 3, Kode 00150, Hal
1. Klien mengatakan secara tersirat ide 443)
bunuh diri
2. Klien mengungkapkan perasaan
seperti rasa bersalah / sedih / marah /
putus asa/ tidak berdaya.
3. Klien mengungkapkan hal-hal negatif
tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah
4. Klien mengungkapkan keinginan
untuk mati disertai dengan rencana
untuk mengakhiri kehidupan
Data Objektif:

1. Klien mempersiapkan alat untuk


melaksanakan rencana bunuh diri
2. Klien mencederai atau melukai diri
untuk mengakhiri kehidupannya
3. Klien mencoba bunuh diri dengan
cara gantung diri, minum racun,
memotong urat nadi, atau
menjatuhkan diri dari tempat yang
tinggi.

E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Risiko membahayakan diri : resiko bunuh diri (core problem)
2. Perilaku kekerasan (causa)
3. Risiko mutilasi diri (effect)

F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Diagnosis Keperawatan NOC NIC
Data
Kode Diagnosis Kode Hasil Kode Intervensi
Data Subjektif: 00150 Risiko Resolusi Rasa 6340 Pencegahan
1. Klien membahayakan Bersalah (1310; Bunuh Diri
mengatakan diri : resiko 512) a. Instruksikan
secara tersirat bunuh pasien
ide bunuh diri 1. Menggunakan
melakukan
2. Klien strategi koping
strategi-strategi
mengungkapkan yang efektif
koping (latihan
perasaan seperti dipertahankan
asertif, kontrol
rasa bersalah / pada klien
impuls,
sedih / marah / mencoba
relaksasi otot
putus asa/ tidak bunuh diri
progresif)
berdaya. dengan
dengan tepat
3. Klien Baygon dan
b. Buat
mengungkapkan menyayat
kontrak
hal-hal negatif lengannya
(dengan verbal
tentang diri dengan silet
atau tulis)
sendiri yang ditingkatkan
dengan pasien
menggambarkan ke klien tidak
untuk tidak
harga diri menggunakan
menyakiti diri
rendah strategi koping
c. Dukung
4. Klien tersebut dan
pasien untuk
dapat
mencari
mengungkapkan menggunakan perawatan.
keinginan untuk strategi koping Berikan
mati disertai yang lebih baik kesempatan
dengan rencana seperti untuk berbicara
untuk melakukan pada saat
mengakhiri kegiatan yang keinginan untuk
kehidupan ia sukai, menyakiti diri
mendoakan sendiri muncul.
Data Objektif: kedua d. Diskusikan
1. Klien orangtuanya. rencana
mempersiapkan mengatasi
alat untuk Tingkat Depresi
bunuh diri
melaksanakan 1208 dimasa yang
rencana bunuh - Gangguan
akan datang
diri konsentrasi
(misalkan
2. Klien dipertahankan pada
faktor pemicu,
klien sering
mencederai atau siapa yang akan
melukai diri melamun
dikontak,
ditingkatkan ke
untuk apakah akan
mengakhiri klien tidak
mencari
melamun dan fokus
kehidupannya pertolongan,
3. Klien klien penuh
cara untuk
mencoba bunuh - Rendahnya harga menghilangkan
diri dengan cara diri dipertahankan perasaan untuk
gantung diri, pada kontak mata membahayakan/
minum racun, kurang, suara menyakiti diri)
memotong urat lemah ditingkatkan e. Tempatkan
nadi, atau ke selalu kontak pasien dalam
menjatuhkan mata dan suara kuat lingkungan
diri dari tempat seperti biasa terbatas
yang tinggi. f. Rujuk pasien
pada penyedia
perawatan
kesehatan
mental
(misalnya,
psikiater) untuk
mengevaluasi
dan menangani
ide dan perilaku
bunuh diri
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, M dkk (2021). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama


Hidayati, N, O. dkk (2021). Efek Dialectical Behavior Therapy Bagi Pasien Dengan Perilaku
Kekerasan Dan Resiko Bunuh Diri: Studi Literatur. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa
4(1). https://journal.ppnijateng.org/index.php/jikj
Karin, P.A.E.S. (2018). Gambaran Risiko Bunuh Diri Pada Mahasiswa Baru Di Program
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas kedokteran Universitas Udayana. Denpasar:
Universitas Udayana
Keliat, B.A. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Kedokteran EGC
Yusuf, Ah., Rizky, F.P.K., & Hanik, E.N. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN WAHAM

Laporan Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktik Profesi Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J

Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721067

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM
PROFESI 2023
A. KASUS/MASALAH UTAMA
1. Pengertian Waham
Waham merupakan salah satu gangguan orientasi realitas. Gangguan
orientasi realitas adalah ketidak mampuan klien menilai dan berespons pada
realitas (Sofian, 2017). Waham adalah keyakinan yang salah yang didasarkan oleh
kesimpulan yang salah tentang realita eksternal dan dipertahankan dengan kuat.
Waham merupakan gangguan dimana penderitanya memiliki rasa realita yang
berkurang atau terdistorsi dan tidak dapat membedakan yang nyata dan yang tidak
nyata (Victoryna, 2020).
Waham merupakan keyakinan palsu yang timbul tanpa stimulus luar yang
cukup dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: tidak realistik, tidak logis,
menetap, egosentris, diyakini kebenarannya oleh penderita, tidak dapat dikoreksi,
dihayati oleh penderita sebagai hal yang nyata, penderita hidup dalam wahamnya
itu, keadaan atau hal yang diyakini itu bukan merupakan bagian sosiokultural
setempat (Zukna & Lisiswanti, 2017).
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara
kuat/terus menerus, tetapi tidak sesuai dengan keyakinan. Penyangkalan,
digunakan untuk menghindari kesadaran dan kenyataan yang menyakitkan.
Proyeksi digunakan untuk melindungi diri dari mengenal impuls yang tidak dapat
diterima dari dirinya sendiri (Nurarif & Kusuma, 2015).
2. Fase Waham
Menurut Eriawan (2019) Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
a. Fase Lack of Humanneed
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada
orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien
sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga
klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara
Reality dengan self ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi
menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap sangat cerdas, sangat
berpengalaman dan diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi
karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat
dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang (life
spanhistory).
b. Fase Lack Of Selfesteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah
melampaui kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang
kaya, menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi
serta memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang
melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari aspek
pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system semuanya
sangat rendah.
c. Fase Control Internal External
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa- apa yang
ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang
sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap
penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena
kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan
klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya
menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan
alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
d. Fase Environment Support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap
sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak
berfungsinya norma (Super Ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan
dosa saat berbohong.
e. Fase Comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri dan
menghindar interaksi sosial (Isolasi sosial).
f. Fase Improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan- kebutuhan yang
tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting
sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta
memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa- apa yang dilakukan
menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi social.
3. Jenis Waham
Menurut (Prakasa, A., & Milkhatun, 2020) jenis waham yaitu :
a. Waham Kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya
tambangemas.”
b. Waham Curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi
tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesansaya.”
c. Waham Agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama
secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian
putih setiaphari.”
d. Waham Somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tandatanda kanker, tetapi pasien
terus mengatakan bahwa ia sakitkanker).
e. Waham Nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh”. 1
f. Waham Sisip Pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang
disisipkan ke dalam pikirannya.
g. Waham Siar Pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang
dia pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang
tersebut
h. Waham Kontrol Pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh
kekuatan di luar dirinya
4. Rentang Respon
Rentang respons neurobiology yang paling adaptif adalah pikiran logis,
persepsi akurat, emosi yang konsisten dengan pengalaman, perilaku cocok, dan
terciptanya hubungan social yang harmonis. Sementara itu, respons maladaptive
meliputi adanya waham, halusinasi, kesukaran proses emosi, perilaku tidak
terorganisasi, dan isolasi social: menarik diri.
Berikut adalah gambaran rentang respons neurobiology.

