Anda di halaman 1dari 18

Referat

RADIAL NERVE PALSY

Oleh:

Pembimbing:

BAGIAN/DEPARTEMEN ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. i
1.1.Anatomi........................................................................................................ 1
1.2. Definisi ...................................................................................................... 3
1.3. Etiologi ...................................................................................................... 3
1.4. Klasifikasi .................................................................................................. 4
1.5. Gejala Klinisi ............................................................................................. 6
1.6. Diagnosis .................................................................................................. 7
1.7. Pemeriksaan Penunjang............................................................................. 9
1.8. Tatalaksana ............................................................................................... 12

1.9. Prognosis …............................................................................................... 13

Daftar Pustaka.................................................................................................. 14

ii
iii
1.1. ANATOMI

Nervus radialis adalah cabang terbesar dari pleksus brakhialis. Mulai pada tepi bawah
muskulus pektorialis minor sebagai lanjutan dari trunkus posterior pleksus brakllialis. Berasal dari
radiks spinalis servikalis V sampai VIII. Sesudah meninggalkan aksila, saraf ini mengikuti
lekukan spiral (musculospiral groove) pada humerus dan menempel erat pada tulang bersama
cabang profunda dari arten brakhialis. Setelah mencapai septum intermuskularis lateralis sedikit
dibawah insersio muskulus deltoideus, saraf ini dapat diraba. Pada fossa antekubiti, pada bagian
depan bawah lengan atas setinggi kondilus lateralis humerus, saraf ini membagi diri dalam 2
cabang terminal yaitu:
a. cabang motoris profundus (nervus interosseus posterior)
b. cabang kutaneus superflsialis

Gambar 1. Plexus brachialis

Percabangan ini biasanya terletak pada bagian proksimal lengan bawah, tetapi dapat
bervariasi dalam jarak 4 sampai 4,5 cm dibawah epikondilus lateralis. N. interosseus posterior
menembus muskulus supinator untuk mencapai sisi posterior lengan bawah dan memberi
persarafan motorik Cabang kutaneus mencapai superfisial kira-kira 10 cm diatas pergelangan
tangan. Turun sepanjang sisi lateral lengan bawah dan berakhir dengan memberi persarafan

1
sensorik kekulit dorsum tangan, ibu jari, telunjuk dan jari tengah. Nervus radialis pada lengan atas,
memberi persarafan motorik untuk:
a. m.triseps dan m.ankoneus; ekstensor lengan bawah
b. m.brakhioradialis; fleksor lengan bawah pada posisi semipronasi
c. m.ekstensor karpi radialis longus dan brevis; ekstensor radial tangan

Pada lengan bawah, melalui cabang motoris profunda memberi persarafan motorik untuk:
a. m. supinator; supinator lengan bawah
b. m. ekstensor digitorum; ekstensor ruas jari telunjuk, jari tengah, jari manis dan kelingking
c. m.ekstensor digiti minime; ekstensor ruas kelingking dan tangan
d. m.ekstensor karpi ulnaris; ekstensor ulnar tangan
e. m.abduktor pollicis longus; abduktor ibu jari dan ekstensor radial tangan
f. m.ekstensor pollicis brevis dan longus; ekstensor ibu jari dan ekstensor radial tangan
g. m.ekstensor indicis; ekstensor telunjuk dan tangan

Gambar 2. Inervasi motorik dan sensorik nervus radialis

2
Fungsi utama dari nervus radialis ini adalah untuk ekstensi sensi siku, pergelangan tangan
dan jari.
Cabang sensorik nervus radialis biasanya mempersarafi sisi posterior lengan atas, lengan
bawah, tangan dan jari jari kecuali kelingking dan sisi ulnar jari manis, tetapi karena ada
anstomosis dan persarafan yang tumpang tindih, maka distribusi sensoriknya ini sulit ditentukan.
Jika ada, terdapat terutama pada daerah dorsum ibu jari dan telunjuk.

