Anda di halaman 1dari 50

HALUSINASI

A. Pengertian
Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai rangsang
itu disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi: proses penerimaan
rangsang (Stuart, 2007).
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus)
misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak
ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2005).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana penderita
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapana panca
indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu
persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis,
2005).

B. Tanda dan Gejala


Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah
sebagai berikut:
1. Bicara sendiri.
2. Senyum sendiri.
3. Ketawa sendiri.
4. Menggerakkan bibir tanpa suara.
5. Pergerakan mata yang cepat
6. Respon verbal yang lambat.
7. Menarik diri dari orang lain.
8. Berusaha untuk menghindari orang lain.
9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.

1
11. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
13. Sulit berhubungan dengan orang lain.
14. Ekspresi muka tegang.
15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
17. Tampak tremor dan berkeringat.
18. Perilaku panik.
19. Agitasi dan kataton.
20. Curiga dan bermusuhan.
21. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
22. Ketakutan.
23. Tidak dapat mengurus diri.
24. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.

C. Pembagian/Jenis Halusinasi
1. Pendengaran
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia, hewan atau mesin,
barang, kejadian alamiah dan musik dalam keadaan sadar tanpa adanya rangsang
apapun (Maramis, 2005). Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau
bunyi yang berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara mengenai
klien sehingga klien berespon terhadap suara atau bunyi tersebut (Stuart, 2007).
2. Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun,
bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias yang menyenangkan atau
menakutkan seperti melihat monster.

3. Penghidu

2
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-
bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke, tumor,
kejang, atau dimensia.
4. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
5. Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum
listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6. Cenestetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan
atau pembentukan urine.
7. Kinistetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

D. Proses Terjadinya Masalah


1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
a. Biologis.
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami.
b. Psikologis.
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi
gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam
rentang hidup klien.

c. Sosial Budaya

3
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang
diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan
untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
3. Mekanisme Koping
a. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
b. Proyeksi :menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha
untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
c. Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal. (Stuart, 2007).

A. Pohon Diagnostik

PK

ISOS Halusinasi DPD

B. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Halusinasi

4
1. Pengkajian
Data yang harus dikaji:
a. Alasan masuk RS
Umumnya pasien halusinasi dibawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak
mampu merawat, terganggu karena perilaku pasien dan hal lain, gejala yang
dinampakkan di rumah sehingga pasien di bawa ke rumah sakit untuk
mendapatkan perawatan
b. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan lambat
2) Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman
3) Usia balita tidak terpenuhi kebutuhan otonomi
4) Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan
c. Faktor komunikasi dalam keluarga
1) Komunikasi peran ganda
2) Tidak ada komunikasi
3) Tidak ada kehangatan
4) Komunikasi dengan emosi berlebihan
5) Komunikasi tertutup
6) Orang tua yang membandingkan anak-anaknya, orang tua yang
otoritas dan konflik dalam keluarga

d. Faktor sosial budaya


Isolasi sosial pada usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu
tinggi.
e. Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri
tinggi, harga diri rendah, identitas tidak jelas, krisis pesan, gambaran diri negatif
dan koping destruktif.
f. Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa: atrofi otak, pembesaran ventrikel,
perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.

5
g. Faktor genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromosom
tertentu. Namun demikian kromosom yang keberapa yang menjadi faktor penentu
gangguan ini sampai sekarang dalam tahap penelitian. Diduga letak gen
schizofrenia adalah kromosom nomor 6, dengan kontribusi genetik tambahan
nomor 4, 8, 5, dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan schizofrenia
sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika di zygote
peluangnya sebesar 15%, seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami
skizofrenia maka peluangnya menjadi 35%.
h. Faktor presipitasi
Menurut Stuart (2007), pemicu gejala respon neurobiologis maladaptif adalah
kesehatan, lingkungan dan perilaku:
1) Kesehatan
Nutrisi dan tidur kurang, ketidakseimbangan irama sikardian, kelelahan dan
infeksi, obat-obatan sistem saraf pusat, kurangnya latihan dan hambatan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan

2) Lingkungan
Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga, kehilangan
kebebasan hidup dalam melaksanakan pola aktivitas sehari-hari, sukar dalama
berhubungan dengan orang lain, isolasi sosial, kurangnya dukungan sosial tekanan
kerja, dan ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
3) Sikap
Merasa tidak mampu, putus asa merasa gagal, merasa punya kekuatan berlebihan,
merasa malang, rendahnya kemampuan sosialisasi, ketidakadekuatan pengobatan
dan penanganan gejala.
4) Perilaku
Respon perilaku pasien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, rasa
tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak, kurang perhatian, tidak mampu
mengambil keputusan, bicara sendiri. Perilaku pasien yang mengalami halusinasi

6
sangat bergantung pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi
adanya tanda-tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus
dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasinya saja.
i. Pemeriksaan fisik
Yang dikaji adalah tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernapasan dan tekanan darah),
berat badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang dirasakan pasien.
1) Status mental
a) Penampilan : tidak rapi, tidak serasi
b) Pembicaraan : terorganisir/berbelit-belit
c) Aktivitas motorik : meningkat/menurun
d) Afek : sesuai/maladaptif
e) Persepsi : ketidakmampuan menginterpretasikan
stimulus yang ada sesuai dengan informasi
f) Proses pikir : proses informasi yang diterima tidak berfungsi
dengan baik dan dapat mempengaruhi proses pikir
g) Isi pikir: berisikan keyakinanan berdasarkan penilaian realistis
h) Tingkat kesadaran
i) Kemampuan konsentrasi dan berhitung
2) Mekanisme koping
a) Regresi: malas beraktivitas sehari-hari
b) Proyeksi : perubahan suatu persepsi dengan berusaha
untuk mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain
c) Menarik diri : mempercayai orang lain dan sibuk dengan
stimulus internal
3) Masalah psikososial dan lingkungan : masalah berkenaan
dengan ekonomi, pekerjaan, pendidikan dan perumahan atau pemukiman