Adaptif Maladaptif

1. Pikiran logis 1. Gangguan


2. Persepsi akurat 1. Perilaku kadang proses pikir:
3. Emosi yang menyimpang waham
konsisten 2. Ilusi 2. Halusinasi
dengan 3. Emosi tidak 3. Ketidakmamuan
pengalaman stabil untuk
4. Perilaku sesuai 4. Perilaku aneh mengalami
5. Hubungan 5. Menarik diri emosi
sosial yang 4. Isolasi sosial
harmonis.

1. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi sesuatu masalah akan dapat memecahlan masalah tersebut, respon
adaptif :
 Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
 Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan. Penerimaan
pesan yang disadari oleh indra perasaan, dimana dapat membedakan objek
yang satu dengan yang lain dan mengenai kualitasnya menurut berbagai
sensasi yang dihasilkan.
 Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu respon yang diberikan oleh
individu sesuai dengan stimulus yang datang
 Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan peran
 Hubungan sosial adalah interaksi dengan orang lain dan lingkungan

2. Respon maldaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan.
 Gangguan proses pikir adalah keyakinan yang secara kokoh,
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan
dengan kenyataan sosial
 Halusinasi merupakan persepsi sensori yang menyimpang atau persepsi
yang tidak realita atau tidak nyata
 Ketidakmampuan untuk mengalami emosi adalah keadaan emosi yang
menyebabkan gangguan pada diri seseorang, baik karena emosi yang
timbul terlalu kuat atau emosi yang tidak hadir. Wajah dingin, jarang
tersenyum, acuh tak acuh.
 Isolasi sosial adalah Keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya.

B. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Faktor Predisposisi
Menurut World Health Organization (2016) secara medis ada banyak
kemungkinan penyebab waham, termasuk gangguan neurodegeneratif, gangguan
sistem saraf pusat, penyakit pembuluh darah, penyakit menular, penyakit
metabolisme, gangguan endokrin, defisiensi vitamin, pengaruh obat-obatan, racun,
dan zat psikoaktif (World Health Organization, 2016).
a. Biologis
Pola keterlibatan keluarga relative kuat yang muncul di kaitkan dengan delusi
atau waham. Dimana individu dari anggota keluarga yang di manifestasikan
dengan gangguan ini berada pada resiko lebih tinggi untuk mengalaminya di
bandingkan dengan populasi umum. Studi pada manusia kembar juga
menunjukan bahwa ada keterlibatan faktor.
b. Teori Psikososial.
System Keluarga : Perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan
disfungsi keluarga. Konflik diantara suami istri mempengaruhi anak.
Bayaknya masalah dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan anak
dimana anak tidak mampu memenuhi tugas perkembangan dimasa dewasanya.
Beberapa ahli teori menyakini bahwa individu paranoid memiliki orang tua
yang dingin, perfeksionis, sering menimbulkan kemarahan, perasaan
mementingkan diri sendiri yang berlebihan dan tidak percaya pada individu.
Klien menjadi orang dewasa yang rentan karena pengalaman awal ini.
c. Teori Interpersonal
Dikemukakan oleh Pawirowiyono (2015) di mana orang yang mengalami
psikosis akan menghasilkan suatu hubungan orang tua-anak yang penuh
dengan ansietas tinggi(Keliat, B.A., & Pawirowiyono, 2015). Hal ini jika di
pertahankan maka konsep diri anak akan mengalami ambivalen.
d. Psikodinamika
Perkembangan emosi terhambat karena kurangnya rangsangan atau perhatian
ibu,dengan ini seorang bayi mengalami penyimpangan rasa aman dan gagal
untuk membangun rasa percayanya sehingga menyebabkan munculnya ego
yang rapuh karena kerusakan harga diri yang parah, perasaan kehilangan
kendali,takut dan ansietas berat. Sikap curiga kepada seseorang di
manifestasikan dan dapat berlanjut di sepanjang kehidupan. Faktor- faktor
yang mempengaruhi terjadinya waham adalah:
1) Gagal melalui tahapan perkembangan dengan sehat.
2) Disingkirkan oleh orang lain dan merasa kesepian
3) Hubungan yang tidak harmonis dengan oranglain
4) Perpisahan dengan orang yang dicintainya
5) Kegagalan yang sering dialami
6) Menggunakan penyelesaian masalah yang tidak sehat misalnya
menyalahkan orang lain.
2. Faktor Presipitasi
a. Biologi
Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang maladaptif
termasuk:
1) Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses
informasi
2) Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan secara selektif menanggapi rangsangan.
b. Stres lingkungan
Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi
dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Pemicu gejala
Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang sering menunjukkan episode
baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada respon neurobiologik
yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan. Lingkungan, sikap dan
perilaku individu
3. Penilaian Stressor
 Respon kognitif:
- Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata
- Individu sangat percaya pada keyakinannya
- Sulit berfikir realita
- Tidak mampu mengambil keputusan
 Respon afektif:
- Situasi tidak sesuai dengan kenyataan
- Afek tumpul
 Respon biologis:
- Higiene kurang
- Muka pucat
- Sering menguap
- BB menurun
- Nafsu makan berkurang dan sulit tidur
 Respon perilaku dan sosial:
- Hipersensitif
- Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
- Depresif
- Ragu-ragu
- Mengancam secara verbal
- Aktifitas tidak tepat
- Streotif
- Impulsif
- Curiga
4. Sumber Koping
Sumber koping mencakup empat aspek, yaitu kemampuan personal (personal
ability), dukungan sosial (social support), aset material (material assets), dan
kepercayaan (beliefs) (Muthmainnah, 2018).
 Kemampuan personal (Personal ability)
- Klien mampu mengenal dan menilai aspek positif (kemampuan) yang
dimiliki
- Klien mampu melatih kemampuan yang masih dapat dilakukan di
rumah sakit.
- Klien mampu melakukan aktivitas secara rutin di ruangan
 Dukungan sosial (Social support)
- Keluarga mengetahui cara merawat klien dengan harga diri rendah
- Klien mendapatkan dukungan dari masyarakat
 Aset material (Material assets)
- Sosial ekonomi rendah
- Rutin berobat
- Adanya Kader kesehatan jiwa
- Jarak ke pelayanan kesehatan mudah dijangkau
 Kepercayaan (beliefs)
- Klien mempunyai keinginan untuk sembuh
- Klien mempunyai keyakinan positif terhadap program pengobatan.
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
Sumber koping dari keluarga sangat diperlukan dengan mengetahui dan mengerti
tentang penyakit, finansial keluarga, waktu dan tenaga keluarga yang tersedia dan
kemampuan keluarga memberikan asuhan kepada klien.
5. Mekanisme Koping
Menurut Hernawati, perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari
pengalaman yang berhubungan dengan respon neurobiologist yang mal adaptif
meliputi :
 Regresi : berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas.
 Proyeksi : sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi
 Menarik diri
 Pada keluarga : mengingkari

