Anda di halaman 1dari 20

MIASTENIA GRAVIS, BELL’S PALSY, MULTIPLE GRVIS

Di susun oleh :

Annisa Rahmadana

Husnul Fuad

Rahmatul muna

Suhermansyah.

Dosen Pembimbing:

Ns. SRI ANDALA, S.Kep.,M.K

STIKes MUHAMMADIYAH LHOKSEUMAWE PRODI DIPLOMA III


KEPERAWATAN TAHUN AJAR 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah,SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini mempunyai judul ” Miastenia gravis, Bell’s Palsy, multiple gravis ”,yang
di susun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Etika dan Hukum
Keperawatan.

Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan tugas ini.saya menyadari bahwa
laporan yang saya buat ini belum mencapai kesempurnaan karena masih banyak terdapat
kekurangan – kekurangan yang saya lakukan.Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun baik dari pihak Dosen maupun teman-teman lainnya demi
kesempurnaan tugas ini, sehingga tugas ini dapat dijadikan pedoman untuk penyusunan tugas
dimasa yang akan datang.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................................

DAFTAR ISI ........................................................................................................................

BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................................

1.1 Latar Belakang ...............................................................................................................

BAB 2. PEMBAHASAN ....................................................................................................

2.1 Diagnosis dan Tata Laksana Miastenia Grafis...........................................................

2.1.1 Definisi miastenia gravis ............................................................................................

2.1.2 Epidemiologi ..............................................................................................................

2.1.3 Patofisiologi ...............................................................................................................

2.1.4 Gejala klinis ...............................................................................................................

2.1.5 Diagnosis miastenia gravis .........................................................................................

2.1.6 Penatalaksanaan .........................................................................................................

2.2 konsep Bell’s Pals ..........................................................................................................

2.2.1 Definisi bell’s pals

2.2.2 Anatomi fisiologi ........................................................................................................

2.2.3 patogenesis .................................................................................................................

2.2.4 Manifestasi klinis ........................................................................................................

2.2.5 Pemeriksaan penunjang ..............................................................................................

2.2.6 Penatalaksanaan ..........................................................................................................

BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN ...............................................................................

1 Asuhan keperawatan miastenia gravis ..............................................................................

2 Asuhan keperawatan ball’s pals ........................................................................................


BAB 4. PENUTUP

1. KESIMPULAN ...................................................................................................
2. SARAN ...............................................................................................................

REFERENSI ........................................................................................................................
BAB 1

Pendahuluan.

1. Latar Belakang

1.a Latar Belakang Miastenia Gravis.

Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia.Selama
beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia gravisyang
diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR)pada kelinci.Sedangkan pada manusia
yang menderita miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular junctionakibat
defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR).Pada hampir 90% penderita miastenia
gravis,transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus yang
diperantarai demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR,sehingga lokalisasi imun
kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik dari plasmaparesis.

Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari
AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR, telah dianalisis dengan sangat hati-hati,
.
dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular ini
diakibatkan adanya hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan fungsi dari antibodi
terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis.

Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi
karena berbagai faktor.Salah satudiantaranya adalah kelainan pada transmisi neuromuskular
yang berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata
juga merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari
membran presinaptik merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik secara
langsung maupun tidak langsung

1.b Latar Belakang Ball’s pals

Bell’s Palsy merupakan kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non- supratif, non-
neoplasmatik, non- degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada
bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen
tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan (Sidharta, 2008).

Di Indonesia, insiden penyakit Bell’s Palsy banyak terjadi namun secara pasti sulit
ditentukan. Dalam hal ini didapatkan frekuensi terjadinya Bell’s Palsy di Indonesia sebesar
19,55%, dari seluruh kasus neuropati terbanyak yang sering dijumpai terjadi pada usia 20 –
50 tahun, dan angka kejadian meningkat dengan bertambahnya usia setelah 60 tahun.
Biasanya mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang bilateral dan dapat berulang
(Annsilva, 2010).

