Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J
Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721067
Adaptif Maladaptif
c. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi sesuatu masalah akan dapat memecahlan masalah tersebut, respon
adaptif :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
Penerimaan pesan yang disadari oleh indra perasaan, dimana dapat
membedakan objek yang satu dengan yang lain dan mengenai
kualitasnya menurut berbagai sensasi yang dihasilkan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu respon yang diberikan oleh
individu sesuai dengan stimulus yang datang
4) Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan peran
5) Hubungan sosial adalah interaksi dengan orang lain dan lingkungan.
d. Respon maldaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan.
1) Gangguan proses pikir adalah keyakinan yang secara kokoh,
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang menyimpang atau persepsi
yang tidak realita atau tidak nyata
3) Ketidakmampuan untuk mengalami emosi adalah keadaan emosi yang
menyebabkan gangguan pada diri seseorang, baik karena emosi yang
timbul terlalu kuat atau emosi yang tidak hadir. Wajah dingin, jarang
tersenyum, acuh tak acuh.
4) Isolasi sosial adalah Keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya.
5. Jenis Halusinasi
Menurut Sutejo (2017), halusinasi diklasifikasikan menjadi 5 jenis, yaotu
halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, penghidung dan halusinasi
perabaan. Sekitar 70% halusinasi yang dialami klien gangguan jiwa adalah
halusinasi pendengaran, 20% halusinasi penglihatan dan 10% halusinasi
pengecap, penciuman dan perabaan.
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Pendengaran Mengarahkan telinga Mendengar suara
pada sumber suara atau bunyi gaduh
Marah – marah tanpa Mendengar suara
sebab yang jelas yang menyuruh untuk
Bicara atau tertawa melakukan sesuatu
sendiri yang berbahaya
Menutup telinga Mendengar suara
yang mengajak
bercakap – cakap
Mendengar suara
orang yang sudah
meninggal
Halusinasi Penglihatan Ketakutan pada Melihat makhluk
sesuatu atau objek tertentu, bayangan,
yang dilihat seseorang yang sudah
Tatapan mata menuju meninggal, sesuatu
tempat tertentu yang menakutkan
Menunjuk ke arah atau hantu, cahaya
tertentu
Halusinasi Pengecapan Adanya tindakan Klien seperti sedang
mengecap sesuatu, merasakan makanan
gerakan mengunyah, atau rasa tertentu,
sering meludah, atau atau mengunyah
muntah sesuatu
Halusinasi Penghidung Adanya gerakan Mencium bau dari
cuping hidung karena bau - bauan
mencium sesuatu atau tertentu,seperti bau
mengarahkan hidung mayat, masakan,
pada tempat tertentu feses, bayi atau
Halusinasi parfum
penciuman sering Klien sering
menyertai klien mengatakan bahwa ia
demensia, kejang, mencium suatu bau
atau penyakit
serebrovaskular
Halusinasi Perabaan Menggaruk – garuk Klien mengatakan
permukaan kulit ada sesuatu yang
Klien terlihat menggerayangi
menatap tubuhnya tubuh, seperti tangan,
dan terlihat serangga atau
merasakan sesuatu makhluk halus
yang aneh seputar Merasakan sesuatu di
tubuhnya permukaan kulit,
seperti rasa yang
sangat panas dan
dingin, atau rasa
tersengat aliran listrik
b) Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor yang ada dilingkungan dan dimasyarakat dapat menyebabkan
orang merasa diasingkan atau disingkirkan, sehingga klien merasa kesepian
dalam
lingkungan dimana dia berada, walaupun dia ada dalam lingkungan yang ramai.
Klien dengan halusinasi didapatkan sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan
lingkungan pada usia perkembangan anak, tingkat pendidikan rendah, dan
kegagalan dalam hubungan social (perceraian, hidup sendiri), serta tidak bekerja
c) Faktor Biokimia
Faktor biokimia ini mempunyai pengaruh terhadap terjadinya ganggtian jiwa
dimana teori biokimia menyatakan adanya peningkatan dari dopamine
neurotransmiter yang diperkirakan menghasilkan gejala peningkatan aktifitas yang
berlebihan sehingga dapat menghasilkan zat halusinogen.
d) Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis akan mengakibatkan stress dan
kecemasan, orang yang mengalami psikososial akan mengakibatan dan
menghasilkan hubungan yang penuh dengan kecemasan tinggi. Peran ganda yang
bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan
kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realita. Pada klien
yang mengalami halusinasi, dapat ditemukan adanya kegagalan yang berulang,
individu korban kekerasan, kurangnya kasih sayang, atau overprotekti
e) Faktor Biologi
Dalam schizoprenia belum diketahui gen yang berpengaruh, tetapi hasil penelitian
menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini. Hal yang dikaji pada faktor biologis, meliputi
adanya faktor herediter gangguan jiwa, adanya resiko bunuh diri, riwayat penyakit
atau trauma kepala, dan riwayat pengunaan NAPZA
2) Faktor Presipitasi
1) Biologis
Stressor Biologis yang berhubumgan dengan respon neurobiologik yang
maladaptive termasuk :
Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi.
Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk pada otak yang akan
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menggapai
rangsangan.
2) Stress Lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi
dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup,
kemiskinan, adanya aturan atau, tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang
sering tidak sesuai dengan klien serta konflik antar masyarakat.
3) Pemicu Gejala
Pemicu merupakan stimulus yang sering menimbulkan episode baru suatu
penyakit.Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologik yang
maladaptive berhubungan dengan kesehatan lingkungan, sikap dan perilaku
klien. Stressor presipitasi pada klien dengan halusinasi ditemukan adanya
riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak.