C. POHON MASALAH
Risiko Kerusakan Komunikasi Verbal

Perubahan Proses Berpikir: Waham

Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah Kronis

D. DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI


No Data Masalah
Mayor Perubahan proses pikir: Waham
Data Subjektif : (Budianna 2019, Hal 152)
1. Mengatakan bahwa ia adalah artis,
nabi, presiden, wali, dan lainnya yang
tidak sesuai dengan kenyataan.
2. Pasien mengatakan Curiga dan
waspada berlebih pada orang tertentu
3. Pasien mengatakan Merasa diintai
dan akan membahayakan dirinya
4. Pasien mengatakan Merasa
yakin menderita penyakit fisik
Data Objektif :
1. Mudah tersinggung
2. Marah
3. Waspada
4. Menarik diri
5. Inkoheren
6. Perilaku seperti isi
wahamnya Minor
Data Subjektif :
1. Pasien mengatakan Tidak mampu
mengambil keputusan
2. Pasien mengatakan Merasa
khawatir sampai panik
Data Objektif :
1. Bingung
2. Perubahan pola tidur
3. Kehilangan selera makan

E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Perubahan Proses Berpikir: Waham (core problem)
2. Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah Kronis (causa)
3. Risiko Kerusakan Komunikasi Verbal (effect)

