Di susun oleh :
Annisa Rahmadana
Husnul Fuad
Rahmatul muna
Suhermansyah.
Dosen Pembimbing:
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah,SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini mempunyai judul ” Miastenia gravis, Bell’s Palsy, multiple gravis ”,yang
di susun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Etika dan Hukum
Keperawatan.
Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan tugas ini.saya menyadari bahwa
laporan yang saya buat ini belum mencapai kesempurnaan karena masih banyak terdapat
kekurangan – kekurangan yang saya lakukan.Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun baik dari pihak Dosen maupun teman-teman lainnya demi
kesempurnaan tugas ini, sehingga tugas ini dapat dijadikan pedoman untuk penyusunan tugas
dimasa yang akan datang.
DAFTAR ISI
1. KESIMPULAN ...................................................................................................
2. SARAN ...............................................................................................................
REFERENSI ........................................................................................................................
BAB 1
Pendahuluan.
1. Latar Belakang
Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia.Selama
beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia gravisyang
diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR)pada kelinci.Sedangkan pada manusia
yang menderita miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular junctionakibat
defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR).Pada hampir 90% penderita miastenia
gravis,transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus yang
diperantarai demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR,sehingga lokalisasi imun
kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik dari plasmaparesis.
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari
AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR, telah dianalisis dengan sangat hati-hati,
.
dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular ini
diakibatkan adanya hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi
terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis.
Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi
karena berbagai faktor.Salah satudiantaranya adalah kelainan pada transmisi neuromuskular
yang berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata
juga merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari
membran presinaptik merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik secara
langsung maupun tidak langsung
Bell’s Palsy merupakan kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non- supratif, non-
neoplasmatik, non- degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada
bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen
tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Sidharta, 2008).
Di Indonesia, insiden penyakit Bell’s Palsy banyak terjadi namun secara pasti sulit
ditentukan. Dalam hal ini didapatkan frekuensi terjadinya Bell’s Palsy di Indonesia sebesar
19,55%, dari seluruh kasus neuropati terbanyak yang sering dijumpai terjadi pada usia 20 –
50 tahun, dan angka kejadian meningkat dengan bertambahnya usia setelah 60 tahun.
Biasanya mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang bilateral dan dapat berulang
(Annsilva, 2010).
Keadaan ini tidak memiliki penyebab yang jelas, akan tetapi ada yang menyebutkan
bahwa penyebab Bell’s Palsy adalah angin yang masuk ke dalam tengkorak, ini membuat
syaraf di sekitar wajah sembab lalu membesar. Pembengkakan syaraf nomor tujuh atau
nervous fascialis ini mengakibatkan pasokan darah ke syaraf tersebut terhenti. Hal itu
menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls atau rangsangnya
terganggu.
BAB 2
PEMBAHASAN
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus
dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan
dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita
beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
2.1.2 Epidemitologi.
2.1.3 Patofisiologi.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol.Walaupun mekanisme pasti
tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita
miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.Timus merupakan organ sentral
terhadap imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala
miastenik.
Walaupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada
kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot
okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Sewaktu- waktu dapat pula
timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk
ditutup.Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan
ekstensi kepala.Selain itu dapat pula timbul kesukaran menelan dan berbicara akibat
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullahparesis dari
pallatum molle yang akan menimbulkan suara sengau.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis.Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus
ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi
gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.
2.1.6 Penatalaksanaan.
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-
asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana
pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama
serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.
Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa
krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien
yang kesulitan menjalani periode pasca operasi.
Bell’s palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower
motor neuron yang disebabkanoleh keterlibatan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateraldi luar sistem saraf pusat, idiopatik, akut dan tidak disertaioleh gangguan
pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Berbagai teori mencoba
menerangkan abnormalitas yang terjadi, salah satunya adalah keterlibatan virus
Herpes Simplex tipe 1 Kontroversi dalam tata laksana masih diperdebatkan,
walaupun hampir sebagian besar kasus (85%) sembuh sempurna dalam 1-2 bulan
dan rekurensi terjadi pada 8% kasus.