C. Analisa Data
Masalah Keperawatan Data yang perlu dikaji
Halusinasi Subjektif :
Pasien mengungkapkan mendengar atau

7
melihat objek yang mengancam
Pasien mengatakan perasaan takut, cemas dan
khawatir
Objektif :
   wajah tegang, merah
Mondar-mandir
Mata melotot rahang mengatup
Keluar keringat banyak
Mata merah

D. Diagnosa Keperawatan
Gangguan persepsi sensori: halusinasi
E. Rencana Tindakan Keperawatan
Tujuan
a. Pasien mampu :
1) Mengenali halusinasi yang dialaminya
2) Mengontrol halusinasinya
3) Mengikuti program pengobatan
b. Keluarga mampu : Merawat pasien di rumah dan menjadi sistem
pendukung yang efektif untuk pasien

Kriteria Evaluasi Intervensi


Setelah 1x pertemuan, SP I
pasien dapat a. Bantu pasien mengenal halusinasi (isi, waktu
menyebutkan : terjadinya, frekuensi, situasi pencetus, perasaan
a. Isi, waktu, frekuensi, saat terjadi halusinasi.
situasi pencetus, b. Latih mengontrol halusinasi dengan cara
perasaan. menghardik.
b. Mampu Tahapan tindakannya meliputi :
memperagakan cara 1) Jelaskan cara menghardik halusinasi.

8
dalam mengontrol 2) Peragakan cara menghardik
halusinasi 3) Minta pasien memperagakan ulang.
4) Pantau penerapan cara ini, beri penguatan
perilaku pasien
5) Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien
Setelah 2x pertemuan, SP 2
pasien mampu : a. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1)
a. Menyebutkan kegiatan b. Tanyakan program pengobatan.
yang sudah dilakukan. c. Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada
b. Menyebutkan manfaat gangguan jiwa
dariprogram d. Jelaskan akibat bila tidak digunakan sesuai
pengobatan program.
e. Jelaskan akibat bila putus obat.
f. Jelaskan cara mendapatkan obat/ berobat.
g. Jelaskan pengobatan (6B).
h. Latih pasien minum obat
i. Masukkan dalam jadwal harian pasien

Setelah 3x pertemuan SP 3
pasien mampu : a. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1 dan 2).Latih
a. Menyebutkan kegiatan kegiatan agar halusinasi tidak muncul.
yang sudah dilakukan. Tahapannya :
b. Membuat jadwal 1) Jelaskan pentingnya aktivitas yang teratur
kegiatan sehari-hari untuk mengatasi halusinasi.
dan mampu 2) Diskusikan aktivitas yang biasa dilakukan
memperagakannya. oleh pasien.
3) Latih pasien melakukan aktivitas.
4) Susun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai
dengan aktivitas yang telah dilatih (dari
bangun pagi sampai tidur malam)
5) Pantau pelaksanaan jadwal kegiatan, berikan
penguatan terhadap perilaku pasien yang (+)
Setelah 4x  pertemuan, SP 4
pasien mampu : a. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1, 2, dan 3)
a. Menyebutkan kegiatan b. Latih berbicara / bercakap dengan orang lain
yang sudah dilakukan. saat halusinasi  muncul

9
b. Memperagakan cara c. Masukkan dalam jadwal kegiatan pasien
bercakap-cakap
dengan orang lain
Setelah 1x pertemuan SP 1
keluarga a. Identifikasi masalah keluarga dalam merawat
a. Mampu menjelaskan pasien.
tentang halusinasi b. Jelaskan tentang halusinasi :
1) Pengertian halusinasi.
2) Jenis halusinasi yang dialami pasien.
3) Tanda dan gejala halusinasi.
4) Cara merawat pasien halusinasi (cara
berkomunikasi, pemberian obat &
pemberian aktivitas kepada pasien).
5) Sumber-sumber pelayanan kesehatan yang
bisa dijangkau.
6) Bermain peran cara merawat.
7) Rencana tindak lanjut keluarga, jadwal
keluarga untuk merawat pasien
Setelah 2x pertemuan SP 2
keluarga mampu : a. Evaluasi kemampuan keluarga (SP 1).
a. Menyelesaikan b. Latih keluarga merawat pasien.
kegiatan yang sudah c. RTL keluarga / jadwal keluarga untuk merawat
dilakukan pasien
b. Memperagakan cara
merawat pasien

Setelah 3x pertemuan SP 3
keluarga mampu : a. Evaluasi kemampuan keluarga (SP 2)
a. Menyebutkan kegiatan b. Latih keluarga merawat pasien.
yang sudah dilakukan. c. RTL keluarga / jadwal keluarga untuk merawat
b. Memperagakan cara pasien
merawat pasien serta
mampu membuat RTL
Setelah 4 x pertemuan SP 4
keluarga mampu : a. Evaluasi kemampuan keluarga.
a. Menyebutkan kegiatan b. Evaluasi kemampuan pasien.
yang sudah dilakukan. c. RTL Keluarga:
b. Melaksanakan Follow Follow Up
Up rujukan Rujukan

10
ISOLASI SOSIAL

A. Pengertian
Isolasi sosial adalah suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi
dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan
tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau
kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan
orang lain, yang dimanifeetasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada
perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang,
2007).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.
Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, 2008).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dengan orang lain (Kelliat, 2006).