1.2. DEFINISI
Cedera nervus radialis adalah kerusakan dari nervus radialis yang menyebabkan suatu
kelainan fungsional dan struktural pada nervus radialis. Kelainan dapat dihubungkan dengan
adanya bukti klinis, elektrografis dan atau morfologis yang menunjukkan terkenanya saraf tersebut
atau jaringan penunjangnya.
Pada umumnya cedera nervus radialis disebabkan oleh trauma, baik karena trauma atau
akibat penekanan langsung pada sarafnya atau dapat juga terjadi akibat dislokasi atau fraktur yang
mengenai lengan atas.
Gangguan dalam fungsi motorik akibat parese nervus radialis lebih menimbulkan kecacatan
dari pada parese nervus medianus atau nervus ulnaris.

1.3. ETIOLOGI

Kelainan nervus radialis dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor mana mungkin
terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan (multiple factors). Misalnya, diabetes melitus yang
pada mulanya subklinis akan menjadi simptomatis sesudah adanya suatu trauma atau kompresi
yang mengenai saraf.

1. Trauma
Pada fraktur dan dislokasi, neuropati terjadi karena penekanan safar oleh fragmen tulang,
hematom, kallus yang berbentuk sesudah fraktur, atau karena peregangan saraf akibat suatu
dislokasi. Neuropati radialis sering terjadi pada fraktur kaput humerus. Paresis nervus radialis juga
dapat terjadi akibat tidur dengan menggantungkan lengan diatas sandaran kursi (Saturday night
palsy), atau tidur dengan kepala diatas lengan atas (Honeymoon palsy) akibat penekanan pada
waktu saraf ini menembus septum intermuskularis lateralis. Disamping itu trauma pada waktu
olah raga, kerja, pemakain kruk (Crutch palsy), atau posisi tangan pada waktu operasi dapat
menyebabkan terjadinya parese Nervus Radialis.

3
2. Infeksi.
Dapat terjadi karena: sifilis, herpes zoster, lepra dan TBC. Dapat mengenai satu saraf atau lebih.
3. Toksik.
Lebih spesifik mengenai nervus radialis adalah pada lead intoxication.
4. Penyakit vaskuler
5. Neoplasma

1.4.KLASIFIKASI CEDERA SARAF TEPI


Klasifikasi cedera saraf tepi yang sering digunakan yaitu berdasarkan kriteria Seddon dan
Sunderland. Berikut adalah kriteria berdasarkan Seddon:
a. Neuropraxia
Adalah tidak berfungsinya sistem saraf yang bersifat sementara tanpa terjadinya disrupsi fisik
axon. Biasanya fungsi saraf akan kembali normal setelah 2-4 minggu.
b. Axonotmesis
Adalah terjadinya disrupsi axon dan myelin. Jaringan ikat lunak sekitarnya termasuk endoneurium
tetap intak. Terjadi degenerasi axon distal dan proksimal pada lokasi terjadinya trauma.
Degenerasi distal dikenal sebagai degenerasi Wallerian. Axon akan memngalami regenerasi
dengan kecepatan 1 mm/ hari. Fungsi saraf akan secara bermakna akan kembali normal setelah 18
bulan.
c. Neurotmesis
Adalah terjadinya disrupsi axon dan endoneurial. Komponen kolagen perifer seperti epineurium
dapat intak atau terjadi disrupsi. Degenerasi axonal terjadi pada distal dan proksimal segmen.

4
Sunderland mengidentifikasikan cedera kedalam lima derajat, berdasarkan peningkatan
beratnya cedera, yang mengakibatkan gangguan fungsi yaitu:
a. Saraf tepi mengalami disorganisasi berat hingga regenerasi tak dapat terjadi. Ini bisa karena
sayatan, tusukan, traksi ataupun penyuntikan saraf yang diikuti pembentukan skar. Segmen yang
terkena harus dieksisi sebagai bagian perbaikan secara bedah. Keadaan ini yang disebut
neurotmesis oleh Seddon dan cedera derajat IV-V oleh Sunderland.
b. Saraf tepi dengan interupsi akson dan selubung mielinnya, namun bidang jaringan ikat seperti
perineurium masih utuh. Terjadi pengurangan jumlah akson yang tersedia untuk regenerasi dan
bisa terdapat adanya fibrosis berkas intrafasikuler. Ini biasanya karena penetrasi peluru atau
tusukan, traksi atau kompresi dengan disertai iskemia. Keadaan ini disebut aksonotmesis oleh
Seddon dan cedera derajat II-III oleh Sunderland.
c. Saraf tepi dengan interupsi segmental selubung mielin, namun akson dan bidang jaringan ikat
intak. Tidak terjadi degenerasi Wallerian, dan gangguan yang terjadi akibat hambatan konduksi
dapat pulih sempurna. Ini umumnya diakibatkan kontusi, seperti pada fraktura, atau kompresi,
seperti pada ‘saturday night palsy'. Pemulihan fungsional terjadi dalam beberapa minggu hingga
bulan. Keadaan ini disebut neurapraksia oleh Seddon atau suatu cedera derajat I oleh Sunderland.