Tanda dan Gejala / Penilaian Stresor
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap klien serta
ungkapan klien. Adapun tanda dan gejala klien halusinasi adalah:
a. Data Subjektif
Berdasarkan data subjektif, klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi
mengatakan bahwa klien :
Mendengar suara-suara atau kegaduhan.
Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap.
Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu
atau monster.
Mencium bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang bau itu
menyenangkan.
Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses.
Merasa takut atau senang dengan halusinasinya.
b. Data Objektif
Berdasarkan data objektif, klien dengan gangguan sensori persepsi halusinasi
melakukan hal-hal berikut :
Bicara atau tertawa sendiri.
Marah-marah tanpa sebab.
Mengarahkan telinga ke arah tertentu.
Menutup telinga.
Menunjuk-nunjuk kearah tertentu.
Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas.
Mencium sesuatu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu.
Menutup hidung.
Sering meludah.
Muntah.
Menggaruk-garuk permukaana kulit.
3) Sumber Koping
Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman tentang pengaruh
gangguan otak pada perilaku. Kekuatan dapat meliputi modal, seperti intelegasi
atau kreativitas yang tinggi. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan tentang
penyakit, finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga, dan kemampuan
untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan. Merupakan suatu
evaluasi terhadap pilihan koping pada strategi seseorang. Strategi seseorang yang
digunakan seperti keterlibatan dalam hubungan yang lebih luas seperti dalam
keluarga dan teman, hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan
kreativitas untuk mengekspresikan stres interpersonal seperti kesenian,
musik/tulisan. (Stuart, 2006)
- Personal ability : Kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah
- Social support : Dukungan dari lingkungan terdekat klien.
Keluarga pasien membawa pasien ke RSJ
- Material aset : Dukungan material yang dimiliki pasien (ekonomi, pendidikan,
asuransi, dan transportasi, jarak mencapai pelayanan
kesehatan)
Positif belief : Keyakinan pasien akan kesembuhannya.
4) Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi meliputi :
- Regresi
Regresi berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan pengeluaran
sejumlah besar tenaga dalam upaya untuk mengelola ansietas, menyisakan
sedikit tenaga untuk aktivitas sehari-hari.
- Proyeksi
Dalam hal ini, klien mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau suatu benda.
- Menarik diri
Klien sulit mempercayai oranglain dan asyik sendiri dengan stimulus internal.
C. POHON MASALAH
Isolasi Sosial
Halusinasi
E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
No. Diagnosa Keperawatan Tanggal & Paraf
1. Halusinasi (Budi Anna, 2019)
2. Harga diri rendah kronis (domain 6, kelas 2, kode
diagnosis 00119, hal. 270)
3. Isolasi sosial (domain 12, kelas 3, kode diagnosis 00053,
hal. 455)
F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
No Dx Perencanaan
Dx Keperawatan
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Halusinasi TUM: klien dapat 1. Setelah 1. Bina hubungan saling
(lihat/dengar/ berinteraksi dengan dilakukan percaya dengan menggunakan
penghidu/raba orang lain interaksi prinsip komunikasi terapeutik :
/kecap) Tuk 1 : klien Sapa klien dengan ramah
Klien dapat menunjukka baik verbal maupun non
membina hubungan n tanda – verbal
saling percaya tanda Perkenalkan nama,
percaya nama panggilan dan
kepada tujuan perawat
perawat : berkenalan
Ekspresi Tanyakan nama lengkap
wajah dan nama panggilan
bersahabat yang disukai klien
Menunjukk Buat kontrak yang jelas
an rasa Tunjukkan sikap jujur
senang. dan menepati janji setiap
Ada kontak kali interaksi
mata. Tunjukan sikap empati
Mau dan menerima apa
berjabat adanya
tangan. Beri perhatian kepada
Mau klien dan perhatikan
menyebutka kebutuhan dasar klien
n nama. Tanyakan perasaan klien
dan masalah yang
dihadapi klien
Mau Dengarkan dengan penuh
menjawab perhatian ekspresi
salam. perasaan klien
Mau duduk
berdamping
an dengan
perawat.
Bersedia
mengungka
pkan
masalah
yang
dihadapi.
TUK 2 : 2.1 Setelah 1. Adakan kontak sering
Klien dapat dilakukan dan singkat secara
mengenal interaksi klien bertahap
halusinasinya menyebutkan : 2. Observasi tingkah laku
o Isi klien terkait dengan
o Waktu halusinasinya (* dengar
o Frekunsi /lihat /penghidu /raba
o Situasi dan /kecap), jika menemukan
kondisi klien yang sedang
yang halusinasi :
menimbulk Tanyakan apakah klien
an mengalami sesuatu
halusinasi (halusinasi dengar/ lihat/
penghidu /raba/ kecap )
Jika klien menjawab ya,
tanyakan apa yang
sedang dialaminya
Katakan bahwa perawat
percaya klien
mengalami
hal tersebut, namun
perawat sendiri tidak
mengalaminya ( dengan
nada bersahabat tanpa
menuduh atau
menghakimi)
Katakan bahwa ada klien
lain yang mengalami hal
yang sama.
Katakan bahwa perawat
akan membantu klien
2.2 Setelah 1. Diskusikan dengan klien
dilakukan interaksi apa yang dirasakan jika
klien menyatakan terjadi halusinasi dan
perasaan dan beri kesempatan untuk
responnya saat mengungkapkan
mengalami perasaannya.
halusinasi : 2. Diskusikan dengan klien
Marah apa yang dilakukan
Takut untuk mengatasi perasaan
Sedih tersebut.
Senang 3. Diskusikan tentang
Cemas dampak yang akan
Jengkel dialaminya bila klien
menikmati halusinasinya.
Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J
Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721067
DO :
DO :
E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial berhubungan dengan harga diri rendah kronik dan menarik diri
(NANDA Domain 12 Kelas 3 Kode Diagnosis 0053 hal 455)
2. Harga diri rendah kronik berhubungan dengan ketidakefektifan koping (NANDA
Domain 6 Kelas 2 Kode Diagnosis 00119 hal 270)
S.N. Ade Herma Direja. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha
Yosep, H.I dan Sutini,T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental Health
Nursing. Bandung : Refika Medika
Keliat, Budi Anna dkk. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Lombu, D. H. (2021). Manajemen Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Ny. M Dengan Masalah
Isolasi Sosial Di Desa Dahana Kec. Gunungsitoli Idanoi Kota Gunungsitoli
Harefa, A. R. (2021). Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. A Dengan Masalah
Isolasi Sosial
Pardede, J. A. (2022). Koping Keluarga Tidak Efektif Dengan Pendekatan Terapi Spesialis
Keperawatan Jiwa. 12. Henry Dhany Saputra, Muhammad. Asuhan Keperawatan Jiwa
Pada Pasien Skizofrenia Dengan Masalah Keperawatan Isolasi Sosial Di Rsjd Dr. Arif
Zainudin Surakarta. Diss. Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2020.
LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH
Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J
Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721072
a. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dapat diterima.
b. Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang apa yang ada pada
dirinya meliputi citra dirinya, ideal dirinya, harga dirinyam penampilan peran serta
identitas dirinya secara positif. Hal ini akan menunjukkan bahwa individu itu akan
menjadi individu yang sukses.
c. Harga diri rendah adalah individu cenderung untuk menilai dirinya negatif dan merasa
lebih rendah dari orang lain. Adapun perilaku yang berhubungan dengan harga diri
yang rendah yaitu mengkritik diri sendiri dan atau orang lain, penurunan
produktifitas, destruktif yang diarahkan kepada orang lain, gangguan dalam
berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif mengenai
tubuhnya sendiri, keluhan fisik, menarik diri secara sosial, khawatir, serta menarik
diri dari realitas.
d. Kerancuan identitas adalah kegagalan indifidu menginterprestasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial keperibadian pada
masa dewasa yang harmonis. Adapun perilaku yang berhubungan dengan kerancuan
identitas yaitu tidak ada kode moral, sifat kepribadian yang bertentangan, hubungan
interpersonal eksploitasi, perasaan hampa. Perasaan mengambang tentang diri, tingkat
ansietas yang tinggi, ketidakmampuan untuk empati terhadap orang lain.
e. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dimana klien tidak dapat
membedakan dirinya sendiri dari orang lain, dan tubuhnya sendiri merasa tidak nyata
dan asing baginya.
Rentang respon pada kasus adalah Rentang Respon maladapif, yaitu
HDR atau Harga Diri rendah yaitu Ketika respon individu cenderung menilai dirinya
negative dan merasa lebih rendah dari orang lain. Hal ini terlihat dari Dua tahun yang
lalu dan berhenti karena dipecat bosnya, Kemudian 6 bulan yang lalu dia di PHK.
Sejak kejadian itu klien merasa pekerjaan apapun yang ia lakukan selalu gagal dan
tidak selesai.
Kerancuan identitas adalah kegagalan individu menginterprestasikan aspek-aspek
identitas masa kanak-kanak kedalam kematangan aspek psikososial keperibadian pada
masa dewasa yang harmonis. Hal ini terlihat dari Klien mengatakan kepada perawat
sejak kecil, ia adalah anak yang pemalu, tidak pandai seperti kakak-kakaknya dan
merasa dibedakan oleh orang tua. Klien kesal dengan dirinya, mengapa ia bodoh dan
hanya tamatan SD tidak seperti saudaranya yang lain.
Faktor Biologi
Faktor Biologi, gen yang berpengaruh, tetapi hasil penelitian menunjukan
bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
Ketegangan peran adalah stress yang berhubungan dengan frustasi yang dialami
individu dalam peran atau posisi yang diharapkan.
Konflik peran : ketidaksesuaian peran antara yang dijalankan dengan yang
diinginkan.
Peran yang tidak jelas : kurangnya pengetahuan individu tentang peran yang
dilakukannya.
Peran berlebihan : kurang sumber yang adekuat untuk menampilkan seperangkat
peran yang komleks.
Perkembangan transisi, yaitu perubahan norma yang berkaitan dengan nilai untuk
menyesuaikan diri.
3. Penilaian Stressor/Tanda dan Gejala
- Kognitif : perasaan negatif tentang dirinya sendiri, pandangan hidup yang pesimis
dimana klien merasa pekerjaan apapun yang ia lakukan selalu gagal sehingga
klien berfikir tidak mampu melakukan pekerjaan apapun. Selain itu klien merasa
tidak pandai seperti kakak-kakaknya.
- Afektif : klien kesal dengan dirinya sendiri mengapa ia bodoh dan hanya tamatan
SD, klien merasa malu dengan teman-temannya.
- Perilaku : klien lebih senang sendiri dan banyak melamun dan klien juga
membatasi hubungan dengan teman-temannya.
- Sosial : klien hanya lulusan SD dan merasa dibedakan oleh orang tuanya.
4. Sumber Koping
Menurut Stuart (2006) semua orang tanpa memperhatikan gangguan perilakunya,
mempunyai beberapa bidang kelebihan personal meliputi :
Hobi dan kerajinan tangan
Pendidikan atau pelatihan
Aktivitas olah raga dan aktivitas diluar rumah
Seni yang ekspresif,kesehatan dan perawatan diri
5. Mekanisme Koping
Mekanisme koping menurut Stuart (2006) adalah :
a. Adaptif Adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi,
pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan.katagorinya adalah berbicara dengan
orang lain,memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang
dan aktifitas konstruktif.