B. Tanda dan Gejala


Menurut Purba (2008), tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan
dengan wawancara, adalah:
1. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
2. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain
4. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6. Pasien merasa tidak berguna
7. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

11
C. Proses Terjadi Masalah
1. Faktor predisposisi
a. Faktor tumbuh kembang
Menurut Purba (2008), tahap-tahap perkembangan individu dalam terdiri dari:
1) Masa bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untu memenuhi kebutuhan biologis
maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan
menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Bayi yang mengalami
kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.
2) Masa kanak-kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai
mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan dengan
teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu di
kontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan
yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat
menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen.
3) Masa praremaja dan remaja
Pada praremaja individu akan mengembangkan hubungan dengan teman sejenis,
yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu untuk mengenal dan
mempelajari nilai-nilai yang ada di masyarakat. Pada masa ini hubungan individu
dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada hubungannya dengan
orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak mempertahankan
keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali menimbulkan perasaan
tertekan.
4) Masa dewasa muda
Individu meningkatkan kemandirian serta mempertahankan hubungan
interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Individu siap untuk
membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan.
Karakteristik hubungan interpersona; pada dewasa muda adalah saling memberi
dan menerima (mutuality).

12
5) Masa dewasa tengah
Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak terhadap
dirinya menurun. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap
mempertahankan hubungan yang interdependen antara orang tua dengan anak.
6) Masa dewasa akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan fisik,
orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya
kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan meningkat, namun
kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.
b. Faktor biologi
Genetik adalah salah satu faktor pendukung gangguan jiwa, faktor genetik dapat
menunjang terhadap respon sosial maladaptive ada bukri terdahulu tentang
terlibatnya neurotransmitter dalam perkembangan ganguan ini namun tahap masih
diperlukan penelitian lebih lanjut.
c. Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya dapat menjadi faktor pendukung terjadinya gangguan dalam
membina hubungan dengan orang lain, misalnya anggota keluarga, yang tidak
produktif, diasingkan dari orang lain.
d. Faktor komunikasi dalam keluarga
Pola komunikasai dalam keluarga dapat mengantarkan seseorang kedalam
gangguan berhubungan bila keluarga hanya mengkomunikasikan hal-hal yang
negatif akan mendorong anak mengembangkan harga diri rendah dan gangguan
tingkah laku, seperti:
1) Sikap bermusuhan/hostilitas
2) Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
3) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya
4) Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada
pembicaraan anak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga,
kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam

13
pemecahan masalah tidak terselesaikan secara terbuka dan
musyawarah
5) Ekspresi emosi yang tinggi
6) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat
bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)
2. Faktor presipitasi
a. Stressor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan yang
penuh stress seperti kehilangan yang mempengaruhi kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan
ansietas.
b. Stressor sosial budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah
dengan orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya dirawat di rumah sakit,
perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan usia tua,
kesepian karena ditinggal jauh.
c. Stressor psikologis
Ansietas berkepanjangan terjadi bersama dengan keterbatasan kemampuan untuk
mengatasi tuntutan untuk berpisah dangan orang terdekat atau kebanyakan orang
lain untuk memenuhi kebutuhan untuk ketergantungan dapat menimbulkan
ansietas tinggi.
d. Stressor biokimia
1) Teori dopamine : kelebihan dopamin pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya
skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO
adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, makan menurunnya
MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
3) Faktor endokrin : jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada
pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan
karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan

14
maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan
tingkah laku psikotik.
4) Viral hipotesis : beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-
gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah
struktur sel-sel otak.
3. Mekanisme koping
Mekanisme koping digunakan pasien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang
merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping
yang sering digunakan pada menarik diri adalah proyeksi dan represi:
a. Proyeksi adalah keinginan yang tidak dapat ditoleransi,mencurahkan
emosi kepada oranglain, karena kesalahan yang dilakukan sendiri.
b. Regresi adalah menghindari setres, kecemasan dengan menampilkan
prilaku kembali seperti pada perkembangan anak
c. Represi adalah menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan
atau komflik atau ingatan dari kesadaran yang cendrung memperkuat
mekanisme ego lainya
4. Perilaku
a. Menarik diri : kurang spontan, apatis, ekspresi wajah kurang berseri,
defisit perawatan diri, komunikasi kurang, isolasi diri, tidak atau kurang
sadar terhadap lingkungan sekitarnya aktivitas menurun, kurang
berenergi, rendah diri, retensi urine dan feces postur tubuh sikap fetus.
b. Curiga : tidak percaya orang lain, bermusuhan,  isolasi sosial,
paranoiaisolasi
c. Manipulasi : kurang asertif, isolasi sosial, harga diri rendah, tergantung
pada orang lain, ekspresi perasaan tidak langsung pada tujuan.

D. Pohon Masalah

PK

Halusinasi
15
E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal
MRS, informan, tanggal pengkajian, alamat pasien
b. Keluhan utama
Keluhan biasanya berupa menyendiri (menghindar dari orang lain) komunikasi
kurang atau tidak ada, berdiam diri di kamar, menolak interaksi dengan orang lain,
tidak melakukan kegiatan sehari-hari, dependen.
c. Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak
realistis, kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan
struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan
dicerai suami, putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi
(korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba) perlakukan orang lain yang
tidak menghargai pasien/perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung
lama.
d. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital, TB, BB, dan keluhan fisik yang dialami
pasien.
e. Aspek psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi

16
2) Konsep diri
a) Citra tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima
perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak penjelasan
perubahan tubuh, persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian tubuh
yang hilang, mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.
b) Identitas diri
Ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu
mengambil keputusan
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit, proses menua,
putus sekolah, dan PHK.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya: mengungkapkan keinginan
yang terlalu tinggi
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan
hubungan sosial, merendahkan martabat, mencedarai diri dan kurang percaya diri.
1) Pasien mempunyai gangguan/hambatan dalam melakukan
hubungan sosial dengan orang terdekat dalam kehidupan,
kelompok yang diikuti dalam masyarakat
2) Keyakinan pasien terhadap Tuhan dan kegiatan untuk ibadah
terhambat.
f) Status mental
Kontak mata pasien kurang/tidak dapat mempertahankan kontak mata, kurang
dapat memulai pembicaraan, pasien suka menyendiri dan kurang mampu
berhubungan dengan orang lain, adanya perasaan keputusasaan dan kurang
berharga dalam hidup
g) Kebutuhan persiapan pulang
1) Pasien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan

17
2) Pasien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan
membersihkan WC, membersihkan dan merapikan pakaian.
3) Pada observasi mandi dan cara berpakaian pasien terlihat rapi
4) Pasien dapat melakukan istirahat dan tidur, dapat beraktivitas di
dalam dan di luar rumah.
5) Pasien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar
h) Mekanisme koping
Pasien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakannya pada
orang lain (lebih sering menggunakan koping menarik diri)
i) Aspek medik
Terapi yang diterima pasien bisa berupa therapi farmakologi, psikomotor, terapi
okupasional, TAK dan rehabilitas.

F. Analisa Data
Masalah keperawatan Data yang perlu dikaji
Isolasi sosial Subjektif:
a. Pasien mengatakan malas bergaul denga orang
lain
b. Pasien mengatakan dirinya tidak ingn ditemani
perawat dan meminta untuk sendiri
c. Pasien mengatakan tidak mau berbicara dengan
oran lain.
d. Tidak mau berkomunikasi

Objektif:
a. Kurang spontan
b. Apatis ( acuh terhadap lingkungan)
c. Ekspresi wajah kurang berseri
d. Tidak merawat diri sendiridan tidak
memperhatikan kebersihan
e. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
f. Mengisolasi diri
g. Asupan makanan dan minuman terganggu
h. Retensi urin dan feses
i. Aktivitas menurun
j. Kurang berenergi atau bertenaga

18
k. Rendah diri
l. Posturtubuh berubah, misalnya sikap fetus atau
janin (khususnya pada posisi tidur)

G. Diagnosa Keperawatan
a. Isolasi sosial

H. Rencana Tindakan Keperawatan


Tujuan Kriteria hasil Intervensi
Setelah dilakukan a. Pasien dapat membina Pasien
tindakan keperawatan hubungan saling SP 1
selama 3 x 24 jam, percaya. a. Bina hubungan saling percaya
pasien dapat b. Dapat menyebutkan b. Identifikasi penyebab isolasi sosial,
berinteraksi dengan penyebab isolasi tanda gejala dan akibat isos
orang lain baik secara sosial. c. Berdiskusi dengan pasien tentang
individu maupun c. Dapat menyebutkan kerugian tidak berinteraksi dengan orang
secara berkelompok. keuntungan lain.
berhubungan dengan d. Menganjurkan pasien berkenalan dengan
orang lain. 1 orang.
d. Dapat menyebutkan e. Menganjurkan pasien memasukkan
kerugian tidak kegiatan latihan berbincang-bincang
berhubungan dengan dengan orang lain dalam kegiatan harian.
orang lain. SP 2
e. Dapat berkenalan dan a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian
bercakap-cakap pasien (SP 1).
dengan orang lain b. Memberikan kesempatan kepada pasien
secara bertahap. mempraktekkan cara berkenalan dengan
f. Terlibat dalam 2 – 3 orang sambil melakukan kegiatan
aktivitas sehari-hari harian.
c. Membantu pasien memasukkan kegiatan
berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian

SP 3
a. Evaluasi pelaksanaan dari jadwal
kegiatan harian pasien (SP 2)
b. Beri kesempatan pada pasien
mempraktekan cara berkenalan dengan 4
- 5 orang
c. Anjurkan kepada pasien untuk
memasukan kegiatan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam jadwal kegiatan
harian dirumah

19
SP 4
a.  Evaluasi pelaksanaan dari jadwal
kegiatan harian pasien (SP 3)
b. Melatih pasien berbicara sambil
melakukan kegiatan sosial.

Keluarga
Sp 1
a. Diskusikan masalah yang dirasakan
kelura dalam merawat pasien
b. Jelaskan pengertian, tanda dan gejala
isolasi sosial yang dialami pasien dan
proses terjadinya
c. Jelaskan dan latih keluarga cara-cara
merawat pasien.
SP 2
a. Melatih keluarga mempraktekkan cara
merawat pasien dengan isos
b. Melatihkan keluarga melakukan cara
merawat langsung kepada pasien isos

SP 3
a. Menjelaskan tentang pemanfaatn
lingkungan yang mendukung perawatan
pasien isos

SP 4
a. Membantu keluarga membuat jadwal
aktivitas dirumah termasuk minum obat
(discharge planning)
b. Menjelaskan follow up pasien setelah
pulang

20
PERILAKU KEKERASAN

A. Pengertian
Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasanatau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman
(Stuart & Sundeen, 2007).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran
perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasarkan keadaan emosi yang
mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita
yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam diri atau destruktif (Yoseph,
2010).

21
Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko
menimbulkan bahaya langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain
(Carpenito, 2000). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan ketika individu
mengalami perilaku yang secara fisik dapat membahayakan bagi diri sendiri atau
pun orang lain (Sheila L. Videbeck, 2008).

B. Tanda dan Gejala


Menurut Fitria,  (2006), tanda dan gejala dari perilaku kekerasan, adalah sebagai
berikut:
1. Fisik : pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, bicara dengan
nada keras dan kasar, sikap ketus.
3. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, sikap menentang, dan amuk/agresif.
4. Emosi : jengkel, selalu menyalahkan, menuntut, perasaan terganggu, dan
ingin berkelahi.
5. Intelektual: mendominasi, cerewet atau bawel, meremehkan, suka berdebat,
dan mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Sosial : penolakan untuk didekati, mengasingkan diri, melakukan
kekerasan, suka mengejek, dan mengkritik.
7. Spiritual: merasa diri berkuasa, tidak realistik, kreatifitas terlambat, ingin
orang lain memenuhi keinginannya, dan merasa diri tidak berdosa.  