Gambar 3. Klasifikasi cedera saraf tepi berdasarkan Seddon.

5
1.5.GEJALA KLINIS
1. Pemeriksaan Motorik
Pemeriksaan motorik secara klinis adalah tahap terpenting dalam mengelola semua cedera
saraf. Pemeriksaan harus menentukan apakah kehilangan distal sisi cedera terjadi secara total atau
tidak. Pemeriksaan motorik perlu dilakukan secara seksama dan teliti karena pemeriksaan motorik
menjadi suatu acuan yang cukup berguna sebagai bukti terjadinya regenerasi saraf bila terdapat
pemulihan yang jelas. Pengamatan klinis fungsi motorik volunter dapat juga ditentukan dengan
respons motor terhadap stimulasi. Stimulasi saraf terutama berguna dalam pengenalan awal
adanya pemulihan nerus radialis memadai dan mengurangi tindakan operasi yang beresiko.

2. Tanda Tinel
Tanda Tinel positif hanya menunjukkan regenerasi serabut halus dan tidak menunjukkan
apapun tentang kuantitas dan kualitas yang sebenarnya dari serabut yang baru. Disisi lain,
interupsi saraf total ditunjukkan oleh tidak adanya respons sensori distal (tanda Tinel negatif)
setelah waktu yang memadai telah berlalu untuk terjadinya regenerasi serabut halus (4-6 minggu).
Tanda Tinel negatif lebih bernilai dalam penilaian klinis dibanding tanda Tinel positif.

3. Berkeringat
Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan regenerasi serabut simpatis yang
bermakna. Pemulihan ini mungkin mendahului pemulihan motorik atau sensorik dalam beberapa
minggu atau bulan, karena serabut otonom pulih dengan cepat. Pemulihan aktivitas otonom tidak
selalu berarti akan diikuti oleh fungsi motorik atau sensorik. Pada beberapa kasus, pemulihan
fungsi motorik atau sensorik tidak berlangsung.

4. Pemulihan Sensorik
Pemulihan sensorik adalah tanda yang berguna, terutama bila terjadi didaerah inervasi
otonom nervus radialis dimana tumpang tindih antar sarafnya minimal. Daerah otonom saraf
median meliputi permukaan volar dan dorsal telunjuk dan permukaan volar jempol. Saraf radial
tidak mempunyai daerah otonom yang tegas. Bila terjadi kehilangan sensori pada distribusi ini,
biasanya mengenai sejumlah daerah anatomis tertentu. Sayangnya pemulihan sensori, bahkan pada
daerah otonom, tidak pasti diikuti pemulihan motorik.

1.6. DIAGNOSIS

6
1. SINDROMA TEROWONGAN RADIAL
Sindroma klinis yang berhubungan dengan kompresi cabang dalam saraf radial disebut
radial tunnel syndrome. Sering dikelirukan dengan 'tennis elbow'. Sindroma terowongan radial ini
menyebabkan nyeri somatik dalam pada otot ekstensor, terutama jika dipacu oleh latihan Gejala
dapet terjadi tanpa disertai gejala sensorik atau motorik. Empat tempat yang potensial untuk
kompresi adalah: (1) band fibrosa anterior dari caput radial, (2) pembuluh darah yang berjalan
diatas saraf radial untuk mempersarafi otot brakhioradialis, (3) tepi tendinosa otot ekstensor karpi
radialis brevis, dan (4) arkade Frohse, yang merupakan tepi ligamen kepala superfisial otot
supinator. Lokasi pada arkade Frohse adalah daerah kompresi tersering. Spinner mempostulasikan
bahwa arkade Frohse dibentuk sebagai reaksi atas gerak rotari berulang dari lengan. Spinner
menemukan sindroma ini pada lengan dominan pada 89% pasien. Kebanyakan pasien mempunyai
riwayat trauma berulang, seperti dijumpai pada pekerja pembuat batu bata, pemasang pipa,
operator mesin, konduktor orkestra, dan pemain tenis. Penyebab kompresi lain bisa tumor, lipoma,
proliferasi sinovial pada artritis rematoid, atau fraktura kepala radius.