F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


No. Diagnosa PERENCANAAN
TUJUAN KRITERIA EVALUASI INTERVENSI
Perubahan isi TUM : Setelah dilakukan - Bina hubungan saling
pikir : Setelah dilakukan interaksi selama...x percaya dengan klien
waham tindakan pertemuan klien dapat : a. Beri salam
keperawatan, a. Menunjukan ekspresi b. Perkenalkan diri,
klien tidak terjadi wajah bersahabat tanyakan nama, serta
perubahan isi b. Menunjukan rasa nama panggilan yang
pikir, waham senang disukai
c. Ada kontak mata, c. Jelaskan tujuan
TUK 1 : mau berjabat tangan interaksi
Klien dapat d. Mau menyebutkan d. Ciptakan lingkungan
membina nama yang tenang
hubungan saling e. Mau menjawab salam e. Buat kontrak yang
percaya dengan f. Klien mau duduk jelas (topik, waktu,
perawat berdampingan dengan tempat)
perawat f. Jangan membantah dan
g. Mau mengutarakan mendukung waham
masalah yang dihadapi klien : katakan perawat
menerima keyakinan
klien “saya menerima
keyakinan anda”
disertai ekspresi
menerima, katakan
perawat tidak
mendukung disertai
ekspresi ragu dan
empati, tidak
membicarakan isi
waham klien
g. Yakinkan klien dalam
keadaan aman dan
perawat siap menolong
dan mendampinginya
h. Yakinkan bahwa
kerahasiaan klien akan
tetap terjaga
i. Tunjukan sikap terbuka
dan jujur
j. Observasi apakah
wahamnya
mengganggu aktivitas
harian dan perawatan
diri
k. Perhatikan kebutuhan
dasar dan bantu pasien
memenuhinya
TUK 2 : Setelah dilakukan - Bantu klien
Klien dapat interaksi selama...x mengidentifikasi
mengidentifikasi pertemuan klien dapat : keyakinan yang salah
wahamnya a. Menyebutkan tentang situasi yang nyata
perbedaan (bila klien sudah siap)
pengalaman nyata a. Diskusikan dengan
dengan pengalaman klien pengalaman
wahamnya wahamnya tanpa
berargumentasi
b. Katakan kepada klien
akan keraguan perawat
terhadap pernyataan
klien
c. Diskusikan dengan
klien respon perasaan
terhadap wahamnya
d. Diskusikan frekuensi,
intensitas, dan durasi
terjadinya waham
e. Bantu klien
membedakan situasi
nyata dengan situasi
yang dipersepsikan
salah oleh klien
TUK 3 : Setelah dilakukan a. Diskusikan hobi atau
Klien dapat interaksi selama...x aktivitas yang
melakukan teknik pertemuan klien dapat : disukainya
distraksi sebagai a. Melakukan aktivitas b. Anjurkan klien memilih
cara yang konstruktif dan melakukan aktivitas
menghentikan sesuai dengan yang membutuhkan
pikiran yang minatnya yang dapat perhatian dan
terpusat pada mengalihkan fokus keterampilan
wahamnya klien dari wahamnya c. Ikut sertakan klien
dalam aktivitas fisik
yang membutuhkan
perhatian sebagai
pengisi waktu luang
d. Libatkan klien pada
topik-topik yang nyata
e. Anjurkan klien untuk
bertanggung jawab
secara personal dalam
mempertahankan atau
meningkatkan kesehatan
dan pemulihannya
f. Beri penghargaan bagi
setiap upaya klien yang
positif
TUK 4 : Setelah dilakukan a. Observasi kebutuhan
Klien mampu interaksi selama...x klien sehari-hari
mengidentifikasi pertemuan klien dapat : b. Diskusikan kebutuhan
kebutuhan yang a. Klien mengungkapkan klien yang tidak
tidak terpenuhi kebutuhan selama terpenuhi baik selama di
dirumah rumah maupun di rumah
b. Klien mampu sakit (rasa sakit, cemas,
mengungkapkan marah)
kebutuhan selama c. Hubungkan kebutuhan
dirumah sakit yang tidak terpenuhi dan
c. Aktifitas (pemenuhan timbulnya waham
ADL) klien d. Tingkatkan aktivitas
mengalami yang dapat memenuhi
peningkatan kebutuhan klien dan
d. Klien dapat memelukan waktu dan
menginterpretasikan tenaga (buat jadwal jika
bahasa non verbal mungkin)
e. Klien mampu e. Atur situasi agar klien
mengalokasikan tidak mempunyai waktu
waktu untuk untuk menggunakan
wahamnya wahamnya
TUK 5 : Setelah dilakukan a. Berbicara dengan klien
Klien mampu interaksi selama...x dalam konteks realitas
berhubungan pertemuan klien dapat : (diri, orang lain, tempat
dengan realitas a. Klien mampu dan waktu)
mengungkapkan b. Sertakan klien dalam
tentang realitas diri terapi aktivitas
b. Klien mampu kelompok : orientasi
mengungkapkan realitas
realitas orang lain c. Berikan pujian pada tiap
c. Klien mampu kegiatan positif yang
mengungkapkan dilakukan klien
realitas tempat dan
waktu
d. Klien mampu
kooperatif mengikuti
kegiatan TAK
e. Klien merasa senang
dengan pujian pada
tiap kegiatan positif
TUK 6 : Setelah dilakukan a. Diskusikan dengan klien
Klien mampu interaksi selama...x tentang nama obat,
menggunakan pertemuan klien dapat : dosis, frekuensi, efek
obatnya dengan a. Klien mampu dan efek samping
benar menyebutkan nama minum obat
obat dan kapan saja b. Bantu klien
klien harus minum menggunakan obat
obat dengan prinsip 5 benar
b. Klien mampu (nama pasien, obat,
menerapkan 5 benar dosis, cara dan waktu)
dalam pengobatan c. Anjurkan klien
c. Klien mampu membicarakan efek dan
mengungkapkan efek efek samping obat yang
setelah minum obat dirasakan
d. Beri reinforcement bila
Setelah dilakukan klien minum obat yang
interaksi selama...x benar
pertemuan klien dapat : e. Diskusikan dengan klien
a. Klien menyebutkan tentang manfaat dan
akibat berhenti minum kerugian tidak minum
obat tanpa konsultasi obat
dengan dokter f. Pantau klien saat
penggunaan obat, beri
pujian jika klien
menggunakan obat
dengan benar
g. Diskusikan akibat klien
berhenti minum obat
tanpa konsultasi dengan
dokter
h. Anjurkan klien untuk
konsultasi kepada
perawat atau dokter jika
terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan
TUK 7 : Setelah dilakukan a. Diskusikan pentingnya
Klien dapat interaksi selama...x peran keluarga sebagai
dukungan dari pertemuan keluarga dapat: pendukung untuk
keluarga a. Keluarga klien dapat mengatasi waham
menyebutkan gejala b. Diskusikan potensi
waham, cara merawat keluarga untuk
klien waham, cara membantu klien
mempraktekan mengatasi waham
c. Jelaskan pada keluarga
tentang :
- Pengertian waham
- Tanda gejala waham
- Penyebab dan akibat
waham
- Cara merawat klien
waham
d. Latih keluarga cara
merawat waham
e. Tanyakan perasaan
keluarga setelah
mencoba cara yang
dilatih
f. Beri pujian pada
keluarga atas
keterlibatannya merawat
klien di rumah
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B. A., dkk. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Nurarif, A., dkk (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Diagnosa Medis NANDA
NIC – NOC. Yogyakarta : Media Ection.
Prakasa, A., & Milkhatun, M. (2020). Analisis Rekam Medis Pasien Gangguan Proses
Pikir Waham dengan Menggunakan Algoritma C4. 5 di Rumah Sakit Atma
Husada Mahakam Samarinda. Borneo Student Research (BSR),2(1)8-15.
Victoryna, F., Wardani, I. Y., & Fauziah, F. (2020). Penerapan Standar Asuhan
Keperawatan Jiwa Ners untuk Menurunkan Intensitas Waham Pasien
Skizofrenia. Jurnal Keperawatan Jiwa, 8(1), 45-52.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/5352/pd
Yusuf, A., dkk. (2015). Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : Salemba.
Zukna, N. A. M., & Lisiswanti, R. (2017). Pasien dengan Halusinasi dan Waham
Bizarre. JurnalMedula, 7(1),3842.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/745
LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

Laporan Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktik Profesi Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J

Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721067

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM
PROFESI 2023
A. KASUS/MASALAH UTAMA
1. Pengertian Defisit Perawatan Diri
Defisit perawatan diri merupakan suatu kondisi pada seseorang yang
mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas
perawatan diri secara mandiri seperti mandi, higiene, dan (toileting) (Abdul,
2015).
Defisit perawatan diri menurut Orem adalah ketidakmampuan seseorang
untuk melakukan perawatan diri secara adekuat sehingga dibutuhkan beberapa
sistem yang dapat membantu klien dalam memenuhi kebutuhan perawatan dirinya
(Erlando, 2019). Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan seseorang dalam
melakukan aktivitas perawatan diri sendiri (PPNI, 2018).
Pasien dengan masalah defisit perawatan diri tidak mempunyai keinginan
untuk merawat dirinya seperti mandi teratur, berhias diri, buang air kecil dan besar
pada tempatnya. Kebutuhan aktifitas perawatan diri merupakan fokus dalam
asuhan keperawatan jiwa, sehingga seorang perawat harus memiliki kemampuan
dalam pemenuhan kebutuhan aktifitas perawatan diri, terutama pada pasien yang
mengalami masalah defisit perawatan diri.
2. Jenis DPD
Menurut Nanda (2012), jenis perawatan diri terdiri dari:
a. Defisit perawatan diri: mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
b. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri
c. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri
d. Defisit perawatan diri : eliminasi/toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri.
3. Fase – Fase DPD
Ketika klien mengalami masalah harga diri rendah, klien akan merasa tidak
berharga, malu terhadap diri dia sendiri dan tidak menerima pujian. Hal ini
membuat individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain. Individu
merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan
untuk membagi perasaan dan pikiran. Kemudian klien menjadi regresi atau
mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan kurangnya perhatian terhadap
penampilan, kebersihan diri.
4. Rentang Respon
Menurut (Huda, 2015) Rentang respon perawatan diri pada pasien defisit
perawatan diri adalah sebagai berikut:
Respon Adaptif ResponMaladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan diri Tidak melakukan


diri seimbang tidak seimbang perawatan diri

Keterangan:
a. Pola perawatan diri seimbang: saat klien mendapatkan stressor dan mampu
untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stressor kadang
kadang klien tidak memperhatikan perawatand irinya.
c. Tidak melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stresor.
Mekanisme koping adaptif yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan
belajar mencapai tujuan akan memberikan pengaruh yang positif bagi pasien.
Pola perawatan diri seimbang Kadang perawatan diri tidak simbang Tidak
melakukan perawatan diri.
Kategorinya adalah pasien bisa mempenuhui kebutuhan perawatan diri secara
mandiri. Beda dengan mekanisme koping maladaptif yang dapat menghambat
fungsi integrasi pasien yang dapat memecahkan pertumbuhan pasien,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi menurut Suerni & Livana (2019)meliputi faktor biologis yang
dimana penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri sendiri. Faktor perkembangan yaitu keluarga terlalu memanjakan
dan melindungi pasien sehingga perkembangan insiatif pasien menjadi terganggu.
Faktor sosial dimana dukungan dan latihan dalam merawat diri yang kurang
situasi lingkungan yang mempengaruhi latihan dalam kemampuan merawat diri
dan kemapuan realitas yang kurang menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan
lingkungan termasuk perawatan diri.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya atau menurunnya
motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual, cemas, lelah atau lemah yang
dialami individu tidak peduli dengan perawatan diri.
3. Penilaian Stressor
a. Kognitif: klien mengatakan malas untuk beaktivitas, klien merasa lemah.
b. Afektif: rendah diri, merasa tidak berdaya
c. Fisiologis: badan bau, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan kotor, gigi
kotor, mulut bau
d. Perilaku: penampilan tidak rapi, malas, tidak ada inisiatif, BAK dan BAB di
sembarang tempat, cara makan tidak teratur
e. Sosial: menarik diri, isolasi diri, interaksi kurang dengan orang lain, tidak
mampu berperilaku sesuai norma
4. Sumber Koping
Sumber koping mencakup empat aspek, yaitu kemampuan personal (personal
ability), dukungan sosial (social support), aset material (material assets), dan
kepercayaan (beliefs) (Nurhalimah, 2020).
 Kemampuan personal (Personal ability) : Klien mampu mengenal dan
menilai aspek positif (kemampuan) yang dimiliki, Klien mampu melatih
kemampuan yang masih dapat dilakukan di rumah sakit, Klien mampu
melakukan aktivitas secara rutin di ruangan
 Dukungan sosial (Social support) : Keluarga mengetahui cara merawat
klien dengan harga diri rendah,Klien mendapatkan dukungan dari
masyarakat
 Aset material (Material assets) : Sosial ekonomi rendah, Rutin berobat -
Adanya Kader kesehatan jiwa, Jarak ke pelayanan kesehatan mudah
dijangkau
 Kepercayaan (beliefs) : Klien mempunyai keinginan untuk sembuh, Klien
mempunyai keyakinan positif terhadap program pengobatan.
5. Mekanisme Koping
Mekanisme koping pada pasien dengan defisit perawatan diri adalah sebagai
berikut:
1. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali,
seperti pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah
proses informasi dan upaya untuk mengulangi ansietas (Dermawan, 2013).
2. Penyangkalan (Denial), melindungi diri terhadap kenyataan yang tak
menyenangkan dengan menolak menghadapi hal itu, yang sering dilakukan
dengan cara melarikan diri seperti menjadi “sakit” atau kesibukan lain serta
tidak berani melihat dan mengakui kenyataan yang menakutkan (Yusuf dkk,
2015).
3. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis, reaksi fisk yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber
stresor, misalnya: menjauhi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Reaksi
psikologis individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak
berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan (Dermawan, 2013).
4. Intelektualisasi, suatu bentuk penyekatan emosional karena beban emosi
dalam suatu keadaan yang menyakitkan, diputuskan, atau diubah (distorsi)
misalnya rasa sedih karena kematian orang dekat, maka mengatakan “sudah
nasibnya” atau “sekarang ia sudah tidak menderita lagi” (Yusuf dkk, 2015).

C. POHON MASALAH
Resiko Tinggi Isolasi Sosial Effect

Defisit Perawatan Diri Core Problem

Harga Diri Rendah Causa


D. DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI
No Data Masalah
1. Data Subjektif: Defisit Perawatan DIri
1. Menolak melakukan perawatan diri:
Kebersihan diri, berpakaian, makan
dan minum, dan eliminasi
2. Menyampaikan ketidakinginan
melakukan perawatan diri
3. Menyatakan tidak tahu cara
perawatan diri
Data Objektif:
1. Kulit, rambut, gigi, kuku kotor
2. Pakaian kotor, tidak rapi, dan
tidak tepat
3. Makan dan minum tidak beraturan
4. Eliminasi tidak pada tempatnya
5. Lingkungan tempat tinggal kotor

E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Defisit Perawatan Diri (core problem)
2. Harga Diri Rendah (causa)
3. Resiko Tinggi Isolasi Sosial (effect)