C. Fase-fase Perilaku Kekerasan


1. Triggering incidents
Ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien. Beberapa faktor
yang dapat menjadi pemicu agresi antara laian: provokasi, respon terhadap
kegagalan, komunikasi yang buruk, situasi yang menyebabkan frustrasi,
pelanggaran batas terhadap jarak personal, dan harapan yang tidak terpenuhi. Pada
fase ini pasien dan keluarga baru datang.

22
2. Escalation phase
Ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat diseterakan dengan
respon fight or flight. Pada fase escalasi kemarahan pasien memuncak, dan belum
terjadi tindakan kekerasan. Pemicu dari perilaku agresif pasien gangguan
psikiatrik bervariasi misalnya: halusinasi, gangguan kognitif, gangguan
penggunaan zat, kerusakan neurologi/kognitif, bunuh diri dan koping tidak efektif.
3. Crisis point
Sebagai lanjutan dari fase escalasi apabila negosiasi dan teknik de escalation gagal
mencapai tujuannya. Pada fase ini pasien sudah melakukan tindakan kekerasan.
4. Settling phase
Pasien yang melakukan kekerasan telah melepaskan energi marahnya. Mungkin
masih ada rasa cemas dan marah dan berisiko kembali ke fase awal.
5. Post crisis depression
Pasien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan berfokus
pada kemarahan dan kelelahan.
6. Return to normal functioning
Pasien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan cemas, depresi, dan
kelelahan.

D. Proses Terjadinya Masalah


1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Psikologis
1) Psiconalytical Theory : teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan akibat dari instructual drives. Freud berpendapat bahwa
perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting, pertama insting hidup
yang diekspresikan dengan seksualitas ; dan kedua : insting kematian
yang diekspresikan dengan agresifitas. Teori ini menjelaskan bahwa
tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan
tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah.
Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise yang

23
dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
kehidupannya.
2) Teori Pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap
perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh
peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi
biologik.
b. Faktor Sosial Budaya
Ini mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain.
Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi
seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Kultur dapat pula mempengaruhi
perilaku kekerasan, adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi
agresif mana yang diterima atau tidak dapat diterima sehingga dapat membantu
individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif. Kontrol
masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai
cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi
terjadinya perilaku kekerasan.
c. Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar
biologis, penelitian neurobiologis mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus
elektris ringan pada hipotalamus (yang berada ditengah sistem limbik).
Berdasarkan teori biologis, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang 
melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut.
1) Pengaruh Neurofisiologik, beragam komponen neurologis mempunyai
implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem
limbik sengat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku
bermusuhan dan respon agresif.
2) Pengaruh Biokimia, menurut Goldsten dalam Townsend menyatakan
bahwa berbagai neurotransmiter (epinefrin, norepinefrin, dopamin,

24
asetilkolin dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen dan
norepinefrin serta penurunan serotinin dan GABA (6 dan 7) pada
cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang dapat
menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
3) Pengaruh Genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang
umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak kriminal
(narapidana).
4) Gangguan Otak, sindrom otak organik berhubungan dengan bernagai
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus
temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus
temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya
terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal
dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang, ketika sesorang merasa
terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber
kemarahannya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal, contoh stressor
eksternal : serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna
dan adanya kritikan dari orang lain, sedangkan contoh dari stressor internal :
merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan seseoranga yang dicintai, dan
ketakutan terhadap penyakit yang diderita. Bila dilihat dari sudut pandang
perawat- pasien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan
terbagi dua yaitu :
a. Pasien(internal) : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan,
kurang percaya diri, hilang kontrol, rasa takut sakit.
b. Lingkungan (eksternal) : ribut, kehilangan orang atau objek yang
berharga, konflik interaksi social.Hal-hal yang dapat menimbulkan
perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut:

25
1) kesulitan kondisi sosial ekonomi.
2) kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
3) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya
danketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang
dewasa.
4) Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol
emosi pada saat menhadapi rasa frustasi.
5) kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan
perubahan tahap perkembangan keluarga.

E. Pohon Masalah
RBD

PK

F. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Penanggung jawab
c. Keluhan utama: pasien mengeluh sering marah karena tidak bisa hidup
seperti orang lain yang normal, terkadang mengamuk, mengancam
hingga memukul orang
d. Alasan masuk: pasien bingung, labil, marah-marah, mengamuk
mengancam, gelisah, sulit tidur, hiperaktif, bicara kacau dan bicara
sendiri, sulit dikendalikan, memukul orang lain.
e. Faktor predisposisi
1) Riwayat penyakit pasien

26
2) Riwayat penyakit keluarga
3) Riwayat masa lalu
f. Pemeriksaan fisik : tanda-tanda vital, TB, BB, kondisi fisik
g. Psikososial
1) Genogram
2) Konsep diri
a) Citra tubuh: pasien mengatakan bagian tubuh yang paling disukai
adalah kaki, karena kuat.
b) Identitas: pasien mengatakan anak ke 2 dari 7
c) Peran: pasien mengatakan dirumah atau di dalam keluarga sebagai
anak.
d) Ideal diri: pasien mengatakan ingin cepat sembuh dan pulang,
pasien merasa bosan keluar masuk rumah sakit jiwa.
e) Harga diri: pasien mengatakan orang yang paling dekat dengan
pasien adalah ibu dan ayahnya, pasien mengatakan malu karena
belum menikah dan sepertinya tidak ada harapan untuk menikah
3) Hubungan sosial: dengan orang terdekat, dalam masyarakat.
4) Spiritual
h. Status mental
1) Penampilan
2) Pembicaraan
3) Aktivitas motorik
4) Alam perasaan
5) Afek
6) Interaksi selama wawancara
7) Persepsi
8) Pola pikir
9) Tingkat kesadaran
10) Memori
11) Tingkat konsentrasi dan berhitung
12) Kemampuan penilaian