Mekanisme koping adaptif antara lain adalah berbicara dengan orang lain
tentang masalah yang sedang dihadapi, mencoba mencari informasi lebih banyak
tentang masalah yang sedang dihadapi, berdo’a, melakukan latihan fisik untuk
mengurangi ketegangan masalah, membuat berbagai alternatif tindakan untuk
mengurangi situasi, dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil,
mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu.
b. Mekanisme koping Mal-adaptif Adalah mekanisme koping yang menghambat
fungsi integrasi, memecahkan pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung
menguasai lingkungan.katgorinya adalah makan berlebihan/tidak makan, bekerja
berlebihan, menghindar.
C. POHON MASALAH
Keputusasaan
Kegagalan berulang
- DO :
- DO :
Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J
Disusun oleh :
Frida Anindita Yuianti 2210721067
Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya motivasi
untuk bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat melaksanakan bunuh diri,
mengembangkan gagasan sampai akhirnya melakukan bunuh diri. Oleh karena itu,
adanya percobaan bunuh diri merupakan masalah keperawatan yang harus
mendapatkan perhatian serius. Sekali pasien berhasil mencoba bunuh diri, maka
selesai riwayat pasien. Untuk itu, perlu diperhatikan beberapa mitos (pendapat yang
salah) tentang bunuh diri.
3. Jenis Risiko Bunuh Diri
a. Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt)
Pada kategori ini, individu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri,
dan bila kegiatan tersebut dilakukan sampai tuntas, maka akan menyebabkan
kematian. Kondisi ini telah terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Individu yang hanya berniat melakukan percobaan bunuh diri dan
tidak benar-benar ingin mati.
b. Isyarat Bunuh Diri (Suicide Gesture)
Kategori ini merupakan bunuh diri yang direncanakan untuk usaha
mempengaruhi perilaku orang lain. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian
dengan status emosional pasien yang terganggu tetapi tidak seserius pada
percobaan bunuh diri, meskipun dapat mengakibatkan bunuh diri secara
disengaja atau tidak disengaja. Contoh isyarat bunuh diri termasuk cutting,
dimana tidak diiris cukup dalam untuk menyebabkan kehilangan darah yang
signifikan, atau mengkonsumsi obat non-berbahaya dengan dosis yang
berlebihan (Nock and Kessler, 2006).
1) Membicarakan keinginan untuk bunuh diri. Contoh : sudah lah aku ini
beban bagi orang lain, buat apa lagi aku hidup atau aku udah gak kuat
nahan sakit ini, udah lah kalo aku mati mungkin aku lebih bahagia
2) Membenci dan menghujat diri sendiri. Contoh : aku merasa bersalah
karena telah melakukan hal itu, aku tidak berguna, aku sudah hancur, aku
sudah rusak. Karena jika seseorang mengalami harga diri rendah, maka
beberapa orang ada yang berpikiran mengakhiri hidupnya adalah satu-
satunya jalan terbaik baginya. Contoh ada anak sekolah yang di bully
teman-temannya kemudian akhirnya memutuskan untuk mengakhiri
hidupnya karena ya dia membawa bullyan itu sebagai hal yang negatif
untuk dirinya.
3) Mencari cara untuk mematikan diri sendiri. Contoh : cutting, minum
baygon, menahan nafas, menenggelamkan diri sendiri dsb.
4) Mengatur segala hal untuk ditinggalkan. Contoh : meninggalkan surat,
mengatur sendiri proses kematiannya, menjual atau memberi barang-
barang kesayangannya kepada orang lain, membuat video pesan
terakhirnya.
5) Mengucapkan kata perpisahan. Contoh : aku besok pergi jauh loh, aku
gabakal ngeliat kalian lagi aku gabisa main sama kalian lagi soalnya aku
udah bakal beda alam sama kalian atau misalkan lewat telfon kepada
orangtuanya kaya mah pah aku minta maaf ya kalo aku ada salah, mungkin
kalian gabisa lagi ngeliat aku besok-besok dan pasti aku gaakan buat
kalian sedih atau malu lagi punya aku.
6) Menarik diri dari orang lain. Contoh : lebih senang menyendiri,
menghindar untuk dihubungi, berhenti melakukan kegiatan biasanya
seperti hobinya, tidak aktif secara mendadak dalam lingkaran
pertemanannya.
7) Perilaku merusak diri sendiri. Contoh : menggunakan narkoba, selfharm,
sengaja melakukan hal semberono.
8) Perubahan fisik dan mood drastis. Contoh : terlalu banyak tidur/sedikit
tidur, terlalu banyak makan/kurang makan, mudah marah, perubahan
penampilan, menangis tiba-tiba.
c. Ancaman Bunuh Diri (Suicide Threat)
Kategori ini merupakan suatu peringatan baik secara langsung maupun tidak
langsung, verbal maupun non-verbal, bahwa seseorang sedang mengupayakan
bunuh diri. Individu tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa dia
tidak akan ada di kehidupannya lagi atau mengungkapkan secara non-verbal
seperti pemberian hadiah, wasiat, dan sebagainya. Kurangnya respon positif
dari orang-orang yang ada disekitarnya dapat dipersepsikan sebagai dukungan
untuk melakukan tindakan bunuh diri.