F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Diagnosis NIC
NOC
Data Keperawatan
Kode Diagnosis Kode Hasil Kode Intervensi
Data Subjektif: 00108 Defisit 0301 Perawatan 1610 Memandikan
1. Menolak Perawatan Diri : a. Bantu
melakukan Diri Mandi memandikan
perawatan diri: - Klien pasien dengan
Kebersihan dapat menggunakan
diri, masuk dan kursi untuk
berpakaian, keluar dari mandi, bak
makan dan kamar tempat mandi,
minum, dan mandi mandi dengan
eliminasi - Klien berdiri, dengan
2. Menyampaika dapat menggunakan
n mengambil cara yang tepat
ketidakinginan alat mandi atau sesuai
melakukan - Klien dengan keinginan
perawatan diri dapat pasien
3. Menyatakan mendapatka b. Cuci rambut
tidak tahu cara n air mandi sesuai dengan
perawatan diri - Klien kebutuhan atau
Data Objektif: dapat keinginan
1. Kulit, rambut, mandi c. Mandi dengan
gigi, kuku dengan air yang
kotor bersiram mempunyai suhu
2. Pakaian kotor, - Klien nyaman
tidak rapi, dan dapat d. Bantu dalam
tidak tepat mencuci hal kebersihan
3. Makan dan wajah e. Tawarkan
minum tidak mencuci tangan
beraturan setelah eliminasi
4. Eliminasi tidak f. Monitor fungsi
pada kemampuan saat
tempatnya mandi
5. Lingkungan
tempat tinggal
kotor
DAFTAR PUSTAKA

Abdul. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta.


Erlando, R. P. A. (2019). Terapi Kognitif Perilaku dan Defisit Perawatan Diri : Studi
Literatur. Terapi Kognitif Perilaku Dan Defisit Perawatan Diri : Studi Literatur, 1(1),
94–100.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Suerni, T., & Livana. (2019). Gambaran Faktor Predisposisi Pasien gangguan jiwa dengan
Defisit perawatan diri. Jurnal Keperawatan, 11(1).
Stuart, W. Gail. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier
Yusuf, Ah, Rizky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

Laporan Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktik Profesi Keperawatan Jiwa

Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J

Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721067

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM PROFESI
2023
A. KASUS/MASALAH UTAMA
1. Pengertian Risiko Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang
yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Menurut Keliat
(2019) mengungkapkan bahwa perilaku kekerasan merupakan salah satu respon
marah yang diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain,
dan atau merusak lingkungan. Nanda (dalam Sutejo 2017) menyatakan bahwa
risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang menunjukan bahwa
ia dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain atau lingkungan baik secara
fisik, emosional, seksual, dan verbal.
Risiko perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah diekspresikan
dengan melakukan ancaman, mencederai diri sendiri maupun orang lain dan dapat
merusak lingkungan sekitar. Tanda dan gejalarisiko perilaku kekerasan dapat
terjadi perubahan pada fungsi kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Pada
aspek fisik tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan meningkat,
mudah tersinggung, marah, amuk serta dapat mencederai diri sendiri maupun
orang lain (Pardede & Hulu, 2020).
Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.Berdasarkan definisi tersebut
maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan pada orang lain adalah
tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain.
Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan,
melempar kaca, genting dan semua yang ada di lingkungan. (Putri & Fitrianti,
2018).
Dengan demikian perilaku kekerasan atau tindak kekerasan merupakan
ungkapan perasaan marah dan bermusuhan yang mengakibatkan hilangnya kontrol
diri dimana individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan
yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
2. Jenis-Jenis RPK
1. Irritable agression
Merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan marah. Agresi
ini dipicu oleh oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek pada proses
penerimaan dan memahami informasi dengan intensitas emosional yang tinggi
(directed against an available target).
2. Instrumental agression
Suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat untuk mencapai
tujuan tertentu. Misalnya untuk mencapai tujuan politik tertentu dilakukan
tindak kekerasan secara sengaja dan terencana
3. Mass agression
Suatu tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat
kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada saat orang
berkumpul terdapat kecenderungan berkurangnya individualitas, bila ada ada
seseorang yang mempelopori tindak kekerasan maka secara otomatis semua
akan ikut melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi karena saling
membangkitkan. Pihak yang menginisiasi tindak kekerasan tersebut bisa saja
melakukan agresi instrumental (sebagai provokator) maupun agresi
permusuhan karena kemarahan tidak terkendali (Keliat, 1996 dalam Muhith,
2015).
3. Fase-Fase RPK
Adanya sebuah ancaman yang dialami oleh seseorang atau sebuah kebutuhan
yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan seseorang mengalami stres. Apabila
stres ini terus berlanjut dan membuat seseorang merasa tertekan, maka akan
menyebabkan rasa cemas dan dapat menimbulkan marah. Terdapat beberapa
respon marah yang dialami seseorang ketika marah.
Rasa marah yang di ekspresikan secara destruktif, misalnya dengan perilaku
agresif atau merasa kuat dan menentang biasanya cara tersebut justru menjadikan
masalah berkepanjangan dan dapat menimbulkan amuk yang ditunjukan pada diri
sendiri, orang lain dan lingkungan. Menurutnya perilaku seperti itu mampu
mengatasi rasa marahnya.
Respon ketika marah juga dapat berupa mengekspresikan rasa marahnya
dengan perilaku konstruktif yaitu mengungkapkan secara langsung dengan kata-
kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, sehingga
rasa marah tersebut dapat di pahami oleh orang lain. Selain akan memberikan rasa
lega, ketegangan pun akan menurun dan akhirnya perasaan marah dapat teratasi.
Perilaku yang submisif seperti menekan perasaan marah karena merasa tidak kuat,
individu akan berpura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya,
sehingga rasa marah tidak terungkap.
Kemarahan yang demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan. Rasa
bermusuhan tersebut berbentuk marah pada diri sendiri dan akhirnya
menimbulkan depresi psikosomatik. Selain itu rasa bermusuhan bisa berkembang
menjadi rasa bermusuhan yang lama atau menahun. Bentuk lain dari rasa
bermusuhan adalah marah pada orang lain dengan menunjukkan perilaku yang
agresif.
4. Rentang Respon
Rentang respon kemarahan dari perilaku kekerasan dapat di gambarkan sebagai
berikut, assertif, frustasi, pasif, agresif, dan mengamuk. ( Putri, N & Fitrianti,
2018).