27
13) Daya tilik diri
i. Kebutuhan persiapan pulang
1) Makan
2) BAB/BAK
3) Mandi
4) Berpakaian/berhias
5) Istirahat dan tidur
6) Penggunaan obat
7) Pemeliharaan kesehatan
8) Kegiatan di dalam rumah
j. Mekanisme koping
1) Mampu berbicara dengan orang lain
2) Mampu menjelaskan masalah ringan
3) Lebih suka diam jika ada masalah
k. Masalah psikososial dan lingkungan
1) Masalah dengan kelompok
2) Masalah dengan lingkungan
3) Masalah dengan kesehatan
4) Masalah dengan perumahan
5) Masalah dengan ekonomi
l. Aspek medik

G. Analisa Data
Masalah Keperawatan Data yang perlu dikaji
Perilaku Kekerasan Subjektif :
Pasien mengancam
Pasien mengumpat dengan kata-kata kotor
Pasien mengatakan dendam dan jengkel
Pasien mengatakan ingin berkelahi
Pasien menyalahkan dan menuntut
Pasien meremehkan
Objektif :
Mata melotot

28
Tangan mengepal
Rahang mengatup
Wajah memerah dan tegang
Postur tubuh kaku
Suara keras

H. Diagnosa Keperawatan
a. Perilaku kekerasan

I. Rencana Tindakan
a. Tujuan Umum : pasien tidak melakukan tindakan kekerasan baik kepada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
b. Tujuan Khusus :
1) pasien dapat membina hubungan saling percaya.
2) Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
3) Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
4) Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
5) Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara
fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
c. Tindakan keperawatan
1) SP Pasien
SP 1
1. Identifikasi penyebab PK
2. Identifikasi tanda dan gejala PK
3. Identifikasi PK yang dilakukan
4. Identifikasi akibat PK

29
5. Menyebutkan cara mengontrol PK dengan fisik 1 dan fisik 2
6. Membantu pasien mempraktekkan latihan cara mengontrol fisik 1
dan fisik 2.
7. Menganjurkan pasien memasukkan dalam kegiatan harian
SP 2  
1. Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien (SP 1)
2. Latih pasien mengontrol PK dengan minum obat secara teratur
dengan prinsip lima benar (benar nama pasien, benar nama obat,
benar cara minum obat, benar waktu minum obat, dan benar dosis
obat) disertai penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat.
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam kegiatan harian
SP 3
1. Evaluasi jadwal harian untuk dua cara fisik
2. Latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak dengan
baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan dengan baik.
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam kegiatan harian
SP 4 
1. Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara
fisik dan sosial/verbal
2. Melatih pasien mengontrol PK dengan cara spiritual
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam kegiatan harian

2) SP keluarga
SP 1
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2. Menjelaskan pengertian PK, tanda dan gejala serta proses
terjadinya PK
3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK
SP 2

30
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara nerawat pasien dengan
PK
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
pasien PK
SP 3
1. Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung
perawatan pasien PK
SP 4
1. Membantu keluarga pemanfaatan jadwal aktivitas dirumah
termasuk minum obat (discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang

31
DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Definisi

Defisit Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia didalam

memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya,kesehatannya dan

kesejahteraannya sesuai dengan kondisi kesehatannya.Klien dinyatakan terganggu

perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan dirinya. (Aziz R., 2003)

Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami

kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan

diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian atau berhias, makan, dan

BAB atau BAK (toileting) (Fitria, 2009).

Pengertian yang hampir sama diungkapkan oleh Wilkinson, (2006) defisit

perawatan diri menggambarkan suatu keadaan seseorang yang mengalami

gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri, seperti mandi,

berganti pakaian, makan dan toileting.

B. Tanda dan Gejala

Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah

sebagai berikut :

32
1. Mandi/Hygiene

Pasien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,memperoleh atau

mendapatkan sumber air,mengatur suhu atau aliran air mandi,mendapatkan

perlengkapan mandi,mengeringkan tubuh,serta masuk dan keluar kamar mandi.

2. Berpakaian/berhias

Pasien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan

pakaian, menanggalkan pakaian,serta memperoleh atau menukar pakaian.Klien

juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam,memilih

pakaian,mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.

3. Makan

Pasien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,mempersiapkan

makanan,melengkapi makanan,mencerna makanan menurut cara yang diterima

masyarakat,serta mencerna cukup makanan dengan aman.

4. Eliminasi

Pasien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban

atau kamar kecil,duduk atau bangkit dari jamban,memanipulasi pakaian untuk

toileting,membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat,dan menyiram toilet

atau kamar kecil

C. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri

Menurut Nanda-I (2012),jenis perawatan diri terdiri dari :

1. Defisit perawatan diri : mandi

33
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi/beraktivitas

perawatan diri untuk diri sendiri

2. Defisit perawatan diri : berpakaian

Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian

dan berhias untuk diri sendiri

3. Defisit perawatan diri : makan

Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan

secara mandiri

4. Defisit perawatan diri : eliminasi

Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas eliminasi

sendiri

D. Proses Terjadinya Masalah

1. Faktor Predisposisi

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2003) faktor predisposisi defisit perawatan diri

adalah:

a. Perkembangan

Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan

inisiatif terganggu.

b. Biologis

34
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri

c. Kemampuan Psikologis menurun

Pasien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang

menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.

Masalah psikologi tersebut contohnya harga diri rendah : klien tidak mempunyai

motivasi untuk merawat diri, body image: gambaran individu terhadap dirinya

sangat mempengaruhi kebersihan diri, misalnya individu tidak peduli dengan

kebersihan dirinya.

d. Sosial

Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi

lingkngan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.

2. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi,

gangguan kognitif atau perseptual, cemas, lelah atau lemah yang dialami individu

sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi:

a. Body Image

Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri

misalnya dengan adanya perubahan fisik, individu tidak peduli dengan kebersihan

dirinya.

35
b. Praktik Sosial

Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan

terjadi perubahan pola personal hygiene.

c. Status Sosial Ekonomi

Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,

shampoo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.

d. Pengetahuan

Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat

meningkatkan kesehatan.

e. Budaya

Disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.

f. Kebiasaan seseorang

Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri

seperti penggunaan sabun, shampoo dan lain-lain.

g. Kondisi fisik atau psikis

Pada keadaan tertentu / sakit, kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu

bantuan untuk melakukannya.

E. Pohon Masalah

HALUSINASI

DPD

F. Asuhan Keperawatan

36
1. Pengkajian

a. Identitas pasien

b. Penanggung jawab

c. Keluhan utama

d. Alasan masuk.

e. Faktor predisposisi

1) Riwayat penyakit pasien

2) Riwayat pengobatan

3) Riwayat trauma

4) Riwayat penyakit keluarga

5) Riwayat masa lalu yang tidak menyenangkan

f. Pemeriksaan fisik : tanda-tanda vital, TB, BB, kondisi fisik

g. Psikososial

1) Genogram

2) Konsep diri

a) Citra tubuh

b) Identitas

c) Peran

d) Ideal diri

e) Harga diri

3) Hubungan sosial: dengan orang terdekat, dalam masyarakat, hambatan

dalam hubungan dengan orang lain.

4) Spiritual: nilai keyakinan, kegiatan ibadah.

37
h. Status mental

1) Penampilan

2) Pembicaraan

3) Aktivitas motorik

4) Alam perasaan

5) Afek

6) Interaksi selama wawancara

7) Persepsi

8) Pola pikir

9) Tingkat kesadaran

10) Memori

11) Tingkat konsentrasi dan berhitung

12) Kemampuan penilaian

13) Daya tilik diri

i. Kebutuhan persiapan pulang

1) Makan

2) BAB/BAK

3) Mandi

4) Berpakaian/berhias

5) Istirahat dan tidur

6) Penggunaan obat

7) Pemeliharaan kesehatan

8) Kegiatan di dalam rumah

38
j. Mekanisme koping

1) Mampu berbicara dengan orang lain

2) Mampu menjelaskan masalah ringan

3) Lebih suka diam jika ada masalah

k. Masalah psikososial dan lingkungan

1) Masalah dengan kelompok

2) Masalah dengan lingkungan

3) Masalah dengan kesehatan

4) Masalah dengan perumahan

5) Masalah dengan ekonomi

l. Aspek medik

G. Analisa Data
Masalah keperawatan Data yang perlu dikaji
Defisit Perawatan Subjektif:
Diri Klien mengatakan dirinya malas mandi
Klien mengatakan malas makan
Klien mengatakan tidak tahu cara membersihkan
WC setelah bab/bak

Objektif:
Ketidakmampuan mandi dan membersihkan diri ;
kotor, berbau
Ketidakmampuan berpakaian; pakaian sembarangan
Ketidakmampuan bab/bak secara mandiri : bab/bak
sembarangan

H. Diagnosa perawatan
Defisit perawatan diri

39
I. Tindakan keperawatan

Tujuan:

a. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri

b. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik

c. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri

Tindakan
a. SP Pasien

SP 1

1. Mengidenfikasi penyebab, tanda dan gejala dan akibat defisit

perawatan diri

2. Menjelaskan pentingnya kebersihan diri

3. Menjelaskan cara menjaga kebersihan diri

4. Membantu pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri

(mandi)

5. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

SP 2

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien (SP 1)

2. Menjelaskan cara berdandan yang baik

3. Membantu pasien mempraktekkan cara berdandan yang baik

4. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal aktivitas harian

SP 3

1. Mengevaluasi jadwal kagiatan harian pasien ( SP 2)

2. Menjelaskan cara makan yang baik

40
3. Membantu pasien mempraktekkan cara makan yang baik

4. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal aktivitas harian

SP 4

1. Mengevaluasi jadwal kagiatan harian pasien ( SP 3)

2. Menjelaskan cara BAB/BAK yang baik

3. Membantu pasien mempraktekkan cara BAB/BAK yang baik

4. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal aktivitas harian

b. SP Keluarga

SP 1

1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat

pasien

2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala DPD dan jenis DPD yang

dialamu pasien beserta proses terjadinya.

3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien DPD

SP 2

1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan DPD

2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien

DPD.

SP 3

1. Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung

perawatan DPD

SP 4

41
1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk

minum obat ( discharge planning)

2. Menjelaskan follow up

HARGA DIRI RENDAH

A. Pengertian
Harga diri rendah adalah perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya
diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, dalam Fitria, 2009).
Harga diri rendah adalah perasaan seseorang bahwa dirinya tidak diterima
lingkungan dan gambaran-gambaran negatif tentang dirinya (Barry, dalam Yosep,
2009).
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan
diri yang negatif dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan
(Towsend, 1998).

42
B. Klasifikasi
Menurut Fitria (2009), harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang
sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif
mengenai diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan,
perubahan).
2. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami
evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu
lama. 

C. Etiologi
Harga diri rendah dapat terjadi secara :
1. Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan
malu karena sesuatu (korban perkosaan, dituduh korupsi, dipenjara tiba-
tiba).
Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah, karena :
a. Privacy yang harus diperhatikan, misalnya : pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan (pencukuran pubis,
pemasangan kateter, pemeriksaan perineal).
b. Harapan akan struktur bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai
karena dirawat/sakit/penyakit.
c. Perlakuan petugas kesehatan yang tidak menghargai, misalnya berbagai
pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai tindakan tanpa
persetujuan.
2. Kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu
sebelum sakit/dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang negatif.
Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap
dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang maladaptif.