4. Fase – Fase Risiko Bunuh Diri
SKOR 0 = Tidak ada ide bunuh diri yang lalu & sekarang
SKOR 1 = Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam
bunuh diri
SKOR 2 = Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh diri
SKOR 3 = Mengancam bunuh diri, misalnya “tinggalkan saya sendiri atau saya
bunuh diri”
SKOR 4 = Aktif mencoba bunuh diri
5. Rentang Respon
Pertumbuhan
Peningkatan Destruktif diri Pencederaan Bunuh diri
peningkatan
diri tidak langsung diri
beresiko
Keterangan :
a. Peningkatan diri: Seorang individu yang mempunyai pengharapan, yakin, dan
kesadaran diri meningkat
b. Pertumbuhan peningkatan beresiko: Posisi pada rentang yang masih normal
dialami individu yang mengalami perkembangan perilaku, tetapi dapat
beresiko melakukan destruktif. Seperti seseorang patah semangat bekerja
ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah
melakukan pekerjaan secara optimal.
c. Destruktif diri tidak langsung (merusak diri scr tdk langsung) menggunakan
NAPZA dan mengganggu otak. Jadi adiksi dan otaknya semakin rusak. Setiap
aktifitas yang merusak kesejahteraan fisik individu dan dapat mengarah
kematian, seperti perilaku merusak , mengebut, berjudi, tindakan criminal,
penyalahgunaan zat, perilaku menyimpang secara social, dan perilaku yang
menimbulkan stress
d. Pencederaan diri (sudah melakukan seperti cutting, dll): Suatu tindakan yang
membahayakan diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja. Pencederaan
dilakukan terhadap diri sendiri tanpa bantuan orang lain, dan cedera tersebut
cukup parah untuk melukai tubuh. Bentuk umum perilaku pencederaan diri
termasuk melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau anggota
tubuh, dan menggigit jari.
e. Bunuh diri: Tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Faktor Predisposisi
a. Diagnosis Psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat
membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah
gangguan efektif, penyalagunaan zat, dan skizofrenia.
b. Sifat kepribadian
Tiga tipe keperibadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko bunuh
diri adalah antipati Antipati atau pratirasa adalah rasa ketidaksukaan untuk
sesuatu atau seseorang, kebalikan dari simpati, impulsive Masalah dengan
pengendalian diri emosional atau perilaku, dan depresi Sekelompok kondisi
yang terkait dengan peningkatan atau penurunan suasana hati seseorang,
seperti depresi atau gangguan bipolar.
c. Lingkungan psikososial
Pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadiankejadian negatif
dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan dan bahkan perceraian. Kekuatan
dukungan sosial sangat penting dalam menciptakan intervensi yang terapiutik,
dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab maslah, respon seorang dalam
menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
e. Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti serotonim,
adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui
rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
2. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres yang berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan.
Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui
media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunu diri.
Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
3. Penilaian Stressor
a. Kognitif: Klien yang mengalami stress dapat mengganggu proses
kognitifnya,seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi,
pikiran berulang,dan pikiran tidak wajar.
b. Afektif: Respon ungkapan hati klien yang sudah terlihat jelas dan nyata
akibatadanya stressor dalam dirinya, seperti: cemas, sedih dan marah.
c. Fisiologis: Respons fisiologis terhadap stres dapat diidentifikasi menjadi
dua,yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) yang merupakan respons lokal
tubuh terhadap stresor (misal: kita menginjak paku maka secara refleks kaki
akan diangkat) dan Genital Adaptation Symdrome (GAS) adalah reaksi
menyeluruh terhadap stresor yang ada.
d. Perilaku: Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang
mengancamkehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali
orang ini secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku
bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor social maupun
budaya. Contoh perilaku: Klien sering melamun, banyak menunduk , kontak
mata kurang saat berbicara dengan perawat, suara lemah.
e. Sosial: Struktur sosial dan kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan
mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi social
dapatmenyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk
melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat lebih
mampu menoleransi stress dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif dalam
kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan tindakan
bunuh diri.
4. Sumber Koping
Sumber koping mencakup empat aspek, yaitu kemampuanpersonal (personal
ability), dukungan sosial (social support), aset material (material assets), dan
kepercayaan (beliefs).
Kemampuan personal (Personal ability): Klien mampu mengenal dan
menilai aspek positif (kemampuan) yang dimiliki, Klien mampu melatih
kemampuan yang masih dapat dilakukan di rumah sakit, Klien mampu
melakukan aktivitas secara rutin di ruangan
Dukungan sosial (Social support): Keluarga mengetahui cara merawat
klien dengan harga diri rendah, Klien mendapatkan dukungan dari
masyarakat
Aset material (Material assets): Sosial ekonomi rendah, Rutin berobat,
Adanya Kader kesehatan jiwa, Jarak ke pelayanan kesehatan mudah
dijangkau
Kepercayaan (beliefs) : Klien mempunyai keinginan untuk sembuh, Klien
mempunyai keyakinan positif terhadap program pengobatan.
5. Mekanisme Koping
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping yang
berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial, rasionalization,
regression dan megical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya
tidak ditentang tanpa memberikan koping alternative.
C. POHON MASALAH
E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Risiko membahayakan diri : resiko bunuh diri (core problem)
2. Perilaku kekerasan (causa)
3. Risiko mutilasi diri (effect)
Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J
Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721067
Adaptif Maladaptif
1. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya
yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi sesuatu masalah akan dapat memecahlan masalah tersebut, respon
adaptif :
Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan. Penerimaan
pesan yang disadari oleh indra perasaan, dimana dapat membedakan objek
yang satu dengan yang lain dan mengenai kualitasnya menurut berbagai
sensasi yang dihasilkan.
Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu respon yang diberikan oleh
individu sesuai dengan stimulus yang datang
Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan peran
Hubungan sosial adalah interaksi dengan orang lain dan lingkungan
2. Respon maldaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan.
Gangguan proses pikir adalah keyakinan yang secara kokoh,
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan
dengan kenyataan sosial
Halusinasi merupakan persepsi sensori yang menyimpang atau persepsi
yang tidak realita atau tidak nyata
Ketidakmampuan untuk mengalami emosi adalah keadaan emosi yang
menyebabkan gangguan pada diri seseorang, baik karena emosi yang
timbul terlalu kuat atau emosi yang tidak hadir. Wajah dingin, jarang
tersenyum, acuh tak acuh.
Isolasi sosial adalah Keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya.
C. POHON MASALAH
Risiko Kerusakan Komunikasi Verbal
E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Perubahan Proses Berpikir: Waham (core problem)
2. Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah Kronis (causa)
3. Risiko Kerusakan Komunikasi Verbal (effect)
Keliat, B. A., dkk. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Nurarif, A., dkk (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Diagnosa Medis NANDA
NIC – NOC. Yogyakarta : Media Ection.
Prakasa, A., & Milkhatun, M. (2020). Analisis Rekam Medis Pasien Gangguan Proses
Pikir Waham dengan Menggunakan Algoritma C4. 5 di Rumah Sakit Atma
Husada Mahakam Samarinda. Borneo Student Research (BSR),2(1)8-15.
Victoryna, F., Wardani, I. Y., & Fauziah, F. (2020). Penerapan Standar Asuhan
Keperawatan Jiwa Ners untuk Menurunkan Intensitas Waham Pasien
Skizofrenia. Jurnal Keperawatan Jiwa, 8(1), 45-52.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/5352/pd
Yusuf, A., dkk. (2015). Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta : Salemba.
Zukna, N. A. M., & Lisiswanti, R. (2017). Pasien dengan Halusinasi dan Waham
Bizarre. JurnalMedula, 7(1),3842.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/745
LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI
Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J
Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721067
Keterangan:
a. Pola perawatan diri seimbang: saat klien mendapatkan stressor dan mampu
untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien
seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
b. Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan stressor kadang
kadang klien tidak memperhatikan perawatand irinya.
c. Tidak melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stresor.
Mekanisme koping adaptif yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan
belajar mencapai tujuan akan memberikan pengaruh yang positif bagi pasien.
Pola perawatan diri seimbang Kadang perawatan diri tidak simbang Tidak
melakukan perawatan diri.
Kategorinya adalah pasien bisa mempenuhui kebutuhan perawatan diri secara
mandiri. Beda dengan mekanisme koping maladaptif yang dapat menghambat
fungsi integrasi pasien yang dapat memecahkan pertumbuhan pasien,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi menurut Suerni & Livana (2019)meliputi faktor biologis yang
dimana penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri sendiri. Faktor perkembangan yaitu keluarga terlalu memanjakan
dan melindungi pasien sehingga perkembangan insiatif pasien menjadi terganggu.
Faktor sosial dimana dukungan dan latihan dalam merawat diri yang kurang
situasi lingkungan yang mempengaruhi latihan dalam kemampuan merawat diri
dan kemapuan realitas yang kurang menyebabkan ketidak pedulian dirinya dan
lingkungan termasuk perawatan diri.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya atau menurunnya
motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual, cemas, lelah atau lemah yang
dialami individu tidak peduli dengan perawatan diri.
3. Penilaian Stressor
a. Kognitif: klien mengatakan malas untuk beaktivitas, klien merasa lemah.
b. Afektif: rendah diri, merasa tidak berdaya
c. Fisiologis: badan bau, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan kotor, gigi
kotor, mulut bau
d. Perilaku: penampilan tidak rapi, malas, tidak ada inisiatif, BAK dan BAB di
sembarang tempat, cara makan tidak teratur
e. Sosial: menarik diri, isolasi diri, interaksi kurang dengan orang lain, tidak
mampu berperilaku sesuai norma
4. Sumber Koping
Sumber koping mencakup empat aspek, yaitu kemampuan personal (personal
ability), dukungan sosial (social support), aset material (material assets), dan
kepercayaan (beliefs) (Nurhalimah, 2020).
Kemampuan personal (Personal ability) : Klien mampu mengenal dan
menilai aspek positif (kemampuan) yang dimiliki, Klien mampu melatih
kemampuan yang masih dapat dilakukan di rumah sakit, Klien mampu
melakukan aktivitas secara rutin di ruangan
Dukungan sosial (Social support) : Keluarga mengetahui cara merawat
klien dengan harga diri rendah,Klien mendapatkan dukungan dari
masyarakat
Aset material (Material assets) : Sosial ekonomi rendah, Rutin berobat -
Adanya Kader kesehatan jiwa, Jarak ke pelayanan kesehatan mudah
dijangkau
Kepercayaan (beliefs) : Klien mempunyai keinginan untuk sembuh, Klien
mempunyai keyakinan positif terhadap program pengobatan.
5. Mekanisme Koping
Mekanisme koping pada pasien dengan defisit perawatan diri adalah sebagai
berikut:
1. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembali,
seperti pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah
proses informasi dan upaya untuk mengulangi ansietas (Dermawan, 2013).
2. Penyangkalan (Denial), melindungi diri terhadap kenyataan yang tak
menyenangkan dengan menolak menghadapi hal itu, yang sering dilakukan
dengan cara melarikan diri seperti menjadi “sakit” atau kesibukan lain serta
tidak berani melihat dan mengakui kenyataan yang menakutkan (Yusuf dkk,
2015).
3. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis, reaksi fisk yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber
stresor, misalnya: menjauhi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Reaksi
psikologis individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak
berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan (Dermawan, 2013).