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

Keterangan :
a. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan
orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
b. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
c. Pasif adalah respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang dialami.
d. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif bisaanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama
dari orang lain.
e. Amuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
control diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Faktor Predisposisi
Menurut Nurhalimah (2016) Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien
akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi
faktor predisposisi:
a. Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter yaitu
adanya anggotakeluarga yang sering memperlihatkan atau melakukan perilaku
kekerasan, adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, adanyan
riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA
(narkoti, psikotropika dan zat aditif lainnya). Perilaku Kekerasan Core
problem Risiko Perilaku Kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan,
dan verbal) Effect Harga Diri Rendah Kronis Causa
b. Faktor Psikologis
Pengalaman marah merupakan respon psikologis terhadap stimulus eksternal,
internal maupun lingkungan.Perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari
akumulasi frustrasi.Frustrasi terjadi apabila keinginan individu untuk
mencapai sesuatu menemui kegagalan atau terhambat.Salah satu kebutuhan
manusia adalah “berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi
melalui berperilaku konstruktif, maka yang akan muncul adalah individu
tersebut berperilaku destruktif.
c. Faktor Sosiokultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory)menyatakan bahwa
lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah.Norma budaya dapat mendukung individu untuk
berespon asertif atau agresif.Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara
langsung melalui proses sosialisasi (social learning theory).
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi menurut Nurhalimah (2016) perilaku kekerasan pada setiap
individu bersifat unik, berbeda satu orang dengan yang lain. Stresor tersebut dapat
merupakan penyebab yang brasal dari dari dalam maupun luar individu. Faktor
dari dalam individu meliputi kehilangan relasi atau hubungan dengan orang yang
dicintai atau berarti (putus pacar, perceraian, kematian), kehilangan rasa cinta,
kekhawatiran terhadap penyakit fisik, dll. Sedangkan faktor luar individu meliputi
serangan terhadap fisik, lingkungan yang terlalu ribut, kritikan yang mengarah
pada penghinaan, tindakan kekerasan.
3. Penilaian Stressor
 Kognitif: klien mengatakan sebuah ancaman melukai, mengatakan benci
atau kesal dengan orang lain, mengatakan tidak mampu mengontrol
perilaku kekerasan
 Afektif: merasa gelisah, merasa bingung, merasa kacau
 Fisiologis: mata melotot, pernapasan meningkat, rahang mengencang, otot
tegang, tekanan darah meningkat, nadi meningkat, pandangan mata tajam
 Perilaku: klien terlihat mondar-mandir, tidak dapat duduk tenang, nada
suara tinggi, bicara keras, tampak klien memaksakan kehendak, mudah
tersinggung, merusak lingkungan
 Sosial: klien memukul orang lain, klien berbicara kasar kepada orang lain.
4. Sumber Koping
Sumber koping mencakup empat aspek, yaitu kemampuan personal (personal
ability), dukungan sosial (social support), aset material (material assets), dan
kepercayaan (beliefs) (Nurhalimah, 2020).
 Kemampuan personal (Personal ability) : Klien mampu mengenal dan
menilai aspek positif (kemampuan) yang dimiliki, Klien mampu melatih
kemampuan yang masih dapat dilakukan di rumah sakit, Klien mampu
melakukan aktivitas secara rutin di ruangan
 Dukungan sosial (Social support) : Keluarga mengetahui cara merawat
klien dengan harga diri rendah,Klien mendapatkan dukungan dari
masyarakat
 Aset material (Material assets) : Sosial ekonomi rendah, Rutin berobat -
Adanya Kader kesehatan jiwa, Jarak ke pelayanan kesehatan mudah
dijangkau
 Kepercayaan (beliefs) : Klien mempunyai keinginan untuk sembuh, Klien
mempunyai keyakinan positif terhadap program pengobatan.
5. Mekanisme Koping
Mekanisme Koping Secara umum mekanisme koping yang sering digunakan
antara lain mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi,
depresi, denial, dan reaksi formasi.
Mekanisme koping menurut Stuart, adalah :
1. Adaptif Adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi,
pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan.katagorinya adalah berbicara
dengan orang lain,memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,
latihan seimbang dan aktifitas konstruktif. Mekanisme koping adaptif
antara lain adalah berbicara dengan orang lain tentang masalah yang
sedang dihadapi, mencoba mencari informasi lebih banyak tentang
masalah yang sedang dihadapi, berdo’a, melakukan latihan fisik untuk
mengurangi ketegangan masalah, membuat berbagai alternatif tindakan
untuk mengurangi situasi, dan merasa yakin bahwa semua akan kembali
stabil, mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu.
2. Mekanisme koping Mal-adaptif Adalah mekanisme koping yang
menghambat fungsi integrasi, memecahkan pertumbuhan, menurunkan
otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.katgorinya adalah makan
berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar.

C. POHON MASALAH
Risiko Mencederai Diri sendiri, Orang lain, dan Lingkungan

Perilaku Kekerasan : Risiko Perilaku kekerasan

Harga Diri Rendah Situasional

D. DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG DIKAJI


No Data Masalah
1. Mayor Risiko Perilaku kekerasan Terhadap
Orang Lain
Data Subjektif
(NANDA, 2018 Domain 11 Kelas 3
1. Mengatakan benci/ kesal dengan Kode Diagnosis 00138)
orang lain
2. Mengatakan ingin memukul orang
lain
3. Mengatakan tidak mampu
mengontrol perilaku kekerasan
4. Mengungkapkan keinginan
menyakiti diri sendiri, orang lain,
dan merusak lingkungan
Data Objektif:

1. Melotot
2. Pandangan tajam
3. Tangan mengepal, rahang mengatup
4. Gelisah dan mondar mandir
5. Tekanan darah meningkat
6. Nadi meningkat
7. Pernapasan meningkat
8. Mudah tersinggung
9. Nada suara tinggi dan bicara kasar
10. Mendominasi pembicaraan
11. Sarkasme
12. Merusak lingkungan
13. Memukul orang lain
Minor

Data Subjektif:

1. Mengatakan tidak senang


2. Menyalahkan orang lain
3. Mengatakan diri berkuasa
4. Mengatakan merasa gagal
mencapai tujuan
5. Mengungkapkan keinginan yang
tidak realistis dan minta dipenuhi
6. Suka mengjek dan mengkritik\
Data Objektif:

1. Disorientasi
2. Wajah merah
3. Postur tubuh kaku
4. Sinis
5. Bermusuhan
6. Menarik diri

E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Perilaku Kekerasan : Risiko Perilaku kekerasan Terhadap Orang Lain (Core
Problem)
2. Harga Diri Rendah Situasional (causa)
3. Risiko Mencederai Diri sendiri, Orang lain, dan Lingkungan (effect)
F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
No DX. Keperawatan Perencanaan
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
1. Risiko perilaku TUM: Setelah dilakukan Bina hubungan saling
kekerasan terhadap Klien tidak interaksi, percaya dengan
orang lain melakukan diharapkan klien menggunakan prinsip
(NANDA, 2018 tindakan menunjukkan komunikasi
Domain 11 Kelas 3 kekerasan pada tanda-tanda terapeutik :
Kode Diagnosis orang lain percaya kepada 1. Beri
00138) TUK 1 : perawat. salam/panggil
Klien dapat Kriteria Evaluasi: nama klien
membina  Mau membalas 2. Sebut nama
hubungan saling salam perawat sambil
percaya  Mau berjabat berjabat tangan
tangan 3. Jelaskan maksud
 Klien mampu hubungan
menyebutkan interaksi
nama 4. Beri rasa nyaman
 Klien dan sikap empatis
tersenyum 5. Lakukan kontrak
 Ada singkat tapi
kontak sering
mata
 Klien tahu
nama perawat
 Klien
menyediakan
waktu untuk
kontrak
2. TUK 2 : Setelah dilakukan 1. Beri kesempatan
Klien dapat interaksi, klien untuk
mengidentifikasi diharapkan klien mengungkapkan
penyebab marah dapat perasaannya
mengidentifikasi 2. Bantu klien untuk
penyebab dari mengungkapkan
marahnya. marah atau
Kriteria Evaluasi: jengkel
 Klien dapat
mengungkapka
n perasaannya
 Klien dapat
menyebutkan
perasaan
marah/jengkel
3. TUK 3 : Setelah dilakukan  Anjurkan klien
Klien dapat interaksi, klien mengungkapkan
mengidentifikasi mampu perasaan saat
tanda marah mengidentifikasi marah/jengkel
tanda marah yang  Observasi tanda
dialaminya perilaku
Kriteria Evaluasi: kekerasan pada
 Klien dapat klien
mengungkapka
n perasaan saat
marah/jengkel
 Klien dapat
menyimpulkan
tanda-tanda
jengkel/kesal
4. TUK 4 : Setelah dilakukan  Anjurkan klien
Klien dapat interaksi, mengungkapkan
mengungkapkan diharapkan klien marah yang biasa
perilaku marah dapat dilakukan
yang sering mengungkapkan  Bantu klien
dilakukan perilaku marah bermain peran
yang sering sesuai perilaku
dilakukan kekerasan yang
Kriteria Evaluasi: biasa
 Klien dilakukanBicarak
mengungkapka an dengan klien
n marah yang apakan dengan
biasa cara itu bisa
dilakukan menyelesaikan
 Klien dapat masalah
bermain peran
dengan
perilaku marah
yang dilakukan
 Klien dapat
mengetahui
cara marah
yang dilakukan
menyelesaikan
masalah atau
tidak
5. TUK 5 : Setelah dilakukan 1. Bicarakan akibat
Klien dapat interaksi, klien atau kerugian dari
mengidentifikasi mampu perilaku
akibat perilaku mengidentifikasi kekerasan yang
kekerasan akibat perilaku dilakukan klien
kekerasan. 2. Bersama klien
Kriteria Evaluasi: menyimpulkan
 Klien dapat akibat dari
menjelaskan perilaku
akibat dari kekerasan
perilaku tersebut
kekerasan yang 3. Tanyakan pada
dilakukan klien apakah ia
ingin mempelajari
cara marah yang
sehat
6. TUK 6: Setelah dilakukan 1. Tanyakan pada
Klien interaksi, klien klien apakah
mengidentifikasi mampu klien mau tahu
cara konstruksi mengidentifikasi cara baru yang
dalam berespon cara konstruksi sehat
terhadap perilaku dalam berespon 2. Beri pujian jika
kekerasan terhadap perilaku klien mengetahui
kekerasan. cara lain yang
Kriteria Evaluasi: sehat
 Klien dapat 3. Diskusikan cara
melakukan marah yang sehat
respon dengan klien,
terhadap seperti pukul
kemarahan bantal untuk
secara melampiaskan
konstruktif marah, tarik
napas dalam,
mengatakan
teman pada saat
ingin marah
4. Anjurkan klien
untuk beribadah
sesuai
keyakinannya
7. TUK 7: Setelah dilakukan 1. Bantu klien untuk
Klien dapat interaksi, dapat memilih
mendemonstrasik diharapkan klien cara yang paling
an cara dapat tepat
mengontrol mendemonstrasika 2. Klien dapat
marah n cara mengotrol mengidentifikasi
marah manfaat dari cara
Kriteria Evaluasi: yang dipilih
 Tarik napas 3. Bantu klien
dalam menstimulasi cara
 Mengatakan tersebut
secara 4. Beri pujian atas
langsung tanpa keberhasilan klien
menyakiti melakukan cara
 Beribadah tersebut
sesuai 5. Anjurkan klien
keyakinan menggunakan
cara yang
telah
dipelajari
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC


Muhith, Abdul. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Andi Nurhalimah. (2016). Bahan Ajar Keperawatan Jiwa
Pardede, J. A., & Hulu, E. P. (2020). Pengaruh Behaviour Therapy Terhadap Risiko
Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr.
Muhammad Ildrem Provsu Medan. Konferensi Nasional (Konas) Keperawatan
Kesehatan Jiwa, 4(1), 257-266.
https://journalpress.org/proceeding/ipkji/article/view/51/51
Pardede, J. A. (2020). Family Knowledge about Hallucination Related to Drinking
Medication Adherence on Schizophrenia Patient. Jurnal Penelitian Perawat
Profesional, 2(4), 399-408. https://doi.org/10.37287/jppp.v2i4.183
Pardede, J. A., Simanjuntak, G. V., & Laia, R. (2020). Gejala Risiko Perilaku
Kekerasan Menurun Setelah Diberikan Prgressive Muscle Relaxation Therapy
Pada Pasien Skizofrenia. 3 (2). 91-100. http://dx.doi.org/10.32584/jikj.v3i2.534
Yusuf, A., Fitryasari PK, R., & Nihayati, H. E. (2015). Buku ajar keperawatan
kesehatan jiwa

Anda mungkin juga menyukai