2. TENNIS ELBOW
Roles dan Maudsley mendefinisikan kelainan ini sebagai epikondilitis lateral hingga
kelemahan ekstensor yang parah. Pada pemeriksaan, terdapat nyeri tekan diatas epikondil lateral
humerus atau tepat didistal kepala radial dimana saraf menuju otot supinator. Nyeri yang khas
dapat dirasakan bertambah bila terjadi ekstensi jari tengah dan ditahan. Manuver ini akan
menegangkan origo otot ekstensor karpi radialis brevis dan selanjutnya menekan saraf radialis.
Cedera origo tendo ekstensor karpi radialis brevis pada epikondilus lateralis berhubungan dengan
gejala tennis elbow yang klasik. Injeksi lokal lidokain dan kortikosteroid memberikan
pengurangan gejala yang sementara. Elektrodiagnostik bisa memperlihatkan penundaan latensi
motor dari alur spiral ketepi medial otot ekstensor digitorum komunis, namun biasanya normal.
Pasien yang tidak membaik dengan menghindari faktor pencetus seperti trauma, penggunaan
bidai, serta pemberian anti-inflamatori, diindikasikan untuk tindakan operatif berupa eksplorasi
beserta dekompresi saraf radial permukaan diindikasikan.

3. SINDROMA SARAF INTEROSSEUS POSTERIOR


Berbeda dengan sindroma terowongan radial dimana gejala dan temuan yang predominan
adalah gangguan motor dari pada nyeri atau sensori. Arkade Frohse merupakan struktur
pengkonstriksi utama. Kelemahan berat otot yang diinervasi radial tampil dengan
ketidakmampuan mengekstensikan jari-jari pada sendi metakarpofalangeal. Dorsifleksi

7
pergelangan arah dorsoradial disebabkan oleh paralisis otot ekstensor karpi ulnaris dan ekstensor
digitorum komunis. Otot brakhioradialis, ekstensor karpi radialis longus, ekstensor karpi radialis
brevis, dan supinator tidak melemah karena diinervasi oleh cabang yang timbul sebelum titik
dimana saraf radial masuk arkade Frohse. Pada sindroma ini, nyeri dan nyeri tekan lokal diikuti
oleh gangguan motor progresif. Bila gangguan sensori tampil, harus dipikirkan lesi yang lebih
proksimal. Temuan elektrodiagnostik dari cedera aksonal pada saraf interosseus posterior berupa
hasil sensori radial yang normal. Amplitudo dari respons motor radial normal atau berkurang pada
pencatatan dari otot yang diinervasi saraf radial distal. Denervasi dijumpai pada semua otot yang
diinervasi saraf radial kecuali otot triseps, brakhioradialis, ekstensor karpi radialis longus,
ekstensor karpi radialis brevis, dan ankoneus. Pasien dengan sindroma saraf interosseus posterior
dengan temuan motor yang bermakna, diindikasikan untuk eksplorasi bedah. Pasien dengan
perjalanan penyakit yang kurang berat, maka istirahat, bidai, dan anti inflamatori diindikasikan.

4. SINDROMA WARTENBERG
Disebabkan kompresi saraf radial permukaan pada lengan bawaf. Khas dengan nyeri lengan
bawah proksimal serta hipoestesia diatas jempol dorsal. Tidak ada kelemahan. Kompresi biasanya
disebabkan trauma atau pemakaian band yang ketat atau arloji. Temuan elektrodiagnostik kelainan
saraf radial permukaan terdiri dari hanya gangguan atau hilangnya respons sensori saraf radial.
Lesi penyebab neuropati radialis dapat mengenai saraf disepanjang perjalanannya. Gejala yang
timbul dipengaruhi oleh lokasi lesi:
a. Pada level lengan atas lesi pada n.radialis dapat terjadi pada aksila, pada waktu melilit humerus di
musculoradialis groove, atau sewaktu berjalan superfisial pada sisi lateral lengan atas.
Menyebabkan parese semua otot yang diper sarafinya yaitu triseps, ekstensor pergelangan tangan,
ekstensor jari dan brakhioradialis, dan disertai defisit sensorik pada daerah yang dipersarafi yaitu
sisi lateral-dorsal tangan, ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah. Lesi pada aksila dapat disebabkan
kompresi oleh kruk, dislokasi sendi bahu, fraktur humerus dan luka tembus.
b. Lesi neuropati radialis
Lesi neuropati radialis sewaktu melilit humerus atau sewaktu berjalan seperfisial pada aspek
lateral lengan atas, sering akibat kelamaan menggantung lengan diatas sandaran kursi (Saturday
nigth palsy), akibat tertekannya lengan karena posisi yang tidak tepat selama anestesi atau tidur,
penggunaan tomiket yang tidak benar atau akibat iritasi dan kompresi oleh kallus sesudah fraktur
tulang. Gejalanya:

8
 tidak dapat ekstensi siku karena parese triseps
 tidak dapat fleksi siku pada posisi lengan bawah antara pronasi dan supinasi karena parese
m.brakhioradialis
 tidak dapat supinasi lengan bawah karena parese m.brakhioradialis
 tidak dapat supinasi lengan bawah karena parese m. supinator
 wrist drop dan finger drop karena parese ekstensor pergelangan tangan dan jari.
 gangguan abduksi ibu jari tangan
 refleks triseps negatif atau menurun
 gangguan sensorik berupa parestesi atau baal pada bagian dorsal distal lengan bawah, sisi leteral
dan dorsal tangan, ibu jari, telunjuk dan jari tengah.
c. Lesi pada bagian saraf yang berjalan antara septum intermuskularis lateralis dan tempat dimana
n.interosseus posterior menembus m.supinator mengakibatkan jari yang dipersarafi oleh nerpus
ini. Gejalanya:
 tidak dapat supinasi dan meluruskan jari
 tidak ada wrist drop
 refleks triseps positif
 tidak ada gangguan sensorik
d. Lesi pada punggung pergelangan tangan, hanya akan menimbulkan gejala sensorik, tanpa defisit
motorik.

1.7.PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Elektrofisiologis

Elektromiografi

Pemeriksaan EMG dasar 2-3 minggu setelah cedera menunjukkan perluasan denervasi dan
menegaskan pola atau distribusi cedera. Pemeriksaan EMG harus dilakukan serial untuk mencari
tanda-tanda reinervasi atau denervasi yang persisten. Pada regenerasi, aktifitas insersional mulai
pulih dan fibrilasi serta potensial denervasi berkurang dan terkadang digantikan oleh potensial aksi
motor yang timbul sewaktu-waktu. Setiap perubahan menunjukkan bahwa beberapa serabut yang
mengalami regenerasi mencapai otot dan terjadi beberapa rekonstruksi hubungan akson-motor end
plate.Tanda-tanda tersebut tidak berarti apa-apa atas kemungkinan perluasan atau kualitas

9
regenerasi. Bila terjadi pengurangan fibrilasi atau timbulnya potensial terjadi pada otot pada
distribusi saraf yang cedera, dianjurkan tindakan konservatif selanjutnya untuk interval yang
singkat. EMG menjadi penting karena dapat membuktikan regenerasi beberapa minggu atau bulan
sebelum fungsi motor volunter tampak. Ia juga melacak adanya sisa unit motor yang berarti lesi
parsial segera setelah cedera.

EMG terutama membantu menentukan tingkat cedera lesi pleksus brakhial hingga bisa
menyeleksi pasien untuk dioperasi beserta jenis operasi yang akan dilakukan. Denervasi otot
paraspinal mengarahkan pada lesi proksimal pada satu atau lebih akar dan karenanya merupakan
temuan negatif. Kerusakan proksimal pada tiga akar terbawah dapat berakibat denervasi
paraspinal ekstensif dimana akar C5 dan bahkan C6 mungkin cedera lebih kelateral dan karenanya
dapat diperbaiki. Elektromiografer memiliki kesulitan membedakan tingkat spinal didalam otot
paraspinal karena sangat tumpang tindih.Operasi biasanya diindikasikan pada lesi pleksus brakhial
bila terjadi kerusakan lengkap pada satu atau lebih akar saraf atas (C5,C6,C7) dan hantaran
kedistal tidak mulai pulih secara klinis maupun elektrik pada bulan-bulan awal pasca cedera.
Adanya perubahan EMG yang menunjukkan reinervasi tidak menjamin pemulihan fungsi, dan
pemeriksaan harus digabung dengan temuan klinis dan data elektrikal lain. Karena EMG dapat
terus menunjukkan perubahan denervasi berat bahkan walau otot berkontraksi volunter, EMG
tidak pernah menggantikan pemeriksaan klinis yang teliti. Namun hanya melengkapi pemeriksaan
klinis. EMG terutama bernilai mengenal anomali dari inervasi, seperti sering terjadi pada lengan
bawah dan tangan.

Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP)

Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada cedera pleksus brakhialis. Lesi
tingkat radiks yang terbatas didaerah preganglion dan tidak meluas kedaerah postganglion akan
berakibat hilangnya sensori distal proximal namun tetap mempertahankan konduksi sensori distal.
Konduksi sensori dari daerah anestetik dapat diperiksa dengan merangsang jari pada distribusi C6
(jempol dan telunjuk), C6-7-8 (jari tengah) dan C8-T1 (kelingking dan jari manis) dan pencatatan
saraf median, radial dan ulnar diproksimal. Adanya potensial aksi saraf sensori campuran
memastikan cedera preganglionik pada distribusi satu radiks atau lebih. Karena distribusi sensori
radiks didistal tumpang tinduh dengan satu atau lebih radiks lain, sulit menentukan dengan
pemeriksaan ini bahwa satu radiks, misalnya C6, adalah suatu cedera preganglionik. Stimulasi
telunjuk (bahkan jempol) yang anestetik dapat menimbulkan SNAP pada distribusi saraf median
bila baik akar C6 atau C7, atau C6 dan C7, rusak pada tingkat preganglionik. Ini menjadikannya

10
sulit untuk menentukan pada pemeriksaan SNAP apakah cedera akar C6 terjadi preganglionik.
Keadaan ini kurang jelas pada akar C5 karena tidak ada stimulasi noninvasif spesifik atau daerah
pencatatan untuk hantaran ini: Penilaian teliti akar sebelah atas dengan pencatatan SNAP tidak
mungkin pada tingkat ini.

Somatosensory-Evoked Potential (SSEP)

Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera, apakah praganglionik atau


postganglionik, pada lesi pleksus brakhial. Ia bernilai terbatas pada bulan-bulan pertama
cedera.Pemeriksaan somatosensori berguna pada saat operasi atas cedera brakhial karena regangan
atau kontusi. Bila cedera postganglionik, stimulasi akar proksimal dari tingkat cedera
membangkitkan potensial somatosensori diatas tulang belakang servikal (SSP) dan
membangkitkan (evoked) respons kortikal diatas kranium kontralateral (ECR). Bila cedera
praganglionik atau pra dan post ganglionik, stimulasi terhadap akar, bahkan didalam atau dekat
foramen intervertebral, tidak akan membangkitkan respons apapun. Reparasi jarang
berhasil.Sayangnya, timbulnya SSP atau ECR mungkin hanya memerlukan beberapa ratus serabut
yang intak antara daerah yang distimulasi dan daerah perekaman, hingga respons positif hanya
memastikan keutuhan minimal saraf atau akar spinal. ECR negatif lebih penting dari ECR positif.

Foto polos

Fraktura tulang belakang servikal sering berhubungan dengan cedera regang proksimal yang
berat yang tidak dapat direparasi, paling tidak pada tingkat akar ruas tulang belakang bersangkut-
an. Fraktura tulang lain seperti humerus, klavikula, skapula dan/atau iga, bila diamati memberi-
kan perkiraan kasar atas kekuatan yang menghantam bahu, lengan atau leher, namun tidak selalu
membantu menentukan tingkat atau luasnya cedera. Kerusakan pleksus biasanya lebih proksimal
dibanding sisi fraktura yang tampak, sering pada tingkat akar. Fraktura humerus tengah terutama
berkaitan dengan cedera saraf radial. Fraktura kominuta radius dan ulna pada tingkat lengan
bawah tengah juga berkaitan dengan cedera saraf median dan ulner, dan terkadang dengan palsi
saraf interosseus posterior. Foto thorax bisa menunjukkan elevasi diafragma yang berarti terjadi
paralisis saraf frenikus. Ini tanda prognosis yang relatif buruk untuk reparasi akar saraf C5 setelah
cedera tertutup, karena biasanya berarti kerusakan proksimal pada tingkat leher.