1. Segmen supranuklear
3.Segmen meatal.
4. Segmen labirin.
5. Segmen timpani.
6. Segmen mastoid.
2.2.3 Patogenesis
Patogenesis Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik
bell’s palsy adalah proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang
BP sebagai suatu sindroma kompresi saraf fasialis atausebagai suatu “entrapment
syndrome”.Hingga kini belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis Bell’s palsy,
oleh George A. Gates, membagi patogenesis menjadi 3 tipe, yaitu:
Tipe 1: Pada tipe 1 mengalami paresis ringan dan sebagian besar mengalami
kelumpuhan komplit. Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami penyembuhan
yang baik, blok konduksi saraf yang reversibel (neuropraksis) adalah akibat dari
kompresi yang mendadak oleh karena edema di sekitar saraf dan disebabkan oleh
adanya spasmepembuluh darah, namun teori ini belum dapat dibuktikan.Teori lain
menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler oleh radang virus yang
menyebabkan kebocoran sehingga cairan masuk ke dalam jaringan sekitarnya. Bila
cairan ini terkumpul di dalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat.
Tipe 2: Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkenesis dan gejala sisa lain
yang mungkin akibat degenerasi sarafsinkenesis ini terjadi karena impuls dari satu
akson dapat menyebar ke akson yang berdekatan dan berakibat kontraksi otot-
otot lain. George A. Gates menjelaskan akan terjadi penjalaran listrik pada
waktu terjadi “saltatory movement” kepada saraf yang berdekatan yang
mengalami kerusakan myelin sehingga terjadi konduksi pada dua saraf dan
kontraksi dua otot pada saat bersamaan.
Tipe 3: Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang
terjadi akibat cedera akson dalam segmen labirint dari nervus fasialis, ini terjadi
akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh virus zooster dalam ganglion genikulatum
dan berakibat sensori 2/3 anterior lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar ke korda
timpani, saraf akustik dan vestibuler dan menyebabkan hambatan pengantar akson
kemudian terjadi paralisis dan degenerasi.
Manifestasi klinis motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s palsy yaitu adanya
kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan
melakukan gerakan volunter seperti (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat
mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat
(mulut mencong), sulit mencucu atau bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung, dan
otot-otot yang terkena yaitu m. frontalis, m.orbicularis oculi, m. orbicularis oris, m.
zigomaticus dan m. nasalis.
2.2.5 Pemeriksaan Penunjang.
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Bell’s palsy yang penting diketahui oleh dokter umum adalah
mengidentifikasi dan merujuk ke dokter spesialis saraf. Dengan kata lain, dokter umum
harus mampu menyingkirkan diagnosis lain yang mungkin sebelum menegakkan diagnosis
Bell’s palsy. Yang pertama kali harus dilakukan setelah penegakan diagnosis adalah
segera memulai farmakoterapi dan melindungi mata.
1.Medikamentosa
Karena paralisis otot wajah akan berdampak terhadap penampilan, kualitas hidup,
dan psikologis, maka seringkali farmakoterapi diberikan untuk menurunkan resiko
terjadinya pemulihan yang tidak sempurna. Farmakoterapi diberikan sesuai dengan
penyebabnya.
2. Kortikosteroid.
Karena umumnya gejala dipicu oleh edema dan pembengkakan nervus fasialis, maka bisa diberikan
antinflamasi kortikosteroid, kecuali bila ada kontraindikasi. Baugh, et al. merekomendasikan
bahwa pemberian kortikosteroid sebaiknya diberikan dalam 72 jam setelah onset. Terapi bisa
dimulai dengan 60 mg prednisone selama 6 hari kemudian ditappering off 10 mg per hari pada 5
hari berikutnya. Kedua metode ini dilaporkan mempunyai efektivitas yang sama.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN.
GAMBARAN KASUS
NY Z UMUR 37 tahun dirawat di ruang saraf dengan keluhan penglihatan kembar, kelopak
mata jatuh, dan gangguan geeak bola mata. Pada saat ini pasien mulai kesulitan mengunyah,
menelan dan berbicata. NY Y juga mengeluh lemah pada exstermitas dirasakan semakin berat
kalau aktivitas.