4. Intelektualisasi, suatu bentuk penyekatan emosional karena beban emosi
dalam suatu keadaan yang menyakitkan, diputuskan, atau diubah (distorsi)
misalnya rasa sedih karena kematian orang dekat, maka mengatakan “sudah
nasibnya” atau “sekarang ia sudah tidak menderita lagi” (Yusuf dkk, 2015).
C. POHON MASALAH
Resiko Tinggi Isolasi Sosial Effect
E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Defisit Perawatan Diri (core problem)
2. Harga Diri Rendah (causa)
3. Resiko Tinggi Isolasi Sosial (effect)
Dosen Pembimbing :
Ns. Duma Lumban Tobing, S.Kep. M.Kep. Sp. Kep.J
Disusun oleh :
Frida Anindita Yulianti 2210721067
Adaptif Maladaptif
Keterangan :
a. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan
orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
b. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
c. Pasif adalah respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan
yang dialami.
d. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif bisaanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama
dari orang lain.
e. Amuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
control diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Faktor Predisposisi
Menurut Nurhalimah (2016) Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien
akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi
faktor predisposisi:
a. Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter yaitu
adanya anggotakeluarga yang sering memperlihatkan atau melakukan perilaku
kekerasan, adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, adanyan
riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA
(narkoti, psikotropika dan zat aditif lainnya). Perilaku Kekerasan Core
problem Risiko Perilaku Kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan,
dan verbal) Effect Harga Diri Rendah Kronis Causa
b. Faktor Psikologis
Pengalaman marah merupakan respon psikologis terhadap stimulus eksternal,
internal maupun lingkungan.Perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari
akumulasi frustrasi.Frustrasi terjadi apabila keinginan individu untuk
mencapai sesuatu menemui kegagalan atau terhambat.Salah satu kebutuhan
manusia adalah “berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi
melalui berperilaku konstruktif, maka yang akan muncul adalah individu
tersebut berperilaku destruktif.
c. Faktor Sosiokultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory)menyatakan bahwa
lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah.Norma budaya dapat mendukung individu untuk
berespon asertif atau agresif.Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara
langsung melalui proses sosialisasi (social learning theory).
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi menurut Nurhalimah (2016) perilaku kekerasan pada setiap
individu bersifat unik, berbeda satu orang dengan yang lain. Stresor tersebut dapat
merupakan penyebab yang brasal dari dari dalam maupun luar individu. Faktor
dari dalam individu meliputi kehilangan relasi atau hubungan dengan orang yang
dicintai atau berarti (putus pacar, perceraian, kematian), kehilangan rasa cinta,
kekhawatiran terhadap penyakit fisik, dll. Sedangkan faktor luar individu meliputi
serangan terhadap fisik, lingkungan yang terlalu ribut, kritikan yang mengarah
pada penghinaan, tindakan kekerasan.
3. Penilaian Stressor
Kognitif: klien mengatakan sebuah ancaman melukai, mengatakan benci
atau kesal dengan orang lain, mengatakan tidak mampu mengontrol
perilaku kekerasan
Afektif: merasa gelisah, merasa bingung, merasa kacau
Fisiologis: mata melotot, pernapasan meningkat, rahang mengencang, otot
tegang, tekanan darah meningkat, nadi meningkat, pandangan mata tajam
Perilaku: klien terlihat mondar-mandir, tidak dapat duduk tenang, nada
suara tinggi, bicara keras, tampak klien memaksakan kehendak, mudah
tersinggung, merusak lingkungan
Sosial: klien memukul orang lain, klien berbicara kasar kepada orang lain.
4. Sumber Koping
Sumber koping mencakup empat aspek, yaitu kemampuan personal (personal
ability), dukungan sosial (social support), aset material (material assets), dan
kepercayaan (beliefs) (Nurhalimah, 2020).
Kemampuan personal (Personal ability) : Klien mampu mengenal dan
menilai aspek positif (kemampuan) yang dimiliki, Klien mampu melatih
kemampuan yang masih dapat dilakukan di rumah sakit, Klien mampu
melakukan aktivitas secara rutin di ruangan
Dukungan sosial (Social support) : Keluarga mengetahui cara merawat
klien dengan harga diri rendah,Klien mendapatkan dukungan dari
masyarakat
Aset material (Material assets) : Sosial ekonomi rendah, Rutin berobat -
Adanya Kader kesehatan jiwa, Jarak ke pelayanan kesehatan mudah
dijangkau
Kepercayaan (beliefs) : Klien mempunyai keinginan untuk sembuh, Klien
mempunyai keyakinan positif terhadap program pengobatan.
5. Mekanisme Koping
Mekanisme Koping Secara umum mekanisme koping yang sering digunakan
antara lain mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi,
depresi, denial, dan reaksi formasi.
Mekanisme koping menurut Stuart, adalah :
1. Adaptif Adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi,
pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan.katagorinya adalah berbicara
dengan orang lain,memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,
latihan seimbang dan aktifitas konstruktif. Mekanisme koping adaptif
antara lain adalah berbicara dengan orang lain tentang masalah yang
sedang dihadapi, mencoba mencari informasi lebih banyak tentang
masalah yang sedang dihadapi, berdo’a, melakukan latihan fisik untuk
mengurangi ketegangan masalah, membuat berbagai alternatif tindakan
untuk mengurangi situasi, dan merasa yakin bahwa semua akan kembali
stabil, mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu.
2. Mekanisme koping Mal-adaptif Adalah mekanisme koping yang
menghambat fungsi integrasi, memecahkan pertumbuhan, menurunkan
otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.katgorinya adalah makan
berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar.