Tomografi Terkomputer (CT) dan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)

CT scan dengan kontras dimanfaatkan pada cedera peregangan walau terkadang abnormalitas

11
tetap tidak dijumpai karena irisan biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup semua daerah akar
pada setiap tingkat. Akibatnya, mielografi tetap merupakan pemeriksaan radiologis yang
digunakan. Pencitraan resonansi magnetik mungkin membantu menampilkan akar saraf.
Pemeriksaan MRI ini hanya memperkuat mielogram dan tidak menggantikannya.

1.8. TATALAKSANA

Terdapat beberapa terapi terhadap carpal tunnel syndrome yang masih dipergunakan
hingga saat ini, antara lain:
1. Splint (Bidai Immobilisasi)
Splint atau bidai pada pergelangan tangan membantu mengurangi mati rasa dengan
mengurangi fleksi pergelangan tangan. Bidai digunakan pada malam hari untuk mereposisi
tangan, mencegah fleksi atau ekstensi tangan saat tidur yang bisa meningkatkan tekanan. Bidai
biasanya digunakan pada pasien dengan gejala yang ringan sampai sedang yang berlangsung
kurang dari 1 tahun.

2. Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)


Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan membantu menghilangkan
nyeri. Pada umumnya digunakan untuk menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Obat pilihan
untuk terapi awal biasanya adalah ibuprofen. Untuk pilihan lainnya ada ketoprofen dan naproxen.
3. Fisioterapi dan Terapi Okupasi
Prosedur fisioterapi ini harus dilakukan secaraspesifik terhadap pola nyeri/gejala dan
disfungsi yang ditemukan. Terapi okupasi memberikan penyaranan ergonomik untuk mencegah
gejala yang semakin parah. Terapi okupasi memfasilitasi fungsi tangan melalui terapi adaptif
tradisional. Olahraga dengan gerakan merelaksasi dan meregangkan otot – otot lengan dan tangan
dapat mengurangi resiko trauma ganda pada N. radialis.
Dengan istirahat yang sesering mungkin dapat berguna jika jadwal kerja dapat dikurangi
kepadatannya. Sebuah hasil penelitian baru – baru ini menunjukkan dengan istirahat singkat
beberapa kali saat aktivitas yang cukup menegangkan memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan istirahat dalam waktu yang lama. Beragam jenis perangkat aksesoris
komputer yang dapat digunakan untuk menopang tangan dari kelelahan karena aktivitas
berlebihan.
Olahraga dengan gerakan merelaksasi dan meregangkan otot – otot lengan dan tangan
dapat mengurangi resiko trauma ganda pada N. Radialis.
4. Terapi Operatif
12
1.9. PROGNOSIS

Pasien palsy pada saraf radialis akibat fraktur atau dislokasi, dapat mengalami perbaikan
spontan. Pasien dengan Saturday night palsy biasanya membaik dalam 6-8 minggu atau dapat
lebih lama. Operasi pada keadaan terdorongnya nervus radialis oleh tulang atau jaringan lunak,
juga adanya entrapment pada muskulus supinator dapat membaik dalam beberapa minggu atau
bulan. Secara keseluruhan kesembuhan menyangkut nervus radialis umumnya baik setelah
manajemen konservatif dan operasi. Jika belum memperoleh hasil maksimal maka dapat
dilakukan perbaikan melalui transfer tendon.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Santoso M.W.A, Alimsardjono H dan Subagjo; 2002; Anatomi Bagian I, Penerbit


Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; Surabaya
2. Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2 .EGC : Jakarta .

3. Mansjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Medika Aesculapius FKUI :
Jakarta
4. Elis Harorld, 2006, Part 3: Upper Limb, The Bones and Joint of the Upper Limbs; In:
Clinical Anatomy Eleventh Edition (e-book); Blackwell Publishing; Oxford University.
5. Dyck PJ, Low PA. 2014. Disease of peripheral nerves, in Clinical neurology, Baker (ed).
Philadelphia: Harper & Row
6. Patten J. 2015. Neurological differential diagnosis, London: Harold Starke.

14
15

Anda mungkin juga menyukai