Perintah :1. Jelaskan secara singkat tentang penyakit berdasar kasus diatas
.PENGKAJIAN-.
1. Identitas
2 Identitas Pasien
Nama : Ny Y
No Register : 11.1037
Umur : 37 tahun
Suku/Agama : Islam
Status : Kawin
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SMP
Nama : Tn. K
Umur : 37 tahun
Riwayat kesehatan
Pasien mengatakan tidak pernah mempunyai penyakit seperti ini sebelumnya, pasien cuma
pernah menderita penyakit ringan biasa yang jika minum obat warung bisa sembuh. Pasien juga
mengatakan Pernah operasi Seksio caesaria untuk melahirkan putra keduanya sekitar 2 bulan
yang lalu.
Sejak 2 hari yang lalu pasien dirawat di ruang saraf dengan keluhan penglihatan kembar,
kelopak mata jatuh, dan gangguan gerak bola mata. Pada saat ini pasien mulai kesulitan
mengunyah, menelan dan berbicara. Pasien juga mengeluh lemah pada exstermitas dirasakan
semakin berat kalau aktivitas
Keluarga pasien mengatakan tidak pernah mempunyai penyakit seperti yang diderita pasien
sekarang, mereka cuma pernah menderita penyakit ringan biasa yang jika minum obat warung
bisa sembuh.
Pemeriksaan fisik
B. TTV :
TD : 115/70 mmHg
N : 80×/menit
RR : 18×/i
C. Fungsi motorik
4. Pemeriksaan diagnostik:
Laboratorium :
• hb : 11,5 g/dL
• leukosit 9,700 /uL
5. Pragram teraphy
Infus RL 20 tts/menit
Mestinon kaplet 3 × 25 mg
C. PROBLEM LIST
3.2.1 Pengkajian
Identitas pasien :
Nama : tn. S
Umur : 45 th
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : SLTA
Riwayat kesehatan
1. Keluhan Uama
Pasien mengeluh sudut mulutnya tertarik ke sebelah kanan dan tidak bisa kembali hal ini terlihat
saat dia tersenyum tertawa hingga mengerutkan dahi dan menyeringai
Pasien berbicara pelo tetapi saat pasien tersebut minum, tidak merasakan sakit sedikitpun.
Dari hasil anamnesa yang dilakukan oleh perawat SWD pasien tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya ataupun menderita DM.
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
2. Tanda vital
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai
dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak
lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Bell’s palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkanoleh keterlibatan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateraldi
luar sistem saraf pusat, idiopatik, akut dan tidak disertaioleh gangguan pendengaran,
kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.
4.2 Saran
Diharapkan lebih meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih tinggi dan menghasilkan
tenaga kesehatan yang profesional berwawasan global
2. Untuk keluarga
Diharapkan agar individu dan keluarga bisa mengerti tentang penyakit Bells Palsy, dan
meningkatkan perilaku hidup sehat dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup.
REFERENSI
Seybold MD, Myasthenia Gravis. [online]. 2011 [cited 2011 December 22]Diunduh
dari:http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd .
Matthew, N. Meriggioli, M.D, Chief, Karen L,editors. Myasthenia
Gravis.Diagnosis.Seminars in Neurology;2004 1 november; Department of Neurological
Sciences, Rush University. Chicago:2004
Amanati, S., Purnomo, D., & Abidin, Z. (2017). Pengaruh Infra Red dan Elektrical
Stimulation serta Massage terhadap Kasus Bell’s Palsy Dekstra. Jurnal
Fisioterapi dan Rehabilitasi, 1(1), 9-15.
https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v1i1.9
Nurkholbiah, C.,&Halimah, E. (2016). Terapi untuk Bell’s Palsy Berdasarkan Tingkat
Keparahan. Farmaka, 14(2), 41-49. htt ps://doi.org/10.24198/jf. v14i2.10807
https://id.scribd.com/document/369129290/Askep-Bells-Palsy
https://id.scribd.com/document/339210141/ASKEP-Myastenia-Gravis-copy