C. POHON MASALAH
Risiko Mencederai Diri sendiri, Orang lain, dan Lingkungan
1. Melotot
2. Pandangan tajam
3. Tangan mengepal, rahang mengatup
4. Gelisah dan mondar mandir
5. Tekanan darah meningkat
6. Nadi meningkat
7. Pernapasan meningkat
8. Mudah tersinggung
9. Nada suara tinggi dan bicara kasar
10. Mendominasi pembicaraan
11. Sarkasme
12. Merusak lingkungan
13. Memukul orang lain
Minor
Data Subjektif:
1. Disorientasi
2. Wajah merah
3. Postur tubuh kaku
4. Sinis
5. Bermusuhan
6. Menarik diri
E. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Perilaku Kekerasan : Risiko Perilaku kekerasan Terhadap Orang Lain (Core
Problem)
2. Harga Diri Rendah Situasional (causa)
3. Risiko Mencederai Diri sendiri, Orang lain, dan Lingkungan (effect)
F. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
No DX. Keperawatan Perencanaan
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
1. Risiko perilaku TUM: Setelah dilakukan Bina hubungan saling
kekerasan terhadap Klien tidak interaksi, percaya dengan
orang lain melakukan diharapkan klien menggunakan prinsip
(NANDA, 2018 tindakan menunjukkan komunikasi
Domain 11 Kelas 3 kekerasan pada tanda-tanda terapeutik :
Kode Diagnosis orang lain percaya kepada 1. Beri
00138) TUK 1 : perawat. salam/panggil
Klien dapat Kriteria Evaluasi: nama klien
membina Mau membalas 2. Sebut nama
hubungan saling salam perawat sambil
percaya Mau berjabat berjabat tangan
tangan 3. Jelaskan maksud
Klien mampu hubungan
menyebutkan interaksi
nama 4. Beri rasa nyaman
Klien dan sikap empatis
tersenyum 5. Lakukan kontrak
Ada singkat tapi
kontak sering
mata
Klien tahu
nama perawat
Klien
menyediakan
waktu untuk
kontrak
2. TUK 2 : Setelah dilakukan 1. Beri kesempatan
Klien dapat interaksi, klien untuk
mengidentifikasi diharapkan klien mengungkapkan
penyebab marah dapat perasaannya
mengidentifikasi 2. Bantu klien untuk
penyebab dari mengungkapkan
marahnya. marah atau
Kriteria Evaluasi: jengkel
Klien dapat
mengungkapka
n perasaannya
Klien dapat
menyebutkan
perasaan
marah/jengkel
3. TUK 3 : Setelah dilakukan Anjurkan klien
Klien dapat interaksi, klien mengungkapkan
mengidentifikasi mampu perasaan saat
tanda marah mengidentifikasi marah/jengkel
tanda marah yang Observasi tanda
dialaminya perilaku
Kriteria Evaluasi: kekerasan pada
Klien dapat klien
mengungkapka
n perasaan saat
marah/jengkel
Klien dapat
menyimpulkan
tanda-tanda
jengkel/kesal
4. TUK 4 : Setelah dilakukan Anjurkan klien
Klien dapat interaksi, mengungkapkan
mengungkapkan diharapkan klien marah yang biasa
perilaku marah dapat dilakukan
yang sering mengungkapkan Bantu klien
dilakukan perilaku marah bermain peran
yang sering sesuai perilaku
dilakukan kekerasan yang
Kriteria Evaluasi: biasa
Klien dilakukanBicarak
mengungkapka an dengan klien
n marah yang apakan dengan
biasa cara itu bisa
dilakukan menyelesaikan
Klien dapat masalah
bermain peran
dengan
perilaku marah
yang dilakukan
Klien dapat
mengetahui
cara marah
yang dilakukan
menyelesaikan
masalah atau
tidak
5. TUK 5 : Setelah dilakukan 1. Bicarakan akibat
Klien dapat interaksi, klien atau kerugian dari
mengidentifikasi mampu perilaku
akibat perilaku mengidentifikasi kekerasan yang
kekerasan akibat perilaku dilakukan klien
kekerasan. 2. Bersama klien
Kriteria Evaluasi: menyimpulkan
Klien dapat akibat dari
menjelaskan perilaku
akibat dari kekerasan
perilaku tersebut
kekerasan yang 3. Tanyakan pada
dilakukan klien apakah ia
ingin mempelajari
cara marah yang
sehat
6. TUK 6: Setelah dilakukan 1. Tanyakan pada
Klien interaksi, klien klien apakah
mengidentifikasi mampu klien mau tahu
cara konstruksi mengidentifikasi cara baru yang
dalam berespon cara konstruksi sehat
terhadap perilaku dalam berespon 2. Beri pujian jika
kekerasan terhadap perilaku klien mengetahui
kekerasan. cara lain yang
Kriteria Evaluasi: sehat
Klien dapat 3. Diskusikan cara
melakukan marah yang sehat
respon dengan klien,
terhadap seperti pukul
kemarahan bantal untuk
secara melampiaskan
konstruktif marah, tarik
napas dalam,
mengatakan
teman pada saat
ingin marah
4. Anjurkan klien
untuk beribadah
sesuai
keyakinannya
7. TUK 7: Setelah dilakukan 1. Bantu klien untuk
Klien dapat interaksi, dapat memilih
mendemonstrasik diharapkan klien cara yang paling
an cara dapat tepat
mengontrol mendemonstrasika 2. Klien dapat
marah n cara mengotrol mengidentifikasi
marah manfaat dari cara
Kriteria Evaluasi: yang dipilih
Tarik napas 3. Bantu klien
dalam menstimulasi cara
Mengatakan tersebut
secara 4. Beri pujian atas
langsung tanpa keberhasilan klien
menyakiti melakukan cara
Beribadah tersebut
sesuai 5. Anjurkan klien
keyakinan menggunakan
cara yang
telah
dipelajari
DAFTAR PUSTAKA