Keadaan ini tidak memiliki penyebab yang jelas, akan tetapi ada yang menyebutkan
bahwa penyebab Bell’s Palsy adalah angin yang masuk ke dalam tengkorak, ini membuat
syaraf di sekitar wajah sembab lalu membesar. Pembengkakan syaraf nomor tujuh atau
nervous fascialis ini mengakibatkan pasokan darah ke syaraf tersebut terhenti. Hal itu
menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls atau rangsangnya
terganggu.

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Diagnosis dan Tata laksana Miastenia grafis.

2.1.1 Definisi miastenia grafis.

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus
dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan
dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita
beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.

2.1.2 Epidemitologi.

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya 20


dalam 100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umurdiatas 50
tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada
berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28
tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.

Pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction


sangatlah pentingsebelum memahami tentang miastenia gravis. Tiap-tiap serat saraf secara
normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka
motor
end-plate.Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular
junction atau sambungan neuromuskular.Membran presinaptik (membran saraf), membran
post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction. Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya
yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang
serat saraf.

2.1.3 Patofisiologi.

mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada


patofisiologi miastenia gravis. Hal inilah yang memegang peranan penting pada
melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.Sejak tahun 1960, telah
didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara
langsung melawan konstituen pada otot.Tidak diragukan lagi, bahwa antibodipada reseptor
nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia
gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol.Walaupun mekanisme pasti
tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita
miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.Timus merupakan organ sentral
terhadap imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala
miastenik.

Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan


terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang
reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin padaneuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan
ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.
2.1.4 Gejala klinis.

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi


pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita
akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang
apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain adalah kelemahan
pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejalasering
menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari
nervus okulomotorius.

Walaupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada
kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot
okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Sewaktu- waktu dapat pula
timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk
ditutup.Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan
ekstensi kepala.Selain itu dapat pula timbul kesukaran menelan dan berbicara akibat
kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullahparesis dari
pallatum molle yang akan menimbulkan suara sengau.

2.1.5 Diagnosis miastenia gravis.

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis


suatu miastenia gravis.Kelemahan otot dapat munculmenghinggapi bagian proksimal dari
tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Kelemahan otot wajah
bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan adanya ptosis dan
senyum yang horizontal dan miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya
kelemahan pada otot wajah. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum,
yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita
miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan,
sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak
saat minum.

Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis.Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus
ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi
gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.

Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang


dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat
darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta
diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat
terjadinya hipoventilasi. Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada
pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan. Kelemahan sering kali mempengaruhi
lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu
nervus kranialis.Serta biasanya kelemahan otot- otot ekstraokular terjadi secara
asimetris.Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan
menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang
melakukan abduksi .

2.1.6 Penatalaksanaan.

Mastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.


Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan
penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada
miastenia gravis yang ringan.Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata,
perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.Penatalaksanaan miastenia gravis dapat
dilakukan dengan obat-obatan, timomektomiataupun dengan imunomodulasi dan
imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan
miastenia gravis.

Terapi pemberian antibiotik yang dikombainasikan dengan imunosupresif dan


imunomodulasi yang ditunjangdengan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi
yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset lebih
lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan.

PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-
asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana
pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama
serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.

Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa
krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien
yang kesulitan menjalani periode pasca operasi.

2.2 Konsep bell’s pals

2.2.1 Definisi bell’s pals

Bell’s palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower
motor neuron yang disebabkanoleh keterlibatan saraf fasialis perifer yang bersifat
unilateraldi luar sistem saraf pusat, idiopatik, akut dan tidak disertaioleh gangguan
pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Berbagai teori mencoba
menerangkan abnormalitas yang terjadi, salah satunya adalah keterlibatan virus
Herpes Simplex tipe 1 Kontroversi dalam tata laksana masih diperdebatkan,
walaupun hampir sebagian besar kasus (85%) sembuh sempurna dalam 1-2 bulan
dan rekurensi terjadi pada 8% kasus.

Cawthorneadalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf


fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu
nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak
diketahui penyebabnya.AnatomiSaraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai
komponen motorik yang mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu
sisi, komponen sensorik kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa
dari 2/3 depan lidah, dan komponen otonom yang merupakan cabang sekretomotor yang
mempersarafi glandula lakrimalis.

Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu :

1. Segmen supranuklear

2. Segmen batang otal.

3.Segmen meatal.

4. Segmen labirin.

5. Segmen timpani.

6. Segmen mastoid.

7. Segmen ekstra temporal.

2.2.2 Anatomi fisiologi.

Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy,


yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih
banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Teori iskemik vaskulerTeori ini sangat
popular, dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari bell’s palsy. Menurut teori
ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N. VII. Terjadi vasokontriksi arteriole
yang melayani N. VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh
dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat terjadi
transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekandinding kapiler limfe sehingga
menutup.

2.2.3 Patogenesis

Patogenesis Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik
bell’s palsy adalah proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang
BP sebagai suatu sindroma kompresi saraf fasialis atausebagai suatu “entrapment
syndrome”.Hingga kini belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis Bell’s palsy,
oleh George A. Gates, membagi patogenesis menjadi 3 tipe, yaitu:

Tipe 1: Pada tipe 1 mengalami paresis ringan dan sebagian besar mengalami
kelumpuhan komplit. Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami penyembuhan
yang baik, blok konduksi saraf yang reversibel (neuropraksis) adalah akibat dari
kompresi yang mendadak oleh karena edema di sekitar saraf dan disebabkan oleh
adanya spasmepembuluh darah, namun teori ini belum dapat dibuktikan.Teori lain
menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler oleh radang virus yang
menyebabkan kebocoran sehingga cairan masuk ke dalam jaringan sekitarnya. Bila
cairan ini terkumpul di dalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat.

Tipe 2: Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkenesis dan gejala sisa lain
yang mungkin akibat degenerasi sarafsinkenesis ini terjadi karena impuls dari satu
akson dapat menyebar ke akson yang berdekatan dan berakibat kontraksi otot-
otot lain. George A. Gates menjelaskan akan terjadi penjalaran listrik pada
waktu terjadi “saltatory movement” kepada saraf yang berdekatan yang
mengalami kerusakan myelin sehingga terjadi konduksi pada dua saraf dan
kontraksi dua otot pada saat bersamaan.

Tipe 3: Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang
terjadi akibat cedera akson dalam segmen labirint dari nervus fasialis, ini terjadi
akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh virus zooster dalam ganglion genikulatum
dan berakibat sensori 2/3 anterior lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar ke korda
timpani, saraf akustik dan vestibuler dan menyebabkan hambatan pengantar akson
kemudian terjadi paralisis dan degenerasi.

2.2.4 Manefistasi klinis

Manifestasi klinis motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s palsy yaitu adanya
kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan
melakukan gerakan volunter seperti (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat
mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat
(mulut mencong), sulit mencucu atau bersiul, sulit mengembangkan cuping hidung, dan
otot-otot yang terkena yaitu m. frontalis, m.orbicularis oculi, m. orbicularis oris, m.
zigomaticus dan m. nasalis.
2.2.5 Pemeriksaan Penunjang.

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehinggapemeriksaan penunjang perlu


dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang
temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis
multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras
saraf fasialis.

2.2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Bell’s palsy yang penting diketahui oleh dokter umum adalah
mengidentifikasi dan merujuk ke dokter spesialis saraf. Dengan kata lain, dokter umum
harus mampu menyingkirkan diagnosis lain yang mungkin sebelum menegakkan diagnosis
Bell’s palsy. Yang pertama kali harus dilakukan setelah penegakan diagnosis adalah
segera memulai farmakoterapi dan melindungi mata.

1.Medikamentosa

Karena paralisis otot wajah akan berdampak terhadap penampilan, kualitas hidup,
dan psikologis, maka seringkali farmakoterapi diberikan untuk menurunkan resiko
terjadinya pemulihan yang tidak sempurna. Farmakoterapi diberikan sesuai dengan
penyebabnya.