D. Proses terjadinya

43
Salah satu komponen konsep diri yaitu harga diri dimana harga diri adalah
penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh
perilaku sesuai dengan ideal diri (Keliat, 2006).
Sedangkan harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang
berharga dan tidak bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Jika individu
sering gagal maka cenderung harga diri rendah. Harga diri rendah jika kehilangan
kasih sayang dan penghargaan orang lain. Harga diri diperoleh dari diri sendiri
dan orang lain, aspek utama adalah diterima dan menerima penghargaan dari
orang lain.
Harga diri rendah di gambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri
sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai
keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas, destruktif yang
diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu, mudah tersinggung dan
menarik diri secara sosial.
Faktor yang mempegaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan orang
tua yang tidak relistis, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis.
Sedangkan stresor pencetus mungkin ditimbulkan dari sumber internal dan
eksternal seperti :
1. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menaksirkan
kejadian yang mengancam.
2. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan
dimana individu mengalami frustrasi. Ada tiga jenis transisi peran, yaitu :
a. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan
dalam kehidupan individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-
nilai tekanan untuk peyesuaian diri.
b. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke
keadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh kehilangan bagian

44
tubuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan dan fungsi tubuh,
perubahan fisik, prosedur medis dan keperawatan.
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronik adalah penolakan orang tua
yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis (Fitria,
2009).

2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktivitas (Fitria, 2009).

E. Pohon Diagnosis
PK

HALUSINASI ISOS RBD

HDR

F. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
b. Penanggung jawab
c. Keluhan utama
d. Alasan masuk.
e. Faktor predisposisi
1) Riwayat penyakit pasien
2) Riwayat pengobatan
3) Riwayat trauma
4) Riwayat penyakit keluarga

45
5) Riwayat masa lalu yang tidak menyenangkan
f. Pemeriksaan fisik : tanda-tanda vital, TB, BB, kondisi fisik
g. Psikososial
1) Genogram
2) Konsep diri
a) Citra tubuh
b) Identitas
c) Peran
d) Ideal diri
e) Harga diri
3) Hubungan sosial: dengan orang terdekat, dalam masyarakat, hambatan
dalam hubungan dengan orang lain.
4) Spiritual: nilai keyakinan, kegiatan ibadah.
h. Status mental
1) Penampilan
2) Pembicaraan
3) Aktivitas motorik
4) Alam perasaan
5) Afek
6) Interaksi selama wawancara
7) Persepsi
8) Pola pikir
9) Tingkat kesadaran
10) Memori
11) Tingkat konsentrasi dan berhitung
12) Kemampuan penilaian
13) Daya tilik diri
i. Kebutuhan persiapan pulang
1) Makan
2) BAB/BAK
3) Mandi

46
4) Berpakaian/berhias
5) Istirahat dan tidur
6) Penggunaan obat
7) Pemeliharaan kesehatan
8) Kegiatan di dalam rumah
j. Mekanisme koping
1) Mampu berbicara dengan orang lain
2) Mampu menjelaskan masalah ringan
3) Lebih suka diam jika ada masalah
k. Masalah psikososial dan lingkungan
1) Masalah dengan kelompok
2) Masalah dengan lingkungan
3) Masalah dengan kesehatan
4) Masalah dengan perumahan
5) Masalah dengan ekonomi
l. Aspek medik

G. Analisa Data
Masalah keperawatan Data yang perlu dikaji
Harga Diri Rendah Subjektif:
a. Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna.
b. Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu
c. Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk
beraktivitas atau bekerja.
d. Mengungkapkan dirinya malas melakukan
perawatan diri (mandi, berhias, makan atau
toileting).
Objektif:
a. Mengkritik diri sendiri
b. Perasaan tidak mampu
c. Pandangan hidup yang pesimistis
d. Tidak menerima pujian
e. Penurunan produktivitas
f. Penolakan terhadap kemampuan diri

47
g. Kurang memperhatikan perawatan diri
h. Berpakaian tidak rapi
i. Berkurang selera makan
j. Tidak berani menatap lawan bicara
k. Lebih banyak menunduk
l. Bicara lambat dengan nada suara lemah.

H. Diagnosa Keperawatan: harga diri rendah

I. Rencana Tindakan Keperawatan


Tujuan
a. Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki
b. Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
c. Pasien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai kemampuan
d. Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan
e. Pasien dapat menyusun jadwal untuk melakukan kegiatan yang sudah
dilatih
Tindakan Keperawatan
a. SP pasien
SP 1
1. Mengidentifikasi penyebab, tanda gejala dan akibat HDR
2. Mengidentifikasi aspek positf yang dimiliki pasien
3. Membantu pasien menilai aspek positif yang dimiliki

48
4. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan pasien
5. Melatih pasien sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
6. Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan pasien
7. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP 2
1. Mengevaluasi kegiatan harian (SP 1)
2. Melatih kemampuan kedua yang dipilih
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP 3
1. Mengevaluasi kegiatan harian (SP 2)
2. Melatih kemampuan ketiga yang dipilih
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP 4
1. Mengevaluasi kegiatan harian (SP 3)
2. Melatih kemampuan ketiga yang dipilih
3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
b. SP Keluarga
SP 1
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala HDR dan jenis HDR yang
dialamu pasien beserta proses terjadinya.
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien HDR
SP 2
1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan HDR
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien
HDR
SP 3
1. Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung
perawatan HDR

49
SP 4
1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk
minum obat ( discharge planning)
2. Menjelaskan follow up

50

Anda mungkin juga menyukai