2. Kortikosteroid.

Karena umumnya gejala dipicu oleh edema dan pembengkakan nervus fasialis, maka bisa diberikan
antinflamasi kortikosteroid, kecuali bila ada kontraindikasi. Baugh, et al. merekomendasikan
bahwa pemberian kortikosteroid sebaiknya diberikan dalam 72 jam setelah onset. Terapi bisa
dimulai dengan 60 mg prednisone selama 6 hari kemudian ditappering off 10 mg per hari pada 5
hari berikutnya. Kedua metode ini dilaporkan mempunyai efektivitas yang sama.
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN.

3.1 Askep miasteia gravis

GAMBARAN KASUS

NY Z UMUR 37 tahun dirawat di ruang saraf dengan keluhan penglihatan kembar, kelopak
mata jatuh, dan gangguan geeak bola mata. Pada saat ini pasien mulai kesulitan mengunyah,
menelan dan berbicata. NY Y juga mengeluh lemah pada exstermitas dirasakan semakin berat
kalau aktivitas.

Perintah :1. Jelaskan secara singkat tentang penyakit berdasar kasus diatas 

2. Buatlah pengkajian fokus sesuai kasus diatas.

3. Buatlah Pathway keperawatan berdasarkan kasus diatas

4. Susun rencana tindakan keperawatan berdasarkan kasus diatas

.PENGKAJIAN-.

1. Identitas

Tanggal Pengkajian : 26 Maret 2016

Jam Pengkajian : 08.00 WIB

2 Identitas Pasien

Nama : Ny Y

No Register : 11.1037

Umur : 37 tahun

Jenis Kelamin : perempuan

Suku/Agama : Islam

Status : Kawin

Pekerjaan : Buruh

Pendidikan : SMP

Bahasa yang dikuasai : jawa, indonesia

Alamat : jl. Anggrek no 7 Semarang

Tgl masuk RS : 25 Maret 2016

3 Identitas Penanggung Jawab

Nama : Tn. K
Umur : 37 tahun

Hubungan dengan pasien : Suami

Riwayat kesehatan

A.Keluhan utama Kelemahan otot

B.Riwayat penyakit terdahulu

Pasien mengatakan tidak pernah mempunyai penyakit seperti ini sebelumnya, pasien cuma
pernah menderita penyakit ringan biasa yang jika minum obat warung bisa sembuh. Pasien juga
mengatakan Pernah operasi Seksio caesaria untuk melahirkan putra keduanya sekitar 2 bulan
yang lalu.

1.Riwayat penyakit sekarang :

Sejak 2 hari yang lalu pasien dirawat di ruang saraf dengan keluhan penglihatan kembar,
kelopak mata jatuh, dan gangguan gerak bola mata. Pada saat ini pasien mulai kesulitan
mengunyah, menelan dan berbicara. Pasien juga mengeluh lemah pada exstermitas dirasakan
semakin berat kalau aktivitas

2. Riwayat keseahatan keluarga

Keluarga pasien mengatakan tidak pernah mempunyai penyakit seperti yang diderita pasien
sekarang, mereka cuma pernah menderita penyakit ringan biasa yang jika minum obat warung
bisa sembuh.

Pemeriksaan fisik

a.Keadaan umum : compos mentis

B. TTV :

TD : 115/70 mmHg

N : 80×/menit

RR : 18×/i

C. Fungsi motorik

Derajat kekuatan motorik 4

4. Pemeriksaan diagnostik:

Laboratorium :

Pemeriksaan darah lengkap :

• hb : 11,5 g/dL
• leukosit 9,700 /uL

• trombosit : 350 /mmk

5. Pragram teraphy

Infus RL 20 tts/menit

Mestinon kaplet 3 × 25 mg

C. PROBLEM LIST

no Tgl/jam Data fokus Etiologi masalah ttd


1. 26-03-2016 DS : Kelemahann Intoleransi
Jam 08.30 Pasien mengatakan merasakan otot-otot aktivitas
kelemahan otot yang dirasakan volunter
semakin memberat jika ia
melakukan aktifitas dan untuk
memenuhi kebutuhannya pasien
dibantu oleh keluarganya
DO :
Pada pemeriksaan fungsi motorik
didapati derajat kekuatan motorik
4
2 26-03-2016 DS : Kerusakan saraf Gangguan
Jam 08.40 Pasien mengatakan kesusahan kranial menelan
untuk makan dan minum karena
kesulitan untuk mengunyah dan
menelan sehingga porsi
makannya habis ¼ porsi bubur
dan minum hanya 2-3 gelas sehari
yang diminum secara perlahan
DO :
Pada pemeriksaan fisik
didapatkan pasien sulit
mengunyah dan menelan
3 26-03-2016 DS : Defekanatomis : Hambatan
Jam 03.55 -Pasien mengatakan tidak lagi perubahan komunikasi
bisa membaca karena penglihatan neuromusculer verbal.
kembar, kelopak mata jauh, dan
gangguan gerak bola mata
-pasien merasa kesulitan untuk
mengungkapkan perasaannya
karena kesulitan untuk berbicara
DO :
Pada pemeriksaan fisik:
-mata: kanan dan kiri tampak
kelopak mata jatuh dan gangguan
gerak bola mata
D. NURSING CARE PLAN

no Tgl /jam D(x) kep Tujuan Intervensi


1 26-03- Gangguan Setelah dilakukan tindakan -jaga privacy
2016 menelan keperawatan dalam waktu 3x24 -ciptakan lingkungan
jam diharapkan : yang kondusif
Jam -kemampuan mengunyah -bantu klien dengan
10.00 -mempertahankan makanan posisi tegak sebelum
dimulut makan
-menelan asecara normal -berikan makanan yang
-reflek menelan lunak
-tidak batuk saat menelan -cek mulut klien adakah
sisa makanan
-bantu untuk
mempertahankan intake
kalori
-monitor berat badan
2 26-03- Intoleransi Setelah dilakukan tindakan -bantu klien
2016 aktivitas keperawatan dalam waktu 3x24 mengidentifikasi aktifitas
jan maka diharapkan : yang mampu dilakukan
Jam -berpartisipasi dalam aktifitas -bantu klien untuk
11.00 fisik tanpa disertai peningkatan memilih aktifitas fisik
Td, Nadi dan RR konsisten yg sesuai
-mampu melaksanakan aktifitas dengan kemampuan
sehari-hari secara mandiri fisik,psikologi dan sosial
-bantu klien untuk
membuat jadwal aktifitas
-therapy : mestinon
kaplet, licodexon
3 26-03- Hambatan Setelah dilakukan tindakan -berbicara pada klilen
2016 komunikasi keperawatan dalam waktu 1x24 dengan lambat dan suara
verbal jam maka diharapkan hasil : yang jelas
Jam -kliem mampu berkomunikasi -mendengarkan pasien
12.00 -menggunakan pesan tertulis dengan baik
-menggunakan bahasa -menggunakan kata dan
percakapan kalimat yang singkat
-pengetahuan terhaap pesan -intruksikan klien dan
diterima keluarga untuk
-pesan langsung sesuai menggunakan bantuan
-bertukar pesan dengan orang berbicara
lain -kolaborasi dengan
petugas fisiotherapy
3.2 Askep ball’s pals

3.2.1 Pengkajian

Identitas pasien :

Nama : tn. S

Umur : 45 th

Agama : Islam

Jenis kelamin : Laki- laki

Status : Menikah

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Supir truk

Diagnosa medis : Bell’s pals

Riwayat kesehatan

1. Keluhan Uama

Pasien mengeluh sudut mulutnya tertarik ke sebelah kanan dan tidak bisa kembali hal ini terlihat
saat dia tersenyum tertawa hingga mengerutkan dahi dan menyeringai

2. Riwayat penyakit Sekarang :

Pasien berbicara pelo tetapi saat pasien tersebut minum, tidak merasakan sakit sedikitpun.

Dari hasil anamnesa yang dilakukan oleh perawat SWD pasien tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya ataupun menderita DM.

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

Pasien dalam keadaan sadar compos mentis.

2. Tanda vital

TD 120/90mmHg, Nadi 20x/menit, respirasi 24x/menit, suhu 37 derajat celsius.


No Diagnosa keperawatan/masalah Tujuan dan kriteria intervensi
kolaborasi hasil
1 Gangguan body image berhubungan Setelah dilakukan -kaji secara verbal dan
dengan biofisika tindakan keperawatan non verbal respon
Ds : diharapkan hasil : klien terhadap
-dipersionalisasi bagian tubuh -body image posotif tubuhnya.
-perasaan negativ tentang tubuh -mampu -dorong klien
Do : mengidentifikasi mengungkapkan
-perubahan aktual struktur dan fungsi personal perasaannya
tubuh -mempertahankan -fasilitasi kontak
-bagian tubuh tidak berfungsi interaksi sosial dengan individu lain
dalam kelompok kecil

2 Kecemasan berhubungan dengan faktor Setelah dilakukan -temani pasien untuk


keturunan tindakan keperawatan memberikan
Ds/Do : diharapkan hasil: kenyamanan dan
-insomnia -klien mampu mengurangi takut
-kontak mata kurang mengungkapkan -libatkan keluarga
-berfokus pada diri sendiri gejala cemas untuk mendampingi
-iritabilitas -vital sign dalam batas pasien
-gangguan tidur normal -dorong pasien untuk
-gemetar - mengungkapkan
-kesulitan bernafas perasaan, ketakutan,
-bloking dalam pembicaraan persepsi
-sulit berkonsentrasi -identifikasi tingkas
kecemasan
3 Kurang pengetahuan berhubungan dengan Setelah dilakukan -kaji tingkat
keterbatasan kognitif tindakan keperawatan pengetahuan pasien
DS/DO : selama 1x24jam dan keluarga
-menyatakan secara verbal adanya diharapkan hasil: -gambarkan tanda dan
masalah -pasien dan keluarga gejala yang biasa
-ketidakakuratan mengikuti instruksi, menyatakan muncul pada penyakit
perilaku tidak sesuai pemahaan tentang -diskusikan pilihan
penyakit terapi atau
-pasien dan keluarga penanganan.
mampu melaksanakan
prosedur yang
dijelaskan
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai
dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak
lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.

Bell’s palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor
neuron yang disebabkanoleh keterlibatan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateraldi
luar sistem saraf pusat, idiopatik, akut dan tidak disertaioleh gangguan pendengaran,
kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal.

4.2 Saran

1. Untuk institusi pendidikan

Diharapkan lebih meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih tinggi dan menghasilkan
tenaga kesehatan yang profesional berwawasan global

2. Untuk keluarga

Diharapkan agar individu dan keluarga bisa mengerti tentang penyakit Bells Palsy, dan
meningkatkan perilaku hidup sehat dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup.
REFERENSI

 Seybold MD, Myasthenia Gravis. [online]. 2011 [cited 2011 December 22]Diunduh
dari:http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd .
 Matthew, N. Meriggioli, M.D, Chief, Karen L,editors. Myasthenia
Gravis.Diagnosis.Seminars in Neurology;2004 1 november; Department of Neurological
Sciences, Rush University. Chicago:2004
 Amanati, S., Purnomo, D., & Abidin, Z. (2017). Pengaruh Infra Red dan Elektrical
Stimulation serta Massage terhadap Kasus Bell’s Palsy Dekstra. Jurnal
Fisioterapi dan Rehabilitasi, 1(1), 9-15.
https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v1i1.9
 Nurkholbiah, C.,&Halimah, E. (2016). Terapi untuk Bell’s Palsy Berdasarkan Tingkat
Keparahan. Farmaka, 14(2), 41-49. htt ps://doi.org/10.24198/jf. v14i2.10807
 https://id.scribd.com/document/369129290/Askep-Bells-Palsy
 https://id.scribd.com/document/339210141/ASKEP-Myastenia-Gravis-copy

Anda mungkin juga menyukai